Monday, July 6, 2020

Sikap Moderat Ahlu Sunnah Atsariyah Dalam Pemberdayaan Rasionalitas Islam.

Sikap Moderat Ahlu Sunnah Atsariyah Dalam Pemberdayaan Rasionalitas Islam. 

By. Idrus Abidin.

Salah satu bentuk sikap proporsional dan profesional Ahlu Sunnah Atsariyah adalah pemberdayaan mereka terhadap rasionalitas Islam yang moderat. Di sini terdapat minimal tiga sikap, dua termasuk ekstrim :

1. Sikap ekstrim filosof dan Ahlu Kalam yang menjadikan akal sebagai yang utama melampaui teks-teks syari'at dalam bidang penalaran dan argumentasi.

2. Sikap ekstrim ahli Tasawuf yang mencela akal, menolak pandangan rasio murni (sharih) dan merusak citra penalaran dan kandungan argumentasi rasional syari'at. 

Ahlu Sunnah Atsariyah berusaha mengambil posisi tengah dengan menyatakan bahwa rasio tetap sebagai sarana fungsional (alat memahami) untuk bisa menggapai ilmu dan mencapai kesempurnaan amal. Maka, pandangan yang bertentangan dengan rasio swa bukti (badihi) dipastikan bagian dari hawa nafsu dan kebatilan. Karena itulah, Allah memerintahkan kita bertadabbur pada banyak ayat; sebagai bentuk penegasan dan dukungan bahwa rasio adalah sarana utama untuk mengetahui hujjah-hujjah Allah terhadap makhlukNya. Namun pada waktu yang sama, mereka juga melihat bahwa rasio bukanlah sarana pengetahuan yang independen. Tetap saja rasio sangat membutuhkan pengarahan Wahyu. Karena walau bagaimanapun, rasio tetaplah potensi jiwa yang setara dengan kekuatan Indra seperti pengelihatan yang dimiliki mata. Jika rasio terhubung dengan cahaya iman; Al-Qur'an dan Sunnah maka kekuatannya seperti mata yang berkolaborasi dengan cahaya matahari atau semua jenis cahaya. Jika mata berusaha independen, dipastikan ia tidak bisa mencerap objek dengan sendirinya.

Dengan demikian, Ahlu Sunnah Atsariyah tetap berargumen dengan rasio tetapi tidak secara mutlak. Argumentasi rasional Ahlu Sunnah Atsariyah tetap bergerak berdasarkan pada prinsip-prinsip metodologis yang bisa mengarahkan langkah-langkahnya agar tetap berada pada jalur moderat. Prinsip-prinsip metodologis tersebut seperti :

1. Dalil rasional tetap harus syar'i.
2. Wahyu merupakan dasar utama semua bentuk dalil dalam Islam.
3. Teks-teks Wahyu dipastikan tidak akan kontradiksi dengan rasio murni.
4. Tidak ada permasalahan yang bernuansa syariat kecuali pasti bisa diselesaikan dengan dalil syar'i (Wahyu dan rasio). 

Kategori Dalil Syar'i. 

Jika hal tersebut sudah dimengerti, pertanyaan berikutnya adalah, apakah dalil syar'i itu?  Dalil syar'i adalah semua dalil yang diperintahkan oleh Allah atau ditunjukkan olehNya atau dibolehkan pemberdayaannya. Dalil syar'i terdiri dari 3 kategori :

1. Dalil syar'i yang tidak bisa diketahui kecuali via Wahyu (riwayat). Rasio sama sekali tidak berperan di sini. Ini disebut dalil syar'i informatif (sam'i). Contohnya seperti informasi seputar malaikat, berita terkait Arasy dan permasalahan akidah secara detail. Termasuk detail perintah dan larangan Allah. 

2. Dalil syar'i yang diajarkan oleh syari'at, yang mengandung argumentasi rasional, termasuk perumpamaan-perumpamaan (amtsal madrubah)  yang ditampilkan oleh Wahyu. Ini termasuk dalil syar'i rasional (aqli). Contohnya seperti penegasan keesaan Allah, menafikan semua bentuk kesyirikan, menegaskan adanya kenabian dan adanya hari kebangkitan.

3. Dali syar'i yang dibolehkan oleh syari'at. Seperti yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan Sunnah, ditunjukkan pula oleh apa yang ada di sekitar kita melalui upaya observasi. Seperti hal-hal yang bersifat duniawi; termasuk masalah kedokteran, matematika, pertanian, industri hingga bisnis. Intinya, selama dalil seperti ini bisa mengarahkan kepada keyakinan dan menyampaikan kepada pemahaman yang baik, pasti dianggap termasuk dalam kategori dalil syar'i ini.

Dengan demikian, dalil syar'i memiliki karakteristik seperti berikut :

A. Pasti benar. Karena sifatnya sebagai dalil syar'i memberinya nilai terpuji dan nilai kemuliaan.

B. Dalil syar'i harus dinomorsatukan. Tidak boleh dibenturkan dengan dalil lain yang tidak syar'i. Dalil syar'i pasti diutamakan dibandingkan dengan dalil yang tidak syar'i. 

C. Dalil syar'i bisa bisa bersifat informatif (sam'i) dan bisa pula berkategori rasional (aqli).

D. Dalil syar'i hanya bisa dihadap-hadapkan dengan dalil yang bersifat bid'ah. Karena dalil yang bersifat bid'ah ini memberikan kesan buruk padanya. Makanya, tidak boleh mempertentangkan antara dalil syar'i dengan dalil rasional. 

Makanya, sebelum membangun argumentasi dan penalaran, seharusnya kita memahami dulu dalil mana saja yang tergolong dalil syar'i dan mana yang tidak termasuk dalil syar'i. Realitas lapangan menunjukkan adanya pihak yang memasukkan dalil bid'ah ke dalam dalil syar'i. Demikian pula sebaliknya. Ada yang menganggap dalil syar'i sebagai bid'ah sehingga pantas dikeluarkan dari ranah syariat. Adapula yang mengategorikan dalil syar'i masuk dalam kategori dalil rasional. 

Syariat Telah Mengkafer Semua Hal yang Bernuansa Keagamaan.

Semua yang dibutuhkan manusia dalam sikap keberagamaannya sudah dikafer seluruhnya oleh syari'at. Baik yang sifatnya kebutuhan primer (dharuriyat), kebutuhan sekunder (hajiyat) dan kebutuhan tersier (takmiliyaat). Karenanya, segala peristiwa dan kejadian yang belum memiliki ketetapan syariat, bisa diketahui hukumnya melalui perangkat ijtihad. Tinggal satuan peristiwa atau kejadian parsial tersebut (juz'i) dihubungkan dengan ketentuan umum (kulliyat) Syariat. Juga perlu ditegaskan bahwa realitas atau peristiwa baru yang ada sekarang, bisa jadi dibutuhkan atau tidak. Jika dibutuhkan berarti dipastikan masuk dalam ranah ijtihad berdasarkan pada prinsip metodologis yang telah diatur oleh syari'at Islam sendiri. Tinggal upaya serius dari ahli hukum Islam untuk meninjau dalil spesifik yang melandasinya dan menerapkannya secara resmi pada peristiwa serupa di masa depan nanti. 

Adapun hal-hal yang tidak dibutuhkan manusia dalam keberagamaannya, dipastikan itu termasuk kreativitas mubaddzir (bid'ah) yang diadakan tanpa ada urgensitasnya. Bahkan, telah menjadi sarana perpecahan sekaligus menghabiskan energi ummat dari pemberdayaan intelektual; terutama ijtihad untuk menemukan hukum baru terhadap peristiwa baru. Belum lagi ta'shil islami (islamisasi pengetahuan) terhadap beragam pengetahuan sosial modern; blm berjalan sebagaimana mestinya. Karenanya, seandainya hal terakhir ini dibutuhkan oleh manusia dalam keislaman mereka, pasti syariat tidak tinggal diam. Wallahu a'lam. Semoga mencerdaskan. Aamiin.

Diolah dari :

  • A. Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al- Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, karya Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.
  • B. al-Adillah al-Aqliyah an-Naqliyah'ala Ushul al-I'tiqad karya Dr. Suud al-Arifi.
  • C. Ma'rakatu an-Nash, Dr. Fahd Shaleh al-'Ajlan.
  • D. Ar-Ra'yu wa Atsaruhu fii Madrasah al-Madinah, Dr. Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa. 

Depok, (Ronda Malam Rabu), 25 Maret 2020.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form