Sumber : Syarah Riyadhusshalihin
Syekh Shaleh al-'Utsaimin
Alih Bahasa : Idrus Abidin
Allah ta'ala berfirman :
49:10. Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.(QS.Al-Hujurat :
10).
Allah ta'ala berfirman :
24:19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi
mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang,
kamu tidak mengetahui. (QS.An-Nur : 19)
(1585)[1]
وَعَنْ وَاثِلَةِ بْنِ اْلأَسْقَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَاتُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لِأَخِيْكَ
فََيَرْحَمُهُ اللهُ وَيَبْتَلِيْكَ". رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح.
(1585) Dari Wasilah Bin
Al-Asqa' Radhiyallahu Anhu ia berkata, "Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, "Janganlah menunjukkan kegembiraan terhadap
musibah yang menimpa saudaramu sesama muslim, karena bisa jadi Allah ta'ala
merahmatinya sedang engkau ditimpakan bencana". (HR.Tirmidzi. Ia
mengatakan, "Hadits ini hasan").
Pada bab ini terdapat
hadits Abu Hurairah yang pernah dilansir sebelumnya pada bab Tajassus
(memata-matai sesama muslim), "Setiap muslim bagi muslim lainnya
haram…" (Al-Hadits)[2]
HARAMNYA MENJELEK-JELEKKAN NASAB
YANG DIAKUI SECARA SYARA'
Allah ta'ala berfirman
(QS.Al-Ahzab : 58).
(1586). عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قََالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِثْنَاَنِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ : اَلطَّعْنُ
فِي النَّسَبِ، وََالنِّيَاحَةُ عَلَي اَلمَيِّتِ". رواه مسلم.
(1586)[3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, "Ada
dua hal yang dapat membuat menusia kafir : menjelek-jelekkan nasab dan
menangisi orang yang telah meninggal". (HR.Muslim).
BAB LARANGAN MENIPU.
Allah ta'ala berfirman
(QS.Al-Ahzab : 58 ).
(1587) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنءهُ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ
فَلَيْسَ مِنَّا، ومَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا". رواه مسلم
وفي رواية له أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صَبْرَةٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَاَفَنَالَتْ أَصَابِعَهُ
بَلَلَا، فَقَالَ : "مَاهَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ؟" قَالَ :
أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ : "أَفَلاَ جَعَلْتَهُ
فََوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ الناَّسُ، مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ
مِنَّا".
(1587)[4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, "Barang siapa yang mengancam kami dengan
pedang maka ia bukanlah golongan kami. Dan barang siapa yang menipu kami maka ia
bukanlah golongan kami" (HR.Muslim).
Pada riwayat lain dari
Abu Hurairah pula, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati
tumpukan makanan lalu beliau memasukkan tangnnya ke dalamnya. Tiba-tiba jari
beliau basah. Beliau berkata, "Kenapa seperti ini wahai sang pemilik
makanan ? ia menjawab, "Ia kena hujan wahai Rasulullah" Rasulullah
berkata, "Kenapa engkau tidak meletakannya di atas agar bisa terlihat oleh
pembeli. Barang siapa yang menipu maka ia bukanlah golongan kami".
(1588) وَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : "لَاتَنَاجَشُوْا". متفق عليه.
(1588)[5]
Dari beliau pula bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
"Janganlah saling menaikkan harga dengan maksud merugikan sesamanya (An-Najasy)".
(HR.Bukhari dan Muslim).
(1589) وَعَنِ ابْنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ الَّنبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ النَّجَشِ. متفق عليه.
(1589)[6]
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melarang
menawar dengan harga tinggi dengan maksud merugikan sesamanya (An-Najasy).
(HR.Bukhari dan Muslim).
(1590) وَعَنْهُ قَالَ :
ذَكَرَ رَجُلٌ لِرَسُوْلِ اللهِ أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي اْلَبُيُوْعِ ؟ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ بَايَعْتَ فَقُلْ :
لَاخِلَابَةَ". متفق عليه.
(1590)[7]
Dari beliau pula ia berkata, "Ada
seseorang yang melapor kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bahwa ia sering tertipu ketika sedang membeli ? maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam mengatakan kepadanya, "Kepada siapa pun Anda belanja
maka katakanlah, "Tidak ada penipuan".
(1591) وَعَن أَبِي
هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِإٍ أَوْمَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ
مِنَّا" رواه أبودود.
(1591)[8] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu
ia berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "barang
siapa yang menipu istri atau budak seseorang maka ia bukan termasuk golongan
kami". (HR.Abu Daud).
PENJELASAN.
Ini adalah dua bab yang disebutkan oleh penulis
rahimahullah pada kitabnya (Riyadhusshalihin). Yang pertama, tentang
kegembiraan seseorang jika sesamanya mendapatkan musibah dan yang kedua tentang
menjelek-jelekkan nasab.
Asy-Syamatah adalah penghinaan karena suatu dosa
atau karena suatu perbuatan atau karena suatu kejadian yang menimpa seseorang
atau hal-hal yang seperti itu. Lalu manusia menampakkan, menjelaskan dan
menampilkannya. Hal ini diharamkan karena bertentangan dengan firman Allah
ta'ala (QS.Al-Hujurat : 10) karena seorang saudara pasti tidak suka jika
menampakkan kegembiraan atas musibah yang menimpa saudaranya itu. Ia juga
bertentangan dengan firman Allah ta'ala (QS.Al-Ahzab : 58).
Kemudian penulis meyebutkan hadits Wasilah Bin Al-Asqa'
bahwa Rasullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Janganlah
menunjukkan kegembiraan terhadap musibah yang menimpa saudaramu sesama muslim,
karena bisa jadi Allah ta'ala merahmatinya sedang engkau ditimpakan
bencana". Maksudnya bahwa jika manusia menghina saudaranya karena
suatu hal maka bisa jadi Allah ta'ala akan memberi rahmat orang yang dihina dan
menjauhkannya dari hal yang membuatnya dihina itu. Kemudian orang yang menghina
diuji oleh Allah ta'ala dengan hal yang pernah menimpa saudaranya itu. Hal ini
sering terjadi. Karenanya muncul pada hadits lainnya, hanya saja keshahihannya
masih perlu dipertanyakan, akan tetapi masih senada dengan hadits ini, "Barang
siapa yang menghina sauadaranya karena suatu kesalahan atau dosa maka ia tidak
akan mati hingga ia melakukannya".
Maka hati-hatilah kalian dari penghinaan terhadap sesama muslim dan menampakkan
kegembiraan akibat musibah yang menimpanya. Karena bisa saja ia dijauhkan
darinya lalu ditimpakan kepadamu.
Adapun yang kedua –maksudnya bab kedua- adalah
menjelek-jelekkan nasab. Artinya, menghina nasab atau menghilangkan nasabnya.
Misalnya ia berkata ketika ingin menghina, "Engkau berasal dari kabilah
anu yang tidak pernah melawan musuh dan tidak pernah melindungi orang-prang
fakir". Lalu ia menyebut-nyebut kelemahan. Atau ia mengatakan,
"Engkau mengaku dari kabilah anu padahal engkau bukan dari kabilah itu.
Engkau tidaklah memiliki kebaikan. SeAndainya kamu berasal dari kabilah itu,
maka pasti kamu memiliki kebaikan, atau ungkapan yang demikian itu.
Kemudian beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Ada dua hal yang dapat membuat menusia
kafir". Maksudnya, ada dua hal yang jika manusia melakukannya maka
mereka melakukan dua unsur kekafiran, menjelek-jelekkan nasab dan yang ke-dua
menangisi mayit. Meratapi mayit terjadi jika seorang wanita atau laki-laki
menangisi mayit. Hanya saja wanita biasanya lebih banyak. Tangisan itu layaknya
suara merpati. Maksudnya wanita-wanita itu menangis dengan cara-cara tertentu.
Hal ini diharamkan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah
melaknat wanita yang meratap dan wanita yang mendengarkan ratapan. Termasuk
juga kategori ratapan adalah apa yang sering dilakukan oleh masyarakat saat
ini. Mereka berkumpul pada rumah si mayit lalu mereka disuguhi makanan atau
mereka menyiapkan makanan sendiri di rumah mayit lalu makan bersama di sana. Hal demikian
diharamkan karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah melaknat
orang-orang yang meratap dan orang-orang yang mendengarkan ratapan, sedang apa
yang mereka lakukan adalah bagian dari ratapan, berdasarkan hadits Jarir Bin
Abdullah Al-Bajali Radhiyallahu Anhu ia mengatakan, "Kami
dulu menganggap berkumpul di rumah mayit dan menyiapkan makanan sebagai bentuk
ratapan terhadap mayit". Dia adalah salah seorang sahabat yang mulia.
Sahabat melihat itu adalah ratapan. Karena itulah, keluarga mayit dilarang
untuk membuka pintunya untuk para pelayat. Karena itu adalah kemungkaran dan
bid'ah. Sahabat tidaklah melakukan hal yang demikian. Kemudian ia juga
mengadung penentangan terhadap qadha' dan kadar Allah ta'ala. Yang harus
dilakukan manusia adalah merelakan dan menerima sambil membiarkan rumahnya
tertutup. Siapa pun yang hendak menghiburnya bisa saja melakukannya ketika ia
bertemu dengannya di pasar atau di mesjid. Ini bagi kaum laki-laki. Adapun
wanita maka tidak ada alasan untuk membukakan pintu dan memberi mereka
kesempatan untuk berkumpul. Yang jelas bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda bahwa ratapan bagian dari kekufuran, " [9]اِثََََََْنتَانِِ ِفِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ:
اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَ النِّيَاحَةُ عَلَي اْلمَيِّتِ " Artimya, "Ada dua hal yang dapat membuat menusia
kafir : Menjelek-jelekkan nasab dan menangisi orang yang telah meninggal".
Janganlah Anda tertipu. Maskudnya oleh manusia. Karena Allah ta'ala berfirman
(QS.Al-An'am :116). Allah ta'ala juga berfirman (QS.Yusuf : 103). StAndar utama
bukanlah prilaku manusia dan kebiasaan mereka. StAndar baku adalah Al-Qur'an, sunnah Rasul-Nya,
sunnah Khulafa' Ar-Rasyidin, dan perilaku para sahabat Radhiyallahu Anhum.
Tidak seorang pun diantara mereka pernah membuka pintunya untuk para pelayat.
Mereka tidak pernah pula berkumpul untuk
makan bersama, bahkan mereka melihat itu adalah bagian dari ratapan, serta
mereka menjauhi praktek demikian sebisa mungkin, karena ratapan, sebagaimana
yang Anda dengar, adalah kekafiran. Maksudnya cabang kekafiran.
Yang kedua : bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam melaknat orang-orang yang meratap dan orang-orang yang mendengarkan
ratapan. Wallahu Al-Muwaffaq.
BAB LARANGAN MENGHIANATI AMANAH.
Allah ta'ala berfirman (QS.Al-Ma'idah : 1).
Allah ta'ala
juga berfirman (QS.Al-Isra' : 34).
PENJELASAN.
Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya
"Riyadhusshalihin" Bab larangan menghianati amanah.
Al-ghadaru
adalah menghianati orang lain saat sedang diberikan amanah kepadanya.
Maksudnya, ada seseorang yang mempercayakan kepada Anda sebuah amanah lalu Anda
berkhianat, baik Anda memberikannya janji atau tidak. Itu karena orang yang
memberikan amanah sangat berharap kepadamu dan mempercayaimu. Jika Anda
menghianatinya berarti Anda dianggap melakukan penghianatan.
Kemudian
penulis berhujjah atas haramnya berkhianat dengan keharusan memenuhi amanah.
Karena sesuatu bisa dikenal melalui lawannya. Tentang keharusan memenuhi
amanah, penulis rahimahullah menyetir dua ayat. Ayat pertama, firman Allah
ta'la (QS.Al-Ma'idah : 1). Maksudnya, penuhilah harapan itu dengan sempurna
sesuai dengan akad yang Anda sepakati dengan saudaramu. Hal ini menyangkut
semua bentuk transaksi. Mencakup transksi jual beli. Jadi jika Anda menjual
sesuatu kepada saudaramu maka seharusnya engkau memenuhi transaksi yang ada.
Jika terdapat syarat yang kalian sepakati maka penuhilah, baik itu menyangkut
perkara ketidakadaan atau mengadakan. Sebagai contoh, jika Anda menjual rumah
kepada saudara Anda dan Anda menetapkan syarat untuk menempatinya selama
setahun maka menjadi keharusan bagi pembeli untuk memberikan Anda kesempatan
untuk itu dan tidak menghalang-halangi Anda. Karena itu adalah syarat yang Anda
sepakati untuk ditempati selama satu tahun. Dan itu adalah merupakan tuntunan
akad. Anda menjual kepada saudara Anda sesuatu dan Anda memberikan syarat agar
ia bersabar jika menemukan kekurangan di dalamnya. Maksudnya Anda mengatakan,
"Ada
cacatnya maka semoga Anda bersabar" maka Anda harus memenuhi syarat
tersebut dan tidak boleh menolaknya. Jika Anda menolaknya maka Anda tidak
mempunyai hak padanya. Yang harus Anda lakukan adalah jangan menolaknya dari
awal.
Di sini ada
perbuatan yang dilakukan sebagian orang –waliyadzu billah- padahal itu haram.
Ia menjual sesuatu padahal ia mengetahui bahwa ia mempunyai aib, kemudian ia
mengatakan kepada pembeli, "Saya menjual apa yang Anda lihat di hadapan Anda
dan bersabar atas segala aib yang ada padanya". inilah yang
dikenal…..(hal:131). Padahal ia mengetahui bahwa ia memiliki aib, tetapi ia
tidak menyebutkannya, dengan maksud untuk menipu –waliyadzu billah- karena jika
ia menyebutkannya maka harganya akan berkurang. Jika tidak menyebutnya maka
pembeli kebingungan. Mungkin ia memiliki cacat atau ia tidak memiliki cacat.
Lalu ia membayar dengan harga yang lebih tinggi dibanding jika ia mengetahui
adanya cacat. Orang yang menjual dengan memberikan syarat demikian, jika
pembeli tetap komitmen dengan syarat yang dimaksud, walaupun benar-benar ada
cacat, maka penjual tidak bisa terbebas begitu saja pada hari kiamat. Ia akan
dituntut dengan perlakuannya. Dan syarat yang ia tentukan tidaklah memberikan
apa-apa. Seharusnya jika Anda mengetahui ada cacat pada barang yang hendak
dijual, Anda menjelaskan bahwa ia memikli cacat. Betul, jika kita anggap ada
seseorang yang membeli mobil dan ia menggunakannya sehari atau dua hari dan ia
tidak menemukan adanya cacat, serta tidak ada syarat yang berkaitan dengan aib,
lalu penjual ingin terbebas darinya maka
ia berkata, "saya menjual mobil yang ada dihadapan Anda, baik ada cacat atau tidak, saya tidak bisa
menjamin", maka yang demikin itu tidak ada masalah.
Yang
penting orang yang mengetahui adanya cacat pada suatu barang agar ia
menjelaskannya. Adapun yang tidak mengetahui adanya cacat pada barang tertentu
maka ia boleh menentukan syarat kepada pembeli bahwa uang tidak bisa lagi
dikembalikan setelah pembelian dan pembeli tidak bisa lagi mengembalikan
barang. Itu tidaklah bermasalah.
Diantara
bentuk pemenuhan syarat adalah apa yang terjadi antara suami istri ketika
dilaksanakan akad. Istri menawarkan beberapa syarat atau suami menetapkan
sejumlah syarat, maka orang yang mengiyakan syarat itu harus memenuhi janjinya.
Misalnya istri mensyaratkan agar tidak tinggal bersama keluarga suaminya, maka
suami harus memenuhinya, karena sebagian wanita tidak mau tinggal bersama
keluarga suami, karena ia telah mendengar bahwa mereka keras, suka ribut dan
suka namimah. Ia misalnya mengatakan, "Saya punya syarat agar saya
dibolehkan untuk tidak tinggal bersama keluargamu, maka suami harus memenuhinya
karena Allah ta'ala berfirman (QS.Al-Ma'idah : 1). Atau ia menetapkan syarat
agar tidak dikeluarkan dari rumahnya. Misalnya ia adalah ibu rumah tangga dari
suami sebelumnya, lalu ia dipersunting lagi oleh suami yang baru dan ia
mensyaratkan agar tidak dikeluarkan dari rumahnya, maka ia harus memenuhi
syarat tersebut dan tidak boleh menyusahkannya. Ia tidak boleh mengatakan,
"aku tidak mengeluarkannya dari rumahnya" tapi ia menyusahkannya
hingga istrinya tidak betah dan lelah. Ini adalah haram, karena Allah ta'ala
berfirman (QS.Al-Ma'idah : 1). Calon istri meminta mahar tertentu. Ia
mengatakan, dengan syarat Anda memberikan saya mahar, misalnya 10.000 riyal,
maka ia harus memenuhinya. Ia tidak boleh menunda-nunda karena itu adalah
syarat yang telah disepakati olehnya. Tetapi jika istri menetapkan syarat,
sedang syarat itu batil, maka syarat itu tidak boleh diterima. Misalnya jika ia
memberi syarat, Ia berkata, "dengan syarat Anda mentalak istri pertama Anda"
maka syarat itu tidak bisa diterima dan tidak bisa dipenuhi, karena Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam mengatakan, "janganlah seorang wanita meminta untuk
menceraikan madunya demi untuk menolak begiannya" atau beliau mengatakan
"apa yang ada dalam piringny §syarat ini
diharamkan Karena ia mengandung permusuhan terhadap orang lain, jadi ia bathil
dan tidak boleh dipenuhi. Bahkan sebenarnya tidak boleh komitmen dengannya
karena itu adalah syarat yang tidak dibenarkan. Adapun jika ia menetapkan
syarat agar ia tidak lagi menikah setelahnya dan sang suami menerimanya maka
syarat itu benar, karena tidak mengandung unsur permusuhan terhadap orang
tertentu. Di dalamnya terdapat larangan bagi suami, yang mana larangan itu ia
terima, padahal ia bisa melakukannya. Dan itu tidaklah bermasalah, karena suami
sendirilah yang menghilangkan haknya tanpa adanya permusuhan terhadap siapa
pun. Jika sang istri mensyaratkan agar suaminya tidak menikah lagi, lalu suami
menikah lagi maka sang istri bisa membatalkan (faskh) pernikahan, baik sang
suami rela atau pun tidak, karena ia telah melanggar persyaratan yang ada. Yang
penting bahwa Allah ta'ala memerintahkan untuk memenuhi segala bentuk akad.
Wajib untuk memenuhi akad dalam segala sesuatu. Tidak boleh berkhianat,
meninggalkan kepercayaan, menyembunyikan cacat dan tidak memperindah tampilan
sesuatu dengan maksud menyembuyikan kondisi sebenarnya. Ayat kedua insya Allah
akan dibahas kemudian. Wallahu A'lam.
*********
(1592)[10]
وَعَنْ عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَروبْنِ اْلعَاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ
مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ
خَصْلَةٌ مِنَ الِّنفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : إِذَاأْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَاعَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَاخَاصَمَ فَجَرَ". متفق عليه.َ
(1592) – Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash Radhiyallahu Anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Empat hal
yang jika ada pada seseorang maka ia adalah orang yang munafik secara sempurna,
dan barang siapa yang memiliki salah satu diantaranya maka ia memiliki unsur
kemunafikan hingga ia membuangnya : jika dipercaya maka ia berkhianat, jika
berbicara maka ia berbohong, jika ia berjanji maka ia ingkar dan jika ia
berdebat maka ia keterlaluan. (HR.Bukhari dan Muslim).
(1593)[11]
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَابنِ عُمَروَأَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُمْ قاَلُوْا :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ
يَوْمَ ْالقِيَامَةِ، يُقَالُ هَذَا غَدْرَةُ فُلَانِ". متفق عليه.
(1593) Dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan Anas Radhiyallahu
Anhum bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
"Setiap penghianat nanti pada hari kiamat mempunyai sebuah bendera yang
bertuliskan : "inilah penghianatan fulan". (HR.Bukhari dan Muslim).
(1594)[12] وَعَن أَبِي سَعِيدِ الخُدرِي رَضِِيَ اللهُ
عَنهُ أََنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ قَالَ : لِكُلِّ غَادِرٍ
لِوَاءٌعِندَ إِسْتِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدَرِهِ، أَلَا
وَلَاغَادِرَأَعْظَمَ غَدَرًامِنْ أَمِيْرٍ عَامَةِ". رواه مسلم.
(1594) Dari Abu
Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, "Setiap penghianat nanti pada hari kiamat
mempunyai sebuah bendera yang ditancapkan di pantatnya, benderanya itu
ditinggikan sesuai dengan kadar penghianatannya. Tiada penghianatan yang lebih
hebat dari pemimpin rakyat yang berkhianat" (HR.Muslim).
(1595)[13]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةِ رَضِِيَ اللهُ عَنهُ عن النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَمَ قََالَ: "قَالَ اللهُ تَعَالَى : ثَلاَََثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ
حُرًافَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِِيْرًافَاسْتَوْفَى مِنْهٌ
وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ". رواه البخاري.
(1595) Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beliau berkata, "Allah
ta'ala berfirman : tiga orang yang menjadi musuhKu pada hari kiamat, yaitu :
orang yang berjanji dengan menyebut nama-Ku kemudian ia berkhianat, orang yang
menjual orang merdeka (bukan budak) lalu ia memakan hasil penjualannya, dan
orang yang mempekerjakan buruh dan kemudian buruh itu telah melaksanakan
tugasnya tetapi ia tidak membayar upahnya". (HR.Bukhari)
PENJELASAN.
Penulis mengatakan dalam kitabnya
"Riyadhusshalihin" bab haramnya menghianati amanah. Maknanya telah
dijelaskan sebelumnya, begitu pun ayat pertama yang diletakkan oleh beliu pada
permulaan bab, yaitu firman Allah ta'ala (QS.Al-Ma'idah : 1). Adapun ayat kedua
yaitu firman Allah ta'ala (QS.Al-Isra' : 4) Allah ta'ala memerintahkan untuk
memenihi janji. Maksudnya jika Anda berjanji kepada seseorang sambil berkata,
aku berjanji atas nama Allah ta'ala untuk tidak melakukan begini dan begitu,
atau untuk tidak memberitahukan apa yang engkau informasikan kepadaku, atau
perkataan yang serupa dengan itu, maka Anda harus memenuhi janji itu, karena
janji akan dipertanyakan pada hari kiamat kelak. Karena itulah Allah ta'ala
berfirman (QS.Al-Isra' : 4) yaitu, dipertanggungjawabkan pada hari kemudian.
Kemudian beliau menyebutkan beberapa hadits yang telah kita bahas sebelumnya,
maksudnya penjelasannya. Yang paling penting adalah bahwa pada hari kiamat
setiap orang yang melanggar janji akan dipancangkan bendera. Bendera seperti
yang ada ketika perang, layaknya sebuah symbol. "Setiap penghianat
nanti pada hari kiamat mempunyai sebuah bendera yang ditancapkan di
pantatnya"* Wal'iyazu billah. Maksudnya di bawah
tempat duduknya. Bendera itu meninggi sesuai dengan besarnya pelanggarannya.
Jika besar maka benderanya akan membesar dan jika sedikit maka benderanya
rendah pula. Dikatakan : ini adalah pelanggaran si fulan bin fulan-wal'iyazu
billah-. Pada hadits ini terdapat petunjuk bahwa melanggar janji termasuk dosa
besar. Karena ia mendapatka ancaman yang sangat keras. Juga terdapat pelajaran
bahwa manusia pada hari kiamat akan dipanggil berdasarkan nama ayahnya, bukan
dengan nama ibunya. Dan pendapat yang menyatakan bahwa manusia akan dipanggil
pada hari kiamat dengan nama ibunya. Dikatakan : wahai fulan binti fulanah. Itu
bukanlah hakikat sebenarnya, tetapi manusia akan dipanggil dengan nama ayahnya
seperti halnya panggilannya di dunia.
Pada
hadits terakhir terdapat peringatan terhadap permasalahan yang sering dilakukan
banyak orang saat ini, yatiu mereka mendatangkan pembantu dan tidak memberikan
upahnya. Orang yang berbuat demikian,
mendatangkan pembantu dan tidak membayar upahnya, maka Allah ta'ala yang akan
menjadi musuhnya pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah ta'ala pada sebuah
hadits qudsi "Tiga orang yang menjadi musuhku pada hari kiamat : orang
yang memberi atas nama-Ku lalu ia melanggar janjinya" maksudnya
berjanji atas nama Allah ta'ala lalu ia melanggar janjinya. Yang kedua "Orang
yang menjual orang merdeka lalu ia memakan harganya" walau pun itu
anaknya atau saudaranya yang paling kecil, lalu ia menjualnya dan memakan
harganya, maka Allahlah yang menjadi musuhnya pada hari kiamat. Yang ke tiga "Orang
yang mempekerjakan buruh dan kemudian buruh itu telah melaksanakan tugasnya
tetapi ia tidak membayar upahnya". Diantaranya pula, apa yang banyak
dilakukan oleh orang-orang pada saat ini terhadap para pekerja yang mereka
datangkan dari luar negeri. Anda mendapatinya mengupahnya dengan upah tertentu,
misalnya 600 Riyal setiap bulan kemudian, setelah datang ke sini, ia
menunda-nunda pembayaran upahnya dan menyakitinya serta tidak membayar haknya.
Bisa jadi ia mengatakan kepadanya, "kamu masih mau tinggal di sini dengan
gaji 400 Riyal ? jika tidak maka kamu boleh pulang". Orang ini –wal'iyazu
billah- Allah ta'ala akan menjadi musuhnya pada hari kiamat. Allah ta'ala akan
mengambil kebaikannya lalu menyerahkanya kepada pembantu tersebut. Karena
perkataannya, apa ia bekerja dengan gaji 400 riyal atau aku pulangkan kamu. Ia
menyewanya dengan 600 Riyal dan tidak menberikan upahnya kepadanya, maka ia
masuk dalam ancaman keras itu. Mereka-mereka yang mendatangkan pekerja dan
tidak memberikan upah mereka atau mereka mendatangkan pekerja sedang mereka
tidak memiliki pekerjaan, tetapi mereka membiarkannya di pasar. Ia mengatakan
"Pergilah ! apa yang Anda peroleh,
setengahnya untuk saya". Atau misalnya ia mengatakan : pergilah ! Anda
akan memperoleh 300 riyal atau 400 riyal dalam sebulan. Semua itu adalah
pebuatan haram. Itu tidak halal bagi mereka. Apa yang mereka makan adalah harta
yang haram. Semua daging yang tumbuh dari makanan haram maka api nerakalah yang
menjadi pembersihnya. Orang-orang yang memakan harta para pekerja lemah itu,
mereka itu adalah orang-orang yang tidak diterima do'anya –wal'iyazu billah-
mereka meminta kepada Allah ta'ala tetapi tidak diterima oleh-Nya. Karena
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyebutkan, "Seseorang
yang jauh perjalannya, ia lusuh dan berdebu. Ia menegadahkan tangannya ke
langit "wahai rabku, wahai rabku", padahal makanannya haram, memakan
harta yang berasal dari penghasilan yang haram, lalu bagaimana mungkin Allah
bisa mengijabahinya".* Apa yang dimakan oleh orang-orang yang
menghabiskan harta para pekerja itu, atau menzhaliminya maka makanan mereka itu
adalah haram –kita memohon ampunan dari Allah
ta'ala-. manusia hendaknya bertakwa kepada Allah ta'ala. Saya tahu bahwa
kalian akan menyampaikan hal ini kepada mereka-mereka yang berbuat zhalim itu
-wal'iyazu billah- orang-orang yang disiksa oleh Allah ta'ala dengan siksaan
yang disegerahkan -wal'iyazu billah-. apa itu siksaan yang disegerahkan ? yaitu
terus menerus melakukan pekerjaan demikian. Karena terus menerus dalam dosa
adalah merupakan bentuk siksaan -wal'iyazu billah- jika Allah ta'ala tidak
menganugrahkan tobat kepada seseorang dari dosa maka ketahuilah bahwa
keberlanjutannya dalam dosa tersebut merupakan sanksi dari Allah ta'ala. Karena
dengan dosa itu, ia makin jauh dari Allah ta'ala. Dosa-dosanya pun akan terus
bertambah banyak. Sedang imannya akan terus surut. Kita memohon kepada Allah
ta'ala agar memberikan hidayah dan taufik kepada kita dan kepada mereka.
[6] Shahih Bukhari (2142)
dan Shahih Muslim (1516).
[7] Shahih Bukhari
(2117)dan Shahih Muslim (1533)
[8] Shahih Al-Jami'
(6223) dan Silsilah Shahihah karya Al-Albani rahimahullah (324) dan Shahih Abu
Daud (4307)
§ Shahih Bukhari (2140, 2723, 5152, 6601) Shahih
Muslim (1408, 1413) dari hadits Abu Hurairah Raduiyallahu Anhu.
0 komentar:
Post a Comment