Friday, March 23, 2012

Prinsip-Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (Bag.4)



Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal



27. Kemudian manusia yang terbaik setelah para shahabat Rasulullah adalah manusia yang hidup pada abad di mana Rasulullah diutus sebagai nabi kepada mereka,[1] setiap yang menemani beliau selama setahun, sebulan, sehari, sejam, atau ia hanya melihat beliau, maka ia termasuk dalam kategori shahabat beliau. Ia mempunyai derajat shahabat sesuai kadar waktu yang ia lalui dalam menemani beliau  (1/13/4), di mana ia mendengar darinya hadits-hadits beliau dan melihatnya. Orang yang paling sedikit waktunya menemani Rasulullah masih jauh lebih mulia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sempat berjumpa dan melihat langsung beliau, dan sekiranya kelak nanti di akhirat mereka bertemu dengan Allah dengan seluruh jenis amal kebaikan, maka orang-orang yang telah menemani Rasulullah, melihatnya, dan mendengar dari beliau sabda-sabdanya (yaitu orang yang melihatnya dengan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun hanya satu jam) lebih utama –karena pertemanan tersebut- dari para Tabi`in walaupun mereka telah melakukan seluruh amal kebaikan.[2].([3])
28. Mendengar dan taat kepada imam-imam dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang buruk. Orang yang disebut dengan Amirul Mukminin yang harus ditaati adalah orang yang memimpin Khilafah, dan manusia mendukungnya serta ridha kepadanya, atau orang yang mengalahkan dan menguasai mereka lewat peperangan hingga ia berhasil menjadi Khalifah.[4]
29. Berperang bersama para pemimpin berlangsung sampai hari kiamat –yang baik maupun yang buruk- tidak boleh ditinggalkan.[5]
30. Membagi harta Fai (harta rampasan yang di dapatkan tanpa peperangan), pemberlakuan hukum hudud terhadap para imam (pemimpin), tidak boleh salah seorang menyakiti dan menentang mereka.[6]
31. Membayar shadaqah kepada mereka hukumnya boleh dan telah terlaksana sebelumnya. Barangsiapa yang membayarnya kepada mereka, ia akan mendapat pahala, baik mereka adalah pemimpin yang baik maupun jahat.[7]
32. Shalat Jum`at sejumlah dua rakaat penuh dibelakangnya dan dibelakang orang yang mengangkatnya menjadi pemimpin dibolehkan. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya, sungguh ia termasuk orang yang melakukan perbuatan bid`ah, mengabaikan atsar,[8] dan menyalahi sunnah. Ia sama sekali tidak mendapatkan keutamaan shalat Jum`at, apabila ia menganggap tidak sah shalat dibelakang penguasa yang baik maupun yang menyimpang, sementara Sunnah membolehkan shalat  bersama mereka sebanyak dua rakaat dan meyakini bahwa shalat tersebut telah sempurna dan jangan ada keraguan di dalam hatinya.
33. Barangsiapa yang keluar memisahkan diri dari salah satu imam (pemimpin) umat Islam, sedang manusia telah menyepakati dan mengakui keabsahan kepemimpinannya dengan segala bentuknya, baik karena ridha maupun karena sebagai pihak yang dikalahkan, maka sungguh orang yang membelot tersebut telah merusak kekuatan dan keutuhan umat Islam, dan ia telah menyalahi atsar-atsar dari Rasulullah. Apabila ia mati, ia mati dalam keadaan Jahiliyah.[9]
34. Tidaklah dibenarkan bagi siapapun dari kalangan masyarakat[10] untuk memerangi penguasa dan tidak boleh pula menentang mereka. Barangsiapa yang melakukan itu maka ia termasuk pelaku bid'ah. Ia berada di luar koridor Sunnah dan jalan yang benar. 
35. Membunuh pencuri dan penyamun dibolehkan bagi seseorang yang jiwa dan hartanya terancam oleh perbuatan mereka. Ia berhak untuk membela jiwa dan hartanya, serta  mempertahankan semuanya dengan segenap kemampuan yang ia miliki. Ia tidaklah diharuskan untuk mencari mereka, jika mereka telah meninggalkannya. Hendaknya Ia tidak mengikuti jejak mereka. Tidaklah ada yang berhak untuk mencari mereka kecuali berdasarkan perintah imam atau para pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu. Ketika itu, ia hanya harus berusaha membela diri dan mengamankan jiwanya sambil berupaya keras untuk menghindari keinginan untuk membunuh siapapun. Jika ada yang meninggal karena perbuatannya itu, ketika sedang berusaha membela diri dalam pertengkaran, maka Allah Subhanahu wa Ta`ala akan menjauhkan orang yang terbunuh tersebut. Jika orang tersebut meninggal ketika terjadi perampokan itu, sedang ia dalam kondisi membela diri dan hartanya, maka saya berharap ia mendapatkan mati syahid, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits. Beberapa atsar dalam hal ini 14/1/1 hanyalah memerintahkan untuk memeranginya[11] dan tidak diperintahkan untuk membunuhnya, serta tidak pula diminta untuk mencari jejaknya. Ia tidak dibenarkan jika ia dikerasi atau jika ia luka. Jika ia mengambilnya sebagai tawanan, maka ia tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh pula memberlakukan hukuman Had kepadanya. Tetapi seharusnya ia melaporkan permasalahannya kepada orang yang diperkenankan berkuasa oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala sehingga merekalah yang menentukan hukuman kepadanya.
36. Kita tidak bisa menetapkan seorang pun dari kalangan ahli kiblat (kaum Muslimin) masuk neraka atau masuk surga, karena suatu perbuatan yang dilakukannya. Kita hanya berharap agar orang yang shalih mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta`ala dan tetap merasa khawatir kepadanya karena adanya kemungkinan masuk neraka. Di lain pihak, kita merasa khawatir terhadap pelaku dosa karena ancaman neraka yang membayanginya tetapi tetap berharap agar ia mendapatkan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta`ala.[12]


[1] Shahih dari hadits Imran bin Hushain secara marfu` :
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah yang hidup sezaman denganku kemudian zaman setelah mereka, kemudian zaman setelah itu.” (HR. Al-Bukhari : 3650, dan Muslim : 2535) (Ash-Shahihah : 700).
[2] Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. At-Taubah : 100) dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لَِوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ اُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
Sekiranya kalian menginfakkan emas sebanyak gunung Uhud, sungguh tidak akan menyamai infak mereka satu mud dan tidak pula walau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari : 3673, dan Muslim : 2541), keduanya dari hadits Abu Sa`id Al-Khudri secara marfu`. Saya berkata, “Menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan sabda beliau “shahabat-shahabatku” adalah orang-orang yang komitmen dengan beliau, orang-orang yang sudah terkenal akan kebaikannya saat menemani Rasullah, bukan setiap orang yang bertemu dengan beliau dan hanya sekedar bertemu belaka, atau hanya dalam waktu yang singkat dan tidak dikenal (tidak masyhur). Hal tersebut dibuktikan dengan sabda beliau:
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ
Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku”, tertuju kepada seluruh shahabat-shahabat beliau yang masuk dalam defenisi “shahabat” menurut istilah, baik yang hidup pada zaman beliau maupun yang datang setelahnya. Beliau mewasiatkan kepada mereka untuk mengetahui hak kekhususan-kekhususan para shahabat beliau dari orang yang komitmen kepadanya dan mempunyai hubungan yang kuat dengannya, shallallahu Alaihi wa Sallam. Wallahu A`lam. (Al-Abbasy).
[3] Saya katakan, “Dalam masalah ini masih ada perbedaan pandangan, sebagaimana pula masih ada perincian lebih lanjut. Adapun yang sudah pasti bahwa persahabatan (dengan Rasulullah) memiliki keutamaan khusus berdasarkan waktu seberapa lama menemani beliau dan sebaik apa keteguhan hatinya bersama beliau. Kemudian keutamaan tersebut bergantung pada tingkat keimanan dan kwalitas amal shalih, sehingga bisa jadi ada sebagian Tabi`in atau Tabi` Tabi`in, atau bahkan orang-orang yang datang setelah mereka lebih utama dan lebih mulia dibandingkan sebagian shahabat. Seperti orang yang mendapati zaman fitnah-fitnah yang dahsyat lalu ia tetap istiqamah dengan keimanannya dan bersabar, ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan pahala sebagian para syuhada dari kalangan para shahabat, sebagaimana hal tersebut disinyalir dalam sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam:
إِنَّ وَرَاءَكُمْ أَيَّامُ الصَّبْرِ, لِلصَّابِرِ فِيْهَا أَجْرٌ مِئَةٍ أَوْ خَمْسِيْنَ شَهِيْدًا, قَالُوْا : مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ : بَلْ مِنْكُمْ.
“Sesungguhnya dibelakang kalian adalah masa-masa yang membutuhkan kesabaran, barangsiapa yang sabar pada masa itu baginya pahala 100 atau 50 orang syahid.” Mereka bertanya, “(Orang syahid) dari kami atau dari mereka?” Beliau menjawab, “Dari kalian.”  Pada riwayat lain beliau tambahkan,
لأَنَّكُمْ تَجِدُوْنَ عَلَى الحَقِّ أَنْصَارًا, وَلاَ يَجِدُوْنَ عَلَى الحَقِّ أَنْصَارًا
“…. karena kalian mempunyai pembela-pembela dalam menegakkan kebenaran, sedangkan mereka tidak mempunyai pembela-pembela dalam mempertahankan kebenaran.” [HR. Ath-Thabrani, dan ustadz kami Al-Albani menyebutkannya di dalam Ash-Shahihah (994) dan Shahih Al-Jami` (2234)]. Saya katakan bahwa hadits “..sebaik-baik manusia adalah zamanku..” serta yang semisalnya menunjukkan faedah keutamaan yang bersifat umum, bukan keutamaan yang bersifat individu, wallahu a`lam.” Lihat : risalah “Al-Mufadhalah Baina Ash-Shahabah”, Imam Ibnu Hazm, dengan Tahqiq oleh Prof. Said Al-Afghani. Risalah tersebut adalah bagian dari kitabnya yang sangat bagus yang berjudul “Al-Fashl Fii Al-Milal wa Al-Ahwaa wa An-Nihal”. (Al-Abbasy).
[4] Sesuai dengan firman Allah Ta`ala, (QS. An-Nisaa: 59), serta sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
يَكُوْنُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ تَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ, فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ, وَمَنْ كَرِهَ سَلِمَ, وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
Kalian akan mempunyai pemimpin-pemimpin yang kamu kenal dan kamu membencinya. Barangsiapa yang mengenalnya ia berlepas diri, dan barangsiapa yang membencinya ia selamat, jika ia ridha dengannya dan mentaatinya.” Para shahabat bertanya, “Tidakkah sebaiknya kami perangi mereka?” Beliau menjawab,
 لاَ, مَا صَلُّوْا
“Jangan, selama mereka masih shalat.”  (HR. Muslim, hadits 1480 dari hadits Ummu Salamah).
Dalam sebuah atsar dari Al-Hasan disebutkan bahwsanya ia didatangi oleh suatu kelompok –pada masa pemerintahan Yazid bin Al-Muhallab-, ia menyuruh mereka untuk tetap berada di dalam rumah-rumah mereka dan mengunci pintu-pintu mereka, kemudian ia berkata, “Demi Allah, sekiranya manusia mendapat cobaan yang ditimbulkan oleh pemimpin-pemimpin mereka, lalu mereka bersabar, maka Allah Azza wa Jalla akan mengangkat cobaan tersebut dari mereka. Hal itu karena mereka berlindung pada perang dan mereka bersandar kepadanya, dan demi Allah tidaklah mereka datang pada hari yang lebih baik selamanya. Kemudian ia membaca firman Allah Ta`ala, (QS. Al-A`raf : 137) [Asy-Syariah (19), Tafsir Ibnu Abi Hatim- hadits 3/ ق 178/ب]. Al-Hasan berkata, “Sungguh amat mengherankan orang yang takut kepada seorang penguasa atau khawatir terhadap kezhaliman setelah mengimani ayat ini! Demi Allah, sekiranya manusia bersabar karena perintah Rabb mereka ketika ditimpa cobaan, niscaya Allah akan mengeluarkan mereka dari kesusahan mereka, akan tetapi mereka tidak sabar untuk mengadakan perlawanan hingga mereka dihinggapi ketakutan. Naudzu billah dari cobaan yang buruk.” [Tafsir Al-Hasan : 1/386].
Syaikh Al-Albani berkomentar tentang ayat: (QS. An-Nisaa: 59), ia berkata, “Sudah sangat jelas bahwa hal itu dikhususkan untuk orang-orang Muslim dari kalangan mereka. Adapun orang-orang kafir yang menjajah orang-orang muslim, maka tidak ada ketaatan terhadap mereka, bahkan wajib untuk mempersiapkan diri secara fisik maupun mental untuk mengusir mereka dan membersihkan negeri dari najis kotoran penjajahan mereka..”[At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 48]. Saya katakan bahwa hal tersebut tidak hanya berlaku bagi orang yang asli kafir akan tetapi termasuk pula orang-orang murtad bahkan lebih utama untuk diperangi, yaitu orang-orang yang tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian, mereka telah menghalalkan segala cara dan keluar dari syariah Ilahi dengan dalih kemajuan dan demokrasi. Semoga Allah mensucikan negeri umat Islam dari mereka dan tangan-tangan mereka. [Lihat: Apa yang berkaitan dengan masalah ini di dalam At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 47 dan Syarah Ath-Thahawiah, hal. 379].   
[5] Syaikh Al-Allamah Al-Albani –Hafzhahullah- berkata, “Ketahuilah bahwa jihad terbagi menjadi dua bagian: pertama: Fardhu `Ain, yaitu melawan musuh yang menyerang sebagian negeri umat Islam, seperti orang-orang Yahudi sekarang yang menduduki negeri Palestina, orang-orang muslim seluruhnya berdosa sampai mereka keluar membantu umat Islam di sana. Kedua: Fardhu Kifayah, yaitu apabila sudah ada yang melakukannya, maka yang lain sudah gugur kewajibannya, seperti berjihad di jalan Allah dalam menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia sampai Islam diterapkan sebagai hukum dalam kehidupan. Barangsiapa yang menerima menjadi pengikutnya, itu adalah suatu karunia, dan barangsiapa yang berhenti dari jalan dakwah, ia akan binasa, sampai Kalimah Allah tegak di muka bumi dan jihad ini berlangsung hingga hari kiamat, lebih utama dari yang pertama. Sesuatu yang amat disayangkan bahwa sebagian penulis saat ini mengingkarinya, bukan itu saja akan tetapi mereka menjadikan sebagai bagian dari keistimewaan Islam !! Kondisi ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari kelemahan dan ketidak-berdayaan mereka untuk melakukan jihad secara fardhu aini. Sungguh benarlah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam ketika bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالعِيْنَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ البَقَرِ, وَرَضِيْتُمْ بِالزَرْعِ, وَتَرَكْتُمْ الجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ الله, سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian saling berjual-beli dengan contoh, lalu kalian mengambil ekor-ekor sapi, dan kalian ridha dengan tanaman, dan meninggalkan jihad di jalan Allah, Allah akan menguasakan kepada mereka kehinaan yang tidak akan terabit dari kalian keuali kalian kembali kepada agama kalian.” Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud [Ash-Shahihah: 11]. Lihat : Syarh Ath-Thahawiah, hal. 387, karena isinya sangat penting.   
[6] Ini adalah sunnah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan para Khulafaurrasyidin Radhiyallahu `Anhum. Di dalam sebuah hadits diterangkan:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله عَلَى السَمْعِ وَالطَاعَةِ فِيْ العُسْرِ وَاليُسْرِ, وَالمَنْشَطِ وَالمَكْرَهِ, وَأَلاَّ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ, وَإِنْ بَغَوْا عَلَيْنَا, وَأَنْ نَقُوْلَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كَانَ, لاَنَخَافُ فِي الله لَوْمَةَ لاَئِمِ
“Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat dalam kondisi susah maupun senang, yang disenangi maupun  yang dibenci, dan kami tidak menentang para pembuat keputusan walaupun mereka berbuat zhalim terhadap kami, bahwa kami mengatakan kebenaran dalam kondisi apapun, kami sama sekali tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.” Muttafaq alaih, dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit,  : خ(7199)  : م  (1709).
(Faedah) : Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang nasehat dengan cara yang baik, dan janganlah seseorang yang membela agama Allah  takut celaan orang yang mencela, yang meliputi dua hal; yaitu tidak  diam atau menyembunyikan kebenaran yang seharusnya dijelaskan, dan tidak berlaku sewenang-wenang dalam memberi nasehat. Kami sangat yakin bahwa para ulama yang mulia telah melakukan  kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, penuh keikhlasan, dan dengan cara yang paling benar. Merekalah yang paling berhak dan paling berkompoten dalam hal ini, mereka menjelaskan kebenaran dan tidak menyembunyikannya, dengan penuh kasih sayang, santun, dan mengharapkan kebaikan terhadap bangsa dan rakyat. Wahai para pemuda yang sering tergesa-gesa, hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah, mereka terlalu bersemangat dalam agama mereka hingga mereka menzhalimi para ulama umat dan para pewaris nabi tersebut. Mereka tidak sadar akan kadar kemampuan mereka, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengenal para ulama tersebut. dalam sebuah hadits disebutkan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلّ كَبِيْرَنَا, وَيَرحَمُ صَغِيْرَنَا, وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda, dan mengetahui hak ulama kami.” [Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ahmad dan selainnya, dan dihasankan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani “Shahih At-Targhib” (95)]. Ya Allah, tunjukilah kami jalan orang telah Engkau tunjuki.
[7] Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi –Rahimahullah- berkata di dalam Syarhnya terhadap kitab Ath-Thahawiah [376], “Nash-nash di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma` Salafil Ummah telah menunjukkan bahwa penguasa, imam shalat, hakim, panglima perang, dan amil shadaqah harus ditaati dalam masalah-masalah ijtihad, dan sebaliknya pemimpin tidak wajib mentaati bawahannya dalam hal pengambilan ijtihad, akan tetapi justeru merekalah yang harus mentaatinya. Mereka harus lebih mendahulukan pendapat pemimpin dibandingkan pendapat mereka sendiri, karena maslahat dan persatuan orang banyak, serta bahaya perpecahan dan perselisihan lebih besar perkaranya dibandingkan masalah-masalah furu`. Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ, وَغِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka shalat untuk kalian, apabila mereka benar, maka mereka dan kalian mendapat pahala, dan jika mereka salah, kalian mendapat pahala dan mereka mendapatkan kesalahan tersebut.” [HR. Al-Bukhari : 69]. Hadits ini merupakan nash sharih yang menjelaskan bahwa apabila imam melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut untuk dirinya sendiri, para makmum tidak ikut menanggung kesalahan tersebut. seorang mujtahid dianggap bersalah apabila meninggalkan yang wajib dan meyakini bahwa hal tersebut bukan kewajiban, atau ia melakukan kesalahan sedang ia meyakini bahwa hal tersebut bukanlah kesalahan. Tidak dibolehkan seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyalahi hadits sharih dan jelas setelah ia mengetahuinya.”
Saya berkata, “Apabila hadits itu berkenaan dengan masalah shalat, maka masalah yang lebih ringan/kecil dari itu jauh lebih utama lagi. Ali bin Abi Thalib berkata tentang kepemimpinan Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma, ‘Rasulullah telah ridha terhadapnya pada urusan agama kita, lalu apakah kita tidak meridhainya dalam urusan dunia kita?!’”
[8] Ia berkata di dalam Syarah Ath-Thahawiah, hal. 374, “Ketahuilah bahwa seseorang boleh shalat di belakang orang yang tidak diketahui apakah ia ahli bid`ah atau fasiq, menurut kesepakatan para imam. Bukanlah syarat bermakmum bahwa agar makmum mengetahui keyakinan imamnya dan tidak pula ia harus mengujinya dengan bertanya, “Apa keyakinanmu?” akan tetapi hendaklah ia shalat dibelakangnya tanpa harus mengetahui identitas dirinya. Apabila seseorang shalat di belakang ahli bid`ah yang mengajak kepada bid`ahnya atau orang fasiq yang menampakkan kefasikannya, sedangkan ia adalah imam tetap shalat rawatib yang tidak mungkin shalat kecuali harus shalat di belakangnya, seperti imam shalat Jum`at atau dua shalat `Ied, dan imam pada shalat haji di Arafah –dan semisalnya-, maka bagi makmum harus shalat di belakangnya, menurut pendapat mayoritas kaum Salaf dan Khalaf. Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum`at di belakang imam yang buruk, maka ia dianggap telah melakukan bid`ah menurut kebanyakan ulama, sebab para shahabat pun –Radhiyallahu Anhum- dulu shalat berjamaah di belakang imam-imam yang menyimpang dan mereka tidak mengulangi shalat mereka, sebagaimana Ibnu Umar shalat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf, demikian pula Anas –Radhiyallahu Anhum-.
Dari Ubaidillah bin Ady bahwa tatkala ia masuk menemui Utsman –Radhiyallahu Anhu- sedang ia lagi ditawan, ia berkata, “Sesungguhnya kamu adalah Imam `Am bagi seluruh manusia dan telah terjadi padamu apa yang kami saksikan, serta shalat bersama kami imam yang membawa fitnah dan kami menjadi susah dibuatnya.” Utsman berkata, “Shalat adalah perbuatan yang paling baik yang dilakukan manusia. Apabila manusia berbuat baik, maka berbuat baiklah bersama mereka, dan apabila mereka berbuat salah maka jauhilah kesalahan mereka.” (Al-Bukhari : 695 –Al-Fath)
Al-Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang shalat di belakang ahlu bid`ah, ia menjawab, “Shalatlah walaupun ia  bersama dengan bid`ahnya.” (Al-Bukhari menta`liqnya dan menjazamkannya, dan Said bin Maskur menyambungkannya sebagaimana terdapat di dalam Al-Fath : 2/221 dan lihat At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 46).       
[9] Diarahkan untuk membaca hadits :
مَنْ رَاَى أَمِيْرَهُ شَيْئًا يُكْرِهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ, فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ, فَمَيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang pemimpinnya melakukan kesalahan yang ia benci, mak hendaklah ia bersabar atas perbuatannya tersebut, sebab barangsiapa yang meninggalkan jamaah walaupun hanya sejengkal lalu ia mati, maka matinya dalam keadaan Jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari : 7054, dan Muslim : 1849), keduanya dari hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu Anhuma-.
Dari Hanbal bin Ishak ia berkata, “Pada kepemimpinan Al-Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul mendatangi Abu Abdullah –yakni Imam Ahmad-, mereka berkata, ‘Wahai Abu Abdullah, sungguh masalah ini telah menjadi gawat dan merajalela –yaitu penyebaran pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan masalah lainnya-“, maka Abu Abdullah berkata kepada mereka, ‘Lalu apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami ingin mengajak Anda bermusyawarah untuk menyatakan bahwa kita ini tidak ridha dengan kepemimpinannnya.’ Abu Abdullah pun berdebat dengan mereka selama sejam hingga akhirnya ia berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian protes di dalam hati kalian, janganlah kalian melepaskan ketaatan kalian, janganlah kalian merusak persatuan kaum Muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah-darah kalian dan darah kaum Muslimin, dan cobalah pertimbangkan akibat dari perbuatan kalian kelak. Hendaklah kalian bersabar sampai orang (pemimpin yang) baik beristirahat (wafat) atau orang (pemimpin yang) jahat diistirahatkan (diwafatkan).’ Mereka pun akhirnya pulang, lalu saya dan bapakku masuk menemui Abu Abdullah setelah mereka sudah pergi, dan bapakku berkata kepada Abu Abdullah, ‘Kita memohon kepada Allah keselamatan kita dan umat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, sungguh saya tidak menyukai ada orang yang akan melakukan hal tersebut (memberontak)’, kemudian bapakku bertanya kepada Abu Abdullah, ‘Wahai Abu Abdullah, apakah menurutmu perbuatan tersebut benar?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Perbuatan itu bertentangan dengan atsar-atsar yang mana memerintahkan kita untuk bersabar.’” [Al-Masail wa Ar-Rasail Al-Marwiyah `An Ahmad Fi Al-Aqidah (2/4), dan lihat pada alenia ke 22] yang telah lalu. 
65. Tidaklah dibenarkan memusuhi pengusa dan tidak boleh pula menentang mereka. Kecuali jika mereka benar-benar menampilkan kekufuran secara nyata, maka ketika itulah pejabat berwenang berhak untuk memecatnya, lalu mengangkat serta melantik orang yang lebih kompeten. Hanya saja disyaratkan adanya kompetensi dan yang bersangkutan diyakini tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar atau fitnah yang lebih luas dibanding dengan pejabat sebelumnya.
Imam Ibnu Abi Al-Izz al-Hanafi –Rahimahullah- mengatakan, “Adapun keharusan untuk mentaati pemerintah, sekalipun mereka berbuat zhalim, alasannya adalah karena dengan menunjukkan sikap ketidaktaatan terhadap mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dan lebih besar dibanding dengan kezhaliman mereka. Bahkan dengan menampakkan sikap sabar terhadap kezhaliman mereka akan menjadi alat untuk menebus dosa-dosa dan melipatgandakan pahala. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidaklah memberi peluang kepada mereka untuk memimpin kita kecuali karena rusaknya amalan kita. sementara kita menyadari bahwa balasan sesuatu perbuatan akan setimpal dengan amalan tersebut. Olehnya itu, kita seharusnya berusaha dengan sepenuh hati untuk memohon ampunan, bertaubat dengan peuh kesungguhan dan berusaha memperbaiki amalan kita. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Asy-Syuraa : 30).  Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Ali Imran : 165). Juga firman-Nya, (QS. Al-An'am : 129).
Syaikh Al-Allamah Al-Albani mengatakan, “Saya katakan, “Dalam hal ini terdapat jalan untuk menjauhkan diri dari kezhaliman penguasa yang berasal dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Yaitu, hendaknya kaum Muslimin bertaubat kepada Tuhan mereka, memperbaiki kualitas akidah mereka, dan mendidik jiwa dan keluarga dengan pendidikan Islam yang benar, sebagai perwujudan dari firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yang berbunyi, (QS. Ar-Ra'du : 11).
Abu Al-Harits Al-Shaigh mengatakan, “Saya pernah menanyakan kepada Abu Abdullah tentang suatu peristiwa yang terjadi di Baghdad yang membuat beberapa kelompok hendak menentang penguasa. Saya berkata,, ‘Wahai Abu Abdullah ! Bagaimana pendapatmu jika ada yang ikut bersama mereka?’ Ia mengingkari perbuatan mereka. Ia berkata,, ‘Subhanallah! Itu akan menyebabkan terjadinya pertumpahan darah. Saya tidak sependapat dengan mereka dan tidak menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Bersabar dengan kondisi yang ada lebih baik dibanding terjadinya fitnah yang membuat darah tertumpah, harta sesama menjadi hancur, dan kehormatan sesama dicemarkan. Tidakkah kamu ingat kejadian yang menimpa masyarakat dulu –maksudnya hari-hari terjadinya huru hara-.’ Saya berkata, ‘Bukankah sekarang masyarakat sedang terkena berbagai tindak kezhaliman, wahai Abu Abdullah?’ Ia menjawab, ‘Walaupun demikian (terjadi fitnah)!! Itu hanyalah fitnah yang disebabkan oleh kalangan tertentu (penguasa). Jika pedang telah berkelebat, maka huru hara akan terjadi di mana-mana dan tidak ada lagi jalan perbaikan. Bersabar dengan kondisi yang ada dengan jaminan keselamatan agamamu tentu labih baik bagimu.’  Saya melihat ia menentang orang-orang yang menentang penguasa dengan mengatakan, ’Pertumpahan darah akan terjadi. Saya tidak setuju dengan langkah itu dan tidak pula merekomendasikannya.’” (Al-Masa'il Al-Marwaiyah An Ahmad fii Al-Aqidah 2/4) (At-Ta'liq Ala At-Thahawiyah, hal. 47).
[11]  Dari Abu Hurairah  Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‘Bagaimana pendapatmu jika ada orang yang mendatangiku dengan maksud untuk merampas harataku?’ Beliau menjawab, ‘Jangan serahkan hartamu kepadanya.’ Orang itu melanjutkan, ‘Bagaimana jika ia bertindak keras kepadaku?’ Rasulullah menjawab, ‘Lawanlah dengan kekerasan pula.’ Ia melanjutkan, ‘Bagaimana jika ia membunuhku?’ Beliau menjawab, ‘Engkau mati syahid.’ Ia melanjutkan, ‘Bagaimana jika aku membunuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’” [Dikeluarkan oleh Muslim : 140, dan dikeluarkan pula oleh penulis dalam Musnadnya : 2/339].
Pada hadits lain dijelaskan:
( مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ) (وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ  فَهُوَ شَهِيْدٌ )
"Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, ia syahid. Barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan nyawanya, ia mati syahid. Dan barangsiapa yang meninggal karena membela agamanya, ia syahid.“ [Shahih -Al-Irwaa' :  708]
Pada hadits lain dijelaskan:
إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُوْلُ فِيْ النَّار
Jika ada dua orang muslim bertemu dan saling membunuh, maka pembunuh maupun yang terbunuh akan masuk ke neraka.“ Ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, hal itu bisa kami pahami bagi orang yang membunuh, tetapi bagaimana dengan orang yang terbunuh?“ Rasulullah menjawab, ”Karena ia juga sangat berkeinginan untuk membunuh lawannya.“ [Shahih Al-Bukhari : 31. dan Shahih Muslim : 2888] keduanya berasal dari hadits Abu Bakrah.
[12]  Kecuali orang yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah sebagai penghuni neraka atau penghuni surga, seperti sepuluh shahabat yang dijanjikan masuk surga dll. [Lihat : Ta`liq terhadap kitab Ath-Thahawiyah,  hal.41].

4 komentar:

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form