Perbedaan Pendapat Ulama Mazhab dalam Ranah Fiqih Islam.
✍️ Ust. H. Idrus Abidin, Lc , M.A.
Dosen STIS al-Manar Jakarta.
Islam
adalah agama yang membawa Rahmat ilahi berupa persatuan dan kebersamaan
(i'tilaf dan ta'awun) berdasarkan pada standar dan parameter kebenaran
(Realitas Ketuhanan) yang merupakan ujian pilihan bagi seluruh manusia.
Islam bukan sekedar alternatif, tetapi merupakan kewajiban mutlak
(taklif) bagi setiap jin dan manusia. Karena Islam adalah kumpulan
kebenaran imani (ideologis-konseptual), satuan kebenaran lapangan
(realitas-praktis) dan totalitas kebenaran bersikap (Etis). Adapun
persatuan yang bersifat alami; di mana manusia tak memiliki pilihan
padanya. Seperti persatuan karena faktor nasab, suku, ras, bangsa dan
negara tetap dijaga dalam Islam. Namun sebatas tidak merusak sikap loyal
(wala') kepada Islam. Artinya, persfektif dan ajaran serta norma-norma
Islam harus mengungguli dan mengatur semua jenis dan faktor-faktor
persatuan tersebut tanpa adanya sikaf ektrim (ta'asub) berlebihan.
Kenapa demikian, karena Islam itu menyatukan dan mengakurkan; sama
sekali tidak senang mempertentangkan, apalagi melanggengkan sikap
bercerai berai. Namun, perlu dipahami dari awal bahwa persatuan yang
berefek pada persaudaraan dan sikap saling menghargai yang diinginkan
oleh Islam adalah persatuan dalam kebenaran Islam. Selama keadilan Islam
tidak diwujudkan, maka tak ada kata persatuan dan tidak ada kompromi
sedikit pun. Karena Islam adalah oposisi kebatilan.
A. Perbedaan (Keragaman); Tabiat Kehidupan.
Hidup
ini secara realitas adalah wujud keberagaman ciptaan Allah yang
menunjukkan kehebatan Allah ta'alaa sebagai sang kreator maha hebat
tanpa batas (badi'us samawati wal ard). Sebuah fakta penciptaan (dalil
al-ikhtiraa) yang berpadu dengan fakta perhatian Allah (dalil al-inayah)
yang senantiasa aktual pada diri setiap makhlukNya. Inilah yang
membuktikan Allah itu esa, tiada duaNya. Tanpa pasangan (istri) ; tak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Dialah Zat yang paling unik dan
tidak mungkin ada yang menyerupaiNya apalagi selevel denganNya.
Keberagaman (perbedaan) yang menjadi tabiat kehidupan itu minimal bisa dilihat dari 2 lingkup berikut :
(1). Antara keistimewaan Allah dan keberagaman sang hamba (makhluk).
Semua
makhluk ditetapkan oleh Allah berpasangan. Jenis laki dan perempuan
ditemukan pada hampir semua ragam makhluk; manusia, binatang, tumbuhan
dll. Perbedaan jenis kelamin ini merupakan rahasia keberlangsungan
makhluk melalui mekanisme perkawinan. Sehingga susah mudah, sedikit
banyak, baik buruk, halal haram, tinggi rendah, tua muda, jauh dekat ;
sebagai identifikasi yang memudahkan manusia agar tidak terjatuh pada
sikap ambigu dan sikap serba relativistik. Belum lagi keragaman warna
dengan gradasinya yang menakjubkan. Hingga unsur-unsur pun beragam; dari
Ho2, Co2 dll. Sehingga makhluk dikenal dengan keberpasangannya
(zaujiyah), sementara identitas khusus Allah dikenal dengan keesaanNya
(Ahadiyah) dan ketergantungan makhluk padaNya (Shamadiyah).
(2). Peluang Keragaman Pada Level Kebenaran (Agama)
Bahkan,
bukan hanya pada level keberagaman makhluk yang menunjukkan adanya
perbedaan. Hingga pada level agama sebagai standar kebenaran di bumi,
apalagi di langit, tetap terbuka. Di samping Allah menegaskan tidak
adanya paksaan dalam berislam, juga Allah tetap memberikan opsi pilihan
dan kebebasan bagi manusia dan jin untuk menentukan pilihan mereka
secara bebas, tapi tetap harus dalam koridor tanggung jawab. Tiada lain
kecuali sebagai bentuk ujian seleksi; antara yang taat dan maksiat,
kafir dan beriman dll, Penentuan tingkat kelas ketaatan dan level
kemaksiatan. Kalau Allah mau, niscaya manusia seragam dalam hal
kebenaran. Namun, hal itu bertentangan dengan hikmahNya dalam kehidupan
sebagai lahan ujian. Sehingga keburukan diizinkan bukan karena Allah
ridha, tapi murni ujian dan pemberian hak-hak kebebasan yang menunjukkan
bahwa manusia memang dicipta oleh Allah sekaligus perbuatan mereka.
Namun, potensi perbuatan tersebut tetap berada dalam kendali dan
kebebasan manusia yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban
atas semuanya secara total.
B. Jenis-jenis Perbedaan Secara umum.
Minimal perbedaan itu bisa dilihat sekilas berdasarkan kategorisasi berikut :
[1]. Hati (Akidah).
Perbedaan
hati berupa perbedaan iman sehingga menghasilkan sikap loyal (wala')
dan sikap disloyalitas (bara'). Dari sisi eksternal (non muslim) ini
mutlak terjadi. Cuman, jika dari sisi internal kita kaum muslimin,
inilah yang sangat disayangkan. Walaupun demikian, Perbedaan internal
kita antara sesama Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang mencakup Atsariyah,
Asy'ariyah dan Maturidiyah tetap harus dibedakan secara bijak dengan non
Ahlu Sunnah seperti khawarij, Syi'ah. Muktazilah, Jahmiyah dll.
[2]. Sikap (Perbuatan).
Masalah
perbuatan kita secara praktis yang menghasilkan 4 Mazhab fiqih dalam
lingkup Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang mencakup Hanafiah, Malikiyah,
Syafi'iyah dan Hambaliyah, tentu masih sangat relevan. Karena perbedaan
mereka hanya berkisar pada sumber-sumber referensi fiqih seperti amal
ahli Madinah, maslahah mursalah, Syar'u man Qablana, Saddu Dzara'i,
istishab, dll.
Adapun
dalam hal referensi utama, seperti al-Qur'an, as-Sunnah Ijma' dan Qiyas
tetap mereka sepakat. Walaupun cara pandang tentang qath'i-dzanni
teks-teks tersebut dari sisi otensititas (wurud) dan maknanya (dilalah)
masih juga terjadi perbedaan. Demikian pula dari sisi interpretasi,
mereka kadang juga berbeda-beda. Nanti ini diperluas pada babnya secara
khusus, in syaa Allah.
Masalah
pendekatan dan metodologis ini menghasilkan 2 cara pengambilan hukum
(istinbath) antara metode Mutakkalimin dan metode Fuqaha. Walaupun ada
juga metode sintesis yang dipraktekkan oleh imam lain selain imam Ibnu
Qudamah dalam kitab Raudhatun Nazhir ilaa Jannatil Munazhir.
[3]. Etika (Moral).
Perbedaan
di sini mencakup 3 mazhab; Mazhab Irfani, Mazhab Falsafi dan mazhab
Akhlaqi. Mazhab Akhlaqi adalah mazhab spesial Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. 2
mazhab lainnya, terutama Mazhab Falsafi sangat terkontaminasi oleh
pemikiran luar.
[4]. Pemikiran (Ideologi dan Filsafat)
Perbedaan
ini umumnya terjadi karena masalah referensi pengetahuan yang dikenal
dengan istilah filsafat ilmu pengetahuan. Di sini, istilah Efistemologi
Islam dengan kajian hakikat ilmu (Ontologis) dan kegunaan ilmu
(Aksiologis) ikut berperan secara komparatif dengan hal yang sama dengan
apa yang ada di luar Islam.
Dari semua Perbedaan di atas, minimal bisa diringkas dengan dua jenis perbedaan berikut :
(1).
Perbedaan Variatif (Tanawwu). Yaitu perbedaan hanya dari sisi istilah
sekalipun substansi sama. Seperti tafsiran ash-Shirat al-Mustaqim dengan
Islam, Qur'an dan Islam. Biasanya perbedaan ini akibat dari minimnya
penggunaan takwil dalam sebuah mazhab. Karena takwil hanya dibatasi oleh
makna kebahasaan (semantik/filologi) dalam tradisi Arab dan tradisi
Islam. Adapun takwil yang mulai mengakomodasi makna lain yang ada di
peradaban lain, lalu dicampuradukkan dengan persfektif Islam, maka
disinilah takwil menjadi bencana. Seperti takwil yang banyak dilakukan
oleh kalangan filosof, ahlul Kalam dan ahli tasawuf. Akhirnya, takwil
bukan lagi sekedar tafsir konvensional seperti yang ada di era terbaik
(Salaf), tapi mulai merambah tafsir dengan makna bathin dan isyari yang
tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku di era sebelumnya. Ini
yang menjadi pintu masuk semua pengikut hawa nafsu dan kreativitas tak
berdasar (bid'ah) ke dalam ranah intelektual Islam.
(2).
Perbedaan kontradiktif (Tadhad). Adalah perbedaan yang timbul akibat
diperluasnya cakupan takwil. Sehingga makna makin beragam hingga ke
tahap saling menafikan. Umumnya terjadi antara Ahlu Sunnah Wal Jama'ah
dengan pemikiran non Ahlu Sunnah. Seperti perbedaan masalah nikah mut'ah
yang terjadi antara mazhab Ahlu Sunnah dan Syi'ah. Juga seperti
perbedaan makna tauhid antar internal Ahlu Sunnah. Ada yang menegaskan
semua sifat-sifat Allah tanpa kecuali. Ada pula yang menetapkan sebagian
(20 atau hanya 7). Juga perbedaan antara Ahlu Sunnah dengan Muktazilah.
Yang mana, Muktazilah menafikan semua sifat-sifat Allah karena dianggap
potensial memperbanyak makna Qadim (ta'addudul qudama') di sisi Allah
yang berefek pada kesyirikan. Sehingga tauhid versi Muktazilah adalah
Allah dengan nama-namaNya tanpa predikat sifat sedikit pun.
C. Perbedaan (Ikhtilaf) dan Perselisihan (Iftiraq).
Tentu
tidak semua perbedaan berakhir pada mesin perselisihan. Jika sifatnya
hanya perbedaan Variatif, tentu sah-sah saja. Namun, jika perbedaan itu
sudah mengarah ke perbedaan kontradiktif, di sinilah dipastikan
perselisihan itu terjadi.
Jadi, berbeda tidak harus berselisih. Namun, perselisihan sudah so pasti membeda-bedakan.
D. Perbedaan dalam Masalah Fiqhi.
Inilah
inti Pembahasan kita sekarang. Ranahnya adalah Fiqih di internal mazhab
Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Secara umum, perbedaan di sini bisa
dipersempit antara mazhab tekstual (ma'tsur) yang diwakili oleh imam
Malik di Madinah sebagai pusat riwayat dan mazhab kontekstual (dirayah)
yang dipresentasikan oleh imam Abu Hanifah yang bermarkas di Baghdad.
Inti
perbedaan di sini adalah seputar Ar-Ra'yu (rasionalitas). Selama ini,
Mazhab Maliki sering dianggap minus ra'yu (rasionalitas) karena fokus
riwayat. Sementara mazhab Hanafi dituduh berlebihan dalam aspek ra'yu
karena fokus Qiyas (Analogi). Berikut ini titik perbedaan dan persamaan
antara kedua mazhab secara global :
1.
Inti dari penggunaan ra'yu dalam ranah fiqih Islam basisnya adalah
mewujudkan maslahat manusia dunia akhirat berdasarkan pada tingkatan
hirarkis tujuan Syariah (maqashid Syariah).
2.
Sedang ruang pemberdayaan ra'yu terkait peristiwa dan kejadian yang
terjadi dalam lingkup realitas masyarakat bisa dipetakan sebagai berikut
:
A. Teks-teks pasti
(qath'i) baik sumber maupun maknanya. Tentu ra'yu tidak punya akses di
sini. Rasio hanya sebatas alat memahami.
B.
Peristiwa yang tidak memiliki sandaran teks (Nash), namun para Mujtahid
di zaman tertentu telah bersepakat tentang status hukumnya (ijma') maka
di sini pun ra'yu tak diberi akses.
C.
Peristiwa yang tidak memiliki pijakan teks, namun belum menjadi
kesepakatan kalangan Mujtahid masa lalu, maka ruang ini terbuka untuk
pemberdayaan ra'yu (ijtihad).
3.
Perbedaan ra'yu yang tergolong terpuji (mahmud) dan ra'yu yang
tersandera oleh hawa nafsu busuk (mazmum) adalah bahwa ra'yu terbaik itu
ada pada pemberdayaan nalar dan rasio kalangan sahabat dan tabi'in.
Substansi pemikiran rasional mereka ada pada upaya menampilkan kebenaran
pada setia peristiwa yang terjadi. Penalaran yang didasari oleh upaya
penarikan kesimpulan hukum (istinbath) terhadap suatu peristiwa
berdasarkan tuntunan teks dengan analogi (Qiyas). Yang serupa disatukan
hukumnya dengan yang semisalnya (Qiyas tamtsil) dan yang berbeda di
satukan sesuai dengan tingkat perbedaannya (Qiyas 'Aksi-Tharadi). Ra'yu
dengan pola seperti ini merupakan hasil dari pemahaman maksimal (detil)
yang disertai ketinggian tingkat Intuisi (bashirah) yang berhasil
dicontohkan oleh kalangan Terbaik ummat ini.
4.
Seputar maslahat, semua Mazhab Fiqih memberdayakannya dalam penentuan
hukum fiqih. Juga perlu ditegaskan bahwa bukan hanya imam Malik dan imam
Ahmad yang mendominasi maslahat dlm ijtihad mereka. Betul, mereka
berdua mengunggulkan masalahat dalam penarikan hukum. Dan, kita pun
sangat memahami mereka sangat komitmen dengan manhaj salaf dan Sunnah.
Maka, tuduhan bahwa imam Malik terlalu ekstrim dalam pemberdayaan
maslahat sampai tarap menghalalkan pembunuhan dan pencurian harta karena
tuntunan maslahat yang dianggap kokoh secara nalar, sekalipun tanpa
dasar; sangat kurang tepat. Tidak ada dalam karya beliau yang
mengindikasikan hal tersebut. Demikian pula dalam karya intelektual para
sahabat-sahabatnya setelah beliau.
5.
Masalah istihsan, juga diberdayakan oleh semua Mazhab. Imam Syafi'i
hanya menolak istihsan yang tidak didasari oleh petunjuk dalil secara
resmi. Tapi dibangun murni berdasarkan hawa nafsu, semangat intelektual
kebablasan dan seenaknya sendiri. Bahkan, istihsan model seperti
terakhir ini tidak ada yang melakukannya. Sehingga bisa dikatakan,
perbedaan beliau dalam masalah istihsan ini hanya bersifat kebahasaan
saja (lafzi). Imam Syafi'i hanya menggunakan istilah lain yang
substansinya sama dengan istihsan itu sendiri.
6.
Terkait prinsip Saddu Dzara'i sebagai basis ra'yu dan ijtihad,
sebenarnya berdasarkan pada pandangan jauh ke depan yang menjadi efek
dan akhir suatu tindakan. Sehingga tindakan tertentu dikategorikan
secara hukum berdasarkan efek masa depan tersebut; baik disengaja oleh
pelaku atau tidak. Jika ternyata suatu tindakan sesuai dengan harapan
syari'at atau mengandung maslahat standar; tentu itu yang diharapkan.
Jika tidak demikian, artinya ada kerusakan atau keburukan, ; jika
demikian tentu hukumnya terlarang. Di sini, niat pelaku sama sekali
tidak diperhitungkan. Tapi yang dianggap adalah hasil akhir sebuah
tindakan tersebut. Karena tindakan atau perbuatanlah yang akan menjadi
objek pujian atau celaan sesuai hasilnya.
7.
Terkait prinsip istishab, ternyata ia menjadi prinsip penting dalam
mazhab imam Malik dan semua sahabatnya. Tetapi, itu jika tidak ada dalil
yang lebih kokoh darinya. Dan, istishab itu sendiri tidak bisa naik ke
level prinsip rasional (ra'yu) yang setara dengan prinsip-prinsip yang
telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian ulama seputar
pemberdayaan istishab ini, ternyata akses ra'yu sangat minim pada
istishab. Sehingga ditemukan bahwa ulama Mazhab yang banyak memanfaatkan
perangkat ra'yu (penalaran) pada mekanisme ijtihad mereka dipastikan
sedikit mengakses istishab. Karena setiap kali perangkat ra'yu begitu
banyak, maka banyak pula faktor yang potensial merubah hukum baru dari
hukum asal (istishab). Tentu ini adalah karakteristik mazhab imam Abu
Hanifah rahimahullah.
Sebaliknya, ulama Mazhab yang
sedikit sekali membuka peluang ra'yu dalam perangkat ijtihad mereka,
dipastikan sangat kokoh mengandalkan istishab. Ini tentu menegaskan
sikap imam Malik rahimahullah.
8.
Prinsip pemberdayaan 'urf ternyata juga didasari oleh kepentingan dan
maslahat masyarakat agar mereka mendapatkan kemudahan, sekaligus mereka
terbebas dari beban masalah yang menghimpit. Sehingga 'urf ini menjadi
basis penting dalam madrasah Madinah.
9.
Secara komparatif, ra'yu di Mazhab imam Malik merepresentasikan
realitas dan kenyataan hidup yang jauh dari prediksi kejadian atau
kemungkinan terjadinya suatu peristiwa di masa depan. Sedang ra'yu di
mazhab Abu Hanifah mengarah ke personifikasi masalah secara prediktif di
masa depan. Hal ini menegaskan bahwa ra'yu di Mazhab Malik sangat
bernuansa atsar. Mereka tidak melirik ra'yu kecuali jika teks-teks
syari'at dan pendapat sahabat dan tabi'in sangat minim terkait suatu
peristiwa atau kejadian. Maka, mereka lebih banyak memburu hadits dan
atsar dibanding mencari illat yang menjadi alasan penemuan hukum. Sedang
Mazhab Abu Hanifah fokus mencari illat hukum sejak awal, maka tak
mengherankan jika teks-teks hadits dan atsar minim pada mekanisme
ijtihad mereka. Sementara pemberdayaan ra'yu dan pemanfaatan nalar
sangat kokoh di internal mereka.
Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan.
1. Perbedaan pendapat tentang validitas dan otensititas periwayatan sebuah hadits. Shahih, Hasan dan dhaif.
2. Perbedaan cara interpretasi, cara mengkompromikan, tata cara tarjih, cara abrogasi (nasikh mansukh) dll.
3. Perbedaan sumber referensi terhada masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
4.
Perbedaan pendapat akibat perbedaan tempat, situasi dan kondisi. Maka
fatwa potensial berubah seiring dengan tuntutan perubahan zaman, tempat
dan kondisi lingkungan.
Selain itu, perbedaan juga potensial terjadi akibat dari :
1. Adanya lafazh Al-Qur'an atau hadits yang memiliki multi makna (musytarak). Seperti kata quru'.
2.
Adanya perbedaan menentukan Sam khas, mutlaq muqayyad, mujmal mubayyan.
Belum lagi perbedaan cara mengidentifikasi lafazh umum yang bermaksud
khusus dan lafazh khusus yang berkonotasi umum. Demikian pula lafazh
umum yang tetap pada koridor keumumannya. Dan, lafazh khusus yang tetap
eksis pada kandungan khasnya.
Adapun
cara dan adab menyikapi perbedaan serta hikmah di balik adanya
perbedaan tersebut bisa dicari di sumber-sumber lain yang relevan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Diolah dari beragam Sumber, terutama :
- Ar-Ra'yu wa Atsaruhu Fii Madrasah al-Madinah, Karya, Dr. Abu Bakar Ismail Muhamad Miqa.
- Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al-Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, Karya Dr Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.
- Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli Hukum, Karya Ust. Andi Muhammad Hidayat, Lc.
Depok, 25 April 2020 (Sabtu, 2 Ramadhan 1441 H.
0 komentar:
إرسال تعليق