Monday, March 26, 2012

Prinsip-Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (Bag.5)



Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal


37. Barangsiapa bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta`ala (meninggal dunia) dengan menanggung dosa yang tampaknya bisa membuatnya masuk neraka, namun sebelumnya ia telah bertaubat dan tidak terus melakukan perbuatan dosa tersebut, Allah akan menerima taubatnya. Dia Maha menerima taubat para hamba-Nya dan mengampuni setiap kesalahan mereka.[1]
38. Barangsiapa menemui-Nya (meningal dunia), sedang ia telah menerima hukuman had di dunia ini akibat dosa yang dilakukannya, maka hukuman had tersebut itulah sebagai penebus dosa-dosanya. Hal ini berdasarkan pada hadits yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.[2]
39. Barangsiapa yang menemui-Nya dengan tetap melakukan dosa dan tanpa bertaubat dari dosa-dosa yang menyebabkannya berhak mendapatkan hukuman tersebut, maka urusannya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Jika Dia menghendaki, Dia menyikasanya dan jika Dia menghendaki Dia mengampuninya.[3]
40. Barangsiapa yang menemui-Nya (meninggal dunia) –dari kalangan orang-orang kafir- Dia akan mengadzabnya dan tidak akan mengampuninya.[4]
41. Hukum rajam bagi orang yang berzina dan telah menikah, jika ia mengakui sendiri perbuatannya atau telah banyak bukti-bukti yang menegaskan perbuatannya.
42. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberlakukan hukum rajam.[5] 
43. Para imam-imam yang hanif telah memberlakukan hukum rajam.[6]
44. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan seorang pun dari kalangan para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau membencinya karena sebuah peristiwa yang telah terjadi karenanya, atau menyebut-nyebut kejelekannya, maka ia termasuk pelaku bid'ah, sampai ia merubah sikapnya dengan mencintai dan menghormati mereka dengan hati yang bersih.[7]
45. Nifak adalah kekufuran. Yaitu, bahwa seseorang mengingkari Allah Subhanahu wa Ta`ala lalu menyembah selain-Nya. Ia menampakkan Islam secara terang-terangan seperti orang-orang munafik pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.[8] 
46. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ
"Tiga hal yang jika terdapat pada diri seseorang maka ia adalah seorang munafik. ”[9] Ini dalam hal penegasan. Kami meriwayatkannya sebagaimana adanya dan kami tidak menafsirkannya.
47. Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا ضُلاَّلاً يَضْرِبُ بَعْضُكًمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Janganlah kalian kembali menjadi kafir dan tersesat setelah aku tiada. Yang mana, sebagian kalian menebas leher sebagian yang lain.[10] Dan juga seperti,
إِذَا الْتَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيِفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُوْلُ فِيْ النَّاِ
Jika dua orang muslim bertemu dengan membawa pedang masing-masing (berkelahi) maka pembunuh maupun yang terbunuh masuk ke dalam neraka.[11]  Dan juga seperti,  
 سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.[12] Juga seperti,
مَنْ قَالَ لأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, Wahai orang kafir, maka pasti kekafiran itu terjadi pada salah seorang diantara keduanya.[13]  Juga seperti,
كُفْرٌ بِالله تَبَرُّؤٌ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ
 Kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab keturunan walaupun hanya setipisnya.[14]
48. Dan hadits-hadits serupa dengan itu yang memiliki derajat shahih dan tetap terjaga maka kami menerimanya, walaupun kami tidak mengetahui tafsirannya. Kami tidak membahasnya dan tidak mempertentangkan isi kandungannya. Kami tidak menafsirkan hadits-hadits tersebut kecuali apa adanya. Kami tidak menolaknya kecuali jika ada yang lebih benar darinya.[15]
49. Surga dan neraka adalah makhluk yang telah diciptakan sebagaimana penjelasan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Saya masuk ke dalam surga lalu saya melihat sebuh istana.” “Saya melihat sumur Al-Kautsar”, “Saya memandang ke neraka lalu saya melihat bahwa penghuni terbanyak adalah dari kalangan wanita”, “Saya memandang ke dalam Neraka lalu saya melihat begini dan begitu…” Barangsiapa yang mengira bahwa keduanya belumlah diciptakan maka berarti ia menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Saya tidak yakin bahwa ia mempercayai adanya surga dan neraka.[16]
50. Barangsiapa yang meninggal dunia dari kalangan ahli kitab (kaum Muslimin) dan tetap dalam keadaan bertauhid, maka ia tetap dishalati dan dimintakan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ia tidak dihalangi untuk memperoleh permohonan ampunan dan tidak boleh tidak dishalati karena suatu dosa yang dilakukannya –baik dosa kecil atau dosa besar- . masalahnya diserahkan sepenuhnya  kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala.[17]


[1]  Hal ini berdasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Asy-Syuraa' : 25).
[2]  Hadits tersebut shahih. Ia berasal dari hadits Khuzaimah bin Tsabit, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
مَنْ أَصَابَ ذَنْبًأ فَاُقِيْمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ, فَهُوَ كَفَّارَتُهُ.
Barangsiapa yang melakukan dosa, lalu ia dikenakan hukum had karena dosanya tersebut, maka itu menjadi pebebusnya.” [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/215). Al-Hafiz meng-hasan-kan sanadnya dalam kitab Fath Al-Baari (1/86). Rujuk kembali kitab As-Shahihah : 1755.
Dalam hadits Ubadah Bin Shamit secara marfu' Rasulullah bersabda,
بَايِعُوْنِيْ عَلَى أَلاَّ تُشْرِكُوْا بِالله شَيْئًأ, وَلاَ تُسْرِفُوْا, وَلاَ تَزِنُوْا, وَلاَ ... فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَاَجْرُهُ عَلَى الله , وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ فِيْ الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ, وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ الله فَهُوَ إِلَى الله , إِنْ شَاءَ الله عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ. 
"Berjanjilah kepadaku bahwa kalian tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta`ala, tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak......, Barangsiapa yang memenuhi janjinya maka pahalanya ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta`ala. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran dari janjinya, lalu ia dihukum karenanya di dunia ini maka itulah penebusnya. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran dari janjinya itu, lalu Allah  menutupi keadaannya, maka urusannya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Jika Dia menghendaki, Dia menyiksanya dan jika Dia menghendakinya Dia mengampuninya.“. [HR. Al-Bukhari (1/81-hadits no.18, 3892, dan terdapat pada banyak tempat). Juga diriwayatkan oleh Muslim (Hadits no. 1709, kitab Al-Hudud, bab ke-10].
[3]  Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. An-Nisaa : 116) Lihat kembali At-Ta`liq `Ala At-Thahawiyah, hal. 45 dan Syarahnya, hal. 370 dan setelahnya.
[4]  Dalilnya adalah firman Allh Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Ma'idah : 72) dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 116). Lihat kembali At-Ta`liq `Ala At-Thahawiyah, hal. 41.
[5]  Lihat  : Al-Bukhari : 6813, 6814, dan Muslim : 1690,1692.
[6]  Dalil tentang hal ini banyak, di antaranya dari Ibnu Abbas -Radiyallahu Anhuma-, ia berkata, “Umar bin Khattab berdiri di atas mimbar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sambil berkata, ’Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mengutus Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan kebenaran, lalu menurunkan kitab kepadanya. Di antara ayat yang diturunkan kepadanya adalah ayat tentang rajam. Kita membacanya dan memahaminya. Rasulullah lalu memberlakukan hukum rajam dan kita pun memberlakukannya setelah beliau wafat. Saya khawatir jika manusia telah melewati masa yang panjang, lalu ada yang mengatakan, ‘Kita tidak menemukan ayat rajam dalam kitab Allah, sehingga mereka tersesat karena meninggalkan kewajiban yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala. Rajam dalam kitabullah adalah benar adanya bagi orang yang berzina setelah menikah, baik laki-laki maupun perempuan, jika bukti-bukti telah terkumpul atau pelakunya mengakui perbuatannya.’” (HR. Al-Bukhari : 7323, Muslim : 1691), lafazhnya berasal dari Muslim.
Dalam kitab Shahih terdapat sebuah hadits dari Ali, bahwasanya ia merajam seorang perempuan pada hari jum'at dan ia berkata, “Saya merajamnya berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” [Al-Fath : 6812]. Lihat pula Al-Irwa' :  7/352.
[7]  Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. At-Taubah : 117) dan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Hasyr : 10). Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, فَوَالذِيْ نَفْسِيْ بيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ اُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ.
 Janganlah kalian menghina shahabatku, janganlah kalian menghina shahabatku. Demi Dzat  yang  jiwaku berada dalam genggaman-Nya, Jika seseorang di antara kaliam menafkahkan emas sebesar gunung Uhud maka itu tidaklah mencapai satu Mud kebaikan mereka dan tidak pula setengahnya.” [HR. Al-Bukhari : 3673, dan Muslim : 2541] dari kumpulan hadits Abu Said -Radiyallahu Anhu-.
Jika Anda telah memahami masalah ini, maka jelaslah bagi Anda di mana letak kesesatan kalangan Rafidah. Yang mana, mereka sering menghina, mencela, dan melaknat shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hati mereka dipenuhi oleh rasa dendam terhadap para shahabat, padahal mereka tidaklah menyaksika periode khilafah dan pemerintahan kecuali pada keluarga Ali -Radiyallahu Anhu-..
Atabah bin Abdullah Al-Hamadani Al-Qadi berkata, saat di sampingnya terdapat seseorang yang menyebut nama Aisyah yang disertai dengan ungkapan jelek, “Wahai sang pemuda ! Tebas leher orang tersebut.” Kalangan Alawiyun berkata kepadanya, “Orang tersebut berasal dari kalangan kami.” Ia menjawab, “Naudzubillah ! Orang ini telah mencela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. An-Nuur : 62). Jika saja Aisyah termasuk orang jelek, maka Rasulullah pun orang jelek!! Dia adalah orang kafir. Silahkan tebas lehernya. Mereka lalu menebas lehernya. ” [Allalika'i : 2402]
Imam Syafi'i –Rahimahullah- berkata, “Saya tidak melihat orang dari sisi hawa nafsu lebih keras pemalsuannya dibanding kalangan Rafidah. ” [Allalika'i : 2811].
Diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, bahwasanya ia mengatakan, “Wahai Malik (Ia adalah Malik bin Migal Al-Kufi, Abu Abdullah. Ia adalah orang yang terpercaya. Banyak kalangan yang meriwayatkan hadits darinya), ’Jika saya ingin agar mereka menyerahkan dirinya sebagai seorang budak atau mereka mengisi rumah saya dengan emas dengan tujuan agar saya membuat kebohongan tetang Ali, maka mereka pasti melakukannya. Tapi demi Allah! Saya tidak akan melakukan kebohongan tentang Ali demi kepentingan mereka selama-lamanya.’ ”
Wahai Malik ! Saya telah mempelajari tentang hawa nafsu semuanya lalu saya tidak menemukan kelompok yang lebih bodoh dibanding Al-Khasyabiah. Jika ia berasal dari binatang maka ia termasuk khimar. Jika ia berasal dari jenis burung maka pasti ia burung Rukham (Rukham adalah jenis burung tertentu yang telah dikenal luas oleh masyarakat dan dikenal dengan sifat pengecutnya).“ [An-Nihayah, Ibnul Atsir : 2/212]
Ia pernah berkata, “Saya mengingatkan engkau dari bahaya nafsu yang bisa membuatmu sesat, nafsu yang terjelek adalah Ar-Rafidhah. Alasannya, karena mereka disusupi oleh Yahudi yang sengaja menyusup dan menyerang Islam dari dalam demi untuk memperluas jangkauan kesesatannya, sebagaimana Bulus bin Sya'ul –orang Yahudi yang menyusup ke dalam barisan Nasrani. ”
Mereka masuk ke dalam Islam bukan karena semangat dan dengan disertai rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, tetapi mereka masuk ke dalam Islam disertai dengan rasa benci yang mendalam terhadap kaum Muslimin dan dengan maksud untuk menghancurkan mereka. Ali bin Abu Thalib pun membakar mereka dan mengasingkan mereka ke beberapa daerah. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Saba' yang diasingkan ke daerah Sabat, Abdullah bin Syabab yang diasingkan ke daerah Jazat, dan Abul Karusy serta anaknya. Hal itu dilakukan karena peristiwa Rafidah itu juga termasuk peristiwa yang didalangi oleh Yahudi.
Orang-orang Yahudi berkata, “Kekuasaan tidaklah sah kecuali jika dipegang oleh Keluarga Daud. ” Orang-orang Rafidhah mengatakan, “Kekuasaan tidaklah sah kecuali jika dipegang oleh keluarga Ali. ”
Orang-orang Yahudi mengatakan, “Tidak ada jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta`ala keculi jika Dajjal telah keluar atau Nabi Isa turun dari langit. ”  Sedang orang-orang Rafidhah berkata, “Tidak ada jihad kecuali jika Al-Mahdi telah keluar dan ada suara teriakan dari langit. ”
Orang-orang Yahudi menunda shalat Maghrib hingga bintang gemerlapan, demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah. Hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berbunyi,
لاَ تَزَالُ اُمَّتِيْ عَلَى الفِطْرَةِ مَا لَمْ يُؤَخِّرُوْا المَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكُ النُّجُوْمُ
"Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah selama mereka tidak menunda shalat Maghrib hingga bintang gemerlapan. [Shahih : Al-Irwaa'  : 917]
Orang-orang Yahudi sedikit membelok dari arah kiblat, demikian pula orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi menjulurkan pakaian mereka, demikian pula orang-orang Rafidhah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang menjulurkan pakaiannya, lalu beliau membetulkan pakainnya tersebut. Orang-orang Yahudi telah merubah isi kitab Taurat, demikian pula orang-orang Rafidhah, mereka telah mengubah isi Al-Qur'an. Orang-orang Yahudi tidak memandang perlunya ada iddah bagi wanita, demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi membenci malaikat Jibril dengan mengatakan, “Dia adalah musuh kita dari kalangan Malaikat”, demikian pula sikap orang-orang Rafidhah. Mereka mengatakan, “Jibril salah mengantarkan wahyu kepada Muhammad. ”
Orang Yahudi dan orang Nasrani lebih diutamakan dibanding orang Rafidhah karena dua hal : Orang Yahudi ditanya, “Siapa orang terbaik dalam agama kamu?” Mereka menjawab, “Shahabat-shahabat Nabi Musa.” Orang-orang Rafidhah ditanya, “Siapa orang terburuk dalam agama kamu ?” Mereka menjawab, “Shahabat-shahabat Muhammad.” Orang Nasrani ditanya, “Siapa orang terbaik dalam agama kamu?” Mereka menjawab, “Para kaum Hawariyyin yang mendukung Isa.” Orang Rafidhah ditanya, “Siapa orang terjelek dalam agama kamu?” Mereka menjawab, “Para kaum Hawariyyin yang mendukung  Muhammad. Mereka diminta untuk memohonkan ampunan bagi mereka tetapi mereka malah menghina mereka.”
Pedang akan senantiasa terhunus bagi mereka hingga datangnya hari kiamat. Mereka tidak akan pernah eksis dan tidak akan pernah bisa sepakat dalam naungan sebuah bendera, dan mereka tidak akan pernah merasakan nikmatnya persatuan. Ajaran mereka sangat hancur. Perkumpulan mereka bercerai berai. Setiap kali  mereka menyalakan api peperangan, seketika itu pula Allah Subhanahu wa Ta`ala akan mematikan baranya. [Allalika'i : 1461 : 4]
Muhammad bin Shabih As-Sammak mengatakan, “Saya mengetahui bahwa orang-orang Yahudi tidak pernah menghina shahabat- shahabat Musa. Saya juga mengetahui bahwa orang-orang Nasrani tidak akan menghina para shahabat- shahabat Nabi Isa. Lalu apa gerangan, wahai orang bodoh, sehingga kalian menghina shahabat-shahabat Nabi Muhammad?! Saya mengetahui dari mana kalian berasal? kalian tidaklah disibukkan oleh dosa-dosa kalian, jika kalian sibukkan dengan dosa-dosa kalian maka pasti kalian takut kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Dosa-dosa kalian membuat kalian tidak sempat mengurusi orang-orang yang berbuat jahat. Celakalah kalian! Lalu kenapa dosa-dosa kalian itu tidak membuat kalian lupa untuk menghina orang-orang baik. Jika kalian termasuk orang-orang baik, maka kalian tidak akan menghina orang jelek dan pasti kalian mengharapkan ampunan bagi mereka kepada Dzat Yang Maha Pengasih. Tapi karena kalian termasuk orang-orang yang berbuat jelek sehingga kalian menghina para syuhada dan orang-orang shalih. Wahai orang-orang yang menghina shahabat-shahabat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika kalian tidur di malam hari dan makan ketika siang, maka itu tentu lebih baik dibanding jika kalian shalat malam dan puasa pada siang hari, karena kalian menghina orang-orang baik. Bergembiralah dengan sesuatu yang tidak mengandung berita gembira, jika kalian tidak bertaubat dari apa yang Anda lihat dan Anda dengar. Celakalah kalian! Mereka itu mulia dengan keikutsertaan mereka pada perang Badar, mereka juga ikut serta di perang Uhud. Mereka semua telah mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala dengan firman-Nya, (QS. Ali Imaran : 155). Kita berhujjah dengan hujjah Nabi Ibrahim Alaihissalam. Allah Ta`ala berfirman, (QS. Ibarahim : 36). Dia menawarkan ampunan kepada para pelaku dosa. Jika Dia berfirman, “Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Adzab-Mu adalah adzab yang sangat pedih”, maka Dia sedang menawarkan balasan. Dengan siapa kalian berhujjah, wahai orang-orang bodoh, kecuali dengan orang-orang bodoh pula!? Betapa jelek generasi penerus yang demikian. Sebuah generasi yang menghina kalangan Salaf  padahal satu orang dari kalangan Salaf lebih baik dibanding seribu orang yang belakangan. Mereka semua itu (para shahabat) telah ada ampunan bagi mereka dengan firman-Nya (Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mengampuni dosa-dsoa mereka). Apa yang hendak kalian katakan terhadap orang yang telah dimaafkan dosa-dosa mereka?!” [Allalika'i : 2819].
Hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan antara Ahlussunnah dengan Syi'ah. Mereka seperti apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 150).  Tidaklah ditemukan kecuali hanya satu jalan saja. Satu kelompok saja yang akan selamat dan mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta`ala hingga kiamat tiba. Atas dasar apa mereka bisa menyatu?! mereka itu : (QS. An-Nisaa' : 143).
Ada perumpaan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang mereka,
مَثَلُ المُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ العَائِرَةِ بَيْنَ الغَنَمَيْنِ, تَعِيْرُ إِلَى هَذَا مَرَّةً, وَإِلَى هَذَا مَرَّةً, لاَ تَدْرِيْ أَيُّهُمَا تَتَّبِعُ
Perumpaan orang munafik adalah bagaikan kambing yang kebingungan antara dua kambing lainnya. Sekali ia mengarah ke sana dan sekali juga mengarah ke kambing lainnya. Ia tidak tahu harus mengikuti siapa.” [HR. Muslim : 2784]. Barangsiapa yang ingin mendapatkan pembahasan tambahan dalam hal ini dan ingin mengetahui jawaban terhadap syubhat-syubhat mereka, maka silahkan rujuk kitab Mas'alah Al-Taqrib Baina Ahlussunnah wa Asy-Syi'ah karya DR. Nasir Al-Qufari. Buku tersebut sangat bermanfaat dalam bidangnya.
[8]  Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. An-Nisaa' : 145). Hal ini terkait dengan nifak dalam masalah keyakian (akidah). Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala , (QS. Ali Imran : 154).
[9]  Shahih. Termasuk dalam hadits riwayat Abu Hurairah dengan redaksi, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga.....” [HR. Al-Bukhari : 33, dan Muslim : 59]. Keduanya juga meriwayatkannya dengan redaksi,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا, وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خُلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ خُلَّةٌ مِنَ النِّفَاقِ
Empat hal jika terdapat pada diri seseorang maka ia termasuk orang munafik tulen. Jika ada satu unsur pun darinya terdapat pada diri seseorang maka ia memiliki kadar kemunafikan sebesar itu... ” [HR. Al-Bukhari : 34 dan Muslim : 58], berasal dari hadits Abdullah bin Amr -Radhiyallahu Anhuma-. Juga diriwayatkan oleh Ahmad (2/536), Muslim (1/79) dari riwayat Hammad bin Salamah dari Ibnu Abi Hind. Ia diperdebatkan sebagaimana terdapat dalam “Al-Ilal” dan Syarahnya karya Ibnu Rajab, hal. 783). Karena itulah Imam Muslim meriwayatkannya dengan mengikutkannya dengan hadits Abu Hurairah -Radhiyallahu Anhu-. Hal ini masuk dalam kategori nifak amaliah.
[10]  HR. Al-Bukhari : 121, 4405, 6869, tanpa adanya kata “Tersesat”, tetapi pada Shahih Al-Bukhari : 5550, Muslim : 1679, dan Ahmad : 5/37, semuanya berasal dari hadits Abu Bakrah -Radhiyallahu Anhu-. Di dalamnya terdapat kata “Tersesat”sebagai ganti dari kata “Kafir”. Dan di dalam Shahih Muslim menggunakan redaksi yang mengandung keraguan “Tersesat atau Kafir”, demikian pula dalam Musnad Ahmad (4/76) dari hadits Abul Gadiyah -Radhiyallahu Anhu-.
[11]  Muttafaq Alaihi. Telah ditakhrij sebelumnya.
[12]  [HR. Al-Bukhari : 5935, dan Muslim : 64]. Keduanya berasal dari hadits Ibnu Mas'ud -Radhiyallahu Anhu-. Abul Izz Al-Hanafi mengatakan dalam Syarah At-Thahawiyah, hal. 321, “Ahlussunnah sepakat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir dan keluar dari Islam secara mutlak, sebagaimana pendapat Khawarij. Karena jika kafir dan keluar dari Islam maka berarti ia telah murtad dan harus dibunuh, bagaimana pun kondisinya. Pemaafan dari pihak yang berhak menuntut Qishas tidaklah bisa diterima dan tidaklah berlaku Hudud dalam zina, pencurian, dan minum khamer!! Pendapat ini telah kita ketahui bersama kebatilannya dan keburukannya dari agama Islam. Karena Allah Subhanahu wa Ta`ala menjadikan pelaku dosa besar termasuk bagian dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta`ala berifirman, (QS. Al-Baqarah : 178). Allah berfirman (QS. Al-Hujurat : 7). Nash-nash dari Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' menunjukkan bahwa pezina, pencuri, orang yag menuduh orang lain berzina tidaklah dibunuh. Tetapi mereka dikenakan hukuman had. Ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah murtad. Ahlussunnah juga sepakat bahwa mereka mendapatkan ancaman karena dosanya, sebagaiamana yang terdapat dalam berbagai Nash. Tidak seperti yang dikatakan oleh Murji'ah bahwa keimanan tidaklah terpengaruh dengan adanya dosa dan keimanan tidaklah bertambah karena faktor ketaatan. Jika terkumpul nash-nash ancaman yang dijadikan hujjah oleh kalangan Murji'ah dengan nash-nash ancaman yang menjadi hujjah Khawarij dan Mu'tazilah, maka jelaslah bagi Anda kerancuan kedua pendapat itu. ”
[13]  Dikeluarkan oleh Ahmad : 2/112, demikian pula Imam Al-Bukhari juga meriwayatkannya : 6104, dan Muslim : 60 dari hadits Ibnu Umar -Radhiyallahu Anhuma-.
81 Dikeluarkan oleh Ahmad (2/215), Ad-Darimi, dan selainnya. As-Suyuthi mengindikasikan ke-hasanan-nya [Faid Al-Qadir: 5/7 -hadits no. 6261] Al-Manawi –Rahimahullah- sepakat dengannya. Al-Albani menghasankannya dalam kitab Shahih Al-Jami' : 4485.

[15]  Lihat : Ta`liq `Ala At-Tahawiyah, hal. 40. Hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala orang-orang yang sibuk menghukumi orang lain dengan kekafiran. Padahal mereka yang dihukumi kekafiran itu tidaklah demikian. Mereka yang menghukumi tidak bisa membedakan antara kafir amali, kafir qauli, dan kafir i'tiqadi. Mereka tidak bisa pula membedakan antara kufur Al-ain dan kufur An-Nau'. Mereka mengira dirinya telah memiliki posisi dalam dunia keilmuan, padahal langkah mereka itu hanyalah bagian dari syubhat, seperti syubhat pendahulu mereka dari kalangan Khawarij, yang sering mengkafirkan kaum Muslimin karena dosa dan kesalahan mereka. Mereka tidak mempelajari ilmu dari ahlinya dan tidak mendatangi sebuah rumah dengan melewati pintunya. Mereka berpegang teguh dengan fatamorgana yang mereka kira sebagai dalil. Jika mereka memperjelasnya, maka mereka tidak memperoleh sesuatu yang dapat dijadikan hujjah menurut ukuran ahli ilmu.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman, (QS. Al-Kahfi : 104). Karena itulah, kami menasehati saudara-saudara kita agar membaca kitab Ushul wa Dhawabit Fii At-Takfir karya Syaikh Al-Allamah Abdul Latif Alussyaikh –Rahimahullah-  dan kitab Al-Uzru bi Al-Jahli karya saudara kita Ahmad Farid –Hafizhahullah-. (Judul tentang Fitnah At-Takfir terdapat pada Volume pertama majalah Al-Salafiyah karya guru kita Al-Albani –Hafizhahullah-.
[16]  Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tentang surga, (QS. Ali Imran : 33). Dan firman-Nya tetang neraka, (QS. Ali Imran : 131). Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. An-Najm: 13-15).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyaksikan Sidratul Muntaha dan melihat di sisinya surga Ma'wa, sebagaimana terdapat dalam Kitab Shahihaini dari kumpulan hadits Anas -Radhiyallahu Anhu- dalam kisah Isra', pada akhirnya berbunyi,
ثُمَّ انْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى أتَى سِدْرَةَ المُنْتَهَى, فَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لاَ أَدْرِيْ مَا هِيَ, قَالَ : ثُمَّ دَخَلْتُ الجَنَّةَ, فَإِذَا هِيَ جَنَابِذٌ اللُؤْلُؤ, وَإِذَا تُرَابهَا المِسْك.
Kemudian Jibril mengantarku hingga tiba ke Sidratul Muntaha. Ternyata ia diliputi oleh warna  yang  aku sendiri tdak mengetahui warna apa sesungguhnya. Ia mengatakan, “Kemudian saya masuk ke sorga dan ternyata ia berisi tumpukan permata dan ternyata lantainya adalah minyak misk.
Dalam kitab Shahih Muslim sebuah hadits dari Anas secara marfu' berbunyi:
وَأَيْمُ الذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لَوْ رَأَيْتُمْ مَ رَأَيْتُ لَضَحَكْتُمْ قَلِيْلاً وَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika kalian melihat apa yang aku lihat maka kalian akan banyak tertawa dan sedikit bersedih. Shahabat bertanya, “Apa yang engkau lihat wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, “Surga dan neraka.”
Barangsiapa yang ingin penjelasan tambahan, maka silahkan rujuk At-Ta`liq `Ala At-Tahawiyah, hal. 51 dan Syarahnya, hal. 420.
[17] Berdasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Hasyr : 10). Juga karena kita dilarang untuk memintakan ampunan dan menshalati orang yang meninggal dunia tidak dalam keadaan bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. At-Taubat : 84) Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. At-Taubah : 113).
Imam Ahmad –Rahimahullah- menjelaskan bahwa hal ini ditujukan kepada orang yang melakukan dosa besar atau dosa kecil, sedang dia tetap bertauhid dan termasuk ahlul Qiblat. Pembatasan ini penting untuk menjelaskan dua hal :
Pertama : Bahwa syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, walaupun termasuk dosa besar, bahkan dosa paling besar, hanya saja ia dikecualikan dari hal ini. Barangsiapa yang melakukan dosa besar berupa kesyirikan, maka kebaikan dalam ayat ini tidaklah mencakup dirinya, seperti menshalati dan memintakan ampunan untuknya.
Kedua : Bisa jadi ia melakukan dosa kecil secara sembunyi-sembunyi dan dilakukan terus menerus dengan menganggapnya halal dilakukan. Dengan demikian, ia keluar dari Islam dan tidak lagi dikatakan sebagai orang bertauhid ketika itu, tetapi ia menjadi kafir sekaligus sebagai musyrik. Dan jangan ada seorang pun yang mengira bahwa kami menghukumi orang-orang tertentu dengan kekafiran, karena hukum kekafiran terhadap perbuatan tidaklah dengan sendirinya menghukumi pelakuanya sebagai orang kafir.
Pada kesempatan ini, perlu adanya penjelasan sikap yang penting : Bahwa masalah mengkafirkan orang-orang tertentu bukanlah masalah ringan, tetapi itu adalah masalah yang besar sekali. Bahkan termasuk permasalahan yang perlu dihindari, karena konsekwensinya berpengaruh terhadap masalah dunia dan akhirat. Banyak kalangan pemuda yang menganggap enteng permasalahan ini sehingga mereka tergelincir dan melenceng jauh. Di sini terdapat aturan yang perlu diperhatikan dan dipahami pada permasalahan ini, di antaranya :
1.       Perbedaaan antara kafir amali, kafir Qauli, dan kafir al-I’tiqadi. Hendaknya merujuk kitab “As-Shalat” karya Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah-.
2.       Keyakinan berupa Islam tidaklah hilang dari seseorang kecuali dengan keyakinan serupa. Karena itulah harus muncul darinya kekafiran secara mutlak dan kesyirikan yang nyata yang tidak mengandung keraguan dan kebimbangan. Dalam masalah ini, rujuk kitab “As-Sailul Jarrar” karya Imam Al-Syaukani.
3.       Jika terbukti bahwa syiriknya adalah syirik yang nyata, maka ia herus melihat pelakunya, apakah syarat-syarat kekafiran telah terpenuhi pada dirinya dan tidak ada lagi yang dapat menghalangi, seperti kejahilan atau ia melakukan ta’wil atau ia terpaksa atau lain-lain sebagainya.
4.       Kemudian menghukumi seseorang dengan kekafiran juga membutuhkan kejujuran sikap dari orang yang menghukumi, apakah dirinya pantas untuk mengeluarkan hukum seperti itu, ataukah tidak. Jadi, ini merupakan permasalahah yang tidak bisa  dibahas oleh orang sembarangan  dari kalangan masyarakat, tetapi hanya bisa dibahas oleh orang yang ahli dalam maslah hukum. Yaitu, orang yang disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ, وَإِنْ حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ  “Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu ia benar maka  ia mendapatkan dua pahala, jika menetapkan hukum lalu ia salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” [HR. Al-Bukhari :7352, Muslim : 1716]. Ini termasuk dalam masalah al-Qadha.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,
القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ, اِثْنَان فِيْ النَّار, وَوَاحِدٌ فِيْ الجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ الحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِيْ الجَنَّةِ, وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِيْ النّاَرِ, وَ رَجُلٌ عَرَفَ الحَقَّ فَجَارَ فِيْ الحُكْمِ فَهُوَ فِيْ النَّارِ
Ada tiga orang hakim ; dua orang di neraka dan satu orang di surga. Orang yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran, maka ia berada di surga. Dan orang yang menetapkan hukum terhadap seseorang dengan landasan kebodohan maka ia di neraka. Dan orang yang mengetahui kebenaran tetapi ia bertindak zhalim dalam menetapkan hukum maka ia masuk ke dalam neraka.” [Diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan, haditsnya shahih, lihat Al-Irwaa” : 2614]
Walaupun sebenarnya kita meyakini bahwa ada sebagian orang berhak untuk dihukumi sebagai orang kafir dan dikenakan hukum murtad dari agama Islam dari orang-orang yang mengaku muslim secara palsu, dan berasal dari orang yang berpakaian seperti pakaian kita dan menggunakan nama seperti nama-nama kita. Hanya saja, tidaklah diperkenankan untuk membahas permasalahan ini, kecuali orang yang memang ahli dibidang ini.
Saya kaget melihat pemuda-pemuda yang terlalu bersemangat dan menceburkan diri dalam masalah yang sangat berbahaya ini, sebelum ia belajar masalah-masalah kecil yang terkait dengan bagaimana cara memperbaiki ibadah mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Saya tidak melihat sikap demikian kecuali itu merupakan bentuk talbis (pengaburan masalah) Iblis kepada mereka. Mereka masih jauh untuk membahas masalah ini. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidaklah membebani mereka untuk membahas masalah ini, sehingga mereka meninggalkan hal-hal yang justeru diperintahkan kepada mereka untuk dipelajari dan diajarkan. Mereka meninggalkan hal-hal tersebut dan beralih kepada masalah -yang paling minimal sekali bisa dikatakan padanya- bahwa bahayanya lebih besar dibanding manfaatnya. Jika saja mereka mendapatkan hukum tersebut dari ahli ilmu, maka ringanlah masalahnya. Tetapi mereka mendapatkan hukum tersebut melalui cara mendengar langsung dari ayat-ayat Al-Qur’an atau membaca sebuah hadits, atau mereka mendapatkan dari orang yang gila baca atau cendekiawan yang sebenarnya mereka bukanlah ulama, walaupun mereka berpenampilan ulama.
Jika saja para pemuda itu mengikuti ahli ilmu dengan berbagai kendaraan dan mendengar nasehat pendahulu mereka yang shalih, “Berusahalah menjadi ulama atau menjadi penuntut ilmu dan jangan menjadi yang ketiga sehingga engkau binasa.”
Juga perkataan Ali -Radhiyallahu Anhu-, “Manusia terdiri dari tiga kelompok: Alim, pelajar yang berusaha mencari keselamatan dan orang yang mengada-ada dan mengikuti setiap ocehan.”
Jika mereka memperhatikan dengan seksama nasehat ini, maka pasti itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka. Hanya saja sebagian mereka mempersingkat jalan dan mengikuti hawa nafsu dan berusaha meninggalkan jama’ah, padahal mereka termasuk pembesar ulama. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang mereka,
سَيَخْرُجُ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ, سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ, يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ البَرِيَّةِ, يَقْرَأُوْنَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرهُمْ, يَمْرَقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرَقُ السَهْمِ منَ الرَّميةِ
Pada akhir zaman, akan keluar sekelompok orang yang suka berbicara dan memiliki niat jahat, mengucapkan perkataan orang terbaik (Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam), dan membaca Al-Qur’an. Hanya saja bacaannya itu tidaklah melewati kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama Islam sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya.” [Shahih Al-Jami’ : 3654].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
سَيَكُوْنُ فِيْ أُمّتِيْ اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُوْنَ القِيْل, وَيُسِيْئُوْنَ الفِعلَ, يَقْرَأُوْنَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ ترَاقيْهِمْ
Akan ada dalam kalangan umatku pertengkaran dan perbedaan. Ada sekelompok orang yang menguasai pembicaraan tetapi jelek perbuatannya. Mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidaklah melampaui tenggorakan mereka…” [Shahih Al-Jami’ : 3668]. Juga sabda beliau:
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَات, يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ, وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الخَائِنُ, وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ, وَيَنْطقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَة, قِيْلَ مَا الرُّوَيْبِضَة؟ قَالَ : الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ العَامَّةِ
“Akan datang tahun-tahun ketimpangan pada manusia; pembohong dibenarkan ucapannya, orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah, orang amanah dianggap khianat, dan kaum Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapakah kaum Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak.”

Ya Allah, Tuhan kami, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu adalah benar, dan karuniakanlah kami untuk dapat mengikutinya. Dan perlihatkanlah kebatilan itu adalah batil dan karuniakanlah kami untuk dapat menjauhinya. Tunjukilah kami  dari apa yng diperselisihkan akan kebenarannya, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi Hidayah kepada orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.



Friday, March 23, 2012

Prinsip-Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (Bag.4)



Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal



27. Kemudian manusia yang terbaik setelah para shahabat Rasulullah adalah manusia yang hidup pada abad di mana Rasulullah diutus sebagai nabi kepada mereka,[1] setiap yang menemani beliau selama setahun, sebulan, sehari, sejam, atau ia hanya melihat beliau, maka ia termasuk dalam kategori shahabat beliau. Ia mempunyai derajat shahabat sesuai kadar waktu yang ia lalui dalam menemani beliau  (1/13/4), di mana ia mendengar darinya hadits-hadits beliau dan melihatnya. Orang yang paling sedikit waktunya menemani Rasulullah masih jauh lebih mulia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sempat berjumpa dan melihat langsung beliau, dan sekiranya kelak nanti di akhirat mereka bertemu dengan Allah dengan seluruh jenis amal kebaikan, maka orang-orang yang telah menemani Rasulullah, melihatnya, dan mendengar dari beliau sabda-sabdanya (yaitu orang yang melihatnya dengan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun hanya satu jam) lebih utama –karena pertemanan tersebut- dari para Tabi`in walaupun mereka telah melakukan seluruh amal kebaikan.[2].([3])
28. Mendengar dan taat kepada imam-imam dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang buruk. Orang yang disebut dengan Amirul Mukminin yang harus ditaati adalah orang yang memimpin Khilafah, dan manusia mendukungnya serta ridha kepadanya, atau orang yang mengalahkan dan menguasai mereka lewat peperangan hingga ia berhasil menjadi Khalifah.[4]
29. Berperang bersama para pemimpin berlangsung sampai hari kiamat –yang baik maupun yang buruk- tidak boleh ditinggalkan.[5]
30. Membagi harta Fai (harta rampasan yang di dapatkan tanpa peperangan), pemberlakuan hukum hudud terhadap para imam (pemimpin), tidak boleh salah seorang menyakiti dan menentang mereka.[6]
31. Membayar shadaqah kepada mereka hukumnya boleh dan telah terlaksana sebelumnya. Barangsiapa yang membayarnya kepada mereka, ia akan mendapat pahala, baik mereka adalah pemimpin yang baik maupun jahat.[7]
32. Shalat Jum`at sejumlah dua rakaat penuh dibelakangnya dan dibelakang orang yang mengangkatnya menjadi pemimpin dibolehkan. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya, sungguh ia termasuk orang yang melakukan perbuatan bid`ah, mengabaikan atsar,[8] dan menyalahi sunnah. Ia sama sekali tidak mendapatkan keutamaan shalat Jum`at, apabila ia menganggap tidak sah shalat dibelakang penguasa yang baik maupun yang menyimpang, sementara Sunnah membolehkan shalat  bersama mereka sebanyak dua rakaat dan meyakini bahwa shalat tersebut telah sempurna dan jangan ada keraguan di dalam hatinya.
33. Barangsiapa yang keluar memisahkan diri dari salah satu imam (pemimpin) umat Islam, sedang manusia telah menyepakati dan mengakui keabsahan kepemimpinannya dengan segala bentuknya, baik karena ridha maupun karena sebagai pihak yang dikalahkan, maka sungguh orang yang membelot tersebut telah merusak kekuatan dan keutuhan umat Islam, dan ia telah menyalahi atsar-atsar dari Rasulullah. Apabila ia mati, ia mati dalam keadaan Jahiliyah.[9]
34. Tidaklah dibenarkan bagi siapapun dari kalangan masyarakat[10] untuk memerangi penguasa dan tidak boleh pula menentang mereka. Barangsiapa yang melakukan itu maka ia termasuk pelaku bid'ah. Ia berada di luar koridor Sunnah dan jalan yang benar. 
35. Membunuh pencuri dan penyamun dibolehkan bagi seseorang yang jiwa dan hartanya terancam oleh perbuatan mereka. Ia berhak untuk membela jiwa dan hartanya, serta  mempertahankan semuanya dengan segenap kemampuan yang ia miliki. Ia tidaklah diharuskan untuk mencari mereka, jika mereka telah meninggalkannya. Hendaknya Ia tidak mengikuti jejak mereka. Tidaklah ada yang berhak untuk mencari mereka kecuali berdasarkan perintah imam atau para pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu. Ketika itu, ia hanya harus berusaha membela diri dan mengamankan jiwanya sambil berupaya keras untuk menghindari keinginan untuk membunuh siapapun. Jika ada yang meninggal karena perbuatannya itu, ketika sedang berusaha membela diri dalam pertengkaran, maka Allah Subhanahu wa Ta`ala akan menjauhkan orang yang terbunuh tersebut. Jika orang tersebut meninggal ketika terjadi perampokan itu, sedang ia dalam kondisi membela diri dan hartanya, maka saya berharap ia mendapatkan mati syahid, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits. Beberapa atsar dalam hal ini 14/1/1 hanyalah memerintahkan untuk memeranginya[11] dan tidak diperintahkan untuk membunuhnya, serta tidak pula diminta untuk mencari jejaknya. Ia tidak dibenarkan jika ia dikerasi atau jika ia luka. Jika ia mengambilnya sebagai tawanan, maka ia tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh pula memberlakukan hukuman Had kepadanya. Tetapi seharusnya ia melaporkan permasalahannya kepada orang yang diperkenankan berkuasa oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala sehingga merekalah yang menentukan hukuman kepadanya.
36. Kita tidak bisa menetapkan seorang pun dari kalangan ahli kiblat (kaum Muslimin) masuk neraka atau masuk surga, karena suatu perbuatan yang dilakukannya. Kita hanya berharap agar orang yang shalih mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta`ala dan tetap merasa khawatir kepadanya karena adanya kemungkinan masuk neraka. Di lain pihak, kita merasa khawatir terhadap pelaku dosa karena ancaman neraka yang membayanginya tetapi tetap berharap agar ia mendapatkan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta`ala.[12]


[1] Shahih dari hadits Imran bin Hushain secara marfu` :
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah yang hidup sezaman denganku kemudian zaman setelah mereka, kemudian zaman setelah itu.” (HR. Al-Bukhari : 3650, dan Muslim : 2535) (Ash-Shahihah : 700).
[2] Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. At-Taubah : 100) dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لَِوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ اُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
Sekiranya kalian menginfakkan emas sebanyak gunung Uhud, sungguh tidak akan menyamai infak mereka satu mud dan tidak pula walau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari : 3673, dan Muslim : 2541), keduanya dari hadits Abu Sa`id Al-Khudri secara marfu`. Saya berkata, “Menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan sabda beliau “shahabat-shahabatku” adalah orang-orang yang komitmen dengan beliau, orang-orang yang sudah terkenal akan kebaikannya saat menemani Rasullah, bukan setiap orang yang bertemu dengan beliau dan hanya sekedar bertemu belaka, atau hanya dalam waktu yang singkat dan tidak dikenal (tidak masyhur). Hal tersebut dibuktikan dengan sabda beliau:
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ
Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku”, tertuju kepada seluruh shahabat-shahabat beliau yang masuk dalam defenisi “shahabat” menurut istilah, baik yang hidup pada zaman beliau maupun yang datang setelahnya. Beliau mewasiatkan kepada mereka untuk mengetahui hak kekhususan-kekhususan para shahabat beliau dari orang yang komitmen kepadanya dan mempunyai hubungan yang kuat dengannya, shallallahu Alaihi wa Sallam. Wallahu A`lam. (Al-Abbasy).
[3] Saya katakan, “Dalam masalah ini masih ada perbedaan pandangan, sebagaimana pula masih ada perincian lebih lanjut. Adapun yang sudah pasti bahwa persahabatan (dengan Rasulullah) memiliki keutamaan khusus berdasarkan waktu seberapa lama menemani beliau dan sebaik apa keteguhan hatinya bersama beliau. Kemudian keutamaan tersebut bergantung pada tingkat keimanan dan kwalitas amal shalih, sehingga bisa jadi ada sebagian Tabi`in atau Tabi` Tabi`in, atau bahkan orang-orang yang datang setelah mereka lebih utama dan lebih mulia dibandingkan sebagian shahabat. Seperti orang yang mendapati zaman fitnah-fitnah yang dahsyat lalu ia tetap istiqamah dengan keimanannya dan bersabar, ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan pahala sebagian para syuhada dari kalangan para shahabat, sebagaimana hal tersebut disinyalir dalam sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam:
إِنَّ وَرَاءَكُمْ أَيَّامُ الصَّبْرِ, لِلصَّابِرِ فِيْهَا أَجْرٌ مِئَةٍ أَوْ خَمْسِيْنَ شَهِيْدًا, قَالُوْا : مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ : بَلْ مِنْكُمْ.
“Sesungguhnya dibelakang kalian adalah masa-masa yang membutuhkan kesabaran, barangsiapa yang sabar pada masa itu baginya pahala 100 atau 50 orang syahid.” Mereka bertanya, “(Orang syahid) dari kami atau dari mereka?” Beliau menjawab, “Dari kalian.”  Pada riwayat lain beliau tambahkan,
لأَنَّكُمْ تَجِدُوْنَ عَلَى الحَقِّ أَنْصَارًا, وَلاَ يَجِدُوْنَ عَلَى الحَقِّ أَنْصَارًا
“…. karena kalian mempunyai pembela-pembela dalam menegakkan kebenaran, sedangkan mereka tidak mempunyai pembela-pembela dalam mempertahankan kebenaran.” [HR. Ath-Thabrani, dan ustadz kami Al-Albani menyebutkannya di dalam Ash-Shahihah (994) dan Shahih Al-Jami` (2234)]. Saya katakan bahwa hadits “..sebaik-baik manusia adalah zamanku..” serta yang semisalnya menunjukkan faedah keutamaan yang bersifat umum, bukan keutamaan yang bersifat individu, wallahu a`lam.” Lihat : risalah “Al-Mufadhalah Baina Ash-Shahabah”, Imam Ibnu Hazm, dengan Tahqiq oleh Prof. Said Al-Afghani. Risalah tersebut adalah bagian dari kitabnya yang sangat bagus yang berjudul “Al-Fashl Fii Al-Milal wa Al-Ahwaa wa An-Nihal”. (Al-Abbasy).
[4] Sesuai dengan firman Allah Ta`ala, (QS. An-Nisaa: 59), serta sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
يَكُوْنُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ تَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ, فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ, وَمَنْ كَرِهَ سَلِمَ, وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
Kalian akan mempunyai pemimpin-pemimpin yang kamu kenal dan kamu membencinya. Barangsiapa yang mengenalnya ia berlepas diri, dan barangsiapa yang membencinya ia selamat, jika ia ridha dengannya dan mentaatinya.” Para shahabat bertanya, “Tidakkah sebaiknya kami perangi mereka?” Beliau menjawab,
 لاَ, مَا صَلُّوْا
“Jangan, selama mereka masih shalat.”  (HR. Muslim, hadits 1480 dari hadits Ummu Salamah).
Dalam sebuah atsar dari Al-Hasan disebutkan bahwsanya ia didatangi oleh suatu kelompok –pada masa pemerintahan Yazid bin Al-Muhallab-, ia menyuruh mereka untuk tetap berada di dalam rumah-rumah mereka dan mengunci pintu-pintu mereka, kemudian ia berkata, “Demi Allah, sekiranya manusia mendapat cobaan yang ditimbulkan oleh pemimpin-pemimpin mereka, lalu mereka bersabar, maka Allah Azza wa Jalla akan mengangkat cobaan tersebut dari mereka. Hal itu karena mereka berlindung pada perang dan mereka bersandar kepadanya, dan demi Allah tidaklah mereka datang pada hari yang lebih baik selamanya. Kemudian ia membaca firman Allah Ta`ala, (QS. Al-A`raf : 137) [Asy-Syariah (19), Tafsir Ibnu Abi Hatim- hadits 3/ ق 178/ب]. Al-Hasan berkata, “Sungguh amat mengherankan orang yang takut kepada seorang penguasa atau khawatir terhadap kezhaliman setelah mengimani ayat ini! Demi Allah, sekiranya manusia bersabar karena perintah Rabb mereka ketika ditimpa cobaan, niscaya Allah akan mengeluarkan mereka dari kesusahan mereka, akan tetapi mereka tidak sabar untuk mengadakan perlawanan hingga mereka dihinggapi ketakutan. Naudzu billah dari cobaan yang buruk.” [Tafsir Al-Hasan : 1/386].
Syaikh Al-Albani berkomentar tentang ayat: (QS. An-Nisaa: 59), ia berkata, “Sudah sangat jelas bahwa hal itu dikhususkan untuk orang-orang Muslim dari kalangan mereka. Adapun orang-orang kafir yang menjajah orang-orang muslim, maka tidak ada ketaatan terhadap mereka, bahkan wajib untuk mempersiapkan diri secara fisik maupun mental untuk mengusir mereka dan membersihkan negeri dari najis kotoran penjajahan mereka..”[At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 48]. Saya katakan bahwa hal tersebut tidak hanya berlaku bagi orang yang asli kafir akan tetapi termasuk pula orang-orang murtad bahkan lebih utama untuk diperangi, yaitu orang-orang yang tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian, mereka telah menghalalkan segala cara dan keluar dari syariah Ilahi dengan dalih kemajuan dan demokrasi. Semoga Allah mensucikan negeri umat Islam dari mereka dan tangan-tangan mereka. [Lihat: Apa yang berkaitan dengan masalah ini di dalam At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 47 dan Syarah Ath-Thahawiah, hal. 379].   
[5] Syaikh Al-Allamah Al-Albani –Hafzhahullah- berkata, “Ketahuilah bahwa jihad terbagi menjadi dua bagian: pertama: Fardhu `Ain, yaitu melawan musuh yang menyerang sebagian negeri umat Islam, seperti orang-orang Yahudi sekarang yang menduduki negeri Palestina, orang-orang muslim seluruhnya berdosa sampai mereka keluar membantu umat Islam di sana. Kedua: Fardhu Kifayah, yaitu apabila sudah ada yang melakukannya, maka yang lain sudah gugur kewajibannya, seperti berjihad di jalan Allah dalam menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia sampai Islam diterapkan sebagai hukum dalam kehidupan. Barangsiapa yang menerima menjadi pengikutnya, itu adalah suatu karunia, dan barangsiapa yang berhenti dari jalan dakwah, ia akan binasa, sampai Kalimah Allah tegak di muka bumi dan jihad ini berlangsung hingga hari kiamat, lebih utama dari yang pertama. Sesuatu yang amat disayangkan bahwa sebagian penulis saat ini mengingkarinya, bukan itu saja akan tetapi mereka menjadikan sebagai bagian dari keistimewaan Islam !! Kondisi ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari kelemahan dan ketidak-berdayaan mereka untuk melakukan jihad secara fardhu aini. Sungguh benarlah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam ketika bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالعِيْنَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ البَقَرِ, وَرَضِيْتُمْ بِالزَرْعِ, وَتَرَكْتُمْ الجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ الله, سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian saling berjual-beli dengan contoh, lalu kalian mengambil ekor-ekor sapi, dan kalian ridha dengan tanaman, dan meninggalkan jihad di jalan Allah, Allah akan menguasakan kepada mereka kehinaan yang tidak akan terabit dari kalian keuali kalian kembali kepada agama kalian.” Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud [Ash-Shahihah: 11]. Lihat : Syarh Ath-Thahawiah, hal. 387, karena isinya sangat penting.   
[6] Ini adalah sunnah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan para Khulafaurrasyidin Radhiyallahu `Anhum. Di dalam sebuah hadits diterangkan:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله عَلَى السَمْعِ وَالطَاعَةِ فِيْ العُسْرِ وَاليُسْرِ, وَالمَنْشَطِ وَالمَكْرَهِ, وَأَلاَّ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ, وَإِنْ بَغَوْا عَلَيْنَا, وَأَنْ نَقُوْلَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كَانَ, لاَنَخَافُ فِي الله لَوْمَةَ لاَئِمِ
“Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat dalam kondisi susah maupun senang, yang disenangi maupun  yang dibenci, dan kami tidak menentang para pembuat keputusan walaupun mereka berbuat zhalim terhadap kami, bahwa kami mengatakan kebenaran dalam kondisi apapun, kami sama sekali tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.” Muttafaq alaih, dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit,  : خ(7199)  : م  (1709).
(Faedah) : Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang nasehat dengan cara yang baik, dan janganlah seseorang yang membela agama Allah  takut celaan orang yang mencela, yang meliputi dua hal; yaitu tidak  diam atau menyembunyikan kebenaran yang seharusnya dijelaskan, dan tidak berlaku sewenang-wenang dalam memberi nasehat. Kami sangat yakin bahwa para ulama yang mulia telah melakukan  kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, penuh keikhlasan, dan dengan cara yang paling benar. Merekalah yang paling berhak dan paling berkompoten dalam hal ini, mereka menjelaskan kebenaran dan tidak menyembunyikannya, dengan penuh kasih sayang, santun, dan mengharapkan kebaikan terhadap bangsa dan rakyat. Wahai para pemuda yang sering tergesa-gesa, hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah, mereka terlalu bersemangat dalam agama mereka hingga mereka menzhalimi para ulama umat dan para pewaris nabi tersebut. Mereka tidak sadar akan kadar kemampuan mereka, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengenal para ulama tersebut. dalam sebuah hadits disebutkan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلّ كَبِيْرَنَا, وَيَرحَمُ صَغِيْرَنَا, وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda, dan mengetahui hak ulama kami.” [Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ahmad dan selainnya, dan dihasankan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani “Shahih At-Targhib” (95)]. Ya Allah, tunjukilah kami jalan orang telah Engkau tunjuki.
[7] Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi –Rahimahullah- berkata di dalam Syarhnya terhadap kitab Ath-Thahawiah [376], “Nash-nash di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma` Salafil Ummah telah menunjukkan bahwa penguasa, imam shalat, hakim, panglima perang, dan amil shadaqah harus ditaati dalam masalah-masalah ijtihad, dan sebaliknya pemimpin tidak wajib mentaati bawahannya dalam hal pengambilan ijtihad, akan tetapi justeru merekalah yang harus mentaatinya. Mereka harus lebih mendahulukan pendapat pemimpin dibandingkan pendapat mereka sendiri, karena maslahat dan persatuan orang banyak, serta bahaya perpecahan dan perselisihan lebih besar perkaranya dibandingkan masalah-masalah furu`. Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ, وَغِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka shalat untuk kalian, apabila mereka benar, maka mereka dan kalian mendapat pahala, dan jika mereka salah, kalian mendapat pahala dan mereka mendapatkan kesalahan tersebut.” [HR. Al-Bukhari : 69]. Hadits ini merupakan nash sharih yang menjelaskan bahwa apabila imam melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut untuk dirinya sendiri, para makmum tidak ikut menanggung kesalahan tersebut. seorang mujtahid dianggap bersalah apabila meninggalkan yang wajib dan meyakini bahwa hal tersebut bukan kewajiban, atau ia melakukan kesalahan sedang ia meyakini bahwa hal tersebut bukanlah kesalahan. Tidak dibolehkan seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyalahi hadits sharih dan jelas setelah ia mengetahuinya.”
Saya berkata, “Apabila hadits itu berkenaan dengan masalah shalat, maka masalah yang lebih ringan/kecil dari itu jauh lebih utama lagi. Ali bin Abi Thalib berkata tentang kepemimpinan Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma, ‘Rasulullah telah ridha terhadapnya pada urusan agama kita, lalu apakah kita tidak meridhainya dalam urusan dunia kita?!’”
[8] Ia berkata di dalam Syarah Ath-Thahawiah, hal. 374, “Ketahuilah bahwa seseorang boleh shalat di belakang orang yang tidak diketahui apakah ia ahli bid`ah atau fasiq, menurut kesepakatan para imam. Bukanlah syarat bermakmum bahwa agar makmum mengetahui keyakinan imamnya dan tidak pula ia harus mengujinya dengan bertanya, “Apa keyakinanmu?” akan tetapi hendaklah ia shalat dibelakangnya tanpa harus mengetahui identitas dirinya. Apabila seseorang shalat di belakang ahli bid`ah yang mengajak kepada bid`ahnya atau orang fasiq yang menampakkan kefasikannya, sedangkan ia adalah imam tetap shalat rawatib yang tidak mungkin shalat kecuali harus shalat di belakangnya, seperti imam shalat Jum`at atau dua shalat `Ied, dan imam pada shalat haji di Arafah –dan semisalnya-, maka bagi makmum harus shalat di belakangnya, menurut pendapat mayoritas kaum Salaf dan Khalaf. Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum`at di belakang imam yang buruk, maka ia dianggap telah melakukan bid`ah menurut kebanyakan ulama, sebab para shahabat pun –Radhiyallahu Anhum- dulu shalat berjamaah di belakang imam-imam yang menyimpang dan mereka tidak mengulangi shalat mereka, sebagaimana Ibnu Umar shalat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf, demikian pula Anas –Radhiyallahu Anhum-.
Dari Ubaidillah bin Ady bahwa tatkala ia masuk menemui Utsman –Radhiyallahu Anhu- sedang ia lagi ditawan, ia berkata, “Sesungguhnya kamu adalah Imam `Am bagi seluruh manusia dan telah terjadi padamu apa yang kami saksikan, serta shalat bersama kami imam yang membawa fitnah dan kami menjadi susah dibuatnya.” Utsman berkata, “Shalat adalah perbuatan yang paling baik yang dilakukan manusia. Apabila manusia berbuat baik, maka berbuat baiklah bersama mereka, dan apabila mereka berbuat salah maka jauhilah kesalahan mereka.” (Al-Bukhari : 695 –Al-Fath)
Al-Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang shalat di belakang ahlu bid`ah, ia menjawab, “Shalatlah walaupun ia  bersama dengan bid`ahnya.” (Al-Bukhari menta`liqnya dan menjazamkannya, dan Said bin Maskur menyambungkannya sebagaimana terdapat di dalam Al-Fath : 2/221 dan lihat At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 46).       
[9] Diarahkan untuk membaca hadits :
مَنْ رَاَى أَمِيْرَهُ شَيْئًا يُكْرِهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ, فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ, فَمَيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang pemimpinnya melakukan kesalahan yang ia benci, mak hendaklah ia bersabar atas perbuatannya tersebut, sebab barangsiapa yang meninggalkan jamaah walaupun hanya sejengkal lalu ia mati, maka matinya dalam keadaan Jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari : 7054, dan Muslim : 1849), keduanya dari hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu Anhuma-.
Dari Hanbal bin Ishak ia berkata, “Pada kepemimpinan Al-Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul mendatangi Abu Abdullah –yakni Imam Ahmad-, mereka berkata, ‘Wahai Abu Abdullah, sungguh masalah ini telah menjadi gawat dan merajalela –yaitu penyebaran pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan masalah lainnya-“, maka Abu Abdullah berkata kepada mereka, ‘Lalu apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami ingin mengajak Anda bermusyawarah untuk menyatakan bahwa kita ini tidak ridha dengan kepemimpinannnya.’ Abu Abdullah pun berdebat dengan mereka selama sejam hingga akhirnya ia berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian protes di dalam hati kalian, janganlah kalian melepaskan ketaatan kalian, janganlah kalian merusak persatuan kaum Muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah-darah kalian dan darah kaum Muslimin, dan cobalah pertimbangkan akibat dari perbuatan kalian kelak. Hendaklah kalian bersabar sampai orang (pemimpin yang) baik beristirahat (wafat) atau orang (pemimpin yang) jahat diistirahatkan (diwafatkan).’ Mereka pun akhirnya pulang, lalu saya dan bapakku masuk menemui Abu Abdullah setelah mereka sudah pergi, dan bapakku berkata kepada Abu Abdullah, ‘Kita memohon kepada Allah keselamatan kita dan umat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, sungguh saya tidak menyukai ada orang yang akan melakukan hal tersebut (memberontak)’, kemudian bapakku bertanya kepada Abu Abdullah, ‘Wahai Abu Abdullah, apakah menurutmu perbuatan tersebut benar?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Perbuatan itu bertentangan dengan atsar-atsar yang mana memerintahkan kita untuk bersabar.’” [Al-Masail wa Ar-Rasail Al-Marwiyah `An Ahmad Fi Al-Aqidah (2/4), dan lihat pada alenia ke 22] yang telah lalu. 
65. Tidaklah dibenarkan memusuhi pengusa dan tidak boleh pula menentang mereka. Kecuali jika mereka benar-benar menampilkan kekufuran secara nyata, maka ketika itulah pejabat berwenang berhak untuk memecatnya, lalu mengangkat serta melantik orang yang lebih kompeten. Hanya saja disyaratkan adanya kompetensi dan yang bersangkutan diyakini tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar atau fitnah yang lebih luas dibanding dengan pejabat sebelumnya.
Imam Ibnu Abi Al-Izz al-Hanafi –Rahimahullah- mengatakan, “Adapun keharusan untuk mentaati pemerintah, sekalipun mereka berbuat zhalim, alasannya adalah karena dengan menunjukkan sikap ketidaktaatan terhadap mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dan lebih besar dibanding dengan kezhaliman mereka. Bahkan dengan menampakkan sikap sabar terhadap kezhaliman mereka akan menjadi alat untuk menebus dosa-dosa dan melipatgandakan pahala. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidaklah memberi peluang kepada mereka untuk memimpin kita kecuali karena rusaknya amalan kita. sementara kita menyadari bahwa balasan sesuatu perbuatan akan setimpal dengan amalan tersebut. Olehnya itu, kita seharusnya berusaha dengan sepenuh hati untuk memohon ampunan, bertaubat dengan peuh kesungguhan dan berusaha memperbaiki amalan kita. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Asy-Syuraa : 30).  Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Ali Imran : 165). Juga firman-Nya, (QS. Al-An'am : 129).
Syaikh Al-Allamah Al-Albani mengatakan, “Saya katakan, “Dalam hal ini terdapat jalan untuk menjauhkan diri dari kezhaliman penguasa yang berasal dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Yaitu, hendaknya kaum Muslimin bertaubat kepada Tuhan mereka, memperbaiki kualitas akidah mereka, dan mendidik jiwa dan keluarga dengan pendidikan Islam yang benar, sebagai perwujudan dari firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yang berbunyi, (QS. Ar-Ra'du : 11).
Abu Al-Harits Al-Shaigh mengatakan, “Saya pernah menanyakan kepada Abu Abdullah tentang suatu peristiwa yang terjadi di Baghdad yang membuat beberapa kelompok hendak menentang penguasa. Saya berkata,, ‘Wahai Abu Abdullah ! Bagaimana pendapatmu jika ada yang ikut bersama mereka?’ Ia mengingkari perbuatan mereka. Ia berkata,, ‘Subhanallah! Itu akan menyebabkan terjadinya pertumpahan darah. Saya tidak sependapat dengan mereka dan tidak menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Bersabar dengan kondisi yang ada lebih baik dibanding terjadinya fitnah yang membuat darah tertumpah, harta sesama menjadi hancur, dan kehormatan sesama dicemarkan. Tidakkah kamu ingat kejadian yang menimpa masyarakat dulu –maksudnya hari-hari terjadinya huru hara-.’ Saya berkata, ‘Bukankah sekarang masyarakat sedang terkena berbagai tindak kezhaliman, wahai Abu Abdullah?’ Ia menjawab, ‘Walaupun demikian (terjadi fitnah)!! Itu hanyalah fitnah yang disebabkan oleh kalangan tertentu (penguasa). Jika pedang telah berkelebat, maka huru hara akan terjadi di mana-mana dan tidak ada lagi jalan perbaikan. Bersabar dengan kondisi yang ada dengan jaminan keselamatan agamamu tentu labih baik bagimu.’  Saya melihat ia menentang orang-orang yang menentang penguasa dengan mengatakan, ’Pertumpahan darah akan terjadi. Saya tidak setuju dengan langkah itu dan tidak pula merekomendasikannya.’” (Al-Masa'il Al-Marwaiyah An Ahmad fii Al-Aqidah 2/4) (At-Ta'liq Ala At-Thahawiyah, hal. 47).
[11]  Dari Abu Hurairah  Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‘Bagaimana pendapatmu jika ada orang yang mendatangiku dengan maksud untuk merampas harataku?’ Beliau menjawab, ‘Jangan serahkan hartamu kepadanya.’ Orang itu melanjutkan, ‘Bagaimana jika ia bertindak keras kepadaku?’ Rasulullah menjawab, ‘Lawanlah dengan kekerasan pula.’ Ia melanjutkan, ‘Bagaimana jika ia membunuhku?’ Beliau menjawab, ‘Engkau mati syahid.’ Ia melanjutkan, ‘Bagaimana jika aku membunuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’” [Dikeluarkan oleh Muslim : 140, dan dikeluarkan pula oleh penulis dalam Musnadnya : 2/339].
Pada hadits lain dijelaskan:
( مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ) (وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ  فَهُوَ شَهِيْدٌ )
"Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, ia syahid. Barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan nyawanya, ia mati syahid. Dan barangsiapa yang meninggal karena membela agamanya, ia syahid.“ [Shahih -Al-Irwaa' :  708]
Pada hadits lain dijelaskan:
إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُوْلُ فِيْ النَّار
Jika ada dua orang muslim bertemu dan saling membunuh, maka pembunuh maupun yang terbunuh akan masuk ke neraka.“ Ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, hal itu bisa kami pahami bagi orang yang membunuh, tetapi bagaimana dengan orang yang terbunuh?“ Rasulullah menjawab, ”Karena ia juga sangat berkeinginan untuk membunuh lawannya.“ [Shahih Al-Bukhari : 31. dan Shahih Muslim : 2888] keduanya berasal dari hadits Abu Bakrah.
[12]  Kecuali orang yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah sebagai penghuni neraka atau penghuni surga, seperti sepuluh shahabat yang dijanjikan masuk surga dll. [Lihat : Ta`liq terhadap kitab Ath-Thahawiyah,  hal.41].

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form