Monday, July 6, 2020

Kekuatan Wahyu (Al-Qur'an dan as-Sunnah) Terhadap Sains/Teknologi Modern.

Kekuatan Wahyu (Al-Qur'an dan as-Sunnah) Terhadap Sains/Teknologi Modern.

By. Idrus Abidin.

 
Menurut Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi, Terdapat 3 sikap dan perspektif intelektual muslim terhadap hasil temuan ilmu  pengetahuan modern :

1. Pemisahan Total antara Islam dan Sains/Tekhnologi modern. Masing-masing dianggap memiliki domain tertentu. Semuanya dianggap benar berdasarkan metodologinya masing-masing. 

Pendapat ini yang diamini oleh banyak tokoh Kristen modern. Mereka tidak mempermasalahkan temuan universitas yang kontradiksi dengan kitab suci Bibel. Sikap ini pula yang diikuti oleh kalangan muslim yang kebarat-baratan; yang sangat getol dengan filsafat Realisme (Positivisme) atau Materialisme atau Marksisme. Akhirnya, mereka membuat slogan; Agama dipisahkan dari sains dan teknologi. 

Sikap dan perspektif seperti ini tidak ada tempatnya dalam Islam. Bukan saja bertentangan dengan nuansa keimanan sebagai mana penegasan teks-teks keagamaan, tetapi karena setiap orang yang mempelajari Al-Qur'an dan as-Sunnah dengan penuh sikap objektif pasti akan menemukan kesesuaian total antara Islam dan penemuan terkini.  

2. Pandangan yang melihat adanya kesesuaian antara Islam dan temuan Sains/teknologi. Namun, perspektifnya tetap mengunggulkan sains dan teknologi. Artinya, jika tampak adanya kontradiksi; sains dan teknologi lah yang menjadi referensi. Penafsiran ulang teks-teks keagamaan mutlak dilakukan agar searah dengan temuan Sains dan teknologi modern. Itu tentunya terjadi jika teks Wahyu tersebut mungkin ditafsirkan dengan cara baru. Malahan terkadang teks Wahyu ditolak dengan alasan hanya berkategori zhanni. Sehingga dianggap tidak relevan ketika berhadapan dengan fakta-fakta ilmiah terkini. 

Sikap ini tidak bisa diterima. Islam adalah pionir; bukan pembeo. Tidak mungkin teks syariat dikerdilkan atau dianggap ambigu hanya karena kesan ilmiah. Istilah yang belum tentu sampai ke level meyakinkan sebagaimana standar baku yang diterima di tengah komunitas ilmiah dunia. Karena ilmu didasari oleh hipotesis dan asumsi yang diuji terus menerus agar bisa menjadi fakta ilmiah tanpa batas. Ini adalah sisi kelemahan utama sains dan teknologi; sekalipun itu juga  yang menjadi rahasia keberlangsungan dan eksistensinya. 

3. Perspektif yang meyakini Islam tetap menempati posisi tertinggi sekaligus mengakui semua sarana ilmu yang otoritatif, sembari tetap memanfaatkan temuan-temuan ilmiah demi terwujudnya tujuan utama sains dan teknologi berupa kemudahan hidup manusia. Walaupun kebahagiaan tetap saja domain Islam. 

Sebenarnya, semua temuan Sains dan teknologi pada seluruh peradaban yang pernah ada menjadi pelayan ideologi. Makanya, akidah yang lurus dan nilai-nilai mendasar tetap mengarahkan laju Ilmu Pengetahuan menuju kebaikan dan kemaslahatan. Jika akidah dan ideologi bermasalah, ilmu hanya menjadi sarana buruk bagi kekuatan yang akan menghancurkan masa depan kemanusiaan. Hanya Islam yang mampu memberikan perspektif akidah yang benar sehingga Ilmu Pengetahuan menemukan ekosistem yang baik untuk terus berkembang; sehingga bisa diarahkan menuju puncak kemajuan dan perbaikan. 

---------------

Walau bagaimanapun, jika diasumsikan adanya kontradiksi antara Wahyu dengan ilmu pengetahuan modern, tetap saja teks Wahyu dinomorsatukan. Karena teks syar'i merupakan Wahyu dari Allah yang maha  mengetahui segala sesuatu secara total. Sedang pengetahuan modern hanya sebatas pengetahuan manusia yang berbentuk penemuan baru. Sedetil apapun pengetahuan itu tetap saja sebatas pengetahuan manusia yang senantiasa tunduk patuh pada rasio  yang serba relatif, lemah, kurang dan pendek jangkauannya. 

Bukti empiris pernyataan ini termuat dalam salah hadits berikut :

عن أبي سعيد : أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال أخي يشتكي بطنه فقال ( اسقه عسلا ) . ثم أتاه الثانية فقال ( اسقه عسلا ) . ثم أتاه الثالثة فقال ( اسقه عسلا ) . ثم أتاه فقال قد فعلت ؟ فقال ( صدق الله وكذب بطن أخيك اسقه عسلا ) . فسقاه فبرأ

Dari Abi Sa’id: “Ada seseorang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’ Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’ Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim –redaksi dari al-Bukhari-).

Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkomentar, "Penegasan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bahwa Allah maha benar, perut temanmulah yang berbohong," merupakan penguat akan manfaat madu (obat). Keberadaan penyakit bukan karena lemahnya obat dg sendirinya, tetapi karena kebohongan perut dan begitu menumpuknya penyakit dalam tubuh. Sehingga beliau meminta agar diberikan obat (madu) berulang kali karena faktor tumpukan penyakit tersebut. Sungguh pengobatan Nabi tidak akan serupa dengan pengobatan ahli kesehatan mana pun. Pengobatan nabi bersifat meyakinkan, pasti dan bernuansa ilahi; berasal dari Wahyu dan cahaya kenabian serta kesempurnaan rasio. Sedang pengobatan lain hanya umumnya sebatas intuisi (hadas), perkiraan dan observasi. Tidak dipungkiri banyaknya orang sakit yang tidak mendapatkan kesembuhan dari pengobatan Nabi. Karena pengobatan Nabi hanya bermanfaat bagi yang menerimanya, yakin akan datangnya kesembuhan, disertai sikap iman dan ketundukan dalam menerimanya. Inilah Al-Qur'an sebagai obat jiwa -Jika tidak diterima sedemikian rupa- fungsinya mengobati penyakit jiwa tidak akan tampak. Bahkan, kaum munafik malah tambah kenceng dan berlipat ganda penyakit nifaqnya. Lalu bagaimana coba posisi pengobatan fisik dari kehebatan pengobatan Al-Qur'an?! Jadinya, pengobatan nabi tidak cocok kecuali dengan jiwa yang baik, sebagai mana halnya fungsi Al Qur'an sebagai obat; tidak akan berefek kecuali terhadap jiwa-jiwa suci  dan hati yang hidup. Penolakan masyarakat terhadap pengobatan Nabi sama halnya dengan penolakan terhadap pengobatan Al Qur'an - yang merupakan obat yang bermanfaat- Masalahnya bukan pada lemahnya obat, tapi karena buruknya tabiat manusia, jeleknya objek dan tidak adanya penerimaan tubuh dan jiwa terhadapnya." Dikutip oleh Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi dari kitab Zaad al-Ma'ad Fii Hadyi Khairi al-'Ibad. 

Depok, 1 April 2020 (7 Sya'ban 1441 H)

Diadaptasi dari :

  • Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al-Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form