Wednesday, July 15, 2020

Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah. (Catatan Perjalanan) 3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.

Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah.
(Catatan Perjalanan)  3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.

Hari Pertama.

By. Idrus Abidin.

Turki adalah sebuah wilayah yang membelah dua benua; Asia dan Eropa. Peradaban besar Kristen ortodoks pernah menguasai wilayah ini sekian abad. Haga Sofia masih gagah berdiri sebagai bukti sejarah. Ornamen bunda Maryam dg Zakaria serta nabi Isa masih tergores rapi dg tulisan Ibrani di sini.  Dulu dikenal dg sebutan Imperium Romawi Timur. Atau Bizantium dan konstantinopel. Hingga kaum muslimin menguasainya dengan izin Allah lewat seorang pemuda berumur 22 tahun bernama Muhammad (2)  al-Fatih; Anak dari raja Murad 2. Beliau bertahta pada khilafah Utsmaniyah antara tahun 1451 M. hingga th 1481 M. Beliaulah ternyata yang dimaksud dalam hadits 

«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»

Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Dan sebaik-baik amir ketika itu adalah amirnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan sang amir tersebut. (HR Ahmad)

Selasa pagi, 20 Jumadil Ula 857 H bertepatan pada tanggal 29 Mei 1453 M, serangan terakhir terhadap benteng konstantinopel dilakukan hingga berhasil menguasai kota ini.

Kami tiba di Turki, di Attaturk air port sekitar jam 05.50 pagi waktu lokal. Ternyata waktu Turki persis dan bertepatan dengan waktu Arab Saudi. Kami ditemani oleh tour guide bernama Rehber Murpan Yuparlak yang lebih enjoy dipanggil Marwan. Seorang Turki yang khas dg badan tegak ala militer. Putih bersih dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Awalnya, tampilan sang guide kami mirip preman dg kacamata hitam. Namun, seiring perjalanan Istambul ke Bursa yg berada di benua Asia ini, pembahasannya seputar Istambul dan Turki secara umum; terutama seputar Bursha, membuat saya tercengang. Beliau dalam sekali pemahamannya seputar sejarah Turki era sebelum Islam hingga era keislaman; termasuk Turki Modern. Beliau pernah mengunjungi Indonesia dan bertemu  jodohnya di Jakarta; yang ketika itu bekerja di sebuah perusahaan di sekitar wilayah Kuningan. Tapi bukan wanita Indonesia. Si Marwan bisa bahasa Indonesia, Turki, Rusia, Arab pasaran dan juga Bahasa Inggris. Asal beliau ternyata Suriah. Namun, bapaknya pernah tinggal lama di Saudi Arabia. Selain dia menjelaskan situs-situs Istambul dan Turki yang bersejarah; di saat kami duduk berdua, di mobil, ruang makan hingga di masjid, bahasa Arab lebih enjoy kami gunakan untuk komunikasi dibanding bahasa Indonesia. Tak jarang, ketika dia menjelaskan sebuah ayat atau hadits dalam bahasa Indonesia; saya bantu teksnya dalam bahasa Arab. Beliau ga bisa baca huruf Arab seperti umumnya orang-orang Turki, akibat sekularisme Turki yang sempat menghapus semua yang berbau Arab; termasuk azan, baca Qur'an dll. Beliau hanya bisa baca huruf Arab via tulisan latin; seperti orang Indonesia yang blm bisa baca huruf Arab. Setiap kali ia mengisyaratkan ayat; beliau menyodorkan kepada saya Qur'an tapi dengan hurup latin Turki. Katanya, agar saya bacakan Arabnya dan sedikit arah maknanya (penafsiran).

Pagi-pagi setelah shalat subuh di bandara at-Taturk,  kami bertemu beliau di Bus  untuk bareng ke Bursa. Subuh waktu Turki jam 06. 03 hingga matahari terbit jam 07.30 (syuruq). Perjalanan Istambul Bursa melewati jembatan Utsman Gazi; penghubung benua Asia dan Eropa. Di bawahnya terbentang selat Bosphorus yang menghubungkannya dg laut Marmara. Laut yang menjadi pertemuan dua arus namun tak pernah bisa bersatu; seperti yang disinggung dlm surat ar-Rahman. 

Sepanjang Istambul Bursa, hamparan pohon dan tanaman zaitun memenuhi bukit. Berasa seperti di puncak tapi bukan dg pohon tehnya yang khas. Namun, dg deretan pohon Zaitun yang serba rapi ; tertata apik menghiasi tiap bukit dan pegunungan sepanjang perjalanan.  Ornamen indah di setiap sudut kota yang khas Eropa ini makin membuat hati kami makin jatuh cinta.  Bersih tertata rapi. Sebelumnya, rombongan kami yang terdiri dari 45 orang jama'ah ini singgah sarapan di sebuah warung Nusantara dg makanan khas Turki. Hanya tertulis market. Selainnya berbahasa Turki yang kami sendiri tidak mengerti maknanya sedikit pun.

Munirah ; Toko Turkis Delight Shop. 

Sebelum tiba di Bursa, Marwan membawa kami ke sebuah toko khas Turki bernama Munirah (tulisan Arab dan Latin sekaligus). Di dalamnya terdapat beragam kue-kue khas Turki ; termasuk manisan, berjejer sangat rapi. Di sini, kami dikenalkan dengan bunga Za'faron dg kisaran harga emas setiap gramnya. Karena asli katanya, per gram seharga 75 lira. 1 lira senilai Rp. 2.600. Sehingga per gramnya sekitar Rp. 195.000. Kami ditawari minimal membeli 10 gram dg harga sekitar 1.950.000 disertai tambahan diskon untuk pembelian per sekian gram. Beragam kemasan produk minyak zaitun dan madu; termasuk madu kejantanan khas Turki yang sering dikonsumsi raja-raja turki  Utsmani untuk memuaskan para hareemnya. Hareem adalah istilah untuk permaisuri raja-raja Arab; termasuk Turki yang bukan Arab. Toko ini kelihatannya terhitung internasional. Namun, umumnya dikunjungi oleh pengusaha-pengusaha Arab. Rata-rata penjaga toko adalah anak-anak muda yang lancar berbahasa Arab. Mereka sebagian bisa bahasa Inggris dan Indonesia. Sungguh, motif ekonomi membuat bahasa dipelajari. 

Teringat Madinah yang umumnya penjual bisa bahasa Indonesia. Bahkan, bahasa Jawa dan Sunda; termasuk bahasa Bugis. Saya terkaget ketika di pintu 25 masjid Nabawi terpampang toko Bugis dan tidak jauh dari situ terdapat toko Makassar. Kata salah seorang penjaganya, "masempo-masempo" dalam gaya khas tutur orang-orang Bugis. Padahal mereka adalah orang-orang asli Arab. Saya sedikit ngintip ke dalam, umumnya pengunjung memang orang-orang Bugis Makassar yg juga satu hotel dg kami di Hotel Al-Haram. Yaaah....memang luar masjid adalah miniatur dunia dg deretan toko-toko khas oleh-oleh dan hadiah haji serta umrah. Setiap kali ibadah selesai, jama'ah keluar masjid; para penjaga toko berusaha menggaet pembeli dg bahasa khas daerah masing-masing. Di  Turki pun sama. Keluar dari Blue Mosque Bursa, silk market; pasar sutra langsung menyapa. 

Sebelum tiba di Delight Shop ini, bang Marwan sempat mendemonstrasikan Za'faron ini di depan kami dalam bus di perjalanan. Dg air mineral kemasan 30 ml, sedikit bulir Za'faron dimasukkan. Hanya hitungan detik, semua air kemasan tersebut berubah jadi air dg warna keemasan. Bahkan, di Delight Shop Muniroh kami diberikan kesempatan untuk mencoba nyicip air murni Za'faron yg dicampur dengan madu murni Turki. Termasuk bunga mawar dan misik (kesturi) yang wangi; sekali pun telah dicuci berkali-kali. Kata Marwan, memang Turki ini terkenal sebagai negara pertanian dan perkebunan. Cuaca pagi yang mirip di puncak itu;  termasuk memanjakan kami selama di berada di Bursa. 

Jum'atan Unik  di Masjid Biru (Blue Mosque).

Karena bertepatan hari Jum'at, setelah menikmati belanja Za'faron, zaitun, misik dan  manisan khas Turki, kami akhirnya diantar ke masjid biru oleh si Marwan. Salah satu masjid yang menjadi ikon utama kota Bursa. Masjid ini dibangun sebagai monumen penghargaan terhadap raja Muhammad al-Fatih. Makanya, mesjid ini disebut masjid Fetih. Pusara beliau beserta saudara dan keluarganya ada di samping masjid. Untung saya sempat mengikuti drama sejarah Turki; Abad kejayaan. Sehingga sedikit banyak saya pernah melihat wilayah ini sekalias, walaupun hanya dalam sinetron sejarah. Masjid Biru (Blue Mosque) memang dalamnya dipenuhi ornamen-ornamen warna biru dg kaligrafi yang mirip masjid-masjid yang ada di Iran. Saya masih sangat  penasaran, kenapa ornamen-ornamen masjid di Turki sangat mirip dg motif masjid-masjid di Iran. Padahal, kaligrafer dunia memang dikenal berbangsa Turki. Bisa jadi karena Iran pernah masuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Dalam masjid-masjid Turki, umumnya bertingkat dan terlihat ada ruang-ruang khusus untuk berkhalwat dan i'tikaf. Mirip kayak saung-saung kecil tanpa atap. Di tengahnya terdapat bundaran berisi air mancur yang kadang diminum oleh pengunjung. Di Turki, mungkin karena latar belakang Mazhab Hanafi, sebelum Jum'at; mereka shalat duhur 4 rakaat. Jama'ah begitu ramai. Jarang sekali yang kita lihat memakai songkok. Semuanya memakai kaos kaki. Kami saja yang pengunjung tampak nyeker. Kata sang guide, sengaja agar karpet masjid tidak bau. Di setiap diding masjid; deretan tempat sepatu dan sendal siap menerima titipan. Azan berkumandang dg sangat syahdu. Seolah di seluruh Turki hanya satu nada. Sang Khotib naik mimbar masjid khas Madinah. Namun tinggi menjulang. Pembukaan khutbah sang imam begitu fasih pengucapan Arabnya. Bacaan ayatnya pun ketika mimpin Jum'atan berasa nada Sudais tapi logat Turki. Sayang khutbah berbahasa Turki;  jadinya kurang bisa saya nikmati. Terasa sekali profesionalisme sang khatib. Ternyata, belakangan, sang guide (Marwan) ngasih bocoran, "Imam dan khatib di Turki mendapat bayaran profesional dari pemerintah Turki."

Sehabis Jum'atan, saya tidak mau ketinggalan menjajal pusara Khalifah Muhammad beserta keluarganya. Hanya berada sekitar 400 meter dari masjid Blue Mosque. Pengunjung bebas ambil gambar dan menerawang ke Abad 15, saat kekuasaan dan kendali 3/4 dunia berada di tangan mereka. 

Masjid Ulu Cami yang Tak Kalah Bersejarah. 

Puas dengan Blue Mosque, sekitar jam 14.00 siang, Marwan mengantar kami ke masjid Ulu Jami'. Di sini, Marwan begitu bersemangat menjelaskan seputar masjid ini. Katanya, masjid ini dibangun pada tahun 1399 M. Dibangun selama 7 tahun. Orang-orang Turki meyakini, nabi Khaidir selalu shalat di masjid ini. Memang, laut Marmara sangat diyakini oleh bangsa Turki sebagai  tempat bertemunya nabi Musa dan nabi Khaidir, sebagai mana penuturan surat al-Kahfi. Masjid ini memiliki  20 menara. Di dalamnya terdapat goresan kaligrafi yang dominan huruf wauw. Terasa sekali nuansa tasawwuf di masjid-masjid Turki, termasuk pengaturan kaligrafi dan seni-seninya. Kebetulan penulis juga hobi dengan kaligrafi dan mozaik Islam. Sehingga goresan setiap kaligrafi serta makna-makna di balik itu semua; terutama ketika Marwan menjelaskan hikmah-hikmahnya sangat kental nuansa batin dan isyarinya. Saat duduk makan siang, saya coba konfirmasi penjelasan beliau dikit-dikit. Eh..... ternyata benar. Beliau kagum dg thariqat Jalaluddin Rumi dan sebelumnya Rabi'ah al-Adawiyah; terutama pesan cinta yang terdapat pada keduanya. Sayang, mahabbah (cinta) yg menjadi substansi tasawwuf Rabi'ah al-Adawiyah tidak melibatkan 2 paket ibadah yang lain. Yaitu raja' (rasa penuh harap) dan khauf (rasa penuh cemas); yg sering kami tulis di banyak status dan tulisan kami di FB kami ini.

Hotel Crown Plaza. 

Setelah seharian menjajal Bursa, kami makan siang (sore) di sebuah restoran. Seharian kami belum mandi karena setelah turun dari pesawat; kami langsung menjajal daerah Asia yang bernama Bursa ini. Setelah kunci-kunci kamar dibagikan, tampak rombongan kelelahan. Di kamar hotel, kami lebih prioritaskan mandi-mandi bersih. Lalu rebahkan badan. Magrib dan isya ditunda (ta'khir); termasuk jam makan malam. Di ruang makan, tampak rombongan kami lesu. Bahkan, banyak yang tidak ikut makan malam karena terlelap oleh indahnya kantuk dan nikmatnya suhu AC ruangan akibat seharian  kecapean. Dari Jakarta ke Istanbul butuh 12 jam perjalanan. Plus Istambul ke Bursa sekitar 3 jam; termasuk kemacetan di ruas-ruas perempatan. Yaaah...... demikian sedikit hikmah di balik hari pertama kami di negeri bekas khilafah ini. Semoga sedikit ada selipan inspirasi. Aamiin.

Pesawat Turkish Air Lines, Senin pagi waktu pesawat. 18 November 2019. 

Bersama Al Haramain Wisata; Bukan Main, Luar Biasa. Tagline Resmi Kami.
Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah.  3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.
(Catatan Perjalanan) 

Hari Kedua.

By. Idrus Abidin.

*Check Out dari Crowne Plaza Istambul*

Sesuai progress, Sabtu, 9 November 2019, Jama'ah rombongan; kami bangunkan jam 05.30 agar mandi-mandi dan rapi-rapi sebelum shalat subuh, sarapan dan check out dari hotel. Subuh waktu Turki masih jam 06. 08. Koper kami keluarkan depan kamar masing-masing sebelum shalat subuh dan sarapan pagi. Kami sepakat, jam 06.30 sarapan bareng di lantai R. Ternyata ada juga rombongan lain dari grup Indonesia yang satu hotel. Persis plus 12 hari seperti kami. Jadinya, hampir tiap hari ketemu di tempat2 kunjungan. Bahkan, hingga pulang pun tetap satu pesawat di Turkish *airlines*. Jam 07.30 matahari baru kelihatan bersemangat menatap bumi. Kami meluncur segera biar tidak kena macet kata si Marwan. Tujuan kami adalah Istambul kota; termasuk kediaman presiden Turki, Mr. Erdogan, ditunjuk oleh Marwan saat kami lewat. Bukit Camlica kami daki untuk bisa melihat view Selat Bosphorus dan Eropa dari bukit yang ada di Asia ini. Pengunjung sudah mulai ramai. Bukit Camlica begitu unik. Di atasnya ada taman yang indah. Banyak muda-mudi Turki asyik pacaran. Hampir semua *tourist* dari seluruh dunia ada di sini. Dari yang hidung pesek, termasuk dari China hingga dari benua *Eropa* seperti Rusia dll ada di bukit ini; hingga hidung mancung seperti bangsa *Uzbekistan* dll. Sejam lebih di pagi hari ga cukup memuaskan rombongan kami. Marwan sedikit kesal karena orang Indonesia jam ngaretnya ga terkira katanya. Walaupun terkadang dia lucu, tapi kalau sedang marah ketahuan juga oleh rombongan kami. Saya bolak balik dari bus ke bukit hanya memastikan jangan sampai masih ada rombongan terpesona dg indahnya pemandangan sampai-sampai lupa kampung halaman. Hehehe.....terlalu. 

*Sisa-sisa Bangunan Benteng Konstantinopel.*

Dari Bukit Camlica, kami bergerak menuju toko jaket kulit internasional. Sepanjang jalan, kami *membelah* kota Istanbul. Deretan pagar benteng Konstantinopel membentang sekitar 20 KM. Benteng yang dibangun pada abad ke-4 Masehi ini masih tampak gagah. Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam lahir di abad ke-8 dan ummat Islam baru bisa menguasainya 7 abad setelahnya. Tepatnya pada abad ke-14. Merinding saya rasanya mengingat peristiwa sejarah yang meliputi benteng ini. Kokoh dan tebal dg batu bata besar tampak merah merona. Tak sedikit dinding benteng yang lapuk oleh zaman. Titik lemah yang menjadi jalur masuk kaum muslimin ditunjuk oleh Marwan saat kami melewatinya. Saya merasa banyak jepretan seputar benteng ini. Ternyata setelah saya otak-atik galeri, eh adanya cuman 2 biji. Gelap lagi hasilnya. Nyesel deh kurang inves di bidang kamera sebelum ke negeri Erdogan ini. Memang prinsip saya meminimalkan pengambilan gambar. Tapi karena daya tarik sejarah di setiap objek terlampau menarik untuk dibiarkan berlalu, eh.....jebol juga prinsip saya. 

Sebelum ketemu toko jaket kulit internasional, Laut Marmara tampak membentang di hadapan toko, dihiasi dg taman indah; yang ingin sekali rasanya kami nikmati semilir angin siangnya. Sayang, progres begitu padat. Tak ada sela untuk itu, kecuali sekedar jepret depan-belakang. Semilir angin pantai; memanjakan kulit, walau sudah bersua dg siang hari. Ga berasa matahari Turki menyakiti kami. Padahal, saat itu, peralihan ke musim dingin sedang berjalan. Jaket tebal yang kami bawa pun tak terpakai jadinya.

*Kircil, Internasional Store.*

Jam 11an, kami diarahkan oleh Marwan ke toko jaket kulit internasional. Ternyata Turki adalah penghasil kulit termurah di Eropa. Uni Eropa tidak siap jika Turki bergabung karena otomatis harga-harga di Turki selevel mahalnya dg harga ekonomi Eropa. Tentu itu tidak menguntungkan. Di sini, jaket kulit domba sangat halus. Semua jaket kulit merk internasional berasal dari produksi Turki. Bukan sekedar karpet saja. Terbukti, satu jaket kulit halus hanya kisaran 14 *gram*. 3 grup anggota kami yg rata-rata pengusaha berhasil membeli jaket di tempat ini. Kata si Marwan, di Grand Plaza Indonesia, jaket serupa seharga 40 juta. Khawatir kena pajak barang mewah di cukai Indonesia, tak sedikit yang ragu membeli jaket awalnya. Namun, setelah konfirmasi pihak bea cukai kita di Indonesia, selama bukan untuk bisnis, ga masalah katanya. Jam 12.44, kami keluar dari perusahaan jaket internasional ini untuk makan siang di pinggir Selat Bosphorus. Di sebuah resto yang menghadap langsung ke tanduk emas (horn). Di sini, saya, sopir dan sang guide (Marwan) serta semua rombongan dipuaskan dg nasi + kebab Turki campuran (masyakkal). Daging ayam bakar khas Turki akhirnya ga habis dijajal, karena kebab asli Turki itu jauh menggugah selera. Kata Marwan, kamu habiskan. Entah kenapa, makanan Turki tidak berasa asing bagi saya. Mungkin karena saya sudah mulai membatasi Karbo (nasi dan roti) dan mulai sering makan makanan khas Eropa di hotel Pullman Zamzam Tower, Makkah. _Walhamdulillah_. 

Si Marwan begitu cekatan di setiap tempat yang kami singgahi. Tampak wajah-wajah kagum dari setiap pemilik tempat ketika Marwan datang membawa rombongan. Memang beliau salah satu guide resmi terakreditasi. Pengalamannya dg orang Indonesia yang berkunjung ke Turki sudah beragam. Termasuk ngawal Ust *Felix Siauw* keliling Turki sebelum nulis buku beliau tentang Muhammad al-Fatih. Itu kata beliau ke saya. Di resto ini, salah seorang pemeran Mihrimah Sultan di abad kejayaan ditunjuk oleh si Marwan. Sesi foto-foto pun tak dilewatkan oleh gadis-gadis di rombongan kami. 

Puas dengan kebab Turki plus nasi mirip uduk di Jakarta, kami diarahkan naik Cruise di Selat Bosphorus. Satu jam keliling di tanduk emas ini berasa sangat singkat. Istambul Eropa dan Istambul Asia sangat jelas dari teluk ini. Kisah tentang rantai panjang sekitar  800 meter hingga 1000 meter yang pernah menghalangi kapal perang pasukan Muhammad al-Fatih, termasuk ide digelindingkannya kapal perang tengah malam dg balok-balok besar menaiki bukit agar bisa masuk ke selat berikutnya terbayang begitu dalam. Refleksi tentang betapa berat usaha kaum muslimin menaklukkan imperium Konstantinopel ini begitu hadir sangat dekat di benak saya. 

1 jam bolak balik naik Cruise, dimanjakan oleh lagu Indonesia Raya. Entah kenapa, orang-orang Turki mengerti nasionalisme orang Indonesia. Termasuk lagu kebangsaan mereka diperdengarkan setelah Indonesia Raya selesai beralun. Di sini, tampilan masjid khas Turki dg kubah bundarnya yang khas, kelihatan jelas. Beberapa istana negara berderet di sisi selat, baik yang pernah digunakan Khalifah Turki Utsmani maupun pendiri Turki modern, *Mustafa Kemal Atatürk*. Juga tampak universitas Galatasaray dan jembatan unik yang menghubungkan 2 benua. Di sini, burung-burung seolah ikut berbahagia bersama kami di selat ini. Bergantian terbang mendekat demi umpan makanan. Akrab sekali mereka dg kami; sehingga rasa bahagia seolah mengusir lelah sepanjang 2 hari keliling mengikuti situs-situs bersejarah. 

*Berkunjung Ke Grand Bazaar.*

Pasar senantiasa menjadi bagian dari siklus perjalanan kami. *Grand Bazaar* di Istambul Turki ini berada di kawasan padat penduduk. Di sekitarnya banyak masjid berderet. Ketika waktu ashar tiba, azan dari masjid-masjid terdekat saling bersahut-sahutan. Seoalah sepakat untuk saling bergantian dg nadanya yang khas. Seolah muazzin telah di*briefing* dengan satu nada yang sama. Hebatnya, semua masjid ramai. Termasuk masjid paling dekat dengan Grand Bazaar. Lupa saya nama masjidnya. Di sini, pengunjung pasar dan masjid luar biasa padat. Ini seperti pasar loakan. Karpet bekas hingga peralatan rumah tangga bekas dijual di sini. Karena kurang tidur, saya tidak lagi membersamai rombongan menelusuri kios-kios tradisional. Kata Marwan, di situ kita harus pintar nawar dan harga terhitung tinggi. Di pelataran masjid, manusia dari semua latar belakang agama dan budaya ada. Baik China Muslim (Uighur) maupun China non muslim. Di sinilah uniknya Turki; pertemuan peradaban dunia. Namun, sama-sama akur. Dari yang cadaran hingga yang berpakaian paling ketat; sama-sama mengunjungi situs bersejarah. Muslim, non muslim; termasuk penikmat situs bersejarah walau tak beragama. Saya lebih memilih diam di masjid. Karena kaki dan mata susah diajak kompromi. Sambil duduk saya berusaha ma'tsurat sore disertai kantuk yang luar biasa. Sebelum magrib, kami diajak makan malam di sebuah resto China Muslim. Beef dan fried chicken adalah menu utama. Setelah itu baru check In lagi ke hotel Mercure Istanbul. 

*Check In Hotel Mercure Istanbul.*

Seperti sebelumnya, malam baru kami bisa merasakan nikmatnya istirahat. Ada 2 nenek dan satu kakek bersama kami. Ada yang sekeluarga 9 orang. Ada yg berdelapan. Ada yang bertiga. Tapi semua lelah itu seolah terbayar oleh situs bersejarah yang unik. Malam ini, setelah bersih2 di toilet, shalat magrib dan isya dijamak ta'khir. Baru kumpul di room M atau R hotel untuk makan malam. Bang Marwan kalau sudah masuk hotel pantang sekali untuk diganggu. Padahal, saya sebagai tour leader harus bisa memberi informasi lanjutan seputar kegiatan dan beragam aktivitas esok harinya. Yaah....berasa klo Turki belum cukup hanya 3 hari. Semoga ini semua bagian dari *Rihlah Imaniyah* yang mengokohkan kami dalam *Istiqamah*. Karena, pelaku sejarah di masa lalu akhirnya terkubur dg sejumlah prestasi mereka. Kita akan menjadi bagian dari sejarah; cepat atau lambat. Itulah inti do'a yang kita sampaikan ke setiap pekuburan muslim.

السلام عليكم يا أهل الديار من المسلمين. وإنا إن شاء الله بكم لا حقون . 

Salam sejahtera wahai kalian kaum muslimin penghuni pusara ini. Sungguh, kami pun tidak lama lagi akan ikut bersama kalian. 

Pesawat Turkish Airlines Menuju Indonesia Tercinta.
Senin siang waktu pesawat. 18 November 2019. 

Bersama Al Haramain Wisata; Bukan Main, Luar Biasa. Tagline Resmi Kami.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form