Friday, March 23, 2012

Prinsip-Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (Bag.2)

Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal

6. Menjauhi perselisihan, perdebatan, dan permusuhan di dalam agama.[1]
7. As-Sunnah menurut kami adalah hadits-hadits dan atsar-atsar Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.
8. As-Sunnah adalah tafsir (penjelas) bagi Al-Qur’an, dan ia adalah dalil (penguat) bagi Al-Qur’an.[2]
9. Tidak ada qiyas di dalam As-Sunnah.[3]
10. Tidak dapat dijadikan baginya perumpamaan.[4] Ia tidak dapat dijangkau oleh akal dan hawa nafsu, ia hanyalah untuk diikuti dan sama sekali tidak boleh melibatkan hawa nafsu.[5]
11. Di antara Sunnah yang pasti adalah barangsiapa yang meninggalkan satu sifat darinya, ia tidak menerimanya dan tidak mengimaninya, ia bukanlah termasuk ahlussunnah.
12. Beriman kepada Qadha dan Qadhar yang baik maupun yang buruk, mempercayai hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut, dan beriman kepadanya. Tidak boleh mengatakan, “Kenapa”, atau “Bagaimana”, tetapi harus diyakini dan dipercayai. Barangsiapa yang tidak mengetahui tafsir (penjelasan) hadits, namun akalnya telah sampai pada keyakinan tersebut maka sudah cukup baginya, dan hendaklah ia beriman kepadanya dan menerima sepenuhnya, seperti hadits :
“..yang benar dan yang dibenarkan..”[6] 
Dan seperti apa yang serupa dengan masalah Qadhar,[7] seperti semua hadits-hadits tentang ru’yah (melihat Allah), walaupun asing bagi pendengaran,[8] dan ditinggalkan oleh para pendengar.
Hendaklah ia mengimani hadits-hadits tersebut dan janganlah ia menolak sedikitpun darinya. Begitupula hadits-hadits ma’tsur lainnya yang berasal dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Janganlah ia berselisih dengan orang lain, jangan mengajaknya berdebat, dan janganlah belajar berbantah-bantahan, karena pembicaraan tentang Qadhar, ru’yah, dan selainnya dari sunnah-sunnah[9] adalah makruh[10] hukumnya dan dilarang. Orang yang melakukannya, walaupun perkataannya benar sesuai sunnah,[11] tidaklah termasuk ahlussunnah sampai ia meninggalkan perbedebatan, menerima, dan mengimani hadits-hadits tersebut.[12]

Bersambung Ke Bgian 3 pada Link Berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/03/prinsip-prinsip-akidah-ahlu-sunnah-bag3.html

[1] Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. Ar-Rum : 31-32), dan firman-Nya Azza wa Jalla, (QS. Ghafir : 4), dan firman-Nya, (QS. Az-Zukhruf : 58).
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدىً كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوْا الجَدَلَ
“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mereka berada di dalam petunjuk kecuali karena mereka melakukan perselisihan”, kemudian beliau membaca ayat ini. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad, Shahih At-Targhib : 137).
Di dalam sebuah hadits dijelaskan :
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى الله الأَلَدُّ الخَصِمِ
“Laki-laki yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya dan pertentangannya.” (HR. Al-Bukhari : 3523, dan Muslim : 2668).
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa yang menjadikan agama sebagai objek/tujuan untuk bermusuhan, ia akan banyak berdebat.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimy : 304 dan Al-Ajiry (Tsa : 39) dengan sanad yag shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Hasan berkata kepada orang yang ingin mengajaknya berdebat, “Sungguh saya telah tercerahkan dengan agamaku, apabila kamu hendak mensesatkan agamamu, maka itu adalah urusanmu sendiri.” (HAsan Li Ghairihi : -Asy-Syariah (Atsar : 241)).
Dari Ahmad bin Abi Al-Hawari, ia berkata, “Abdullah bin Al-Bisri –Orang yang termasuk orang-orang yang khusyu`- berkata kepada saya, ‘Bukanlah sunnah menurut kami bahwa kamu membantah orang-orang ahlu hawa, akan tetapi sunnah menurut kami adalah bahwa kamu tidak mengajak berbicara salah seorang pun dari mereka.” (Al-Ibanah : 2/ 471).
Dari Hanbal bin Ishaq ia berkata, “Seseorang menulis surat kepada Abu Abdullah –yakni Ahmad bin Hanbal- di aman ia meminta izin kepadanya untuk membuat kitab guna menjelaskan jawaban dan penolakan kepada ahli bid`ah, dan juga untuk menghadiri pertemuan dengan ahlu Kalam Untuk mendebat mereka dan memberkan hujjah yang kuat kepada mereka. Maka Abu Abdullah membalas suratnya dengan menuliskan, “Bismillahirrahmanirrahim, semoga Allah memberikan hasil yang baik bagimu dan menghindarkan kamu dari setiap kejelekan dan bahaya. Yang kami dengar dan kami ketahui dari ahlul ilmi, bahwa mereka membenci duduk dan berbicara panjang lebar dengan orang-orang yang menyeleweng dan menyimpang. Namun, hendaklah urusannya dikembalikan kepada Kitabullah dan tidak melewatinya dan orang-orang masih membenci setiap hal baru, atau duduk bersama ahlu bid`ah karena akan mendatangkan hal-hal yang dapat mencampur adukkan dengan agama. Yang paling selamat -Insya Allah- adalah menghindar dan tidak duduk bersama mereka, berbicara panjang lebar bersama mereka membahas bid`ah dan kesesatan mereka. Hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah dan melakukan apa yang dapat mendatangkan manfaat baginya untuk hari esoknya berupa amal shalih yang ia persembahkan untuk dirinya, dan janganlah menjadi orang-orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru. Apabila ia keluar darinya dengan maksud untuk memberikan hujjah kepadanya, namun ternyata ia tidak berhasil. Lalu ia mencari hujjah lain yang tidak lagi memperhatikan apakah sesuai dengan kebenaran atau justeru batil, hingga akhirnya ia justeru semakin menguatkan bid`ah lawannya. Yang lebih berbahaya lagi jika membuat hal-hal baru atas nama Kitab. Kita bermohon kepada Allah, semoga kami, kalian dan seluruh kaum muslimin dianugerahi Taufiq-Nya. (Al-Ibanah : 2/338)
Saya katakan, “Ini adalah bentuk mubalaghah (hiperbola) dalam mengingkari hal-hal yang baru (bid`ah) dari Imam yang mulia Ahmad bin Hanbal –Rahimahullah- yang sebenarnya dan yang diakui oleh setiap ulama Islam setelahnya –menurut sepengetahuan saya- adalah bolehnya mencetak kitab-kitab, bahkan hukumnya wajib mencetak/membuat sebagian kitab-kitab ditinjau dari sisi maslahat  dan manfaatnya untuk menjaga lima prinsip dasar, yang pertama adalah agama.”  Muhammad `Ied Al-Abbasy.
[2] Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. An-Nahl : 44).
Makhul dari Syam berkata, “Al-Qur’an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada kebutuhan As-Sunnah kepada Al-Qur’an.” (Jami` Al-Bayan Al-Ilmi, Ibnu Abdil Barr, hadits 2352, dan isnadnya shahih). 
[3] Pernyataannya bahwa tidak ada qiyas dalam As-Sunnah, maksudnya tidak ada qiyas di dalam masalah akidah. Nash-nash yang berbicara tentang akidah sudah final dan tidak dapat diganggu gugat lagi karena ia tidak dapat dicapai oleh akal semata.
[4] Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa ia meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebuah hadits “Berwudhu dengan mengenai bagian yang terkena api”, lalu salah seorang shahabat berkata kepadanya, “Tidakkah kamu perintahkan mereka untuk berwudhu dengan air panas?” Ia menjawab, “Wahai saudaraku, jika saya menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah kepadamu, janganlah kamu membuat perumpamaan padanya.” Isnadanya hasan, sesuai dengan syarat Muslim. (HR. At-Tirmidzi : 79) dan dihasankan oleh Syaikh kami di dalam Shahih At-Tirmidzi : 68.
Di dalam hadits Abu Hurairah ia berkata, “Ada dua orang wanita dari daerah Hudzail yang sedang bertengkar, lalu salah satu dari keduanya melempar yang lain hingga membuatnya meninggal berikut apa yang ada di dalam perutnya. Lalu Rasulullah memutuskan hukuman bagi wanita tersebut, yaitu bahwa diyat janin wanita itu adalah seorang budak laki-laki atau perempuan, dan beliau juga menetapkan diyat untuk perempuan  terbunuh itu, dan anaknya bersama yang lainnya mewarisinya. Kemudian Hamal bin An-Nabighah Al-Hudzaili berkata, Wahai Rasulullah, bagaimana membayar orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berbicara, dan tidak menghunus (pedang), maka seperti ini ditiadakan?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya perkataan ini adalah perkataan saudara tukang sihir”, agar supaya bersajak orang yang mempunyai sajak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta selain keduanya. Lihat Takhrijnya di dalam kitab Irwaa Al-Ghalil : 2205).
Saya berkata, “Tidaklah Rasulullah mengecamnya kecuali karena orang itu memprotes keputusan Rasulullah dengan pendapat dan perkataannya yang mirip dengan perkataan dan sajak para tukang sihir.”
Abu Muawiyah berbicara tentang hadits Abu Hurairah yang berbunyi: “Adam dan Musa berhujjah” di dalam majelis Harun Al-Rasyid. Lalu Isa bin Ja`far berkata, “Bagaimana ini, apa di antara Adam dan Musa tidak ada perantara di antara keduanya?” Tiba-tiba Harun lompat dan berkata, “Dia sedang membacakan kepadaku satu hadits Rasulullah, lalu kamu memprotesnya dengan pertanyaan “Bagaimana”?!!”
Imam Abu Utsman Ash-Shabuni berkata ketika mengomentari sikap Harun Ar-Rasyid –Rahimahullah-, “Demikianlah seharusnya seseorang bersikap seperti itu dalam rangka mengagungkan khabar-khabar Rasulullah. Hendaklah ia menerimanya dengan sepenuh hati dan membenarkannya, dan hendaklah ia mengingkari dengan keras orang yang bersikap sebaliknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Harun Ar-Rasyid –Rahimahullah- terhadap orang yang memprotes khabar shahih yang didengarnya dengan kata “Bagaimana” dengan maksud mengingkarinya, menjauh darinya, dan tidak menerimanya. Sebaliknya, wajib menerima semua apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” (Aqidah Ashab Al-Hadits, hal. 12). 
[5] Ali bin Abi Thalib berkata di dalam sebuah hadits shahih, “Sekiranya agama itu menggunakan akal (logika), maka membasuh bagian bawah sepatu lebih utama dari pada membasuh bagian atasnya (saat berwudhu dalam kondisi safar).” (HR. Abu Dawud dan selainnya. Ibnu Hazm menshahihkan sanadnya, dan Al-Hafizh menghasankan sanadnya di dalam kitab Bulughul Maram, dan syaikh kami menshahihkannya di dalam Al-Irwaa : 103).
Umar –Radhiyallahu Anhu- berkata, “Para ahli ra’yu (kaum rasionalis) telah menjadi musuh Sunnah, mereka kewalahan memahami hadits-hadits untuk mneguasainya, tetapi mereka ingin meriwayatkannya hingga akhirnya mereka mendahulukan akalnya.” (Jami` Bayan Al-Ilmi, dan dishahihkan oleh pentahqiqnya, hadits : 2001). Lihat : Bab Perbedaan Antara TAqlid dan Ittiba`, dari kitab Jami` Bayan Al-Ilmi, Ibnu Abdil Barash : 975, dan Lihat : Kitab Bid`ah At-Ta`ashshub Al-Madzhaby,  Syaikh Muhammad `Ied Al-Abbasy –Hafizhahullah-.  
[6] Saya katakan, “Mungkin yang dimaksud adalah hadits Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu `Anhu- ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang benar dan dibenarkan telah menceritakan kepada kami,
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً
Sesungguhnya salah seorang di antara kalian berada di dalam perut ibunya selama 40 hari sebagai nuthfah…’” (HR. Al-Bukhari : 3332, dan Muslim : 2643)
Adapun tentang beriman kepada Qadha dan Qadhar, Allah Subhanahu wa Ta`ala telah menjelaskan dalam firman-Nya, (QS. At-Taghabun : 2), pada ayat lain, (QS. At-Takwiir : 28-29), juga Dia berfirman pada ayat lain, (QS. Al-Qamar : 49). Adapun di dalam hadits dijelaskan:
اِعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Hendaklah kalian beramal karena setiap sesuatu dimudahkan sesuai penciptaannya.”  (HR. Al-Bukhari : 4945 dari hadits Ali, dan Muslim : 2649 dari hadits `Imran bin Hushain).
Dari Yahya bin Ya`mar ia berkata, “Orang yang pertama kali membicarakan dan mempersoalkan masalah Qadha dan Qadhar di Bashrah adalah Ma`bad Al-Jahni. Lalu saya dan Hamid bin Abdur Rahman Al-Humairi berangkat hendak menunaikan ibadah haji atau umrah, dan kami berkata, “Jika kami bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kami akan bertanya kepadanya tentang apa yang mereka katakan tentang Qadha dan Qadhar. Ternyata kami bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Al-Khattab di dalam Masjidil Haram, lalu kami mengelilingi beliau, satu di sisi kanan dan yang lain di sisi kiri. Saya yakin shahabatku mempercayakan kepadaku untuk berbicara, maka saya pun berkata, “Wahai Abu Abdirrahman ! telah nampak sebelum kami orang-orang yang membaca Al-Qur’an, banyak menuntut ilmu, dan keutamaan-keutamaan lain pada mereka, namun mereka berkeyakinan bahwa tidak ada Qadha dan Qadhar dan bahwa perkara itu adalah masalah sepele.” Beliau berkata, “Jika kamu bertemu dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku”, dan adapun sumpah Abdullah bin Umar adalah : “Sekiranya salah seorang di antara mereka mempunyai emas sebanyak gunung Uhud lalu ia infakkan, sungguh Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada Qadha dan Qadhar..” Kemudian beliau menyebutkan hadits Umar bin Al-Khattab yang di dalamnya  disebutkan bahwa Jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang iman, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab,
أَنْ تُؤْمِنَ بِالله وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Bahwa kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhirat, dan bahwa kamu beriman kepada Qadhar yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim : 8, dan diriwayatkan oleh Ashab As-Sunan, serta dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam bab “Perbuatan hamba-hamba diciptakan”, hal. 76 dengan redaksi seperti ini.        
[7] Abu Bakar Al-Ajurri –Rahimahullah- berkata, “Ada seseorang yang bertanya tentang masalah Qadha dan Qadhar menurut madzhab kami, maka jawabannya sebelum memberitahukan pandangan madzhab kami adalah bahwa kami nasehatkan kepada si penanya dan mengajarinya, bahwa orang-orang muslim sebaiknya mencari tahu dan meneliti tentang Qadha dan Qadhar, sebab masalah Qadha dan Qadhar adalah sesuatu yang dirahasiakan oleh Allah Azza wa Jalla, bahkan wajib bagi hamba-hamba Allah untuk mengimani apa yang telah ditetapkan di dalam Qadha dan Qadhar yang baik maupun yang buruk. Kemudian seorang hamba tidak akan aman jika ia mencari tahu dan menyelidiki tentang Qadha dan Qadhar lalu mendustakan ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya, sehingga akhirnya ia tersesat dari jalan yang benar.
Muhammad bin Al-Husain Al-Ajurri –Rahimahullah- berkata, “Sekiranya bukan karena shahabat Radhiyallahu `Anhum tidaklah sampai kepada mereka berita tentang kaum tersesat yang berpaling dari jalan kebenaran, mereka mendustakan Qadha dan Qadhar, maka para shahabat pun membantah perkataan mereka dan mengkafirkan mereka. Demikian pula para Tabi`in yang memiliki keutamaan, mereka mencela orang yang berbicara/membahas tentang Qadha dan Qadhar lalu mendustakannya. Mereka melaknat orang-orang tersebut dan melarang duduk bersama dengan mereka. Begitupula para Imam kaum Muslimin, mereka melarang duduk bermusyawarah dan bertukar pikiran dengan kelompok Qadariyah, dan mereka menjelaskan kepada kaum Muslimin akan keburukan madzhab mereka.
Apabila mereka saja sudah menolak paham Qadariyah, maka tidak pantas lagi orang-orang setelah mereka mempersoalkan masalah Qadha dan Qadhar, tetapi seharusnya mereka beriman kepada Qadha dan Qadhar yang baik maupun yang buruk. Apa yang telah ditakdirkan pasti akan terjadi, dan apa yang belum atau tidak ditakdirkan pasti tidak akan terjadi.
Apabila seorang hamba melakukan amal ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan ia mengetahui bahwa amal itu ditakdirkan untuknya oleh Allah, ia bersyukur kepada-Nya. Sebaliknya, jika ia melakukan sebuah kemaksiatan terhadap Allah, ia menyesal akan hal tersebut dan ia mengetahui bahwa perbuatan dosa tersebut telah ditakdirkan untuknya oleh Allah, ia pun mencela dirinya dan memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla. Inilah madzhab orang-orang muslim, dan tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah kepada Allah, akan tetapi hanya Allah yang akan berhujjah atas hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-An`am ;149).
Kemudian, ketahuilah –semoga kami dan kalian dirahmati oleh Allah- bahwa madzhab kami tentang Qadha dan Qadhar adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta`ala telah menciptakan surga dan neraka, dan tiap-tiap dari keduanya akan ada penghuninya. Allah Subhanahu wa Ta`ala telah bersumpah akan memenuhi neraka Jahannam dari kalangan jin dan manusia seluruhnya, kemudian Dia menciptakan Adam Alaihissalam dan mengeluarkan darinya semua keturunannya sampai hari kiamat datang, lalu Dia membagi mereka ke dalam dua golongan; golongan yang akan masuk ke dalam surga dan golongan yang akan menghuni neraka. Allah Subhanahu wa Ta`ala menciptakan Iblis dan memerintahkannya untuk sujud kepada Adam Alaihissalam, dan Dia sudah mengetahui sebelumnya bahwa Iblis ditakdirkan untuk tidak sujud karena ia termasuk golongan yang celaka, dan hal itu telah ditetapkan dalam ilmu Allah Subhanahu wa Ta`ala. Tidak seorang makhluk pun yang dapat menentang keputusan-Nya dan Dia Mahakuasa melakukan apa pun terhadap ciptaan-Nya. Rabb kita sangat adil dalam menentukan Qadha dan Qadhar.
Allah Subhanahu wa Ta`ala menciptakan Adam dan Hawwa Alaihimassalam, dan keduanya diciptakan untuk menghuni bumi kelak. Lalu keduanya ditempatkan di dalam surga dan dipersilahkan untuk memakan seluruh jenis makanan sesuka hatinya, kecuali bahwa mereka dilarang untuk mendekati satu pohon. Namun, keduanya telah ditakdirkan untuk durhaka dengan memakan buah pohon yang dilarang tersebut. Dia Tabaraka wa Ta`ala secara zhahir melarang keduanya, dan secara batin sesuai dengan Ilmu-Nya telah menakdirkan keduanya untuk memakan buah dari pohon tersebut, (QS. Al-Anbiyaa: 23). Bukanlah bagi keduanya memakan buah tersebut sebagai sebab kemaksiatan mereka dan bukan pula sebagai penyebab dikeluarkannya mereka dari surga, karena keduanya memang diciptakan untuk menghuni bumi, dan keduanya akan diampuni setelah melakukan kedurhakan tersebut. Semua itu telah ditetapkan sebelumnya dalam Ilmu-Nya, dan tidak boleh terjadi peristiwa apa pun pada semua makhluk-Nya kecuali telah ditakdirkan sebelumnya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu sebelum terjadi bahwa ia akan terjadi. Allah mencipta, sesuai kehendak-Nya dan untuk yang Dia kehendaki. Dia menjadikan manusia ada yang bahagia dan ada yang celaka, sebelum mereka dikeluarkan ke dunia. Ketika mereka masih berada di dalam perut ibu-ibu mereka telah ditetapkan ajal mereka, ditulis rezeki mereka, dan ditentukan amal-amal mereka, kemudian mereka dikeluarkan ke dunia. Setiap manusia berusaha dan beraktifitas sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya, kemudian diutuslah rasul-rasul, diturunkanlah wahyu-Nya, dan Dia memerintahkan kepada mereka untuk menyampaikan risalah wahyu tersebut kepada semua makhluk-Nya. Para rasul pun menyampaikan risalah-risalah Rabb mereka dan menasehati kaum mereka. Barangsiapa yang di dalam takdir Allah akan beriman, ia pasti beriman. Dan barangsiapa yang di dalam takdir Allah akan menjadi kafir, ia pasti menjadi orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. At-Taghabun : 2).
Dia mencintai dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, lalu Dia lapangkan dadanya untuk menerima iman dan Islam. Sebaliknya, Dia murka kepada yang lain, lalu Dia mengunci hati, pendengaran, dan penglihatan mereka, hingga mereka tidak akan pernah mendapat hidayah. Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. (QS. Al-Anbiyaa: 23). Semua makhluk adalah milik-Nya, Dia Maha berbuat kepada makhluk-Nya sesuai kehendak-Nya tanpa berlaku zhalim kepada mereka, Rabb kita Mahatinggi dari sifat zhalim. Milik Allah segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi, serta apa yang ada di antara keduanya dan apa yang ada di bawah. Bagi-Nya lah apa yang ada di dunia dan di akhirat, Mahamulia dan Mahasuci Asma’-Nya. Dia mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan untuk melakukannya, maka berlakulah ketaatan tersebut bagi siapa yang diberi Taufiq-Nya. Sebaliknya, Allah melarang kemaksiatan, Dia berkehendak akan keberadaannya tetapi tidak menyukainya dan tidak memerintahkannya untuk dilakukan. Sungguh Mahatinggi Allah Subhanahu wa Ta`ala untuk menyuruh berbuat keji dan maksiat, atau mencintainya. Sungguh Mahamulia dan Mahaperkasa Rabb kita bahwa terjadi sesuatu dalam Kerajaan-Nya tanpa kehendak-Nya untuk terjadi, atau sesuatu yang luput dari Ilmu-Nya sebelum terjadi. Sungguh Dia Maha mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk sebelum diciptakan dan sesudah diciptakan, sebelum mereka beramal menurut Qadha dan Qadhar. Pena telah menulis di Lauh Mahfuzh dengan perintah-Nya apa yang akan terjadi, baik kebaikan maupun keburukan. Dia memuji hamba yang melakukan ketaatan dan menambahkan amal tersebut padanya, serta menjanjikan baginya pahala yang besar. Sekiranya bukan karena Taufiq-Nya, mereka pasti tidak akan bisa melakukan amal yang membuatnya berhak mendapatkan pahala. (QS. Al-Hadid : 21). Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta`ala mencela kaum yang melakukan maksiat dan mengancam mereka atas perbuatan mereka tersebut, serta menambahkan perbuatan tersebut kepada mereka. Demikianlah takdir dan ketentuan yang berlaku atas mereka, Allah Subhanahu wa Ta`ala menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki.
Muhammad bin Al-Husain –Rahimahullahu Ta`ala- berkata, “Inilah madzhab kami tentang masalah Qadha dan Qadhar yang ditanyakan oleh penanya.” Disarikan dengan sangat ringkas dari kitab Asy-Syari`ah, hal 149 dan setelahnya, dan kitab As-Sunnah karya Al-Lalikai 2/624 dan setelahnya. Di dalam kedua kitab tersebut terdapat nash-nash yang sangat banyak yang berkaitan dengan masalah ini, dan sebagiannya akan dikutip di sini.  
[8] Hadits-haditsnya shahih, disepakati keshahihannya. Lihat: Takhrij Asy-Syari`ah, Al-Ajurri, 25, dan Ta`liq Ala kitab Ath-Thahawiah, hal. 26-27. Sebentar lagi akan disebutkan sebagian darinya.
[9] Yang dimaksud sunnah-sunnah di sini adalah masalah akidah dan apa yang berkaitan dengan masalah tauhid dan manhaj. Orang-orang Salaf dahulu menamakan akidah dengan As-Sunnah, itulah sebabnya ketika mereka menulis kitab-kitab mereka menamakannya dengan “As-Sunnah”, seperti kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi `Ashim, kitab As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, kitab As-Sunnah karya Al-Maruzi, kitab As-Sunnah karya Ibnu Syahin, dan kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
[10] Perkataannya, “Pembicaraan tentang Qadhar……..dilarang”, yaitu berdebat pada masalah tersebut dan membahas panjang lebar tentang tata caranya. Jika tidak, maka benarlah apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan shahabat-shahabatnya untuk beriman kepadanya seluruhnya dan perkataan untuk menguatkannya. Adapun dalil pelarangannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Isra : 36), dan di dalam hadits shahih disebutkan:
إِذَا ذُكِرَ القَدَرُ فَاَمْسِكُوْا
Apabila disebut masalah Qadhar, hendaklah kalian diam menahan diri (dari membicarakannya).” (Ash-Shahihah : 34)     
[11] Maknanya, bahwa wasilah yang digunakan harus sesuai dengan syari`ah, yaitu menerima sepenuhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bukan penelitian secara akal semata, sebagaimana manhaj yang digunakan oleh Madrasah Aqliyah.
[12] Di dalam hadits :  مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ, إِلاَّ أُوْتُوا الجَدَلِ  Tidaklah satu kaum tersesat setelah berada di dalam petunjuk kecuali karena mereka melakukan perdebatan.” (Hadits Hasan dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan selainnya – Shahih Al-Jami` 5633), telah dijelaskan sebelumnya.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form