Friday, July 24, 2020

Makna Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Manusia. (Konsep Kausalitas dalam Islam)

Makna Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Manusia. (Konsep Kausalitas dalam Islam)

By. Idrus Abidin.

Sebelumnya telah disinggung posisi tengah Ahlu Sunnah, khususnya kalangan Atsariyah dalam tema qadha dan qadar ini. Namun, secara singkat, setelah memahami asma wa sifat versi Atsariyah, ditemukan tahapan takdir berikut :

1. Keyakinan penuh bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum berwujud secara real di dunia nyata. Inilah konsekwensi nama Allah al-Aliim (maha mengetahui). Pengetahuan yang mencakup semua masa; lalu, sekarang dan yg akan datang. Juga mencakup semua tempat dan semua makhluk.  Bahkan, pengetahuan itu diwujudkan dalam sebuah progres 50.000 tahun sebelum kejadian.

2. Pencatatan semua perencanaan kejadian di papan khusus yang terjaga (Lauh Mahfudz) dengan baik di sisiNya. Hal ini berdasarkan firman Allah di QS al-An'am  ayat 38, Yasin  ayat12, az-Zukhruf ayat 4, al-Buruj ayat 22 dll. 

3. Kehendak Allah yang pasti terjadi, tanpa batasan apapun. Semua kehendakNya pasti terjadi. Semua yang tidak diinginkan pasti tak terjadi. Kejadian dan semua peristiwa di semesta ini takkan bisa terjadi tanpa izinNya. Inilah yang ditolak para pengingkar taqdir dari kalangan Qadariah. 

4. Penciptaan segala sesuatu dengan penetapan sejumlah ketetapan (taqdir). Ini ditentang pula oleh Qadariah. Argumentasi mereka, perbuatan makhluk yang bersifat pilihan ditentukan sendiri oleh mereka; bukan ketentuan Allah. Ahlu Sunnah meyakini, manusia dan potensi perbuatan mereka diciptakan oleh Allah. Sedang pemberdayaan potensi perbuatan tersebut tetap perbuatan manusia sendiri sesuai izin dan perkenaan Allah Ta'ala. Jadi, muslim menjadi muslim karena izin dan Taufik dari Allah setelah mereka berusaha untuk itu sesuai dengan perintah Allah. Karena ini perintah Allah yg dilakukan dengan ikhlas; Allah pun ridha dengan perbuatan-perbuatan tersebut. Sedang kafir menjadi kafir karena izin Allah tanpa taufikNya. Karena kekafiran dilarang dan dibenci oleh Allah. Makanya, diizinkan sekaligus dibenci Allah. Diizinkan sebagai bentuk pemberian kebebasan terbatas sekaligus sebagai ujian yang akan membuktikan keaslian dan Trac record manusia; apakah mereka memilih kebaikan atau dengan sadar memilih keburukan. 

Terkait masalah ketetapan takdir, terdapat beberapa bentuk :

A. Hidayah yang bersifat umum untuk semua Mukallaf berupa akal, kecerdasan, pengetahuan mendasar (fitrah). 

B. Hidayah berupa petunjuk umum yang dianjurkan oleh para nabi dengan berbekal kitab suci. 

C. Hidayah Taufik yang bersifat spesifik untuk kalangan beriman. Inilah tangga awal hidayah pribadi.

D. Hidayah akhirat berupa surga Allah taala.

Tingkatan hidayah ini berurutan sedemikian rupa. Jika yang pertama bermasalah, tentu susah untuk berlanjut ke tahap berikutnya. Hidayah berupa taupik hingga masuk surga bukanlah otoritas manusia. Mereka, hanya bisa berusaha dan berdoa tanpa punya kemampuan menjamin terjadinya hidayah Taufiq, karena hal itu murni di bawah otoritas mutlak Allah Ta'ala. Di sini, kelompok Qadariah merasa, manusialah yang memilih sendiri semua itu, termasuk hidayah Taufiq dan hidayah masuk surga. Naudzubillah dari gagal paham seperti ini. 

Ahlu Sunnah tetap meyakini perlunya melakukan usaha maksimal sekalipun mereka meyakini ketetapan takdirNya. 

5. Adanya kemudahan dari Allah sesuai pilihan manusia. Jika memilih petunjuk, Allah akan memudahkan mereka melaksanakan perintah yang potensial menyampaikan mereka ke surga. Bagi yang memilih penyimpangan, hal itu akan memudahkan mereka menuju neraka. Semua dimudahkan sesuai pilihan mereka masing-masing. Bahkan, karena pengetahuan Allah menyeluruh, Allah pun sudah mengetahui siapa penduduk surga dan penduduk neraka; sebelum manusia tercipta. Tapi pengetahuan Allah tersebut tidak menghilangkan kebebasan manusia. Seperti langit dan bumi yang mengitari manusia dan mereka tidak mungkin bisa keluar darinya. Tapi, bumi dan langit sendiri tidak pernah memaksa manusia berdosa atau taat kepada Allah. Manusia tetap berada pada frekwensi kebebasan dan pilihan mereka masing-masing.
 

Dilema Kelompok Menyimpang.

1. Qadariyah.

Mereka menolak ketetapan taqdir. Bahkan sebagian mereka menafikan pengetahuan Allah yang bersifat azali. Tidak menerima Lauh Mahfudz yang memuat ketetapan takdir sebelum terciptanya langit dan bumi 50.000 sebelumnya. Mereka menyangka manusia bebas secara mutlak dengan kemampuan menentukan sendiri hidayah Taufiq dan masuk surga untuk dirinya sambil berkata, kebaikan dari Allah sedang keburukan dari pihak lain (selain Allah). Dengan ini mereka seperti Majusi yang menyakini adanya 2 otoritas ketuhanan; tuhan cahaya dan tuhan kegelapan. Mereka juga menafikan hidayah khusus Allah kepada orang beriman dengan meyakini bahwa hidayah itu sama saja bagi mukmin maupun kafir. Mereka juga berkata, Allah tidak mampu memberi hidayah kepada orang-orang tersesat, tidak bisa menyesatkan orang-orang yang sudah beriman. Naudzubillah. 

Pendapat Qadariyah inilah yang diadopsi oleh beberapa UIN di Indonesia melalui tokoh-tokoh Muktazilah plus seperti Harun Nasution dan jaringannya. Ulil Abshar dan semua pengasong liberalisme Islam. Termasuk Abdul Aziz, penulis Disertasi seputar hubungan seksual halal di luar jalur pernikahan. Dikemas dengan penelitian akademik, bahasa ilmiah santun hingga mengecoh umumnya Ahlu Sunnah di Indonesia. Mereka termuktazilahkan tanpa sadar karena terkesima oleh istilah mentereng rasionalitas, ilmiah, progresif, dll. Padahal, itu semua penyimpangan yang berbaju akademik. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, kekafiran yang dipakaikan istilah-istilah Islam. Untunglah, lewat lembaga studi pemikiran Insist, penyimpangan tersebut dikritisi secara ilmiah dan dikembalikan kepada rel yang benar. Walillahilhamd. 

Catatan :

Sebuah pelajaran penting yang perlu dikembangkan dalam dunia dakwah adalah, kebenaran bisa tertolak karena kesalahan cara dan metode penyampaian. Sementara keburukan bisa digandrungi karena metode yang tepat. Syi'ah termasuk memanfaatkan hal ini dengan taqiyah. Sementara ahli Sunnah Atsariyah sudah tepat secara pemikiran, hanya saja dikotori oleh sikap melampaui batas (ghuluw). Ujungnya merasa paling benar dan seolah mengkapling surga. Label bid'ah disebar secara serampangan. Akibatnya, kebenaran tertutupi oleh egoisme. Tidak siap menerima kebenaran dari kelompok lain; bahkan sekalipun sesama Ahlu Sunnah. Alhamdulillah, kelompok demikian tidak dominan. Walaupun suara mereka nyaring, senyaring toko liberal seperti Ulil Abshar dan Ade Armando. Masih dominan kelompok ahli Sunnah Atsariyah yang tetap santun seperti umumnya kalangan Al-Irsyad, Wahdah Islamiah, dll. Sikap over kepedean tentu tercela di manapun kelompok mereka berafiliasi. Karenanya Rasulullah mengarahkan potensi penyimpangan seperti demikian dari anak muda yang qiyamullail tanpa waktu tidur. Ibadah tanpa mau menikah. Puasa tanpa mau berbuka. Karena semua itu ketidakseimbangan yang menyalahi sikap moderat Islam. 

2. Jabariyah.

Adalah kelompok yang menyatakan manusia tidak punya pilihan. Semuanya telah ditetapkan oleh takdir Allah; dosa maupun taat. Tidak dibedakan antara wilayah pilihan manusia atau hal yang memaksa. Mereka itulah pengikut Jahmiah (Jaham bin Safwan).

Posisi Tengah Ahlu Sunnah.

Ahlu Sunnah berposisi moderat dengan membatasi kebebasan manusia pada wilayah usaha. Sementara masalah seputar hidayah taufik dan hidayah surga diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Manusia hanya bisa berdo'a setelah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti perintah Allah dan menjauhi laranganNya dengan modal keikhlasan. 

Faktor Utama Penyimpangan.

Dalam masalah takdir ini, yang menjadi pemicu utama kesalahan adalah ketidakmampuan kelompok Qadariah dan Jabariah membedakan kehendak Allah terhadap alam (iradah kauniyah) dan kehendak Allah yang bersifat ketetapan syari'at (iradah syar'iyyah). Mereka menyamakan antara kehendak mutlak Allah (iradah) dengan kecintaanNya (mahabbah). Atau dengan kata lain, mereka menyamakan kehendak (masyi'ah) dengan keridhaan Allah (ridha). Mereka pun mengira Allah tidak menghendaki kekafiran dan kemaksiatan dan sekaligus tidak senang padanya. Bagaimana mungkin, kata mereka, Allah menciptakan perbuatan manusia yang mengandung kekufuran dan kemaksiatan. Mereka meyakini, sikap tersebut sebagai upaya memahasucikan Allah dari kezhaliman. Padahal, sikap mereka itulah yang zhalim dalam memahami Allah. 

Sementara itu, kalangan Jabariah mengira Allah sang pencipta segala sesuatu sekaligus mencintai dan meridhai semua perbuatan; maksiat maupun taat. Ini juga akibat dari kegagalan memahami fakta sebenarnya dari al-Qur'an dan as-Sunnah. 

Catatan :

Setiap kelompok teologis merasa sedang memahasucikan Allah dengan sikap mereka masing-masing. Tapi, yang benar hanya yang sesuai dengan generasi terbaik; Rasulullah, sahabat dan kalangan tabi'iin. 

Dua Bentuk Kehendak Allah.

1. KehendakNya terhadap alam semesta (iradah kauniyah).

Yaitu kehendak mutlak Allah terhadap alam semesta tanpa ada pilihan bagi mereka untuk menolak. Di sini, tidak ada istilah taat dan maksiat. Tidak ada pula kaitannya dengan keridhaan dan kecintaanNya. Di sini yang penting adalah KehendakNya berupa masyi'ah. Karena Alam ini hanya perangkat yang tidak sedang dalam masa ujian keimanan, layaknya manusia dan jin. Inilah makna keimanan kita kepada qadha dan Qadar; yang baik maupun yang buruk. Itulah yang Allah kehendaki kepada kita. Kita hanya mengimaninya dan bersyukur jika baik serta bersabar jika buruk. 

2. KehendakNya berupa aturan syariat (agama).

Inilah ketetapan agama yang mengatur perintah dan larangan. Disinilah Kehendak Allah terkait dengan kecintaan (mahabbah) atau kemarahan (ghadab). Sekalipun Allah tidak menyukai kekafiran beserta semua turunannya, tidak berarti Allah tidak membiarkannya terjadi. Itu juga tidak berarti, pembiaran Allah terhadap kemaksiatan berarti ada sesuatu yang menghalangi KehendakNya. Tidak, Allah membiarkan maksiat terjadi sekalipun Dia tidak ridha, hanya sebatas pemberian kebebasan sementara dan terbatas selama manusia berada dalam lingkup ujian (dunia). Karena kalau tidak demikian, ibadah dengan sejumlah syaratnya tidak akan terwujud secara sempurna. Seperti, harapan dan rasa takut kepada Allah yang disertai kecintaan kepadaNya. Jika Allah tidak biarkan maksiat terjadi, maka dunia ini jadi surga; bukan lagi tempat ujian. Jika Allah mengadili ahli maksiat secara langsung tanpa jeda seperti sekarang; misalnya, bagi yang berdosa langsung tuli atau buta. Maka, manusia ibadah bukan lagi karena cinta, tapi murni karena rasa takut. Hilanglah keikhlasan yang menjadi substansi utama ibadah. Dengan hikmahNya, Allah biarkan maksiat terjadi sekalipun tidak senang agar Trac record keaslian manusia terlihat dengan jelas; mana yang taat dan siapa yang maksiat; dalam kebebasan mereka masing-masing. Sehingga neraka bagi yang menyimpang; pantas mereka peroleh. Sedang surga bagi yang taat; berhak mereka miliki. 

Kehendak inilah yang diinginkan Allah dari kita, sehingga kita harus taat melaksanakan perintah dan sabar menghindari larangan. Itulah tujuan dasar keberadaan manusia di bumi ini.

Efektivitas Iman Terhadap Qadha' dan Qadar. 

Dengan konsep keimanan seperti ini wujudlah sikap ketaatan penuh kepada Allah Ta'ala. Manusia menerima dg ikhlas semua perintah. Menghindari semua larangan dengan perasaan lapang dada. Mengesakan Allah dengan sejumlah nama dan sifatNya. Semua itu mewujudkan kebaikan ummat dan berpotensi menyatukan mereka dalam shaf kebenaran. Sekaligus menyelamatkan pribadi muslim dari jalur penyimpangan. 

Keimanan terhadap qadha' dan Qadar ini tampak sangat jelas pada diri manusia dalam hal tawakkal dan permohonan bantuan kepada Allah (isti'anah). Dan, sikap mereka yang sangat fokus demi meminta pertolonganNya (istigasah/isti'anah). Tatkala manusia menyadari bahwa semua kejadian di alam ini telah ditetapkan. Ajal sudah dibatasi, rezeki sudah terbagi. Dan bahwa mereka harus segera memenuhi pengarahan syari'at ilahi dalam melaksanakan perintah dan menjauhi semua bentuk larangan. Dunia yang serba sementara ini tidak lagi menipunya. Dia pun bersungguh sungguh melewati jalan jihad tanpa ragu. Dengan ucapan, syahid atau menang; Karena keduanya dambaan mukmin sejati. Modal keyakinan seperti inilah yang menggerakkan kaum muslimin melawan imperium Persia dan Romawi. Shaf-shaf jihad mereka tembus dan berkata kepada lawan, cinta kami kepada syahid melampaui cinta kalian kepada kehidupan. Ketika Ibnu Taimiyah mengomentari QS al-Insan ayat 30, beliau menegaskan, "Allah menegaskan 2 kehendak sekaligus; KehendakNya dan kehendak hamba. Allah juga menegaskan bahwa Kehendak hamba tetap berada dalam kendali Allah." Beliau juga menerangkan, "Mengandalkan usaha (sebab) termasuk syirik yang menciderai tauhid. Sedang tidak menganggap dan tidak mengakui fungsi usaha (sebab) termasuk kerancuan dan kesalahan rasio. Meninggalkan usaha (sebab) yang dianggap dan diperintahkan syar'iat juga menciderai syari'at itu sendiri. Karenanya, hati hamba harus selalu mengandalkan Allah; bukan terpesona terhadap fungsi usaha. Allah akan mengatur fungsi usaha yang berefek pada perbaikan dunia dan akhirat. Jika usaha tersebut telah diatur dan memang diperintahkan oleh Allah, dia melaksanakannya dengan penuh tawakkal; ketika kewajiban itu dilaksanakan. Tatkala sedang menghadapi musuh, menenteng senjata, memakai pakaian perang; tidak cukup dengan tawakkal tanpa melakukan hal-hal yang dianjurkan agar bisa memenangkan jihad. Siapa pun tidak berusaha sesuai dengan perintah maka dia  tergolong orang lemah, tercela dan  lalai."

Sikap Mukmin Terhadap Takdir.

Ibnu Taimiyah menulis, "Hamba memiliki 2 kondisi terhadap ketetapan alam (iradah kauniyah). Kondisi dan sikap sebelum terjadinya ketentuan takdir dan sikap setelah terjadinya. Sebelum terjadinya takdir dan kajadian alam hendaknya ia terus memohon bantuan Allah dan tawakkal kepadaNya sambil banyak berdoa. Jika takdir alam terjadi di luar kendalinya maka hendaknya ia bersabar atau menerima dengan lapang dada. jika termasuk dalam kategori usahanya; dan itu baik maka dia bersyukur dan memuji Allah. Jika itu terhitung dosa maka harusnya ia Istighfar. Dalam hal aturan dan perintah syari'at (iradah syar'iyyah) juga terdapat dua kondisi. Saat sebelum terjadi dia harus berazam untuk melaksanakan perintah tersebut disertai permohonan kemudahan dari Allah (isti'anah). Dan masa setelah kejadian berupa Istighfar atas segala kekurangan dan bersyukur atas nikmat kebaikan yang diberikan padanya."

Berargumen dengan Takdir dalam Maksiat.

Qadariyah dengan kesimpulannya menyerupai Majusi karena menegaskan adanya pihak lain yang mengadakan keburukan di luar Kehendak, kekuasaan dan penciptaan Allah. Sedang Jabariah mirip dengan kaum pagan yang berkata, kalau Allah mau, tentu kami tidak melakukan kesyirikan bersama nenek moyang kami". Mereka inilah yang beralasan dengan takdir dalam melagalisasi maksiat. Bahkan mereka juga menghapus tugas kehambaan (taklif) dengan alasan takdir; persis seperti kalangan kaum kafir. Mereka menolak pengarahan nabi yang datang untuk menyampaikan perintah dan larangan Allah. 

Intinya, keimanan kepada masalah takdir berarti kesiapan melaksanakan perintah, menghindari larangan dan sikap lapang dada terhadap ketentuan alam semesta yang terjadi (sabar). 

Takdir Tertutup dan Takdir Terbuka.

Takdir yang masih bersifat rahasia (tertutup) adalah ketetapan alam  yang Allah takdirkan terjadi pada diri kita yang harus diimani dalam konsep kepercayaan kepada qadha dan Qadar; yang baik maupun yang buruk. Di sini, rasio kita menyerah tanpa mampu mengerti rahasia ini. Cukuplah sikap menerima dg penuh kesabaran. 

Sedang takdir yang sudah dibukakan rahasianya oleh Allah kita jadikan bukti penguat akan kehebatan Allah yang luar biasa. Akhirnya, tiada kata yang pantas kita sebutkan Kecuali, tiada apapun yang Engkau ciptakan yan tidak berhikmah yaa Allah. Didiklah hamba menuju cinta dan ridhaMu. Kerena itulah kenikmatan terbesar di dunia akhirat. Aamiin.

Turki, 10 November 2019.

Diolah dari kitab an-Naz'ah al-Maddiyah fi al-Alam al-islami, karya Adil at-Tall.
Gerhana; Dari Mitos Menuju Tauhid 
(Petikan Hikmah dan Pelajaran)

By. Idrus Abidin.

Malam ini, Rabu 14 Zulqaidah 1440 H., bertepatan dengan tanggal 17 Juli 2019; tepatnya pukul 03.00 in syaa Allah gerhana bulan setengah akan berlangsung. Sebuah fenomena langit yang dulunya terhitung langka. Namun, seiring dengan usia alam semesta yang makin menua, fenomena gerhana pun berulang kali mengisi keseharian kita. Bahkan, menurut Islam gerhana termasuk bagian dari tanda-tanda dekatnya hari kiamat tiba. Saat kecil dulu, ketika gerhana matahari total terjadi, seluruh kolong-kolong rumah ditutup dengan kain atau sejenisnya. Anak-anak hingga orang dewasa dilarang ngintip matahari yang sedang redup oleh bulan yang sedang menghalangi cahaya itu untuk menggapai bumi. Katanya, kalau ditatap saat puncak gerhana terjadi kalian pasti buta. Belum lagi mitos bahwa naga raksasa sedang menelan matahari. Begitulah mitos kita di Nusantara ini. 
 
Nan jauh di tanah Arab sana, ketika Rasulullah memuncaki kegiatan dakwah, gerhana pun terjadi. Kebetulan bersamaan dengan meninggalnya putra beliau bernama Ibrahim. Maka, serta merta muslim yang baru lepas dari era jahiliah itu  meyakini bahwa gerhana terjadi karena meninggalnya seorang tokoh atau pembesar atau semisalnya. Termasuk meniggalnya putra Rasulullah. Maka, sesegera mungkin Rasulullah membantah keyakinan tersebut dan menyamai pandangan yang tepat berdasarkan perspektif Islam. Bahkan, tak jarang ada yang memberi sesajen agar alam tak murka. Padahal, manusia adalah bos pengelolaan yang seharusnya menundukkan alam ini. Bukan malah menjadi hamba alam yang serba ketakutan, sehingga harus membayar sesajen demi terhindar dari petaka. Demikianlah mitos itu turun temurun diwariskan akibat minimnya pemahaman dan pengetahuan agama. 

Langit, tempat terjadinya gerhana adalah area yang mengandung dua jenis argumentasi sekaligus. Pertama, argumentasi wahyu yang mengarahkan pandangan kita secara batin (iman). Kedua, argumentasi rasional yang mengarahkan indera kita agar memperoleh nilai-nilai keagungan Allah di balik setiap ciptaanNya. Argumentasi wahyu mengajarkan kita bahwa Allah adalah puncak tertinggi wujud. Di bawahNya ada Arasy, Air, Kursy, langit ke-7 hingga langit bumi. Di samping itu, langit juga berpintu, bertingkat tujuh dan berjarak dengan kisaran tertentu serta dihuni oleh kalangan malaikat. Sedang secara rasional, langit ditegaskan sebagai maha karya dan cipta Allah yang luas dan tinggi, namun tak butuh pilar sebagai penyangga (QS ar-Ra'du : 2). Dialah yang memegang kendali langit agar tidak runtuh menimpa bumi (QS al-Hajj : 65). Langit dan Bumi beserta semua struktur alam semesta itu digambarkan oleh Rasulullah di tangan Allah layaknya biji sawi yang disimpan di atas jari jemari; digerakkan semauNya dan sekehendakNya. [Lihat : QS az-Zumar ayat 67]. (Kitab as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Vol. 2, no. 1090). Demikian sedikit cuplikan fenomena langit secara rasional dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 

Selain langit, Allah juga menginformasikan bahwa matahari bersinar (dhiyaa) sedang bulan bercahaya (nur) dan beredar pada poros tertentu agar manusia mengetahui jumlah hari, bulan dan perhitungan tahun. Terjadinya gerhana matahari adalah kondisi di mana bulan sedang berada antara matahari dan bumi sehingga cahaya matahari terhalang dari bumi. Sedang gerhana bulan terjadi karena matahari menghalangi cahaya bulan menyinari bumi. Keduanya adalah fenomena yang menunjukkan kehebatan dan keagungan Allah Ta'ala. Rasulullah menegaskan, 

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Setidaknya ada 3 aspek yang menjadi pelajaran berharga bagi kita karena adanya fenomena gerhana matahari dan bulan :

Pertama, Aspek Akidah. 

Bahwasanya kejadian apapun yang terjadi di alam ini, mutlak atas kehendak, ketetapan dan kekuasaan Allah. Kejadian ini adalah ketetapan dan takdir alam (kauni) yang harus diterima dengan ikhlas dengan mengikuti adab-adabnya berupa takbir, istigfar, shalat dll (takdir syar'i) sehingga kita benar-benar menjadi hamba yang taat dan patuh tanpa syarat kepada Allah sang maha hebat. Kejadian alam yang telah diatur oleh Allah merupakan kepastian yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Karena pada bidang ini, manusia tidak memiliki kebebasan dan opsi apa pun layaknya takdir syar'i yang bisa ditolak oleh orang-orang kafir yang tertutup semua akses pengetahuannya. Ini juga menegaskan perlunya kita senantiasa tunduk, patuh penuh cinta dan full keikhlasan padaNya. Tidak ada tempat bagi keangkuhan dan kesombongan di sini. Karena manusia adalah makhluk kecil tanpa daya di tengah hamparan semesta yang murni berada di bawah kekuasaan Allah Ta'ala. Artinya, bahwa gerhana bukanlah fenomena biasa yang layak diabaikan dan berhenti sebatas tontonan tanpa efek apapun kepada tuntunan agama Islam. Tapi lebih dari itu, gerhana mengajarkan tentang pentingnya rasa takut terhadap otoritas dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Apalagi jika dipahami bahwa terjadinya kerusakan di daratan dan lautan, semuanya akibat dari dosa, maksiat, keserakahan dan kesombongan manusia. Hanya karena ampunan, kasih sayang Allah lah sehingga semuanya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, jika dibandingkan dengan pelanggaran itu, manusia seharusnya sudah terkubur oleh keserakahan mereka sendiri. Naudzubillah. 

Kedua, Aspek Ibadah.

Inilah konsekuensi dari aspek pertama. Bahwa kita seharusnya menunjukkan rasa pengangungan atas kehebatan, kekuasaan dan keagungan Allah dengan melaksanakan shalat, memperbanyak zikir dan do'a. Di samping itu, menyadari sepenuhnya akan kelemahan diri. Sehingga pantas mengucap pengakuan secara jujur, 'La Ilaha Illa anta, subhanaka, inni Kuntu minazzhalimin." (Tiada Tuhan yang pantas disembah selain diriMu. Maha suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang yang berlumuran dosa dan maksiat). Atau pernyataan serupa, "Rabbana zhalamna anfusana. Wain lam tagfirlana watarhamna lanakunanna minazzhalimin." (Ya Rabb kami, sungguh diri ini sering dosa dan maksiat. Jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, pasti kami menjadi makhluk paling merugi). Bahkan, untuk shalat, sangat dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah dengan mengumpulkan masyarakat sekitar melalui informasi via Facebook, Grup-grup WA dan Twitter serta IG. Bahkan kalau perlu, seperti zaman Rasulullah, lewat pengeras suara di masjid-masjid ataupun mushalla, warga dimobilisasi agar berkumpul dengan ucapan dan pengumuman, "Ash-Shalatu jami'ah." (Ayo kumpul untuk shalat bareng-bareng). Karena untuk shalat gerhana tidak ada petunjuk agar azan dan Iqamah dikumandangkan. Walaupun bisa pula ditandai dan diumumkan dengan cara takbiran layaknya idul Fitri atau idul Adha. Tetapi cara seperti ini, sebelum dilakukan, perlu penjelasan kepada masyarakat sekitar agar tidak jadi fitnah yang akan merusak keutuhan ukhuwah imaniyah.

Ketiga, Asfek Sosial dan Muamalah. 

Sebagai mana umumnya ajaran Islam, kualitas keshalehan pribadi diminta agar berefek dan menular ke lingkup yang lebih luas. Dengan rasa syukur sekaligus sebagai wujud rasa takut akan adanya bencana seiring dengan terjadinya gerhana; maka membantu meringankan beban dan kebutuhan sesama termasuk ibadah yang perlu diprioritaskan. Bahkan, pada zaman Rasulullah, memerdekakan budak termasuk amalan sunnah  yang sangat  ditegaskan oleh beliau. Padahal, pembebasan budak termasuk kegiatan sosial yang terhitung mahal di era itu. Kini, perbudakan secara resmi tentu sudah tidak ada. Walaupun perbudakan secara maknawi masih terjadi di mana-mana. Seperti bekerja dengan sistem outsourcing. Bekerja dengan gaji di bawah UMR dll. Semua itu termasuk aspek sosial yang perlu ditangani dengan baik melalui penyadaran dan pemahaman, termasuk melalui kegiatan shalat gerhana seperti ini. Wallahu a'lam. 

Jakarta, 17 Juli 2019.

Wednesday, July 15, 2020

Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah. (Catatan Perjalanan) 3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.

Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah.
(Catatan Perjalanan)  3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.

Hari Pertama.

By. Idrus Abidin.

Turki adalah sebuah wilayah yang membelah dua benua; Asia dan Eropa. Peradaban besar Kristen ortodoks pernah menguasai wilayah ini sekian abad. Haga Sofia masih gagah berdiri sebagai bukti sejarah. Ornamen bunda Maryam dg Zakaria serta nabi Isa masih tergores rapi dg tulisan Ibrani di sini.  Dulu dikenal dg sebutan Imperium Romawi Timur. Atau Bizantium dan konstantinopel. Hingga kaum muslimin menguasainya dengan izin Allah lewat seorang pemuda berumur 22 tahun bernama Muhammad (2)  al-Fatih; Anak dari raja Murad 2. Beliau bertahta pada khilafah Utsmaniyah antara tahun 1451 M. hingga th 1481 M. Beliaulah ternyata yang dimaksud dalam hadits 

«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»

Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Dan sebaik-baik amir ketika itu adalah amirnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan sang amir tersebut. (HR Ahmad)

Selasa pagi, 20 Jumadil Ula 857 H bertepatan pada tanggal 29 Mei 1453 M, serangan terakhir terhadap benteng konstantinopel dilakukan hingga berhasil menguasai kota ini.

Kami tiba di Turki, di Attaturk air port sekitar jam 05.50 pagi waktu lokal. Ternyata waktu Turki persis dan bertepatan dengan waktu Arab Saudi. Kami ditemani oleh tour guide bernama Rehber Murpan Yuparlak yang lebih enjoy dipanggil Marwan. Seorang Turki yang khas dg badan tegak ala militer. Putih bersih dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Awalnya, tampilan sang guide kami mirip preman dg kacamata hitam. Namun, seiring perjalanan Istambul ke Bursa yg berada di benua Asia ini, pembahasannya seputar Istambul dan Turki secara umum; terutama seputar Bursha, membuat saya tercengang. Beliau dalam sekali pemahamannya seputar sejarah Turki era sebelum Islam hingga era keislaman; termasuk Turki Modern. Beliau pernah mengunjungi Indonesia dan bertemu  jodohnya di Jakarta; yang ketika itu bekerja di sebuah perusahaan di sekitar wilayah Kuningan. Tapi bukan wanita Indonesia. Si Marwan bisa bahasa Indonesia, Turki, Rusia, Arab pasaran dan juga Bahasa Inggris. Asal beliau ternyata Suriah. Namun, bapaknya pernah tinggal lama di Saudi Arabia. Selain dia menjelaskan situs-situs Istambul dan Turki yang bersejarah; di saat kami duduk berdua, di mobil, ruang makan hingga di masjid, bahasa Arab lebih enjoy kami gunakan untuk komunikasi dibanding bahasa Indonesia. Tak jarang, ketika dia menjelaskan sebuah ayat atau hadits dalam bahasa Indonesia; saya bantu teksnya dalam bahasa Arab. Beliau ga bisa baca huruf Arab seperti umumnya orang-orang Turki, akibat sekularisme Turki yang sempat menghapus semua yang berbau Arab; termasuk azan, baca Qur'an dll. Beliau hanya bisa baca huruf Arab via tulisan latin; seperti orang Indonesia yang blm bisa baca huruf Arab. Setiap kali ia mengisyaratkan ayat; beliau menyodorkan kepada saya Qur'an tapi dengan hurup latin Turki. Katanya, agar saya bacakan Arabnya dan sedikit arah maknanya (penafsiran).

Pagi-pagi setelah shalat subuh di bandara at-Taturk,  kami bertemu beliau di Bus  untuk bareng ke Bursa. Subuh waktu Turki jam 06. 03 hingga matahari terbit jam 07.30 (syuruq). Perjalanan Istambul Bursa melewati jembatan Utsman Gazi; penghubung benua Asia dan Eropa. Di bawahnya terbentang selat Bosphorus yang menghubungkannya dg laut Marmara. Laut yang menjadi pertemuan dua arus namun tak pernah bisa bersatu; seperti yang disinggung dlm surat ar-Rahman. 

Sepanjang Istambul Bursa, hamparan pohon dan tanaman zaitun memenuhi bukit. Berasa seperti di puncak tapi bukan dg pohon tehnya yang khas. Namun, dg deretan pohon Zaitun yang serba rapi ; tertata apik menghiasi tiap bukit dan pegunungan sepanjang perjalanan.  Ornamen indah di setiap sudut kota yang khas Eropa ini makin membuat hati kami makin jatuh cinta.  Bersih tertata rapi. Sebelumnya, rombongan kami yang terdiri dari 45 orang jama'ah ini singgah sarapan di sebuah warung Nusantara dg makanan khas Turki. Hanya tertulis market. Selainnya berbahasa Turki yang kami sendiri tidak mengerti maknanya sedikit pun.

Munirah ; Toko Turkis Delight Shop. 

Sebelum tiba di Bursa, Marwan membawa kami ke sebuah toko khas Turki bernama Munirah (tulisan Arab dan Latin sekaligus). Di dalamnya terdapat beragam kue-kue khas Turki ; termasuk manisan, berjejer sangat rapi. Di sini, kami dikenalkan dengan bunga Za'faron dg kisaran harga emas setiap gramnya. Karena asli katanya, per gram seharga 75 lira. 1 lira senilai Rp. 2.600. Sehingga per gramnya sekitar Rp. 195.000. Kami ditawari minimal membeli 10 gram dg harga sekitar 1.950.000 disertai tambahan diskon untuk pembelian per sekian gram. Beragam kemasan produk minyak zaitun dan madu; termasuk madu kejantanan khas Turki yang sering dikonsumsi raja-raja turki  Utsmani untuk memuaskan para hareemnya. Hareem adalah istilah untuk permaisuri raja-raja Arab; termasuk Turki yang bukan Arab. Toko ini kelihatannya terhitung internasional. Namun, umumnya dikunjungi oleh pengusaha-pengusaha Arab. Rata-rata penjaga toko adalah anak-anak muda yang lancar berbahasa Arab. Mereka sebagian bisa bahasa Inggris dan Indonesia. Sungguh, motif ekonomi membuat bahasa dipelajari. 

Teringat Madinah yang umumnya penjual bisa bahasa Indonesia. Bahkan, bahasa Jawa dan Sunda; termasuk bahasa Bugis. Saya terkaget ketika di pintu 25 masjid Nabawi terpampang toko Bugis dan tidak jauh dari situ terdapat toko Makassar. Kata salah seorang penjaganya, "masempo-masempo" dalam gaya khas tutur orang-orang Bugis. Padahal mereka adalah orang-orang asli Arab. Saya sedikit ngintip ke dalam, umumnya pengunjung memang orang-orang Bugis Makassar yg juga satu hotel dg kami di Hotel Al-Haram. Yaaah....memang luar masjid adalah miniatur dunia dg deretan toko-toko khas oleh-oleh dan hadiah haji serta umrah. Setiap kali ibadah selesai, jama'ah keluar masjid; para penjaga toko berusaha menggaet pembeli dg bahasa khas daerah masing-masing. Di  Turki pun sama. Keluar dari Blue Mosque Bursa, silk market; pasar sutra langsung menyapa. 

Sebelum tiba di Delight Shop ini, bang Marwan sempat mendemonstrasikan Za'faron ini di depan kami dalam bus di perjalanan. Dg air mineral kemasan 30 ml, sedikit bulir Za'faron dimasukkan. Hanya hitungan detik, semua air kemasan tersebut berubah jadi air dg warna keemasan. Bahkan, di Delight Shop Muniroh kami diberikan kesempatan untuk mencoba nyicip air murni Za'faron yg dicampur dengan madu murni Turki. Termasuk bunga mawar dan misik (kesturi) yang wangi; sekali pun telah dicuci berkali-kali. Kata Marwan, memang Turki ini terkenal sebagai negara pertanian dan perkebunan. Cuaca pagi yang mirip di puncak itu;  termasuk memanjakan kami selama di berada di Bursa. 

Jum'atan Unik  di Masjid Biru (Blue Mosque).

Karena bertepatan hari Jum'at, setelah menikmati belanja Za'faron, zaitun, misik dan  manisan khas Turki, kami akhirnya diantar ke masjid biru oleh si Marwan. Salah satu masjid yang menjadi ikon utama kota Bursa. Masjid ini dibangun sebagai monumen penghargaan terhadap raja Muhammad al-Fatih. Makanya, mesjid ini disebut masjid Fetih. Pusara beliau beserta saudara dan keluarganya ada di samping masjid. Untung saya sempat mengikuti drama sejarah Turki; Abad kejayaan. Sehingga sedikit banyak saya pernah melihat wilayah ini sekalias, walaupun hanya dalam sinetron sejarah. Masjid Biru (Blue Mosque) memang dalamnya dipenuhi ornamen-ornamen warna biru dg kaligrafi yang mirip masjid-masjid yang ada di Iran. Saya masih sangat  penasaran, kenapa ornamen-ornamen masjid di Turki sangat mirip dg motif masjid-masjid di Iran. Padahal, kaligrafer dunia memang dikenal berbangsa Turki. Bisa jadi karena Iran pernah masuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Dalam masjid-masjid Turki, umumnya bertingkat dan terlihat ada ruang-ruang khusus untuk berkhalwat dan i'tikaf. Mirip kayak saung-saung kecil tanpa atap. Di tengahnya terdapat bundaran berisi air mancur yang kadang diminum oleh pengunjung. Di Turki, mungkin karena latar belakang Mazhab Hanafi, sebelum Jum'at; mereka shalat duhur 4 rakaat. Jama'ah begitu ramai. Jarang sekali yang kita lihat memakai songkok. Semuanya memakai kaos kaki. Kami saja yang pengunjung tampak nyeker. Kata sang guide, sengaja agar karpet masjid tidak bau. Di setiap diding masjid; deretan tempat sepatu dan sendal siap menerima titipan. Azan berkumandang dg sangat syahdu. Seolah di seluruh Turki hanya satu nada. Sang Khotib naik mimbar masjid khas Madinah. Namun tinggi menjulang. Pembukaan khutbah sang imam begitu fasih pengucapan Arabnya. Bacaan ayatnya pun ketika mimpin Jum'atan berasa nada Sudais tapi logat Turki. Sayang khutbah berbahasa Turki;  jadinya kurang bisa saya nikmati. Terasa sekali profesionalisme sang khatib. Ternyata, belakangan, sang guide (Marwan) ngasih bocoran, "Imam dan khatib di Turki mendapat bayaran profesional dari pemerintah Turki."

Sehabis Jum'atan, saya tidak mau ketinggalan menjajal pusara Khalifah Muhammad beserta keluarganya. Hanya berada sekitar 400 meter dari masjid Blue Mosque. Pengunjung bebas ambil gambar dan menerawang ke Abad 15, saat kekuasaan dan kendali 3/4 dunia berada di tangan mereka. 

Masjid Ulu Cami yang Tak Kalah Bersejarah. 

Puas dengan Blue Mosque, sekitar jam 14.00 siang, Marwan mengantar kami ke masjid Ulu Jami'. Di sini, Marwan begitu bersemangat menjelaskan seputar masjid ini. Katanya, masjid ini dibangun pada tahun 1399 M. Dibangun selama 7 tahun. Orang-orang Turki meyakini, nabi Khaidir selalu shalat di masjid ini. Memang, laut Marmara sangat diyakini oleh bangsa Turki sebagai  tempat bertemunya nabi Musa dan nabi Khaidir, sebagai mana penuturan surat al-Kahfi. Masjid ini memiliki  20 menara. Di dalamnya terdapat goresan kaligrafi yang dominan huruf wauw. Terasa sekali nuansa tasawwuf di masjid-masjid Turki, termasuk pengaturan kaligrafi dan seni-seninya. Kebetulan penulis juga hobi dengan kaligrafi dan mozaik Islam. Sehingga goresan setiap kaligrafi serta makna-makna di balik itu semua; terutama ketika Marwan menjelaskan hikmah-hikmahnya sangat kental nuansa batin dan isyarinya. Saat duduk makan siang, saya coba konfirmasi penjelasan beliau dikit-dikit. Eh..... ternyata benar. Beliau kagum dg thariqat Jalaluddin Rumi dan sebelumnya Rabi'ah al-Adawiyah; terutama pesan cinta yang terdapat pada keduanya. Sayang, mahabbah (cinta) yg menjadi substansi tasawwuf Rabi'ah al-Adawiyah tidak melibatkan 2 paket ibadah yang lain. Yaitu raja' (rasa penuh harap) dan khauf (rasa penuh cemas); yg sering kami tulis di banyak status dan tulisan kami di FB kami ini.

Hotel Crown Plaza. 

Setelah seharian menjajal Bursa, kami makan siang (sore) di sebuah restoran. Seharian kami belum mandi karena setelah turun dari pesawat; kami langsung menjajal daerah Asia yang bernama Bursa ini. Setelah kunci-kunci kamar dibagikan, tampak rombongan kelelahan. Di kamar hotel, kami lebih prioritaskan mandi-mandi bersih. Lalu rebahkan badan. Magrib dan isya ditunda (ta'khir); termasuk jam makan malam. Di ruang makan, tampak rombongan kami lesu. Bahkan, banyak yang tidak ikut makan malam karena terlelap oleh indahnya kantuk dan nikmatnya suhu AC ruangan akibat seharian  kecapean. Dari Jakarta ke Istanbul butuh 12 jam perjalanan. Plus Istambul ke Bursa sekitar 3 jam; termasuk kemacetan di ruas-ruas perempatan. Yaaah...... demikian sedikit hikmah di balik hari pertama kami di negeri bekas khilafah ini. Semoga sedikit ada selipan inspirasi. Aamiin.

Pesawat Turkish Air Lines, Senin pagi waktu pesawat. 18 November 2019. 

Bersama Al Haramain Wisata; Bukan Main, Luar Biasa. Tagline Resmi Kami.
Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah.  3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.
(Catatan Perjalanan) 

Hari Kedua.

By. Idrus Abidin.

*Check Out dari Crowne Plaza Istambul*

Sesuai progress, Sabtu, 9 November 2019, Jama'ah rombongan; kami bangunkan jam 05.30 agar mandi-mandi dan rapi-rapi sebelum shalat subuh, sarapan dan check out dari hotel. Subuh waktu Turki masih jam 06. 08. Koper kami keluarkan depan kamar masing-masing sebelum shalat subuh dan sarapan pagi. Kami sepakat, jam 06.30 sarapan bareng di lantai R. Ternyata ada juga rombongan lain dari grup Indonesia yang satu hotel. Persis plus 12 hari seperti kami. Jadinya, hampir tiap hari ketemu di tempat2 kunjungan. Bahkan, hingga pulang pun tetap satu pesawat di Turkish *airlines*. Jam 07.30 matahari baru kelihatan bersemangat menatap bumi. Kami meluncur segera biar tidak kena macet kata si Marwan. Tujuan kami adalah Istambul kota; termasuk kediaman presiden Turki, Mr. Erdogan, ditunjuk oleh Marwan saat kami lewat. Bukit Camlica kami daki untuk bisa melihat view Selat Bosphorus dan Eropa dari bukit yang ada di Asia ini. Pengunjung sudah mulai ramai. Bukit Camlica begitu unik. Di atasnya ada taman yang indah. Banyak muda-mudi Turki asyik pacaran. Hampir semua *tourist* dari seluruh dunia ada di sini. Dari yang hidung pesek, termasuk dari China hingga dari benua *Eropa* seperti Rusia dll ada di bukit ini; hingga hidung mancung seperti bangsa *Uzbekistan* dll. Sejam lebih di pagi hari ga cukup memuaskan rombongan kami. Marwan sedikit kesal karena orang Indonesia jam ngaretnya ga terkira katanya. Walaupun terkadang dia lucu, tapi kalau sedang marah ketahuan juga oleh rombongan kami. Saya bolak balik dari bus ke bukit hanya memastikan jangan sampai masih ada rombongan terpesona dg indahnya pemandangan sampai-sampai lupa kampung halaman. Hehehe.....terlalu. 

*Sisa-sisa Bangunan Benteng Konstantinopel.*

Dari Bukit Camlica, kami bergerak menuju toko jaket kulit internasional. Sepanjang jalan, kami *membelah* kota Istanbul. Deretan pagar benteng Konstantinopel membentang sekitar 20 KM. Benteng yang dibangun pada abad ke-4 Masehi ini masih tampak gagah. Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam lahir di abad ke-8 dan ummat Islam baru bisa menguasainya 7 abad setelahnya. Tepatnya pada abad ke-14. Merinding saya rasanya mengingat peristiwa sejarah yang meliputi benteng ini. Kokoh dan tebal dg batu bata besar tampak merah merona. Tak sedikit dinding benteng yang lapuk oleh zaman. Titik lemah yang menjadi jalur masuk kaum muslimin ditunjuk oleh Marwan saat kami melewatinya. Saya merasa banyak jepretan seputar benteng ini. Ternyata setelah saya otak-atik galeri, eh adanya cuman 2 biji. Gelap lagi hasilnya. Nyesel deh kurang inves di bidang kamera sebelum ke negeri Erdogan ini. Memang prinsip saya meminimalkan pengambilan gambar. Tapi karena daya tarik sejarah di setiap objek terlampau menarik untuk dibiarkan berlalu, eh.....jebol juga prinsip saya. 

Sebelum ketemu toko jaket kulit internasional, Laut Marmara tampak membentang di hadapan toko, dihiasi dg taman indah; yang ingin sekali rasanya kami nikmati semilir angin siangnya. Sayang, progres begitu padat. Tak ada sela untuk itu, kecuali sekedar jepret depan-belakang. Semilir angin pantai; memanjakan kulit, walau sudah bersua dg siang hari. Ga berasa matahari Turki menyakiti kami. Padahal, saat itu, peralihan ke musim dingin sedang berjalan. Jaket tebal yang kami bawa pun tak terpakai jadinya.

*Kircil, Internasional Store.*

Jam 11an, kami diarahkan oleh Marwan ke toko jaket kulit internasional. Ternyata Turki adalah penghasil kulit termurah di Eropa. Uni Eropa tidak siap jika Turki bergabung karena otomatis harga-harga di Turki selevel mahalnya dg harga ekonomi Eropa. Tentu itu tidak menguntungkan. Di sini, jaket kulit domba sangat halus. Semua jaket kulit merk internasional berasal dari produksi Turki. Bukan sekedar karpet saja. Terbukti, satu jaket kulit halus hanya kisaran 14 *gram*. 3 grup anggota kami yg rata-rata pengusaha berhasil membeli jaket di tempat ini. Kata si Marwan, di Grand Plaza Indonesia, jaket serupa seharga 40 juta. Khawatir kena pajak barang mewah di cukai Indonesia, tak sedikit yang ragu membeli jaket awalnya. Namun, setelah konfirmasi pihak bea cukai kita di Indonesia, selama bukan untuk bisnis, ga masalah katanya. Jam 12.44, kami keluar dari perusahaan jaket internasional ini untuk makan siang di pinggir Selat Bosphorus. Di sebuah resto yang menghadap langsung ke tanduk emas (horn). Di sini, saya, sopir dan sang guide (Marwan) serta semua rombongan dipuaskan dg nasi + kebab Turki campuran (masyakkal). Daging ayam bakar khas Turki akhirnya ga habis dijajal, karena kebab asli Turki itu jauh menggugah selera. Kata Marwan, kamu habiskan. Entah kenapa, makanan Turki tidak berasa asing bagi saya. Mungkin karena saya sudah mulai membatasi Karbo (nasi dan roti) dan mulai sering makan makanan khas Eropa di hotel Pullman Zamzam Tower, Makkah. _Walhamdulillah_. 

Si Marwan begitu cekatan di setiap tempat yang kami singgahi. Tampak wajah-wajah kagum dari setiap pemilik tempat ketika Marwan datang membawa rombongan. Memang beliau salah satu guide resmi terakreditasi. Pengalamannya dg orang Indonesia yang berkunjung ke Turki sudah beragam. Termasuk ngawal Ust *Felix Siauw* keliling Turki sebelum nulis buku beliau tentang Muhammad al-Fatih. Itu kata beliau ke saya. Di resto ini, salah seorang pemeran Mihrimah Sultan di abad kejayaan ditunjuk oleh si Marwan. Sesi foto-foto pun tak dilewatkan oleh gadis-gadis di rombongan kami. 

Puas dengan kebab Turki plus nasi mirip uduk di Jakarta, kami diarahkan naik Cruise di Selat Bosphorus. Satu jam keliling di tanduk emas ini berasa sangat singkat. Istambul Eropa dan Istambul Asia sangat jelas dari teluk ini. Kisah tentang rantai panjang sekitar  800 meter hingga 1000 meter yang pernah menghalangi kapal perang pasukan Muhammad al-Fatih, termasuk ide digelindingkannya kapal perang tengah malam dg balok-balok besar menaiki bukit agar bisa masuk ke selat berikutnya terbayang begitu dalam. Refleksi tentang betapa berat usaha kaum muslimin menaklukkan imperium Konstantinopel ini begitu hadir sangat dekat di benak saya. 

1 jam bolak balik naik Cruise, dimanjakan oleh lagu Indonesia Raya. Entah kenapa, orang-orang Turki mengerti nasionalisme orang Indonesia. Termasuk lagu kebangsaan mereka diperdengarkan setelah Indonesia Raya selesai beralun. Di sini, tampilan masjid khas Turki dg kubah bundarnya yang khas, kelihatan jelas. Beberapa istana negara berderet di sisi selat, baik yang pernah digunakan Khalifah Turki Utsmani maupun pendiri Turki modern, *Mustafa Kemal Atatürk*. Juga tampak universitas Galatasaray dan jembatan unik yang menghubungkan 2 benua. Di sini, burung-burung seolah ikut berbahagia bersama kami di selat ini. Bergantian terbang mendekat demi umpan makanan. Akrab sekali mereka dg kami; sehingga rasa bahagia seolah mengusir lelah sepanjang 2 hari keliling mengikuti situs-situs bersejarah. 

*Berkunjung Ke Grand Bazaar.*

Pasar senantiasa menjadi bagian dari siklus perjalanan kami. *Grand Bazaar* di Istambul Turki ini berada di kawasan padat penduduk. Di sekitarnya banyak masjid berderet. Ketika waktu ashar tiba, azan dari masjid-masjid terdekat saling bersahut-sahutan. Seoalah sepakat untuk saling bergantian dg nadanya yang khas. Seolah muazzin telah di*briefing* dengan satu nada yang sama. Hebatnya, semua masjid ramai. Termasuk masjid paling dekat dengan Grand Bazaar. Lupa saya nama masjidnya. Di sini, pengunjung pasar dan masjid luar biasa padat. Ini seperti pasar loakan. Karpet bekas hingga peralatan rumah tangga bekas dijual di sini. Karena kurang tidur, saya tidak lagi membersamai rombongan menelusuri kios-kios tradisional. Kata Marwan, di situ kita harus pintar nawar dan harga terhitung tinggi. Di pelataran masjid, manusia dari semua latar belakang agama dan budaya ada. Baik China Muslim (Uighur) maupun China non muslim. Di sinilah uniknya Turki; pertemuan peradaban dunia. Namun, sama-sama akur. Dari yang cadaran hingga yang berpakaian paling ketat; sama-sama mengunjungi situs bersejarah. Muslim, non muslim; termasuk penikmat situs bersejarah walau tak beragama. Saya lebih memilih diam di masjid. Karena kaki dan mata susah diajak kompromi. Sambil duduk saya berusaha ma'tsurat sore disertai kantuk yang luar biasa. Sebelum magrib, kami diajak makan malam di sebuah resto China Muslim. Beef dan fried chicken adalah menu utama. Setelah itu baru check In lagi ke hotel Mercure Istanbul. 

*Check In Hotel Mercure Istanbul.*

Seperti sebelumnya, malam baru kami bisa merasakan nikmatnya istirahat. Ada 2 nenek dan satu kakek bersama kami. Ada yang sekeluarga 9 orang. Ada yg berdelapan. Ada yang bertiga. Tapi semua lelah itu seolah terbayar oleh situs bersejarah yang unik. Malam ini, setelah bersih2 di toilet, shalat magrib dan isya dijamak ta'khir. Baru kumpul di room M atau R hotel untuk makan malam. Bang Marwan kalau sudah masuk hotel pantang sekali untuk diganggu. Padahal, saya sebagai tour leader harus bisa memberi informasi lanjutan seputar kegiatan dan beragam aktivitas esok harinya. Yaah....berasa klo Turki belum cukup hanya 3 hari. Semoga ini semua bagian dari *Rihlah Imaniyah* yang mengokohkan kami dalam *Istiqamah*. Karena, pelaku sejarah di masa lalu akhirnya terkubur dg sejumlah prestasi mereka. Kita akan menjadi bagian dari sejarah; cepat atau lambat. Itulah inti do'a yang kita sampaikan ke setiap pekuburan muslim.

السلام عليكم يا أهل الديار من المسلمين. وإنا إن شاء الله بكم لا حقون . 

Salam sejahtera wahai kalian kaum muslimin penghuni pusara ini. Sungguh, kami pun tidak lama lagi akan ikut bersama kalian. 

Pesawat Turkish Airlines Menuju Indonesia Tercinta.
Senin siang waktu pesawat. 18 November 2019. 

Bersama Al Haramain Wisata; Bukan Main, Luar Biasa. Tagline Resmi Kami.

Ketinggian Zat Allah dan KeberadaanNya di Atas Arasy.

Ketinggian Zat Allah dan KeberadaanNya di Atas Arasy.

By. Idrus Abidin.

Zaman klasik yang mencakup era Nabi, sahabat dan tabiin adalah standar pemahaman Islam yang perlu dijadikan cerminan spiritual dan fokus pengembaraan intelektual. Karena masa itu dipastikan sebagai era pembentukan konsep akidah, khususnya tauhid yang terkoneksi secara langsung dengan kepentingan praktis kaum muslimin. Era itu terkenal sebagai zaman lahirnya moderasi Islam karena pemahaman intelektual dan praktek keseharian langsung mendapat bimbingan dari Allah dan rasulNya. Maka, tak heran jika zaman nabi dan sahabat dikenal sebagai zaman praktis; sama sekali bukan era pengembangan teoretis semata tanpa efek praktis.  

Salah satu permasalahan tauhid yang sudah mapan di era itu adalah seputar Ketinggian Zat Allah dan KeberadaanNya di Atas Arasy secara pribadi (zat). Ketinggian Allah disebut uluwullah dg beragam istilah yang digunakan al-Qur'an. Seperti :

1. Fauqiyah (atas)
2. Istiwa' (bersemayam) 
3. Shu'ud (naik)
4. Uruj (keluar dari bumi menuju langit)
5. Raf'u (naik)
6. Nuzul (turun)
7. Man fi as-Sama' (Siapa di langit [Allah]).

Semua itu adalah istilah resmi syari'at dengan pemaknaan bahasa Arab murni tanpa intervensi peradaban lain. 

Pernyataan Rasulullah pun pada banyak kesempatan menegaskan hal senada, seperti :

1. Hadits budak wanita yang ditanya oleh Rasulullah, "Allah di mana?," Lalu dijawab, "Allah di langit." Hadits ini dirilis oleh Imam Muslim dalam shahih-nya. 

2. Hadits riwayat imam Tirmidzi yang berbunyi :
 الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah yang di atas muka bumi niscaya (Allah) Yang ada di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan sahih oleh Tirmidzi dan disahihkan al-Albani)

3. Dalam kitab Shahih Bukhari pada Bab Firman Allah : Wa kaana ‘Arsyuhu ‘alal-Maa’, Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu menceritakan :
فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Adalah Zainab membanggakan dirinya terhadap istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain, seraya berkata, “Yang menikahkan kalian (dengan Nabi) adalah keluarga-keluarga kalian, sedangkan yang menikahkan aku dengan beliau adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit”.
Dalam riwayat lain : Zainab binti Jahsy berkata :
إن الله أنكحني في السماء
“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit” [HR. Bukhari 8/176].

4. Hadits riwayat imam Muslim, di mana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegaskan : 
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
"Demi Allah yang jiwaku ada dalam genggamanNya, tidak seorang pun suami yang mengajak istrinya ke tempat tidur lalu istri tidak melayaninya; pasti Allah yang ada di langit marah kepadanya hingga sang suami kembali ridha kepadanya."

5. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda
"لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ : إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَب"
“Ketika Allah telah selesai menciptakan makhlukNya Ia menuliskan (ketetapan) dalam sebuah kitab. Yang mana,  kitab tersebut berada padaNya di atas arsy: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku”. [Shahih al-Bukhari, Kitab Bad’ul Khalq. Shahih Muslim, Kitab at-Taubah, Bab Sa’atu Rahmatillah]

Konsesus ulama sebelum era tabi' tabiin.

Konsensus ini in syaa Allah akan dibahas tersediri nantinya.

Petunjuk Fitrah suci. 

Secara fitrawi, manusia otomatis mengarah ke langit ketika sedang mengucapkan senandung do'anya. Di situ, baik pemuda, remaja, orang tua, lelaki dan perempuan ; sama semua keadaannya. Hanya orang-orang yang bermasalah secara kejiwaan yang tidak merasakan kiblat hati mengarah ke langit saat berdoa. Diinformasikan bahwa Syaikh Abu Ja'far al-Hamadani ikut hadir dalam acara debat yang menghadirkan imam al-Haramain. Ketika itu, sang imam berusaha menafikan atribut ketinggian Zat Allah dengan berargumen, "Dulu Allah sudah ada ketika Arasy belum ada. Tentu kondisi Allah sekarang seperti sedia kala itu (tak bertempat)". Lalu Syaikh Abu Ja'far berkata, "Coba jelaskan wahai sang Ustadz tentang kondisi otomatis yang kami rasakan di jiwa kami. Bahwa tak seorang pun ketika berdoa sambil  mengucapkan  ya Allah, kecuali hatinya secara otomatis mengarah kepada Allah yang maha tinggi, tanpa merasa butuh kanan kiri, depan belakang. Lalu bagaimana caranya kami bisa menolak dan menjauhkan perasaan alami tersebut dari jiwa kami ?! Maka, sang imam pun menepuk wajahnya lalu turun dari podium sambil berkata, "al-Hamadani telah membuat pikiranku serba kebingungan". 
  
Dukungan Argumentasi Rasional.

Secara rasional, bisa ditegaskan bahwa keberadaan Allah bersifat nyata dan sama sekali bukan hanya ada dalam dunia khayal kita. Karenanya, bisa jadi Allah berada dalam lingkup alam atau di luar cakupannya. Yang pasti Allah tidak mungkin berada di dalam alam semesta ini karena mustahil Allah bereinkarnasi dan menyatu dengan mereka (hulul). Jadinya, Allah hanya mungkin berada di luar cakupan alam semesta. Jika betul Allah di luar alam semesta maka pilihannya hanya ada 2. Pertama, Dia dilingkupi oleh alam. Tentu hal ini mustahil. Karena hal itu berarti seolah Allah; sebagianNya berada di atas dan bagian lain berada di bawah dengan predikat rendahan. Atau (kedua) Allah berada pada salah satu arah. Sementara, dari 6 kategori arah hanya bagian atas saja yang bernuansa kemuliaan dan kesempurnaan secara total. Kita tentu meyakini bahwa Allah menyandang atribut kesempurnaan, maka bisa dipastikan bahwa arah yang paling sempurna adalah arah ketinggian. Karenanya, Allah seharusnya diberikan karakteristik/atribut kemuliaan. Dengan penjelasan ini tampak nyata kekompakan dan keselarasan antara Wahyu dan rasio  dalam permasalahan ini. Adapun opini yang menyatakan bahwa Allah tidak berada dalam lingkup alam dan bukan pula di luarnya; tidak terkoneksi dan juga tidak terpisah dari alam semesta, maka opini tersebut tidak perlu dipertimbangkan. Toh, opini tersebut bukan termasuk ucapan orang waras yang pantas diberi perhatian. 

Catatan 1 :

Yang jelas, kaum muslimin berkonsensus bahwa Allah menyandang atribut kesempurnaan  sehingga pantas dipuji dan bebas dari indikasi/unsur  kelemahan serta  kekurangan. Makanya Allah harus disucikan. Hanya saja, terjadi perbedaan perspektif terhadap beberapa atribut ketuhanan yang secara tekstual tercantum dalam Al-Qur'an dan diucapkan apa adanya oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Termasuk yang menjadi ajang perdebatan adalah atribut Allah berupa ketinggian Zat dan keberadaanNya di atas Arasy. Bagi kalangan Salaf, menegaskan (itsbat) makna tekstual tersebut tidak berpretensi buruk dan tidak menabrak secara diametral teks syari'at yang lain. Namun, grup studi teologis lainnya menafikan makna tekstual tersebut dan menganggap adanya aroma kemiripan dengan atribut makhluk (tasybih) dengan dukungan argumentasi rasional tertentu seperti menganggap Allah berfisik (jism), bertempat (tahayyuz), menyandang arah tertentu (jihah), berkonotasi pembatasan terhadap keagunganNya (mahdud). Tentu Allah maha suci dari atribut demikian. Karena kalau Dia berfisik berarti Allah terdiri dari beragam unsur dan beberapa bagian (tarkib). Jika terbagi dan berunsur berarti saling membutuhkan. Jika Allah bertempat berarti Allah terbatas. Bila Allah bersemayam berarti Dia bertempat. Jika bertempat berarti Dia butuh kepada tempat. Sejak dulu Allah ada tanpa tempat, maka pastinya Dia kondisinya sekarang seperti dulu yang tak bertempat itu. 

Jawaban untuk syubhat rasional beraroma filosofis dan dialektik ini in syaa Allah akan dianalisa di status berikutnya. 

Catatan ke-2 :

Salah satu dasar argumen menolak metode penegasan salaf seputar ketinggian Allah secara Zat adalah prinsip dasar dalam teologi Islam yang berbunyi bahwa Allah harus disucikan dari atribut makhluk yang serba lemah. Hanya saja, prinsip ini digunakan secara ekstrim (serampangan) oleh kalangan Muktazilah sehingga membabat habis semua atribut (sifat) Allah. Allah diakui namaNya saja tanpa atribut (sifat). Karena meyakini sifat Allah, jika dianggap qadim  berarti timbul pluralitas pada diri Allah (ta'addudul qudama'). Dan itu mengarah kepada kesyirikan yang merusak otoritas tauhid. Karena itupun, Muktazilah disebut menyembah tuhan yang tidak ada atau tidak jelas. 

Di lain pihak, Asy'ariyah dan Maturidiyah, terutama era belakangan hanya mengakui 7 sifat Allah (yang sebelumnya sempat mengakui 20 atribut sifat). Alasannya sama, berusaha menghilangkan indikasi kelemahan (tanzih) dari Allah yang maha sempurna. Namun, tetap saja terjatuh pada sikap mengeliminasi Wahyu (ta'thil) dengan mengklasifikasi ayat-ayat yang berbicara secara tekstual seperti uluwullah ini sebagai ayat-ayat yang berkategori mutasyabihat. Wallahu a'lam.

Stasiun Citayam, 14 Februari 2020.

Syubhat Rasional Seputar Ketinggian Zat Allah dan Jawabannya.

Syubhat Rasional Seputar Ketinggian Zat Allah dan Jawabannya.

By. Idrus Abidin.

Sebelum menjawab syubhat rasional yang menjadi basis penolakan terhadap keyakinan bahwa Allah bersemayam secara zat di atas Arasy, perlu ditegaskan bahwa kaum muslimin berkonsensus bahwa Allah menyandang atribut kesempurnaan  sehingga pantas dipuji (tahmid) dan bebas dari indikasi/unsur  kelemahan serta  kekurangan (tasbih). Makanya Allah harus disucikan dan dipuji sekaligus. Hanya saja, terjadi perbedaan perspektif terhadap ketinggian Allah secara zat ini. 

Bagi kalangan Salaf, menegaskan (itsbat) makna tekstual ketinggian Allah secara zat tidak berpretensi buruk dan tidak menimbulkan konsekwensi tasybih dan tajsim, seperti banyak dituduhkan pihak-pihak tertentu. Makanya, mereka menegaskan ketinggian Allah secara zat, selain ketinggian Allah secara posisi, martabat, keagungan dll. Namun, grup studi teologis lainnya menafikan makna ketinggian zat tersebut dan hanya mengakui ketinggian posisi (uluwul manzilah), martabat (uluwul makanah wal martabah) dan kedudukan Allah ta'alaa (uluwul asy-Sya'n).  Mereka  menganggap, menegaskan ketinggian Zat bagi Allah menimbulkan aroma kemiripan dengan atribut makhluk (tasybih). Belum lagi konsekwensi  logis bernuansa buruk (lawazim aqliyah mazmumah) seperti menganggap Allah berfisik (jism), bertempat (tahayyuz), menyandang arah tertentu (jihah) dan berkonotasi pembatasan terhadap keagunganNya (mahdud). Tentu Allah maha suci dari atribut demikian. Karena kalau Dia berfisik berarti Allah terdiri dari beragam unsur dan beberapa bagian (tarkib). Jika terbagi dan berunsur berarti saling membutuhkan. Jika Allah bertempat berarti Allah terbatas. Bila Allah bersemayam berarti Dia bertempat. Jika bertempat berarti Dia butuh kepada tempat. Sejak dulu Allah ada tanpa tempat, maka pastinya Dia kondisiNya sekarang seperti dulu yang tak bertempat itu. 

Jawaban untuk syubhat rasional beraroma filosofis dan dialektik ini adalah :

Bahwa kita sepakat kalau Allah harus disucikan dari segala bentuk kekurangan dan semua indikasi kelemahan (tanzih). Termasuk memahasucikan Allah dari kemiripan dengan makhluk (tasybih). Kita hanya berbeda sikap pada cakupan dan batasan dari prinsip tanzih ini. Menurut kami, dalam hal ini minimal terdapat 3 kecenderungan. 2 terhitung ekstrim dan hanya 1 kelompok yang moderat (washatiyah). 

A. Kelompok ekstrim yang menolak secara total atau sebagian besar identitas dan atribut (sifat) ketuhanan Allah dg menggunakan konsep tanzih ini hingga tarap maksimal. Bahkan, mereka menolak keras agar Allah jangan pernah diidentifikasi berdasarkan karakteristik keberadaan (wujud) atau kehidupan (hayat). Ketika ditanya seputar karakteristik Allah, mereka menggunakan terminologi penafian/peniadaan secara total dalam jawabannya. Mereka akan berkata, "Allah tidak perlu diidentifikasi ada atau tiada. Dia bukanlah sifat ('ardh) dan bukan pula perangkat (Jauhar), tidak hidup dan tidak mati." Dengan jawaban tersebut, kelompok ekstrim ini menganggap dirinya terhindar dari sikap menyerupakan Allah dengan makhluk (tasybih). Padahal, sadar atau tidak, mereka terjatuh dalam sikap yang jauh lebih buruk; mengeliminasi teks-teks syari'at (muatthhilah) dari makna dasarnya. Bahkan sebelum itu juga, mereka terperosok dalam kubangan ahli tasybih (musyabbihah); karena mengkategorikan Allah sebagai zat yang tidak jelas keberadaanNya (mumtana'at), tak ada eksistensiNya (ma'dumat) dan mustahil wujudNya (muhalat)

 B. Kelompok ekstrim lain yang menghapus prinsip kesucian Allah (tanzih) dari berbagai kekurangan. Sehingga, mereka menyerupakan Allah dengan makhluk secara total atau pada bagian-bagian tertentu. Mereka berani mengatakan, "Tangan Allah seperti tanganku dll."

Kelihatannya, kelompok inilah yang pantas disebut mujassimah (menganggap Allah berfisik seperti makhluk) juga musyabbihah (menyerupai makhluk). Bahkan, kalangan ahlul Sunnah Atsariyah menganggap kelompok ini sebagai mujassimah dan musyabbihah sekaligus. 

C. Kelompok Moderat. Inilah kecenderungan umum ulama Ahlu Sunnah Atsariyah. Mereka menegaskan dan menetapkan karakteristik/atribut bagi Allah dengan tetap menafikan keserupaan dengan makhluk (tasybih). Sikap inilah yang ditegaskan oleh ayat yang mensucikan Allah dari beragam kekurangan secara umum yang berbunyi ; Laisa kamitslihi syai (tidak ada yang serupa dengan Allah), sekaligus menegaskan penetapan atribut Allah secara spesifik dengan firmanNya : wahuwa as-Sami' al-'Alim (Dialah yang maha mendengar dan maha melihat). Kelompok Moderat ini mengamalkan ayat tersebut secara sempurna. Adapun kedua kelompok ekstrim sebelumnya, mereka hanya mengamalkan separuh ayat. Yang pertama menafikan identitas dan atribut Allah secara total atau sebagian, sebagaimana bagian awal ayat. Lalu lalai dari penetapan sifat-sifat Allah secara detail, sebagai mana yang ada di akhir ayat. Sedang kelompok kedua, menegaskan identitas dan atribut Allah secara total (sebagai mana yang ada di ujung ayat) tanpa mengindahkan ayat pensucian (tanzih) yang ada di awal ayat. 

Sebagai konsekwensi dari jalur moderat yang dipilih Ahlu Sunnah Atsariyah, mereka kemudian menetapkan batasan penafian (tanzih) dan penegasan (itsbat) secara proporsional (moderat). Atribut dan karakteristik (sifat)  ketuhanan Allah tetap ditegaskan sebagaimana yang Allah dan rasulNya informasikan. Namun, indikasi keserupaan dengan makhluk tetap dinafikan sedemikian rupa. Seperti menegaskan bahwa Allah bersemayam tapi tidak seperti layaknya manusia. Allah juga memiliki pendengaran namun tidak seperti pendengaran makhlukNya. Allah juga mengetahui tapi tidak seperti pengetahuan makhluk. Demikianlah prinsip akidah yang diimani oleh para sahabat, tabi'in dan kalangan berikutnya. Imam Ishaq bin Rahaweh (Rahuyah) menegaskan, "Tasybih itu terjadi jika ada yang mengatakan ; tangan Allah seperti tanganku. Atau telingaNya seperti telingaku. Itulah tasybih sepenuhnya. 
Adapun jika dia mengatakan, tangan, pendengaran dan pandangan tanpa menunjukkan unsur kaifiah dan tanpa menyebut kata-kata seperti, tentu hal demikian bukan tasybih."

Nuaim bin Hammad al-Khuzai selaku guru senior imam Bukhari rahimahumullah menjelaskan metode moderat ini dengan berkata, "Siapapun menyerupakan Allah dengan makhlukNya tentu sudah kafir. Namun, siapa pun menafikan/mengingkari karakteristik/atribut yang Allah sandangkan untuk diriNya juga sudah termasuk kalangan kafir. Sedangkan atribut dan identitas yang Allah sandangkan untuk diriNya, demikian pula rasulNya; bukanlah tasybih". Karenanya, bukanlah tasybih jika ada yang menegaskan ilmu Allah selama ilmu yang dimaksud sesuai dengan kemuliaanNya. Kemampuan yang setara dengan keagunganNya. Kehendak yang sepadan dengan kehebatanNya. Bersemayam setarap dengan kebesaranNya. Tasybih itu terjadi jika ada yang berkata, ilmuNya seperti pengetahuan kita. KemampuanNya  serupa dengan kemampuan kita. Adapun jika sifat ketuhanan Allah ditegaskan sebagaimana Allah dan rasulNya sendiri menegaskannya dengan tetap menafikan kemiripan atau menegaskan sisi perbedaan antara keduanya; tentu itu bukanlah tasybih sama sekali. 

Konsekwensi Logis-Rasional Beraroma Buruk dan Jawabannya. 

Adapun tuduhan bahwa menegaskan makna lahiriah teks-teks Qur'an dan Sunnah, termasuk Allah bersemayam di atas Arasy akan berefek pada indikasi Allah berfisik (jism), bertempat (tahayyuz) dan berarah (jihah) dll, maka hal seperti ini bisa dijawab secara global dan secara komprehensif (total/terperinci) seperti berikut : 

1. Jawaban global.

Yang jelas Allah menggambarkan bahwa diriNya bersemayam di atas Arasy; sangat tinggi dan terpisah dari seluruh makhluk. Tentu kami sangat menerima dg penuh kepercayaan dan keimanan terhadap informasi tersebut. Namun kami diam terkait konsekwensi logis-rasional yang dipertimbangkan kelompok teologis lain. Konsekwensi logis-rasional tersebut tidak menjadi pembahasan dan pertimbangan kami karena hal demikian tidak disinggung oleh syariat sama sekali. Bahkan, syariat diam dan tidak membahasnya sedikit pun. Dalam syari'at, kita tidak menemukan penegasan (itsbat) atau penafian (nafy) terhadap istilah fisik, arah, tempat, keterbatasan dll terkait dengan atribut dan karakteristik Allah. Tentu mendiamkan hal-hal yang didiamkan dan tidak dipertimbangkan oleh syariat jauh membawa keselamatan dan kemaslahatan akidah dan ibadah; terutama pemikiran dan peradaban serta persatuan kaum muslimin. 

2. Jawaban Komprehensif.

Jawaban model komprehensif ini merinci secara total konsekwensi rasional buruk yang dituduhkan. Seperti, jika fisik yang Anda maksud adalah zat yang bangkit dengan sendiriNya dan sangat mandiri serta tidak butuh pada makhlukNya maka tanpa ragu kami katakan, itulah yang kami tegaskan dan kami dukung. Bahkan pendapat seperti itu kami promosikan dalam setiap tulisan, propaganda dan keyakinan kami. Kami hanya tidak menggunakan istilah fisik. Karena istilah itu tidak kami temukan dalam penuturan syari'at. Namun jika yang dimaksud fisik adalah bagian-bagian tertentu yang saling membutuhkan maka makna seperti itulah yang kami tidak bisa terima dan kami nafikan secara maksimal. Hanya saja, kami tetap meyakini bahwa menafikan makna fisik seperti itu tidak harus menafikan  identitas ketinggian Allah secara zat. Bahkan kami memandang pendapat antum bahwa meyakini Allah berada secara zat di atas Arasy menimbulkan konsekwensi rasional buruk berupa indikasi fisik, tempat, arah dan keterbatasan; itu semua berawal dari sikap kalian sendiri yang menganggap keyakinan seperti itu sebagai bentuk menyerupakan Allah dengan makhlukNya (tasybih). Artinya, bersemayamNya Allah di atas Arasy kalian tuduh sebagai sama dengan perilaku makhluk. Lalu antum simpulkan, semua yang bersemayam pasti berfisik, sedang Allah tidak berfisik; jika demikian, Allah berarti bukan fisik dan tidak berfisik. Menurut kami, dasar berpikir demikian tidak tepat karenanya hasilnya pun menurut kami salah. Allah kan zat unik yang tidak mungkin ada makhluk apa pun yang setaraf dengan diriNya. Karenanya, bersemayamNya tidak akan mungkin pernah mirip apalagi serupa dengan makhluk. 

Selanjutnya, pendapat yang mengatakan bahwa menetapkan makna istiwa berarti menetapkan arah (jihah) dan karenanya membatasi keagungan Allah pada arah tertentu. Maka, kami menegaskan bahwa istilah arah (jihah) juga tidak dianggap dan tidak disebut serta tidak dipertimbangkan oleh Qur'an dan Sunnah sedikit pun. Karenanya, istilah seperti itu kami harus eksplorasi maksudnya. Jika makna jihah di sini adalah tempat keberadaan yang berkategori makhluk, tentu Allah harus disucikan hal demikian. Allah jelas-jelas tidak mungkin bereinkarnasi (hulul) dengan makhluk apa pun sehingga berujung pada keyakinan wahdatul wujud. Kemudian, jika yang dimaksud arah di sini adalah sekedar identifikasi tempat yang tidak berkonsekuensi pembatasan; tentu makna demikian didukung dan diterima oleh kami, Ahlu Sunnah Atsariyah. Namun, dg keyakinan demikian kami tidak merasa melanggar dan menyelisihi kebenaran paten yang sudah kokoh sebelumnya dan juga meyakini tidak ada konsekwensi buruk berupa pembatasan terhadap keagunganNya. Bahkan, menegaskan makna seperti ini termasuk konsekuensi logis rasional positif, seperti yang kami jelaskan pada status FB ini sebelumnya. 

Istilah pembatasan (had) pun tidak kami temukan dalam teks induk syariat. Penegasan dan penafiannya sama sekali tak disinggung oleh Allah dan rasulNya. Jadinya, kami harus mempertanyakan dulu maksud si pembuat istilah ini. Jika maksud dari menafikan arah adalah bahwa Allah tak terbatasi oleh makhluk dan tidak bereinkarnasi padanya, tentu makna demikian tak bermasalah. Itu adalah istilah netral yang tak perlu didebat dan dipersoalkan. Jika makna yang dimaksud adalah bahwa manusia terbatas dan tidak mungkin mengenal Allah secara total, tentu ini juga pemaknaan yang tepat. Namun jika yang dimaksud dengan menafikan batasan di sini adalah bahwa Allah tidak berpisah dari makhluk dan tidak independen darinya; tidak di dalam atau di luar alam, maka kami anggap ini pernyataan orang yang sedang mengigau (hadzayan), ngawur dan rada miring (gila). Tentu makna seperti ini kami tolak mentah-mentah. Bahkan, pernyataan demikian sangat menafikan keberadaan dan zat Allah sekaligus. Makanya, pernyataan demikian mengidentifikasi Allah dengan atribut ketiadaan;  sama sekali tidak mengindikasikan dan menyisakan ruang bagi keberadaan Allah. Abdullah bin Mubarak rahimahullah pernah ditanya, dengan cara apa kami bisa mengenal Allah ?, Maka beliau menjawab, "Bahwa Allah bersemayam di atas Arasy dan terpisah dari makhlukNya." Setelah itu, masih ada yang minta penjelasan tambahan, dengan berkata; 'dengan pembatasan tertentu (bihadd) ? Maka, beliau menjawab, "Ia. Tentunya dengan pembatasan yang hanya diketahui oleh Allah sendiri. Dan, seperti dimaklumi bersama bahwa tidak ada siapa pun yang mampu mengetahui ilmu Allah secara komprehensif (total)."

Dengan penjelasan ini, kami berharap tuduhan musyabbihah dan mujassimah yang sering dituduhkan ke Ahlu Sunnah Atsariyah bisa berkurang. Bahkan klo perlu, bisa diminimalisir sedemikian rupa agar terjadi rekonsiliasi antar Mazhab teologis Ahlu Sunnah di Indonesia, terutama antara Asy'ariyah dan Atsariyah. Harapannya, energi kita tidak habis oleh sesuatu yang bersifat ijtihad; mana yang paling mewakili persfektif utama referensi Islam (orisinil) dan mana yang terpolusi oleh pemikiran luar (dakhil/syubhat). Minimal penjelasan kami ini bisa menetralisir kesalahpahaman dan optimis bisa membangun jembatan kolaborasi untuk saling memahami dan bersama-sama bergandengan tangan memajukan bangunan peradaban Islam. Sekali pun sadar sepenuhnya, jurang perbedaan senantiasa ada. Namun tak perlu diperluas dan diperdalam.  Pluralisme agama: No. Pluralisme Kelompok internal Islam: Yes. Wallahu a'lam. 

Depok, senin, 24 Februari 2020.

Peta dan Struktur Umum Pemikiran Kalam [Teologi] Ahlu Sunnah Wal Jama'ah (Asy'ariyah dan Maturidiyah, Minus Atsariyah) Dalam Studi Islam.

Peta dan Struktur Umum Pemikiran Kalam [Teologi] Ahlu Sunnah Wal Jama'ah (Asy'ariyah dan Maturidiyah, Minus Atsariyah) Dalam Studi Islam.

✍️ Idrus Abidin.

Termasuk peta dan struktur studi (Masa'il) yang berusaha dibangun oleh 2 madrasah Ahlu Sunnah yang cenderung menggunakan pendekatan Kalam dalam debut ilmiahnya perlu disederhanakan agar memudahkan  kita memahami pembahasan. Berikut ini beberapa pilar-pilar studi akidah yang menjadi semacam daftar isi dalam studi Kalam sebagaimana dirumuskan oleh al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu Baina al-Firaq :

A. Masalah Tauhid.

1. Pengujian dan pembuktian kebenaran secara Ontologis, Efistemologis dan Aksiologis. 
2. Pengetahuan seputar kejadian alam semesta berdasarkan bukti-bukti fisik (ajsam) dan bukti-bukti sifat Aksidensi (a'radh).
3. Pengetahuan terkait sang pencipta (Allah) dan sifat-sifat pribadiNya (Sifat Zatiyah).
4.  Mengenal sifat-sifat azaliyah Allah.
5. Mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah.
6. Mengenal keadilan dan hikmah-hikmah Allah.

B. Masalah Kenabian.

7. Mengenal para nabi dan rasul.
8. Mengenal mukjizat para nabi dan karamah para wali.

C. Masalah Keislaman praktis.

9. Mengetahui rukun Islam yang disepakati.
10. Mengenal level tuntunan perintah dan tingkatan nada larangan serta kategori taklif.

D. Kematian, Kiamat,  surga dan neraka.

11. Mengenal akhir kehidupan manusia dan ketetapan mereka di masa depan akhirat.

E. Kepemimpinan.

12. Mengenal sistem kepemimpinan Islam dan syarat-syarat kekuasaannya internasional.

F. Keislaman dan Keimanan

13. Ketentuan hukum seputar iman dan Islam secara global.

G. Wala' bara' (loyalitas dan disloyalitas)

14. Mengenal kriteria hukum para wali dan tingkatan para imam serta level para kalangan bertakwa.
15. Mengetahui kriteria hukum musuh Islam dari kalangan kafir dan para kelompok menyimpang.
15 pilar ini diklaim oleh al-Baghdadi sebagai standar yang disepakati dlm internal Ahlu Sunnah (Asy'ariyah-Maturidiyah) dan menjadi timbangan dalam mengidentifikasi Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau kelompok menyimpang. 

Catatan :

  1. Aroma Kalam sangat tampak dalam menentukan standarisasi pilar-pilar di atas. Terutama poin 2 - 8.
  2. Sistematika standar dan pilar-pilar ini membuktikan mazhab akidah Asy'ariyah dan Maturidiyah terpengaruh secara signifikan oleh kelompok pencetus Kalam; yaitu Muktazilah yang sebenarnya menjadi musuh intelektual mereka sejak awal debut ilmiah.
  3. Standar di atas, di samping mengeliminasi Muktazilah dari ruang dan kategori Ahlu Sunnah wal Jama'ah, juga sekaligus menapikan Ahlu Sunnah Atsariyah. Sehingga pada banyak literatur Asy'ariyah dan Maturidiyah, Atsariyah jarang disebut sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Bahkan, cenderung dianggap mazhab sesat, tekstual, Jumud, tidak dianggap, hanabilah dll. Hingga zaman modern, mereka diserang secara verbal dengan istilah yang berkonotasi negatif; Wahabi, Salafi ekstrim dst.
  4. Sikap tersebut di atas menimbulkan luka mendalam pada jiwa para pendapuk Atsariyah. Sehingga pada banyak kasus, terjadi sikap keras terhadap Asy'ariyah dan Maturidiyah sebagai bentuk serangan defensif dan opensif. Sikap ini masih terus menghiasi suasana intelektual kita hingga hari ini. Terutama era NU dan Muhammadiyah di masa lalu. Termasuk antara salafi dengan Aswaja di era modern di Indonesia kita ini.
  5. Seputar pilar pertama, terkait status ontologis kebenaran dan cara mengetahuinya via Efistemologi ilmu serta nilai gunanya dalam Aksiologi Islam, Atsariyah sepakat.
  6. Tentang kejadian alam dengan dukungan bukti fisik dan sifat untuk membuktikan keberadaan Allah yang terdapat pada poin 2 - 6 sehingga nanti diketahui keharusan Allah mengirim nabi dengan bukti valid berupa mukjizat, sebagai mana yang ada pada poin 7 dan 8 sangat berbeda dengan metode Ahlu Sunnah Atsariyah.
  7. Dalam membuktikan keberadaan Allah, Ahlu Sunnah Atsariyah mengandalkan fitrah bagi yang masih bersih jiwanya. Sedang bagi yang sudah terpapar dengan kesesetan intelektual ataupun budaya, adat istiadat dan hal serupa, pemberdayaan intelektual dengan teori-teori rasional yang disarikan dari Al-Qur'an dan as-Sunnah dilakukan. Di sini, teori fisik dan sifat ala Ahlu kalam tidak diterima. Bahkan, cenderung dianggap bid'ah dan kesesatan yang keluar dari metodologi Wahyu terakhir. Hal ini makin jelas ketika persoalan seputar kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh muslim yang telah balig; apakah syahadat sebagaimana pendapat Ahlu Sunnah Atsariyah; ataukah belajar ekstra keras mengenal Allah lewat bukti-bukti fisik (ajsam) dan bukti-bukti sifat (a'radh) sebagai mana keyakinan ahlul Kalam (Asy'ariyah, Maturidiyah dan Muktazilah).
Bisa dikatakan, mengenal pencipta dalam benak Atsariyah berlaku otomatis dan fitrawi (dharuriyah-fitriyah), sedang versi Ahlu Kalam adalah usaha ilmiah (kasbiyah-nazhariyah). Lebih luas bisa dibaca tulisan kami pada link berikut :
Sedang  pandangan Ahlu Sunnah Atsariyah terkait pemberdayaan bukti-bukti fisik (ajsam) dan sifat Aksidensi (a'radh) dalam membuktikan keberadaan Allah bisa dibaca lebih utuh di FB ustadz Zack Taymee (murid Ust. Anshari Taslim) pada beberapa link berikut :
Demikian catatan umum ini. Semoga bisa mengurai kegelapan jiwa, meretas pemahaman dan sikap saling memahami demi tegaknya kebenaran Islam dan kemajuan peradaban Islam di masa mendatang. Aamiin.

Depok, 19 April 2020 (Ahad, 25 Sya'ban 1441 H)

Peta Mazhab dalam 3 Kategori Studi Tematik Islam.

Peta Mazhab dalam 3 Kategori Studi Tematik Islam. 

✍️ Idrus Abidin. 

Dalam setiap karir ilmiah akademik, setiap pembelajaran harus mengetahui peta umum konsep studi pada setiap cabang atau bidang keilmuan. Termasuk beragam mazhab yang ikut terlibat dalam diskusi dan pada setiap alur keilmuan.
Minimal, 3 peta umum studi Islam ini beserta mazhabnya harus diketahui. (1) Akidah [Teologi], (2). Fiqih [syari'ah], (3). Akhlak [Tasawuf]. Berikut uraian singkatnya : 

(1). Akidah (Teologi).

Dalam kategori akidah, Ahlu Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja) umumnya terbagi dalam 3 Mazhab :
A. Mazhab Asy'ariyah.
B. Mazhab Maturidiyah.
C. Mazhab Atsariyah. 

Ke-3 mazhab Ahlu Sunnah itu umumnya sepakat pada beberapa prinsip rukun iman. Walaupun pada detil pembahasan tetap berbeda karena faktor pendekatan tekstual dan kontekstual (takwil rasional). Kesepakatan itu lebih jelas ketika berhadapan dengan "musuh intelektual" dalam bidang teologi. Seperti Muktazilah yang banyak mengadopsi penyimpangan Jahmiyah. Demikian pula Syi'ah yang banyak terpengaruh dengan konsep akidah Muktazilah. Di sisi lain, kelompok Khawarij juga termasuk gerakan politik yang akhirnya terlibat intens dalam pemikiran teologi Islam. Karena ini ranah perdebatan yang banyak melibatkan filsafat, kelompok Asy'ariyah dan Maturidiyah dianggap paling banyak terlibat belakangan. Walaupun sebenarnya keterlibatan Atsariyah via imam Ahmad, imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam Syafi'i dalam membela perkara akidah juga sangat besar. Imam Ahmad menjadi terdepan karena beliaulah paling terkenal bertahan saat berhadapan dengan fitnah seputar Al-Qur'an; firman atau makhluk, yang dilancarkan oleh Muktazilah lewat tangan kekuasaan di Era awal Bani Abbasiyah. Fakta terakhir ini seringkali terabaikan dalam studi teologi. Belum lagi, Imam Abu Hanifah sering diseret sebagai bagian dari cikal bakal Mazhab Maturidiyah yang dikembangkan oleh imam al-Maturidi di Barat. Klaim terakhir ini tertolak di internal Atsariyah. Bahkan, kedekatan Asy'ariyah senior dengan Maturidiyah di masa lalu seringkali membuat kategorisasi Ahlu Sunnah hanya sebatas mereka berdua. Atsariyah seringkali dilupakan karena dianggap; di samping kritis terhadap Muktazilah, Atsariyah juga kritis kepada Asy'ariyah dan Maturidiyah. Bahkan, kedekatan mereka berdua (imam Asy'ari dan Imam Maturidi) diidentifikasi oleh Atsariyah sebagai hasil dari pengaruh intelektual imam Ibnu Kullab. Yang mana, karena itu, mereka bertiga dikategorikan sebagai sifatiyah. Yakni, mengakui sifat-sifat Allah dg perbedaan pada detail pembahasan. Sifatiyah itu sekedar istilah (identifikasi) yang membedakan mereka dg Muktazilah, yang menafikan sifat-sifat Allah dan hanya mengakui nama-namaNya dalam pengertian Tauhid.

(2). Fiqih (Syari'ah).

Dalam kategori Fiqih, Ahlu Sunnah sangat terkenal polarisasinya dalam 4 mazhab; Hanafiah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah.  Mereka disatukan oleh Prinsip dasar  dalam hal referensi pengetahuan Fiqih, yaitu Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Walaupun mereka berbeda pendapat pada sumber Fiqih lain seperti mashalih mursalah, amalu ahlil Madinah, saddu dzara'i, syar'u man qablana, dll. 

Karena Fiqih adalah turunan Akidah, dalam merumuskan Prinsip-prinsil dan mekanisme ijtihad maka perdebatan teologi berdampak pula ke ranah Ushul Fiqih. Sehingga dalam bidang Ushul Fiqih pun terbentuk 2 Mazhab besar : Mazhab mutakkalimin (terutama poros mazhab Abu Hanifah) dan  fuqaha (poros mazhab Syafi'i). Walaupun ada juga poros sintesis dg dominasi fuqaha yang tetap memberdayakan dasar mutakkalimin seperti yang dilakukan Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhatun Nazhir ilaa Jannatil Munazhir. Kita terakhir menjadi mata kuliah di LIPIA karena memadukan dua mazhab tersebut; termasuk pendapat ushuli kaum teolog luar Ahlu Sunnah wal Jama'ah; Muktazilah. 

(3). Akhlak (Tasawuf)

Kajian akhlak termasuk yang menjadi ranah perbedaan mazhab yang dipelopori oleh Mazhab Bayani (rasa dan intuisi), Burhani (rasio) dan Akhlaqi (Qur'ani Atsari). Ini sudah disinggung secara lebih luas pada status beberapa hari yang di link berikut :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10212752037114711&id=1800833197
Silahkan dirujuk.

Adapun perdebatan Mazhab pada ilmu-ilmu alat seperti bahasa dengan Mazhab Kufiyah dan Bashariyahnya. Juga perbedaan mazhab dalam sastra Arab; itu nanti-nanti aja bahasnya. Walaupun sebenarnya perlu juga membahas mazhab dalam tafsir antara mazhab tekstual (ma'tsur) dengan Mazhab kontekstual (dirayah). Juga mazhab dalam Ilmu Hadits seperti kritik matan dan kritik sanad; baik di ilmu musthalahul hadits maupun ilmu Syarah hadits, tentu perlu juga didalami. Termasuk keragaman pandangan dalam hal otoritas dan kriteria ijma' dalam studi keislaman. Bahkan, mazhab dalam filsafat pun juga perlu disinggung; terutama menunjukkan mana yang benar-benar paling dekat dengan ruh keislaman.
Demikian coretan ringkas ini. Semoga memperkaya horisan keislaman kita semua di masa-masa PSPB seperti ini. Wallahu a'lam. Salam intelektual 

Depok, 18 April 2020 (Sabtu 24 Sya'ban 1441 H)

MANHAJ

MANHAJ
(Metode Berpikir [Studi]; Antara Klaim, Fakta dan Norma [Ideal]. 

By. Idrus Abidin.
__________________

Islam bukan sekedar membawa ajaran kebenaran di tingkat petunjuk pada setiap detil kehidupan (Masa'il). Dari hati, lisan, perbuatan; pribadi, keluarga, lingkungan sosial makro, hingga level negara. Tapi, Islam juga menekankan metode atau manhaj yang tepat, moderat, profesional dan proporsional (Wasa'il). Metode inilah yang disebut manhaj, shirat, sunnah, thariqah, Fiqih dll. Yang mana, substansinya adalah mengetahui dan mengamalkan sesuatu dengan cepat dan tepat (ash-Shirat al-Mustaqim). Terutama dalam hal jalan menuju surga dan terhindar dari neraka dengan cinta Allah (mahabbah). Itulah paket visi misi (konsep dan praktek dunia akhirat) dalam keislaman kita. Walaupun terkadang ada orang dan atau kelompok sudah benar secara manhaj, tapi karena ekstrim dalam klaim kebenaran (truth claim) akhirnya menyimpang juga. Kokohiyun kiri kanan terinfeksi penyakit ini (Takabbur), walaupun belum tentu merasa dan tersadar telah tertipu oleh perangkat lunak iblis ini (talbis iblis). Nadzubillah. 

Di tingkat teori (manhaj), memang kita bisa ideal. Tapi di tataran praktis kita kadang gagal. Karena dalam dunia praktis, kita terlibat secara rasa dan rasio. Intuisi dan nalar kita berduet dan berkolaborasi, walaupun sisi rasa kadang menyeret kita menjauh dari sikap sportif yang menjadi tuntunan akal (idealisme). Itulah manusia dan sikap manusiawinya yang selalu rentan dengan lumpur kesalahan. Sementara, di level teori, kita umumnya terlibat sebatas rasio dan nalar kita. Mungkin itulah hikmah kenapa kita diminta terkadang mengambil jarak dari realitas kehidupan praktis untuk merenungi kembali sisi idealisme kita dengan qiyamullail, i'tikaf dll. Termasuk masa-masa lock down karena covid-19 seperti sekarang. 

Sebenarnya bukan itu inti tulisan ini. Maunya sih ngomongin metode bayani dan burhani dalam tradisi studi Islam kita. Walaupun orang juga kadang abai dengan metode akhlaqi, terutama jika pendekatan diperluas ke ranah Tasawuf. Intinya, dalam eksplorasi pengetahuan Islam telah terbentuk 3 manhaj dan metodologi ilmiah dalam sejarah intelektual kita. Ketiganya adalah : [1]. Metode Irfani. [2]. Metode Burhani. [3]. Metode Akhlaqi. 

1. Metode Irfani (Sufi).

Adalah manhaj studi keislaman yang bertumpu pada teks-teks syari'at dengan pendekatan intuisi (rasa dan hati) yang lebih dominan. Termasuk royal menggunakan tafsir isyari atau makna batin teks-teks keagamaan. Sehingga mengalihkan makna tekstual kepada makna batin tersebut lazim dilakukan dengan alasan adanya tuntunan (qarinah). Takwil akhirnya menjadi konsekwensi yang tak terhindarkan. Baik di ranah Akidah, Fiqih dan Tasawuf. Bahkan, Fiqih dibagi lagi dengan hakikat, syar'iat dan thariqat. Namun, kalau di ranah Tasawuf, yang dimasukkan ke dalam kategori ini biasanya adalah Tasawufnya Rabi'ah al-Adawiyah yang bertumpu pada keikhlasan (cinta/mahabbah). Walaupun abai terhadap 2 paket lainnya; sisi harapan (raja') dan rasa takut (khauf) [wa'ad dan waid]. Maka tidak heran, demi menegaskan fokus mazhab ini kepada keikhlasan, keluarlah statement  bermasalah di mata Ahlu Sunnah (thariqah mu'tabarah). Yaitu, prinsip internal mereka yang berbunyi, "Siapa yang menyembah Allah karena berharap surga atau karena takut neraka, maka ia tergolong musyrik." Akhirnya, kalangan sahabat, tabi'in dll ikut dianggap syirik hanya dengan prinsip ekstrim seperti ini. Padahal, paket Tazkiyatunnafs [Tasawuf] yang lurus manhajnya mengakomodir cinta Allah, penuh harap dan rasa takut dalam lingkup keikhlasan. Itulah manhaj yang tepat. Disebut oleh intelektual belakang dg istilah Neo Tasawuf yang banyak dijelaskan prinsip-prinsipnya oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah dg merujuk jalan rohani yang telah ditunjukkan oleh guru spiritual beliau ; Ibnu Taimiyah rahimahullah.

2. Metode Burhani (Falsafi).

Adalah sebuah metode studi Islam yang mengandalkan kekuatan rasio dalam mencerap ilmu pengetahuan. Keunggulannya adalah kemampuan menghasilkan pengetahuan konseptual (kata yang berfungsi sebagai istilah) dan pemahaman preposisi (kalimat yang berwujud pengertian). Sehingga kata meja dijadikan simbol benda yang berkaki empat yang berfungsi sebagai sarana belajar, alat makan dan hiasan di ruang tamu. Demikian pula manusia, yang dilihat oleh akal bukan personalnya per item; Zaid, Umar, Utsman, tapi sisi kemanusiaannya. Ini contoh pengetahuan konseptual yang menjadi tumpuan metode Burhani. Sedang pengetahuan preposisi adalah ilmu tentang sesuatu melalui kalimat sempurna. Seperti manusia itu bagus atau manusia itu jelek. Bagus jelek dalam kalimat ini adalah predikat yang disandangkan kepada subyek (manusia dalam contoh ini). Pengetahuan konseptual disebut tashawwur dalam logika Arab. Sedang pengetahuan preposisi disebut tashdiq dalam filsafat Arab.
Umumnya filosof muslim mengandalkan metode ini dg beragam kecenderungan mereka. Sehingga mereka menjadi pelanjut Platonisme atau Aristotelianisme dalam peradaban Islam. Sehingga ilmu filsafat dianggap ilmu hikmah agar tidak mudah dicurigai oleh intelektual muslim yang beraliran lain; terutama aliran Akhlaqi. Dialektik antara imam Ghazali dg Tahafut al-Falasifahnya  dengan imam Ibnu  Rusyd dengan Tahafut at-tahafutnya di masa lalu mencerminkan permasalahan internal di kalangan pecintah hikmah model ini. Bahkan di ranah Akidah, metode ini telah melahirkan polarisasi mendalam dg munculnya aliran menyimpang; Khawarij, Syi'ah, Jahmiyah, Muktazilah dll. Semuanya berlindung di balik istilah takwil yaitu menundukkan persfektif Wahyu di bawah pengarahan rasio yang terbatas. Akhirnya, mereka mereduksi Tuhan dg beragam cara; walaupun dg maksud mensucikanNya dari kelemahan. Ada yang menafikan semua sifat-sifatNya. Ada yang menafikan sifat informatif (khabariyah) saja. Adapula yang menganggap sifat-sifat Allah itu sama dan persis dg sifat-sifat makhluk dll. Alasan mereka semua sama; mensucikan Allah dari keserupaan dan kemiripan dengan makhluk (tanzih). Tapi karena lalai dari metode Al-Qur'an dan Sunnah, akhirnya akal dan rasio yang dianggap memproduksi bukti-bukti burhani itu malah menghasilkan perdebatan dan pertentangan luar biasa. Itu di bidang akidah. 

Di bidang Tasawuf, metode ini menghasilkan Mazhab Falsafi yang menjadi cikal bakal wahdatul wujud dan wahdatus Syuhud. Sehingga Tuhan bukan lagi yang ada dalam keimanan kita. Tapi Tuhan ahli wahdatul wujud itu sudah bereinkarnasi dalam tubuh para diri setiap wali. Pandangan yang melebihi jeleknya keyakinan Kristen yang menyatakan, Tuhan bereinkarnasi secara khusus pada diri Yesus.
3. Metode Akhlaqi.
Yaitu metode yang fokus dengan makna-makna yang terkandung dalam lahiriah teks dengan menghindari sikap boros dalam pemberdayaan takwil. Harapannya, menghindari sikap berlebihan dalam pemberdayaan rasio dan rasa bahkan dalam penggunaan teks-teks syari'at sehingga keluar dari rel moderat dan sikap profesional serta harapan untuk tetap konsisten pada jalur profesional (Ihsan/itqan). Mereka tidak anti terhadap intuisi yang dibangun kelompok Bayani dg rasa dan hati mereka. Mereka juga tidak memusuhi rasio dan Burhan yang dikembangkan oleh filosof. Tapi mereka hanya kritis terhadap sikap ekstrim kelompok Bayani dalam pemberdayaan intuisi serta rasa mereka. Sebagaimana mereka kritis pula dengan gaya ekstrim pendapuk Burhan nalar dan logika. Yang mana, menurut Mazhab Akhlaqi ini, rasio, rasa, intuisi dan logika itu telah mereduksi wahyu. Akibatnya, akal dan rasa dimutlakkan, sedang Wahyu dinisbikan (relatif). Karena bagi kelompok Akhlaqi ini, apabila teks Wahyu benar tidak mungkin kontradiksi dengan apapun. Baik itu Wahyu di internal sendiri (Qur'an dengan Qur'an. Hadits dg Qur'an. Hadits dg hadits), rasio (ilmu pengetahuan, realitas [sejarah], Maslahat) dan rasa (hakikat, thariqat, ilham, kasyf, karamah). Kalau pun terasa masih ada kontradiksi, paling pemahaman akal harus diperiksa; benarkah atau terjadi kegagalan dalam memahami maksud teks-teks syari'at. Kalau terbukti makna teks itu pasti, maka akurasi dan penyelarasan (jam'u) mutlak dilakukan. Kalau masih bermasalah, maka tarjih dg memilih yang dianggap paling kokoh sebagai yang terpilih (bisa versi Wahyu, bisa juga versi rasio) harus dilakukan ; tentunya dengan memastikan kronologis sejarah sehingga yang terakhir akan megabrogasi (nasikh) makna pertama. 

Artinya, metode Akhlaqi ini berusaha mengakomodasi dan menyelaraskan semua sarana keilmuan (berita [Wahyu], Indra, rasio, dan rasa tanpa menihilkan makna berita valid yang dibawa oleh syari'at. Sehingga qath'i dan zhanni proporsional. Agar bayani dan burhani berkolaborasi. Semua itu adalah upaya agar mutlaq muqayyad, aam khas, dan syari'at hakikat dll; bekerja sama secara moderat dalam manhaj keislaman kita; teoretis maupun praktisnya. Inilah yang kami upayakan dalam beragam kegiatan dakwah; lisan, tulisan dan pengajaran. Satu lagi, dalam dunia debat, seringkali metode Bayani itu disamakan dg metode agitasi (khithabiyah) yang satu arah, sehingga dianggap lemah ketika berhadapan dengan metode Burhani. Padahal, metode Burhani Al-Qur'an dan Sunnah jauh melebihi kemampuan manusia yang dianggap paling cerdas di alam ini. Karena ini merupakan perbandingan antara Allah dan hambaNya (Qiyas ma'al Fariq). Akhirnya, telinga, akal dan rasa dan semua Indra harus patuh pada Qur'an dan Sunnah. Sehingga telinga, akal, rasa dan Indra cukup sebagai sarana pengetahuan. Jangan sampai menjadi referensi yang menyaingi apalagi menentukan pemaknaan Qur'an dan Sunnah. Dalam kondisi terakhir, Qur'an dan Sunnah jadi makmum, sedang telinga, akal, rasa dan Indra menjadi imam. Nauzubillah. Hanya perpecahan ujungnya. Padahal segala sesuatu, pemutusi adalah Qur'an dan Sunnah serta ijma' ulama al-ummah. Sekian. Maaf, rada-rada serius dan relijius 😅. Mugi-mugi bawa arti dan inspirasi 😍; walaupun hanya lewat literasi dan panduan narasi. Wallahu a'lam.

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form