Tuesday, June 25, 2019

Madinah, Puncak Tertinggi Peradaban Manusia.



By. Idrus Abidin.

Seiring dengan perjalanan hidup manusia, peradaban rasional makin menonjol dibanding serial kehidupan yang pernah ada sebelumnya. Maka tidak heran, peradaban manusia sebelum Islam setiap kali jauh dari Allah, pasti dikirim seorang nabi atau Rasul untuk mengembalikan mereka ke ranah dan otoritas tauhid. Kitab suci menjadi bekal setiap rasul untuk missi tersebut. Tak lupa juga bekal mukjizat yang menunjukkan kebenaran dan bukti bahwa  mereka benar-benar utusan Allah. 
Setiap mereka dibekali mukjizat indrawi,  seperti tongkat yang berubah jadi ular besar bagi nabi Musa alaihissalam. Onta yang keluar dari celah batu pegunungan untuk nabi shaleh alaihissalam. Kemampuan mengolah besi jadi baju perang dengan kemampuan mengarahkan angin serta mengerti bahasa binatang bagi nabi Daud, terutama anaknya; Nabi Sulaiman alaihimassalam. Kemampuan mengobati pasien dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah bagi nabi Isa alaihissalam. Namun, setiap mukjizat tersebut tidak terkoneksi secara langsung dengan kitab suci setiap nabi. Bahkan, ketika mukjizat terjadi dan luput dari mereka yang tidak hadir, tentu yang diterima hanya informasi oral (cerita) layaknya kita yang hidup di zaman sekarang ini. Dan, ketika sang nabi meninggal, mukjizat tersebut ikut terkubur bersama jasad sang nabi dan rasul. 

Berbeda dengan nabi kita, Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Beliau dibekali dengan mukjizat maknawi dan inderawi sekaligus. Maka tak diragukan, kematian beliau tetap meninggalkan mukjizat abadi, terjaga eksistensinya hingga saatnya nanti. Beliau memang telah wafat. Namun, kebenaran warisan kenabian beliau senantiasa aktual pada bidang sains dan teknologi, serta pada bidang sosial kemasyarakatan; termasuk sejarah sebagai pabrik peristiwa dan peradaban. Aktualisasi kebenaran Wahyu terus terjadi sesuai hasil penelitian ilmiah terkini pada berbagai sektor kehidupan. Puncaknya, ketika semua janji Allah tersingkap melalui lorong akhirat bernama barzakh dan kiamat, sesuai namaNya sebagai al-Mukmin. Inilah beberapa keistimewaan kota Madinah di Era Kenabian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :

Terpelajar Tanpa Madrasah.

Karena al-Qur'an menyasar langsung masalah pendidikan dengan membaca sebagai kegiatan penting dalam ranah keislaman maka pena sebagai sarana dan alat tulis yang akan mengangkat nilai literasi di tengah kalangan sahabat, disebutkan secara khusus dan paling awal dalam surat al-Alaq. Terjadilah proses transmisi keilmuan seiring dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur'an demi mengawal kebudayaan Islam diiringi penjelasan nabi secara lisan  maupun perwujudan dari firman itu pada diri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Mereka belum mengenal istilah madrasah dan lembaga resmi yang menjadi payung khusus kegiatan intelektual. Yang mereka jadikan pusat keunggulan adalah masjid; tempat semua jenis kebijakan diputuskan dengan metode musyawarah. Maka lahirlah tradisi ilmiah yang tidak banyak wacana, tapi umumnya bersifat praktis dan ideologis. Kehalusan Budi sebagai ciri orang-orang terpelajar dan moderat mereka miliki. Walaupun mereka sendiri tidak menonjolkan keberhasilan material sebagai standar kemajuan melebihi keshalehan pribadi dan sosial yang ditandai oleh ketaatan mutlak kepada Allah dan rasul-Nya, sikap persaudaraan yang melampaui batas-batas suku, warna kulit dan dan status sosial. Semua itu menciptakan nuansa egaliter, di mana  mereka tidak merasa lebih menonjol di banding sesama. Karena mereka memahami, keberhasilan adalah hasil jalinan kerjasama sesuai keahlian dan fungsi dan peran-peran masing-masing. Harga diri tidak lagi menghasilkan egoisme, tapi ketulusan dan loyalitas kepada persaudaraan, kebersamaan dan sikap mendahulukan orang lain (itsar) dibanding diri sendiri dalam hal-hal yang bersifat duniawi. 

Moderat Tanpa Dosa.

Moderenisasi seringkali identik dengan kebebasan tanpa aturan syariat. Sehingga mereka yang memiliki akses lebih kepada kekuasaan, pengetahuan dan kekayaan aset merasa berada di atas rata-rata umumnya masyarakat. Di sinilah egoisme sebagai berhala berawal. Sikap yang potensial membuat manusia menjadi tuhan-tuhan yang merasa berhak diberikan penghargaan khusus. Maka, hak-hak istimewa mulai berlaku dan masyarakat terbelah oleh status sosial sesuai tingkat dan akses mereka kepada kekuasaan, pengetahuan dan kekayaan. Demikianlah motif umum kezhaliman. Sehingga keadilan susah hadir di tengah masyarakat kaum pagan. Madinah berhasil menciptakan konsep moderenisasi yang jauh dari unsur kezhaliman. Bahwa yang dimaksud moderat itu adalah sikap pertengahan antara vokus dunia dan akhirat oriented. Sikap proporsional dalam hal spiritual dan material. Termasuk keseimbangan dalam hal ilmu dan amal. Tidak ada satu sektor yang lebih diutamakan sehingga sisi dan sektor lain terbengkalai. Tetapi ketika akhirat menjadi visi, dunia tetaplah ruang di mana misi dijalankan dengan baik. Betul bahwa para sahabat adalah  manusia bumi, tetapi jiwa mereka vokus melangit. Atau, setelah melalui serangkaian pendidikan kenabian, mereka menjadi makhluk langit yang tak lupa pijakan di bumi ini. Artinya, di saat Allah ditaati dengan baik, kemanusiaan mereka pun membumbung tinggi.  Sehingga negeri mereka menjadi persemaian kesetiakawanan sosial yang tidak akan membiarkan satu warga pun bersedih, terutama saat-saat bahagia di hari raya; idul Fitri maupun idul qurban. Tidak seperti doktrin sekulerisme yang mengatakan, jika Tuhan ditaati sebagai pusat otoritas maka manusia terzhalimi. Akhirnya, mereka memecat dan membunuh tuhan -menurut keyakinan mereka- agar manusia bisa memperoleh kemanusiaan mereka sendiri. Lahirlah humanisme tanpa Tuhan. Spiritual tak berketuhanan dan etika tanpa agama. Naudzubillah.

Maju Tanpa Riba.

Kemajuan juga identik dengan praktek riba. Di Madinah, Rasulullah mulai mengembangkan sayap-sayap perekonomian yang berbasis pada prinsip kebersamaan. Untung rugi ditanggung bersama. Pinjaman murni akad sosial yang tidak dimanfaatkan untuk menggandakan aset. Namun, jika peminjam dengan ikhlas memberi tips tanpa ada syarat sebelumnya, maka itulah yang diajarkan Islam. Suatu tradisi bisnis yang bernafaskan akhlak kebersamaan, sikap saling memahami dan mengerti makna terimakasih dan rasa syukur. Rasulullah juga membuka lapak-lapak di Madinah dengan upah sesuai kemampuan dan perkembangan bisnis setiap pedagang. Maka, lapak-lapak Yahudi yang biaya sewanya cenderung mencekik leher, lambat laun ditinggalkan para pedagang. Mereka memilih lapak-lapak Rasulullah yang lebih manusiawi. Akhirnya, kekuatan perekonomian riba yang dikembangkan Yahudi di kota Madinah sedikit demi sedikit tumbang oleh ekonomi keadilan yang disponsori Rasulullah. Beliau melarang penimbunan barang-barang pokok yang potensial merusak stabilitas harga. Juga mencegah praktek-praktek kecurangan di pasar-pasar. Timbangan, ukuran dan kiloan tidak boleh dikurangi. Maka terjadilah eksplorasi perekonomian yang tadinya didominasi oleh eksploitasi riba besar-besaran. Madinah kemudian menjadi pusat bisnis dan perdagangan yang ramah lingkungan dan meningkatkan tarap hidup warga dan sekitarnya dalam bingkai persaudaraan dan nilai-nilai kebersamaan. Itulah ekonomi syariah yang belakangan ini mulai berkecambah di negeri-negeri muslim. Para sahabatlah pionir-pionir dalam bisnis berkeadilan ini. Dan Madinahlah laboratorium resmi yang menjadi saksi keberhasilan Rasulullah dalam pengembangan ekonomi kerakyatan. 

Adil Tanpa Mahkamah.

Karena berawal dari konsep kesamaan manusia di hadapan Allah (egalitarian), kota Madinah menjadi pusat keadilan yang menenteramkan warganya. Segala persoalan hukum yang terjadi diharapkan selesai melalui pendekatan kekeluargaan. Jika telah sampai ke Rasulullah sebagai pusat otoritas kehakiman, maka sistem peradilan berlaku dan delik aduan tidak bisa lagi dicabut. Hukum-hukum paten diatur sedemikian rupa dengan istilah hudud, seperti perzinahan, pembunuhan,  pencurian dll. Ada istilah qisas atas pembunuhan terhadap seseorang, tanpa adanya legalitas syari'at. Ada pula istilah rajam bagi pezina, padahal sudah menikah. Bahkan  ada hukum cambuk (jilid)  bagi pezina yang belum menikah. Semua hukum itu berjalan sesuai petunjuk Allah, yang secara praktis diarahkan oleh Rasulullah dengan nuansa ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Mahkamah itu sekali lagi berpusat di masjid, tempat di mana keadilan Tuhan disebar dan keadilan kepada Allah diwujudkan dengan istilah tauhid dan ikhlas. 

Berkuasa Tanpa Istana.

Semua kekuasaan hebat pasti dikelola dari balik istana megah. Tidak demikian Rasulullah. Madinah tetap hanya memiliki masjid sederhana yang disebut belakangan sebagai masjid Nabawi. Di situlah kebijakan negara lahir. Soal keamanan, masalah peperangan, bahkan korespondensi antara penguasa di sekitar jazirah Arab, seperti surat-surat dakwah Rasulullah ke Meqauqis di Mesir, ke raja Jalalanda dan Abd di Bahrain, ke Heraklius sebagai penguasa Romawi dll, juga diarahkan dari masjid ini pula. Maka, sepeninggal Rasulullah, otoritas kekuasaan Madinah menjadi salah satu wilayah kekuasaan yang menggetarkan Persia dan Romawi sebagai dua adi daya di zaman itu. Dengan sejumlah keunggulan itu, tak heran jika Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah menegaskan, 

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ 

Zaman terbaik adalah zamanku. Kemudian zaman selanjutnya, lalu zaman selanjutnya lagi. (HR. Bukhari, no. 3378)

Semoga kita bisa ikut berkontribusi dalam menghadirkan konsep masyarakat Madani di negeri kita di zaman modern ini. Karena, sebagai mana informasi sang Rasul, kiamat tidak akan terjadi kecuali lahir suatu zaman yang mirip dengan zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dulu. Semoga.

Ahad, 9 Juni 2019.

Jalur Kota Nabi menuju Makkah Al-Mukarramah.

Apa Setelah Ramadhan ?


By. Idrus Abidin.

Siklus tahunan bernama ramadhan baru saja meninggalkan kita. Sedih bercampur bahagia seolah tak terelakkan. Sedih karena bulan mulia nan penuh ampunan itu telah tiada. Belum lagi ramadhan selanjutnya belum tentu kita dapatkan lagi. Bahagia karena jiwa telah berusaha dengan kemampuan maksimalnya; menjemput ampunan, menjaring peluang surga dan menghindar dari bahaya ancaman neraka. Lalu apa lagi yang perlu kita lakukan setelah ramadhan ?

Memperbanyak Zikir.

Shalat 5 waktu, shalat Jum'at dan bulan ramadhan adalah musim dan siklus kebaikan. Semuanya merupakan wujud dari zikir khusus (ibadah mahdah) yang menghubungkan manusia secara langsung dengan Allah Ta'ala. Setelah rutinitas ibadah dan zikir itu berlalu, kita; saat kita kembali ke dunia kerja di kantor-kantor, pertokoan, dan di sawah serta ladang; kita dianjurkan agar senantiasa memperbanyak zikir. Artinya, jika saat ibadah itu dikerjakan, kita diminta fokus dan khusyuk hanya kepada Allah dan berusaha semaksimal mungkin berlepas dari semua nuansa duniawi. Maka, setelah secara total bersama Allah di bulan Ramadhan misalnya dan kita kembali ke dunia bisnis, dunia pendidikan, dunia pertanian dst; kita diarahkan agar senantiasa zikir; khususnya zikir lisan seperti istighfar. Istighfar menjadi penting dan rutin dilakukan setelah ibadah mahdah seperti shalat, haji, umrah karena sering kali kita banyak kekurangan dalam melaksanakan setiap ibadah tersebut dengan nuansa khusyuk.  Setiap selesai sholat 5 waktu misalnya, Rasulullah mencontohkan istighfar 3 kali, bukan Al-Hamdulillah. Istighfar karena dalam shalat saja, ketika kita berhadapan dengan Allah secara langsung saja, kita masih sering lalai; dengan mengingat beragam aktivitas duniawi yang masih terkait dengan jiwa kita yang diperdaya oleh was-was syaitan. Alhamdulillah (hamdalah) umumnya dibaca setelah selesai dari kebiasaan harian yang tidak termasuk ibadah murni. Seperti setelah makan, sesudah tidur dan ketika abis memakai pakaian dll. 

Tentang mengagungkan Allah setelah ramadhan Allah menegaskan, "Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. (Al-Baqarah: 185). Sedang setelah prosesi ibadah haji selesai, Allah mengingatkan agar menguatkan Zikir kepadaNya, "Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200) Demikian pula setelah shalat Jum'at, dianjurkan memperbanyak zikir, "Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)

Berdo'a Agar Semua Ibadah Kita Diterima Allah.

Karena kemampuan terbaik telah dikerahkan demi secercah ampunan, sejumput rahmat Allah dan perlindunganNya dari neraka dengan sederet ibadah wajib dan sunnah. Dari puasa, do'a, tilawah, infaq, zakat dan sedekah, memberi makanan berbuka hingga tahajjud, tarawih dan dhuha. Maka do'a agar Allah sudi menerima semua jenis ibadah kita dengan segala kekurangannya itu mesti banyak-banyak dipanjatkan. Bahkan, salafus sholeh di masa lalu menjadikan 6 bulan setelah ramadhan sebagai waktu berdoa agar ibadah dan semua jenis taqarrub mereka diterima baik di sisi Allah. 6 bulan berikutnya mereka maksimalkan untuk berdoa agar mereka disampaikan lagi ke bulan ramadhan. Do'a yang dianjurkan untuk dilantunkan sesering mungkin adalah

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
وَتُبْ عَلَيْنَآ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

 "Ya Tuhan kami terimalah (segala pengabdian) kami , sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan, terimalah taubat kami. Sungguh Engkaulah Sang penerima taubat dan yang maha penyayang. 

Do'a lain yang searah dengan do'a nabi Ibrahim di atas dan banyak diamalkan oleh masyarakat muslim di negeri kita adalah doa berikut :

اللهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَقُعُوْدَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَخَشُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا اَللهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

Mengagungkan Allah dengan Takbir.

Mengagungkan Allah diwujudkan dengan adanya takbiran dengan suara nyaring di akhir puasa di malam 1 Syawal hingga pelaksanaan shalat Iedul Fitri selesai. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al Kuwatiyyah (13/213) dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya takbiran ketika Idul Fitri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan Idul Fitri karena terdapat athaf terhadap firman Allah وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ Adapun lafadz yang ini maksudnya adalah menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan”.

Wujudkan Konsistensi dan Istiqamah.

Ramadhan adalah bulan perubahan bagi setiap muslim. Di sanalah Al-Qur'an diturunkan sebagai sumber perubahan dari jahiliah menuju Islam. Puasa diharapkan mengupdate status setiap muslim dari sekedar muslim secara formalitas menjadi mukmin yang merasakan keimanan secara kejiwaan. Menjiwai keislaman melalui belajar lewat taklim-taklim yang hari ini makin semarak diadakan di tiap perkantoran dan lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan di dunia Maya, tauhshiah Ust.-Ust. kaliber nasional bisa dengan mudah kita temui di Chanel YouTube dan beredar secara masif via FB, WA, Line dll. Semua itu diharapkan merubah kualitas keislaman kita menjadi keimanan yang berkualitas. Amalan berupa puasa yang bernuansa hablunminallah juga menghasilkan kepedulian akan beratnya rasa lapar dan haus sehingga melahirkan sikap yang mengokohkan hablunminannas seperti zakat fitrah, zakat harta, infaq, fidyah, kaffarah dll. Semoga spirit ramadhan tahun ini ikut mewarnai semangat hidup kita hingga ketemu lagi ramadhan selanjutnya. Aamiin.

Haram Makki, 10 Juni 2019. 

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :

1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.

Harap-Harap Cemas dalam Bingkai Cinta; Dalam Perjalanan Menuju Allah.


By. Idrus Abidin.

Hidup ini adalah episode ke-2 dalam perjalanan kita menuju keabadian (Rihlatul Khulud). Fokus masa depan dengan penuh konsistensi adalah ciri mukmin sejati. Masa lalu yang menyedihkan itu telah dibasuh dengan air mata penyesalan. Karena dosa bukan lagi status terkini para pecinta Allah. Taat adalah kendaraan resmi yang terus memuncak gasnya, seiring ilmu dan keimanan yang terus menyala. Itulah bahan bakar dalam perjalanan ini. Stagnan atau diam di tempat tanpa progres dunia dan akhirat adalah kerugian terkini yang perlu disesali; dengan segera. Karena itu berarti, indahnya masa depan akhirat mulai kabur oleh polusi kelalaian. Hati merasa cukup dengan dunia, popularitas, materi dan kursi empuk kuasa. Malas untuk ibadah tak lagi terhindarkan. Dunia kembali berkilau di hati. Naudzubillah. Gaji di tempat kerja menjadi satu-satunya kenikmatan. Sementara ibadah hanya beban yang menyesakkan jiwa. Bagi mereka yang telah merasakan nikmatnya khusyuk dalam ibadah, tilawah dan amal sosial serta pesona dakwah; kondisi ini layaknya musim kering yang mengancam jiwa. Harapan akan datangnya musim semi dengan rintik hujan keimanan dan guyuran semangat takwa; dinanti dan diusahakan dengan langkah pasti. Tidak betah rasanya mereka berlama-lama dalam ketidakpastian dan kekeringan fitrah suci. Walaupun, mereka mengerti fluktuasi iman adalah tabiat kehidupan. Tak mungkin mereka menghindarinya selama roda kehidupan masih terus berputar. 

Optimisme, Mutlak dalam Kehidupan Dunia Akhirat (Harapan).

Optimisme adalah tuas kehidupan yang tak boleh sepi dari bahan bakar motivasi. Bisa jadi harapan duniawi, tapi seharusnya tak luput dari dominasi nikmat masa depan ukhrawi. Mata boleh saja terkagum oleh indahnya pesona dan godaan duniawi. Tapi hati tidak boleh rabun akhirat, sehingga jiwa tak mengangkasa menuju Arasy Allah. Selama optimisme ini menyalakan mesin kehidupan, sejauh itu pula iman tetap memandang indah senyuman ghaib akhirat. Betapa indahnya pesan takwa. Bahwa jika engkau rindu bersamaku menuju indahnya keabadian, jadikanlah Allah visi utamamu. Ibadah akan terus menyertai hidupmu dengan asupan energi iman sehingga sang takwa menjadi statusmu secara resmi. Di akhiratlah Allah memberikan keadilanNya. Tak mungkin pelaku dosa disamakan dengan pecinta takwa. Di sana, minimal 10x lipat emas sepenuh langit dan bumi menjadi hakmu.  Potensi nikmat itu hingga 700 x lipat emas sepenuh bumi dan langit. Bahkan untuk para nabi, tak lagi terbatasi oleh kelipatan angka-angka duniawi. Itulah nilai iman dan takwamu di masa depan. Dunia ini totalnya hanya senilai air laut yang menempel pada benang yang kau rendam. Sediiiiikit sekali; maka jangan pernah terperdaya oleh kinclongnya pesona dunia. Cukuplah dunia ini sebagai tempat mewujudkan misi sebagai ahli ibadah, misi sebagai penegak keadilan dan marketing Ihsan kepada seluruh makhluk. Juga tak lupa mengeksplorasi alam ini dengan penelitian dan penemuan, sehingga alam tunduk dan siap menjadi alat yang memudahkan kita dalam mewujudkan visi dan misi ini. 

Rasa Takut dan Khawatir, Penyeimbang dari Terperdaya (Gurur) dan Sikap Kepedean ('Ujub).

Sekalipun umumnya iman, ibadah dan takwa telah terwujud lewat karunia hati, baiknya tutur kata yang memuji dan memahasucikan Allah, serta fisik yang tetap istiqamah di jalanNya. Namun jangan pernah terpedaya; merasa seolah surga sudah pasti engkau huni. Kapling surga seolah telah kamu ukur dengan ibadah dan takwamu. Kamu menjadi over Kepedean (ujub) sehingga tidak terkendali; tampil sebagai perwakilan Allah untuk manusia. Merasa seperti pendeta kaum Nasrani; berhak memberi stempel surat taubat dan pengampunan Allah kepada manusia. Bahkan, mengklaim nabi Isa alaihissalam meninggal sebagai tumbal dan tameng pengaman untuk mereka semua dari amukan azab dunia, kobaran siksa kubur dan jilatan api neraka. Mereka lalu tak pernah merasa takut akan dosa. Padahal mereka diliputi oleh maksiat dan pelanggaran. Mereka merasa yakin dan percaya dengan full optimisme bahwa surga tinggal menunggu waktu. Bahkan, dalam doktrin Yahudi, jika pun mereka masuk neraka, paling 40 hari; sejumlah hari penyembahan nenek moyang mereka terhadap sapi betina; saat nabi Musa menerima taurat di gunung Tursina, Mesir. Padahal, keterpedayaan dan over kepedean itu tipuan Iblis yang meninabobokan mereka dalam kelalaian, dosa dan maksiat. Mereka akhirnya tidak kenal taubat, tidak mengerti kenapa harus minta ampunan dengan lisan kepada Tuhan. Apalagi tersadar tentang makna berbenah diri terus menerus agar taat dalam keseimbangan; antara rasa penuh harap dan pentingnya rasa takut. Padahal, tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang yang penuh kerugian. Sungguh tepat pengarahan Allah dalam firmaNya, 

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (97) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (98) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ 

Apakah penduduk kota dan semua warga bumi merasa aman dari serangan azabKu saat tengah malam; ketika mereka terlelap dalam tidur nyenyak?! Ataukah mereka merasa aman dari ancaman siksaanKu, ketika mereka sedang lalai dalam hiburan di pagi hari?! Apakah mereka terus merasa aman dari siksaan Allah?! Sungguh, tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang rugi (QS al-A'raf : 97-99)

Di sinilah tersimpan sebuah rahasia, kenapa seorang muslim ketika takut kepada Allah justru tidak menjauh dariNya. Tapi malah mendekat kepada rahmatNya dengan taubat dan istighfar serta perbaikan diri terus menerus. Makin tinggi takwa makin mawas diri manusia dari keterpedayaan (gurur) dan kepercayaan diri berlebihan ('ujub). Belum lagi jika manusia sadar bahwa tidak ada tempat dan zaman di mana manusia bisa bersembunyi dan menjauh dari Allah. Semua kolong langit dan satuan waktu di bumi ini, berada di bawah kendali Allah. Jika di sini kita tidak bertaubat, di akhirat nanti pasti pengadilan dan keadilan Allah berlaku secara mutlak. Itulah kenapa, dalam banyak ayat, Allah senantiasa mengingatkan, "KepadaKulah kalian pasti kembali". "KepadaNyalah kalian akan dikembalikan". Termasuk ancaman Allah akan adanya hari akhirat, "Takutlah suatu hari ketika kalian dikembalikan kepada Allah. Lalu semua perbuatan kalian dibalas seadil-adilnya dan kalian tak mungkin terzhalimi sedikit pun." 

Salah satu sisi yang membuat khawatir seorang mukmin terus menerus adalah iman dan amalnya yang belum tentu diterima baik oleh Allah. Demikian pula dosa-dosanya, mereka belum mendapatkan kepastian, apa Allah telah mengampuni atau belum. Semua itu dengan secercah hikmah, bahwa rasa penuh harap akan terus memacu perjalanan muslim dengan gas iman, takwa dan amal shaleh. Sementara, rasa takut menahan mereka dari ujub dan gurur. Itulah perpaduan ragaban wa rahabaa. Atau khaufan wa thama'aa dalam banyak ayat Al-Qur'an. 

Semuanya Harus Karena Cinta PadaNya. 

Baik harapan maupun rasa takut harus didasari cinta kepada Allah. Jika tidak, orang Munafik hanya menikmati rasa takut kepada orang muslim saja. Takut pada Allah tidak mereka hiraukan. Yang ditakutkan pun hanya sebatas  terbongkarnya keaslian dan identitas kemunafikan mereka. Maka tak heran, mereka sangat malas shalat. Tidak banyak menyebut nama Allah. Padahal ciri pecinta sejati, yang dicintainya selalu menjadi buah bibir. Kerjaan mereka hanya pencitraan (riya') agar kemunafikan itu tertutup rapat. (QS an-Nisaa: 142). Tujuannya supaya mereka masih bisa mendapatkan keuntungan duniawi di balik topeng dan citra dirinya sebagai muslim. Akhirnya, shalat mereka di sisi Ka'bah dianggap oleh Allah sebagai siulan dan tepuk tangan semata (QS al-Anfal : 35).

Sedang harapan yang bukan karena Allah hanya bersifat materi dan duniawi sekali. Sesuatu yang membuat manusia menjadi kafir dan tidak bisa mengerti rahmat Allah. Ataupun dimengerti, namun manusia terlalu mengharap rahmat dan ampunanNya tanpa mengikuti aturan dan syariat resmi yang telah diatur sedemikian rupa oleh Allah sendiri. Di sinilah batas kecerdasan dan kebodohan berlaku. Bagi yang cerdas, ia senantiasa mengukur kesesuaian dirinya dengan Islam lalu bersungguh-sungguh berkarya untuk kepentingan akhirat. Sementara orang bodoh, terbawa oleh hawa nafsu (maksiat). Namun, berharap besar mendapatkan ampunan dan kasih sayangNya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegaskan :

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

”Orang cerdas adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang lemah (bodoh) adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi berharap ampunan Allah Ta’ala (tanpa berusaha taat)“. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).
Semoga kita tetap terus mengejar Rahmat Allah, berlindung dari azabNya dengan cinta maksimal kepadaNya. Aamiin. 

Bandara Jeddah, 14 Juni 2019.

Kekuatan Ilmu.



By. Idrus Abidin.

Ilmu ada kekuatan yang menggerakkan semangat; baik ke arah dunia maupun menuju negeri akhirat. Ilmu adalah isi hati yang menjadi niat dan semangat, bahkan azam yang mendahului kesempatan. Saat jiwa manusia hadir di tempat tujuan sebelum fisiknya secara real benar-benar ada di ruang yang direncanakan. Itulah iman dan keyakinan. 

Ilmu adalah keadilan yang mengisi hati manusia sehingga mereka memahami diri sebagai makhluk lemah di hadapan Allah yang maha segalanya. Manusia pun menjadi makhluk yang penuh ketulusan kepada penciptanya. Memuji dan memahasucikan Allah dengan hatinya, dengan lidahnya beserta seluruh amalan dan aktivitas fisiknya. Mereka pun dengan tulus mengemis petunjukNya menuju jalan lurus; mengiba ridhaNya agar mereka mendapatkan Taufiq dan kemudahan dalam misi ibadah dan praktek ketakwaan. 

Dengan ilmu, Allah diesakan. Melalui ilmu pun Rasulullah ditaati dan didengarkan. Orang tua dihargai dengan bakti dan dengan sejumlah manfaat yang diperoleh dari keshalehan. Itu pula nilai dan fungsi Ilmu. Kalangan senior dihormati dan dimuliakan serta digugu dalam hal keilmuan dan keahlian. Yunior disayangi dan diarahkan dengan penuh harapan sebagai penerus estapet kehidupan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Begitulah ilmu berperan. Tidak menghasilkan manusia baperan karena merasa punya hak untuk dihormati, dihargai dan dilayani. Apalagi berharap disembah layaknya Fir'aun atas nama klaim ketuhanan dan berhala kehidupan.

Bahkan adil dan jujur terhadap kesalahan sendiri sehingga kita bisa merasakan kerugian dengan menyesali kekeliruan; itu semua adalah hasil dari ilmu itu sendiri. Itulah taubat, istighfar, kesadaran dan rasa tahu diri yang menjadi ciri manusia beriman. Kita jadi mengerti kekurangan dan kelemahan akibat pengetahuan yang menjadi standar dan alat ukur muhasabah dan kritik diri. Akhirnya, kita berusaha melangkah dengan sejumlah perbaikan-perbaikan setiap saat. Harapannya, diri ini mengarah kepada kesempurnaan sejauh yang bisa dicapai oleh manusia biasa seperti kita ini. Walaupun sadar sepenuhnya bahwa kesempurnaan hanya milik Allah dan rasul-Nya. Kesalahan dan kelemahan adalah identitas resmi diri sang hamba yang tak mungkin terkurangi kecuali dengan semangat ilmu dan taufiq dariNya. 

Keadilan terhadap objek studi dan penelitian sehingga rumus dan prinsip yang mengatur alam semesta menghasilkan pengetahuan sains yang berfungsi ganda. Pertama, menyibak keteraturan alam semesta sehingga bernilai guna untuk pengembangan sains dan teknologi. Inilah kemudahan sarana hidup manusia yang diharapkan dimaksimalkan demi ketaatan dan ibadah. Kedua, bukti keagungan dan kehebatan rububiyah Allah yang menguatkan keyakinan dan kepercayaan terhadap otoritas ketuhananNya; Sang penentu kejadian dan peristiwa (qadar) sesuai rencana dan kebijaksanaan (qadha). Berdasarkan pada pengetahuan Allah yang menyeluruh, tanpa mengenal lupa, lalai apalagi zhalim. Itulah makna ilmu. 

Bahkan, mengerti hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat manusia berdasarkan pada peristiwa sejarah masa lampau dan peradaban yang telah silih berganti mengisi hidup manusia; juga hasil bentangan ilmu. Bahwa siapa pun yang taat dan patuh penuh cinta kepada Allah berarti merekalah khalifah dan penerus estafet khilafah yang secara resmi mendapatkan mandat untuk mengelola hidup ini dengan prinsip keadilan dan lautan kasih sayang. Agar hujjah dan semua bentuk argumen keagamaan dalam Islam sampai ke umumnya manusia di bumi ini. Sehingga mereka, khususnya yang kafir dan fasiq, tak lagi punya sedikit argumen, di akhirat kelak, demi membela dan menutupi segala kebejatan mereka. Itu semua hasil pengetahuan yang disebut hidayah dalam Islam. 

Dari mana kita mengenal keadilan dari buramnya kezhaliman kalau bukan dari ilmu?! Apa mungkin kecurangan diketahui jika kita tidak dikenalkan makna kejujuran oleh sang ilmu?! Mungkinkah khianat berbeda dengan amanah seandainya ilmu berhenti memberikan pengarahannya?! Dari mana benar salah, baik buruk dan semua kegelapan yang tersibak oleh indahnya mentari ilmu bisa terwujud jika pohon pengetahuan tidak lagi menaungi kita dengan rindang dan sejuknya pemahaman?! Semua itu karena Allah Sang al-'Aliim al-Khabir mengucurkan pengetahuanNya lewat Wahyu kepada setiap nabi. Menjelaskannya melalui lisan dan semua petunjuk praktis para nabi. Akankah kita menjadi warasatul anbiyaa dengan semua identitas ini?! Ataukah kita menjadi kacung iblis yang bernikmat ria di bawah tipuan dan kibulan Iblis yang memesona tiada tara?! 

Jiwa,  lisan dan perbuatan serta sikap kitalah kuncinya. Karena manusia tergantung dari isi hati, hiasan lisan dan keindahan budi dan akhlaknya. Bukan semata-mata isi tas dan tampilan jas serta kemegahan yang membelalakkan jiwa para penyembah dunia. 

Kota Haram, 12 Juli 2019. 

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :

1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.

Sisi Lain Kota Makkah (Catatan Perjalanan)



By. Idrus Abidin.

Setiap sift perjalanan umrah memiliki kesan berbeda dan keunikan tersendiri. Umumnya mesjid menjadi tempat favorit. Didatangi sebelum azan berkumandang dan diprioritaskan sebelum waktu shalat tiba. Tilawah diseriusi sambil i'tikaf. Hati terkondisi untuk siap menerima indahnya lantunan tilawah imam-imam pilihan dengan hentakan mereka yang tergolong ber"suara emas". Terkadang hati mudah khusyuk dengan lelehan air mata. Teringat kelemahan diri dengan keindahan surga yang ngangenin. Khawatir sendiri jika diri ini belum standar untuk terdaftar sebagai calon penghuninya. Sementara gambaran kengerian neraka membuat hati "ngeri-ngeri tak sedap" (isyfaq).

Ketika hati diserahkan ke pemiliknya, kerinduan pun menjadi realita. Khusyuk pun dimengerti, walaupun bisa jadi, yang memahaminya adalah fitrah yang sedang suci; bukan semata karena ngerti bahasa Al-Qur'an yang sedang terlantun. Itulah bahasa universal iman; fitrah suci. Kenyataan yang kadang kita saksikan sendiri, ketika anak-anak dari beragam negara dan  bangsa berkumpul dalam ceriahnya permainan. Perbedaan bahasa bukan lagi kendala. Karena  bagi anak-anak seumuran mereka, bermain adalah tuntutan jiwa yang tak mengenal rintangan apa pun. Suatu saat, salah seorang jamaah bertanya serius, "Kenapa sih Ust., di Haramain ini mudah banget kita tersentuh khusyuk dan mengeluarkan air mata?," "Karena kita menyiapkan dan menyerahkan hati kita kepada Allah secara total. Urusan duniawi dan mal-mal serta pasar tidak kita nomorsatukan. Polusi dunialah yang menghambat hati kita hingga jarang merasakan nikmatnya khusyuk dalam shalat ketika kita di negeri sendiri. Masjid baru  didatangi setelah muazzin selesai dari kumandang azan," jawabku. "Padahal, sesuatu itu menyerahkan diri secara utuh kepada kita, jika kita sendiri lebih dulu menyerahkan jiwa kita kepadanya sepenuh hati," tambahku.

City Tour.

Setelah fokus ibadah dan tilawah, sisi hiburan dan rehat sambil Napak tilas ke beberapa situs bersejarah, tetap masuk list dan paket umrah. Kami awali dengan museum dua kota suci (muthaf al-Haramain). Di sini, benda-benda pusaka yang pernah terpasang di Makkah atau Madinah dipajang lintas zaman. Dari sejak Rasul, khilafah Rasyidah, umawiyah hingga era terkini. Status tentang beberapa benda-benda bersejarah di sini sdh saya rilis akhir 2018 kemaren. Setelah itu, kami sambangi Hudaibiyah yang berjarak sekitar 20 km dari Haram. Tempat di mana Rasulullah dan kalangan sahabat dulu pernah dicegat ketika hendak masuk wilayah Makkah untuk haji sambil mudik ke kampung halaman. Padahal, sudah berlalu kurang lebih 6 tahun beliau di Madinah, diserang kerinduan yang tak terkira. Mimpi melihat diri dan sahabatnya memasuki kota Makkah dengan aman;  menjadi pencetus awal perjalanan haji Rasulullah ketika itu. Sekalipun, mudik sekaligus haji tersebut berakhir dengan penandatanganan nota kesepahaman yang dikenal dengan istilah Sulhul Hudaibiyah (Perjanjian Damai Hudaibiyah). Bahwa tahun depan baru mereka diberi legalitas untuk berhaji. Karena tahun 6 hijriah setelah perang khandaq itu, kaum musyrikin Makkah belum siap menerima mereka dan masih merasa terhina karena kecewa tidak mampu menerobos pertahanan parit selama perang khandaq. Sekalipun kedatangan Rasulullah dan sahabat ketika itu, tanpa senjata dan hanya disertai dengan hewan-hewan yang siap diqurbankan.  Di sini pula terjadi janji setia (Baiat Ridwan) dan pernyataan siap mati membela Rasulullah untuk kedua kalinya. Karena mereka mendengar, Utsman radhiyallahu anhu yang dikirim sebagai juru bicara, katanya teraniaya oleh pihak sebelah. Itulah sejarahnya. Kami pun ambil miqat di sini untuk umrah kedua. 

Di hari berikutnya, Jabal Tsur sebagai tempat transit dan persembunyian Nabi dan Abu Bakar sebelum mengambil jalur pantai menuju ke kota impian (Madinah) ; juga dikunjungi. Terasa betapa Rasulullah dan Abu Bakar harus berjuang keras menapaki gunung terjal agar bisa mengecoh konco-konco Iblis Makkah yang lagi haus darah itu. Terbayang pula peran laba-laba yang menutupi akses ke gua dengan sarangnya. Seolah menutupi ketidakmungkinan adanya manusia yang bersembunyi di balik gua tersebut. Bahkan Asma', sang putri Abu Bakar yang bolak balik dari Makkah dan gua itu agar suplai makanan tetap terjamin, terkenang perjuangan dan kesabarannya.  Ketika keluar tengah malam atau sebelum subuh, domba-domba pun ikut diarahkan agar bekas kaki sang putri tidak terdeteksi mengarah ke gua Tsur karena kabur oleh injakan kaki gembala. Sebuah strategi sempurna dan perencanaan matang yang menunjukkan kecerdasan dan tawakkal sang nabi. 

Padang Arafah pun tak luput dari kunjungan pada city tour kali ini. Es krimnya cukup menggoda, apalagi terik matahari sangat berasa. Padahal, jam baru menunjukkan 09.00 pagi. Peziarah begitu mengalir memutihkan jalur-jalur dan akses menuju puncak bukit Arafah. Setelah itu, ngambil miqat di Ji'ranah bagi jamaah yang mau umrah ketiga; baik sebagai badal atau pun untuk sendiri, juga difasilitasi. Di sini, penjual kaki lima khas Saudi berderet dengan dagangan masing-masing. Jalur haji di Muzdalifah dengan deretan tenda-tenda putih yang tertata rapi juga ikut dilalui hingga tampak kemegahan jamarat yang bertingkat itu berada di sisi kiri bus kami. Di depan pun, terowongan sebagai akses kembali ke haram sudah menunggu antrian bis yang kami tumpangi. Sebelum tiba di Haram, Jabal Nur, tempat Rasulullah berkhalwat dan menyendiri sebelum turunya wahyu pertama; juga sempat kami pandang jauh-jauh. Butuh 30 menit bagi umur setengah baya seperti kami agar bisa tiba di pintu gua. Itu kata seorang teman muthawwif yang mukim di Madinah sebagai mahasiswa tingkat akhir di S1 UIM (Universitas Islam Madinah). Kata beliau, di atas itu kawanan monyet sebesar anak 6 tahun menjemput kita; karena berharap dapat lemparan makanan, tanpa rasa takut. Bahkan, ransum makanan bawaan bisa mereka rampas, jika kita terlena. Inilah akhir dari city tour sekitar Haram hari ini. Karena, jama'ah yang berumrah, harus menyelesaikan proses thawaf dan sa'i mereka dengan tahallul. 

Sudut-sudut Keindahan Tata Kota.

Haram berada pada posisi dataran rendah. Di sekitarnya, terutama wilayah jalan Ibrahim Khalil, terdapat kawasan disebut Misfalah (turunan atau dataran rendah). Zam-zam tower dengan jam mewahnya terlihat hanya setengah badan, jika kita baru meluncur dari luar kota. Jalan-jalan by pas berseliweran dan terkoneksi langsung dengan sejumlah terowongan. Bahkan nafaq dlm bahasa Arab dan tunnel dalam bahasa Inggris ini termasuk ciri Haram yang unik. Tidak ada terowongan pendek seperti di Jakarta. Umumnya berkisar 1 hingga 2 dan 3 km. Deretan hotel-hotel berbintang mengelilingi dinding dan sekitaran Haram. Termasuk hotel Elaf Mashair, tempat kami transit dan hotel Pullman di zam-zam tower, tempat sebagian jamaah kami menginap. Sekitar 1-2 KM setelah kita meninggalkan haram, bangunan-bangunan mewah bernuansa minimalis dengan ornamen khas Arab tersebar begitu padat. Tertata begitu rapi walau tampak sepi dan kering. Memang begitulah negeri ini. Mereka tidak senang banyak berkeliaran. Karena prinsip keagamaan yang mereka anut menuntut demikian. Terutama para kaum hawa yang umumnya bercadar dalam balutan pakaian hitam. Selain itu, cuaca panas yang ekstrim memang seolah memaksa mereka lebih banyak berada di dalam ruangan, ditemani AC khusus khas Arab Saudi. 

Hijau Mulai Merekah. 

Dulu, kawasan ini terkenal dengan hamparan Padang pasir di tengah kepungan gunung cadas bebatuan. Itu sesuai pengakuan nabiyullah Ibrahim sendiri saat pertama kali menitip Hajar dan Ismail kecil di tempat suci ini. Namun, era kekuasaan keluarga Saud belakangn ini menghiasi sudut-sudut kota dan pinggir-pinggir setiap jalan dengan pepohonan hijau. Tak jarang taman-taman tampak indah dengan hijaunya rerumputan khas jepang. Belum lagi, wilayah Arafah tampak mulai seperti calon hutan, dijejali dengan pohon Sukarno di setiap ruas-ruasnya. Dari puncak bukit Arafah, hamparan pepohonan hijau seolah menghapus citra Saudi sebagai padang sahara. Itu sekarang. Akhir tahun kemaren, saat banjir dan hujan sempat mengguyur kota ini. Sepanjang perjalanan Makkah Madinah dan akses ke Jedah ditumbuhi rerumputan hijau menyegarkan pandangan mata. Sekalipun kehijauan itu tetap menyisakan harap-harap cemas di kedalaman jiwa ini, karena kiamat, kata Rasulullah tidak akan terjadi kecuali negeri ini menghijau kembali. Baik karena rekayasa tekhnologi maupun perubahan cuaca akibat rotasi matahari yang kian meyakinkan. Bahwa suatu hari nanti, matahari benar-benar akan terbit dari ufuk barat. Juga di malam hari sinar terang lampu-lampu jalan begitu dominan membuat kota ini seolah sedang bersolek. Belum lagi miniatur bulan dan bintang disertai goresan tulisan Arab mungil yang berbunyi Iedun said (hari raya berlimpah bahagia) dengan gemerlap cahaya hijau putih; seolah ikut melengkapi indahnya pesona kota Makkah. Karena memang, bulan ramadhan baru saja berpisah dan  berpamitan dari kota ini. 

Kuliner Tak Kalah Beragamnya.

Semangat hidup juga tak pernah lepas dari nikmatnya kuliner. Sepanjang pinggiran kanan zam-zam tower, saat keluar dari Haram, berderet warung makan dengan penganan khas timur tengah dan India. Demikian pula di setiap jalan dan akses lain menuju masjid. Bahkan, menu Al Baik yang serupa dengan ayam kentaky di Indonesia, iklannya terpampang di mana-mana. Awal kami tiba, di bus-bus jama'ah kami, al-baik dibagikan sebagai menu pembuka. Ayamnya yang besar tidak mungkin habis sekali makan, apalagi jika kita hanya sendirian. Inilah makanan khas yang banyak dirindukan para mantan jama'ah haji dan umrah. Ada pula Brost yang mirip dengan Al baik. Nasi mandi dan briani begitu melimpah. Terkadang dinikmati sebagai hadiah dari orang kaya dan pengusaha Arab Saudi, terutama ketika musim haji. Juz-juz minuman juga beragam, termasuk roti-roti Arab yang disebut Isy di Mesir. Buah-buahan apalagi. Jeruk sangkis dan apel, bahkan pisang dan pir khas Arab; juga tersedia di mana-mana. Menu makanan internasional, terutama di hotel bintang lima seperti Pullman disertai makan pembuka yang beragam tertata rapi sedemikian rupa. Terkadang seolah masih tampilan foto, padahal nyata adanya. Begitu rapinya deretan kursi putih bersama sendok dan garpu serta serbek putih yang berjejer itu. Sekalipun saya yang bercita rasa lokal ini terkadang sulit merasakan nikmatnya makanan mewah demikian. Tidak seperti makanan yang tersaji di hotel kami di Elaf Mashair, full Indonesian taste karena diolah langsung oleh orang kita yang umumnya dari Madura. Bakso, kikil, ayam opor, dendeng tipis yang serba kres dll termasuk menu favorit sayya tak iye. Hehehe... Bahkan, agar sensasi briyani, mandi dan kebuli terasa lebih nikmat, tak jauh dari wilayah Aziziyah, kami sempatkan berkuliner ria bersama 4 tour leader dan muthawwif. Yaah....kali ini jumlah jamaah mencapai 85 orang. Jadi kami harus kawal lebih ketat. Agar kepuasan mereka tidak sekedar fatamorgana. Salah satunya dengan menikmati menu Arab-India ini sesekali di sebuah resto bernama Raidan. Betul, sedikit ada perbedaan tekstur dengan resto serupa di Jakarta seperti Abu Nawas Dan al-Jazirah. Namun, semuanya tetap unik dengan ciri khasnya masing-masing. Itu kesan dan sedikit pengalaman saya di negeri para nabi ini. Bagaimana dengan anda? 

Haram Makki, Rabu 13 Juni 2019.

Shalat dan Penegakan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar.


By. Idrus Abidin.

Shalat adalah rutinitas harian yang diharuskan sebanyak minimal 5x dalam sehari. 17 rakaat semuanya. Tiap rakaat diharuskan membaca al-Fatihah sebagai wujud relasi hamba dengan Allah. Tuhan  dipuji sebagai penguasa semesta alam. Memiliki stok kasih sayang dan menguasai seutuhnya kejadian pada hari kiamat. Karena demikian realitasNya, Dialah yang pantas disembah. Inilah titik puncak ibadah, yang menjadi kewajiban hamba. Namun, tidak sekedar itu saja. Manusia pun punya hak sebagai makhluk lemah; meminta bantuan (isti'anah) kepada Allah demi memuluskan tugas kehambaan mereka. Meminta bantuan di sini, yang sangat dinomorsatukan dan paling prioritas adalah mengemis hidayah; baik yang sifatnya petunjuk (Irsyad) maupun yang bersifat praktis (Taufik). Itulah kesatuan ilmu dan amal. Tujuannya agar manusia tidak dimurkai karena bekal ilmu yang tak diamalkan. Atau tersesat karena amal tanpa petunjuk dan cahaya ilmu. Maka, jalan lurus itu ternyata ada pada berilmu Amaliah, beramal ilmiah. 

Konsekwensi Shalat; Mendukung Tauhid, Kritis Terhadap Kesyirikan dan Kecurangan (Ketidakadilan).

Shalat adalah tolak ukur keislaman dan keimanan. Fungsinya mencegah perbuatan keji dan mungkar pada diri manusia dan lingkungan sekitar. Sebuah sikap keberatan ditunjukkan oleh objek dakwah nabi Syuaib yang merasa gerah dengan sikap rewel dan kritis nabi Syuaib atas sesembahan mereka (berhala). Mereka juga keberatan, karena nabi Syuaib juga keritis terhadap praktek riba dan kecurangan mereka dalam bidang ekonomi dan bisnis. Memang ummat nabi Syuaib terkenal dalam sejarah dakwah sebagai ummat yang gemar mengurangi timbangan dan takaran dalam hal jual beli (QS Hud : 84) Nabi Syuaib pun mencegah mereka dari praktek syirik dan sikap curang. Beliau tegas mengerahkan mereka kepada tauhid dan kejujuran dalam hal timbangan dan standar Keadilan (QS Hud : 85) Maka tidak heran, sikap keberatan mereka terhadap amar makruf dan nahi mungkar nabi Syuaib ini direkam rapi oleh Allah dalam Al-Qur'an : 

قَالُوا۟ يَٰشُعَيْبُ أَصَلَوٰتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِىٓ أَمْوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُا۟ ۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلْحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ

Mereka berkata: "Hai Syu'aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal". (Hud : 87)

Maka, pertanyaan penting yang perlu kita resapi adalah, sejauh mana shalat kita mengarahkan kepada sikap kritis terhadap kesyirikan dan semua bentuk kecurangan (ketidakadilan)?! Cukupkah shalat itu hanya sebatas tameng pribadi dari neraka tanpa usaha untuk menarik energinya ke dalam pusaran amar makruf dan nahi mungkar?! Kejujuranlah yang bisa menggelitik jiwa kita untuk memahaminya. Semoga.

Depok, 2 Juni 2019 (malam 29 ramadhan 1440 H)

Hakikat Tauhid dan Ikhlas.



By. Idrus Abidin.

Tauhid adalah mengesakan Allah sebagai satu-satuNya zat yang mengatur kejadian di alam semesta ini dengan segala perbuatanNya yang tersimpul dalam istilah rububiyah. Rububiyah yang secara detil dijelaskan melalui nama-namaNya yang sangat bagus (al-asmaul Husnna) dan sifat-sifatNya yang sangat mulia (as-shifat al-Ulaa). Konsekwensi tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat ini adalah keimanan akan adanya qadha dan qadar Allah; baik yang berkategori buruk maupun yang bernuansa baik. Rububiyah dan asma wa sifat ini adalah kekayaan Allah dan karuniaNya yang berwujud kasih sayang yang digelontorkan kepada makhlukNya tanpa batas. Karena demikian adanya, manusia pun tulus ikhlas mencintaiNya, mengharap rahmatNya dan takut terhadap azabNya. Itulah inti keikhlasan. Itu pula hakikat Tauhid uluhiyah yang berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya yang pantas disembah di dunia ini dengan beragam jenis ibadah, baik hati, lidah dan semua anggota tubuh pada semua sektor kehidupan manusia.

Hidup Ini Bukti Kecintaan dan Rahmat Allah (Rububiyah)

Maka tak mengherankan jika kehidupan manusia ini tiada lain kecuali hamparan cinta dan kasih sayangNya yang berwujud nikmat-nikmat yang tak mungkin terhitung dalam bentuk angka-angka. Walaupun kehidupan dunia ini baru manifestasi dari 1 persen rahmatNya. Di akhirat sana 99 persen lagi yang distok khusus untuk kalangan beriman. 1 persen rahmatNya di dunia ini masih disebar untuk semua; muslim, kafir, binatang, hewan, tumbuhan, langit, bumi, dan seluruh makhlukNya. Dengan Rahmat ini, Allah mengutus nabi dan rasul. Menurunkan kitab suci. Bahkan keimanan bisa dirasakan dan amal shaleh diprioritaskan. Nilai ilmu dan hidayah serta iman dan takwa bisa menjadi realitas duniawi. Kasih sayang antar suami istri, anak dan orang tua, atasan dan bawahan; bisa terjadi. Kejujuran dalam jual beli, integritas dalam dunia kerja dan amanah terhadap setiap titipan; berjalan dengan penuh kecintaan dan keridhaan Allah. Inilah yang disebut rahim dalam asma dan sifat Allah. 

Manusia Beriman Sangat Merasakan Nuansa Kecintaan dan Kasih Sayang Allah.

Gelontoran nikmat dan rahmat Allah ini begitu terasa dalam jiwa kaum beriman. Mereka merasa sangat malu karena nikmat itu tidak mungkin terbalaskan oleh sekedar iman dan amal shaleh mereka. Walaupun mereka kadang tergilas oleh dosa-dosa kecil, karena memang manusia tidak ada yang maksum kecuali para nabi dan rasul. Namun, dengan segera mereka tersadar dan beristighfar serta memperbaiki kesalahanan itu, berkat izin dan Taufik Allah. Mereka sadar sepenuhnya bahwa karunia dan rahmat Allah ini tak akan terputus bahkan terhadap kaum munafik dan kafir sekalipun. Karena dunia ini memang ujian, maka selama itu pula rahmat itu senantiasa aktual. Walaupun rahmat di sini tidak lebih dari sekedar pemenuhan nikmat fisik semata. Adapun nikmat jiwa hanya pantas diberikan oleh Allah untuk hambaNya yang  terpilih. Hamba yang menyadari sepenuhnya bahwa pujian Allah dan rasa syukur kepadaNya bukan lagi sekedar kewajiban; tapi kebutuhan utama dalam menu kebahagiaan mereka supaya mereka tetap berada dalam siklus hidayah, indahnya istiqamah dan naungan lebat pohon Takwa.  
Mereka melihat segala sesuatu di sekitarnya sebagai karunia tak terhingga dari Allah. Semuanya dipikirkan keberadaannya dan manfaat serta fungsi-fungsinya dalam kehidupan ini. Kesimpulan pengamatan tersebut menyatakan, sungguh tidak ada apa pun yang diciptakan Allah sia-sia; semuanya penuh hikmah dan fokus serta tujuannya jelas berupa nilai dan manfaat untuk kehidupan di alam semesta (QS Ali Imran : 191)

Kekuasaan Allah Menggetarkan Jiwa Orang Beriman.

Selain cinta, kasih sayang dan rahmat Allah, azabNya yang tidak bertepian karena Dialah yang maha kuasa; juga menggetarkan jiwa kaum beriman (isyfaq). Bahwa betul Allah sangat pemaaf, penuh kasih sayang dan melimpahkan berjuta ampunan. Namun potensi kemarahan, lautan kehebatan dan kekuatan kehendakNya pun luar biasa besarnya. Maka sekalipun orang-orang ikhlas sangat mengerti dan merasakan cinta dan rahmat Allah, tapi mereka juga terus hati-hati; penuh perhitungan dengan segala hal yang bisa jadi dan berpotensi memancing murka dan kebencian Allah. Kebencian yang telah menimpa kaum Yahudi akibat sikap mereka yang tak sadar diri; walaupun gelontoran petunjuk dan kasih sayang telah diguyurkan kepada mereka. Ketersesatan dari jalan lurus akibat dari kemalasan menuntut ilmu yang diperankan oleh Nasrani di masa lalu. Maka orang beriman mengokohkan takwa di jiwa, menggenjot ibadah pada setiap kelipatan waktu yang ada dan berhias diri dengan indahnya akhlak mulia. Semua itu mereka lakukan sebagai tameng yang diharapkan melindungi mereka dari murka Allah; digerakkan oleh perasaan takut akan potensi besar azab Allah. Jadilah mereka hamba yang berpetualang menuju kepadaNya dengan kendaraan takwa; gasnya digerakkan oleh rasa penuh harap (raja'), remnya ditekan oleh rasa takut (khauf) dari ketergelinciran dan kesesatan. Sementara pengendara itu tak lain adalah rasa cinta yang menentukan besarnya tarikan gas sesuai gelora kerinduan. Tanpa terperdaya oleh potensi buruk yang bisa merintangi perjalanan mereka kepada Allah; karena mereka punya rem rasa takut yang menjaga keseimbangan laju dan kendaraan. 

Cinta dan Kasih Sayang Allah Senantiasa Dirindukan.

Ketika manusia makin mengerti makna kecintaan Allah padanya. Saat mereka menyadari betapa sayangnya Allah begitu tulus. Sehingga mereka merasakan gelora kerinduan begitu nikmat di rerelung jiwanya. Menanti setiap saat asupan gizi rahmat yang memudahkan ibadahnya. Makin syahdu mereka dalam do'a dan zikir serta pada umumnya ibadah yang mereka lakukan. Berasa dinginnya hidayah mengusir sempitnya rasa putus asa dan tekanan jiwa akibat polusi kehidupan duniawi. Iman serasa terus menunjukkan keperkasaannya sehingga keraguan menjadi barang langka di hatinya. Maka tidak heran, maksiat seolah masa lalu yang tak pantas lagi hadir pada lembaran hari-hari berikutnya di kehidupan pribadi yang bersangkutan. Kesabaran menjadi kekuatan yang menghibur saat cobaan dan duka datang bertandang. Semua itu menyadarkan orang-orang Ikhlas, bahwa sedetik saja kasih sayang Allah hilang darinya, pasti dosa dan maksit akan tiba-tiba berkerumun pada dirinya yang lemah. Maka, resmilah lidahnya berharap penuh ketulusan :

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

 “Wahai Dzat yang Maha Hidup, serta Maha mandiri, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh tindak tanduk dan semua keadaanku. Dan janganlah Engkau biarkan aku mengurus  sendiri diriku walaupun hanya sekejap mata sekali pun. (HR. Imam An-Nasai, Imam al-Bazzar dengan sanad yang Shahih juga Imam al-Hakim).

Menyadari Kelemahan, Identitas Utama Kehambaan.

Doa di atas adalah wujud pengakuan tulus akan kelemahan hamba-hamba yang ikhlas. Sekaligus menunjukkan sikap berserah diri secara total kepa Zat Allah yang maha sempurna dan maha kuasa. Sebuah pengakuan bahwa diri kita hanyalah pengemis cinta, yang tanpaNya kita menjadi makhluk yang hampa; tanpa makna dan tak jelas arah. Peminta-minta yang berkeliling dengan semua jenis ibadah demi secuil rahmatNya. Bahwa kita adalah makhluk lemah yang setiap saat bisa tergilas oleh murkaNya, seandainya kita tidak berlindung kepada rahmatNya. Egoisme pribadi lebur oleh kasih sayangNya. Sikap kepedean hancur oleh kekuasaanNya yang tanpa batas. 

Kebutuhan Jiwa Lebih Prioritas dari pada Kebutuhan Fisik. 

Maka tak mengherankan, orang-orang ikhlas lebih memprioritaskan isi hatinya dibanding isi tasnya. Mereka sangat mengerti, dunia akan ikut saat akhirat menjadi visi. Mereka sangat yakin jika akhirat dibela-belain, dunia akan dimudahkan. Tanaman jika disemai akan tumbuh disertai rerumputan. Tapi rerumputan jika tumbuh belum tentu memberi kesempatan untuk tumbuhan membersamainya apalagi menyainginya. Begitulah kejamnya dunia. Tak akan seramah akhirat yang rela berbagi dengan rerumputan dan benalu serta semua jenis hama dan wereng duniawi. 

Galau Karena Akhirat, Bukan Melulu Karena Dunia.

Shalat saja minimal lima kali mereka tunaikan. Belum lagi tambahan ruku' dan sujud pada setiap shalat sunnah. Sedang perut dan fisik ini cukup dengan tiga kali makan. Lebih dari itu pasti tubuh akan kehilangan keseimbangan. 

Tidak Ada daya dan Upaya Kecuali Milik Allah.

Ahli tauhid dan ikhlas ini akhirnya menyatakan dengan tegas, tidak ada yang mengalihkan mereka dari dosa dan maksiat kecuali Allah. Dan, tidak ada pula yang kekuatan yang menggerakkan mereka menuju ketaatan kecuali Allah. Itulah yang mereka pahami dari ucapan, la haula wala quwwata Illa billah. Mereka mengakui sepenuhnya tidak ada yang pantas dicintai secara total;  di atas segala-galanya melainkan hanya Allah. Tidak ada yang perlu diharapkan rahmatNya secara penuh selain Allah yang maha rahman dan maha rahim. Tidak ada yang mungkin ditakuti sepenuh jiwa kecuali Allah yang maha kuasa, maha hebat dan sang maha unggulan (Muhaimin)

Iman, Ibadah dan Takwa Hanya Sebab dan Sarana.

Sebagai mana obat sebagai sarana kesembuhan dan bukan penyembuh hakiki, demikian pula iman, takwa dan ibadah. Semua itu bagi orang-orang ikhlas hanyalah jalan dan sarana yang menyampaikan mereka kepada cinta dan keridhaan Allah. Mereka tidak pernah membanggakan tingkat keimanannya. Malu rasanya jika mereka mengumbar takwanya. Apalagi riya' dengan shalat, puasa, zakat, tilawah, umrah, haji dan semua keshalehan pribadi dan sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang penuh kesadaran bahwa harta, tahta dan kekuatan hanyalah titipan yang jika tidak diberdayakan dalam ketaatan dan dengan penuh amanah, maka potensial mengundang kemurkaan Allah. Mereka ogah menjadikan identitas Islam, kartu ketakwaan dan label haji sebagai kamuflase demi kepentingan duniawi yang sedikit. Karena bagi mereka, itu adalah bentuk menukar hidayah yang sangat mahal dengan dunia yang hina. Wujud kemunafikan yang menjadikan akhirat sebagai umpan demi sesuap nasi dan seteguk air kehidupan. Iman dan hidayah yang rela dikorbankan oleh orang-orang hina dan ditukar dengan kesesatan dan murka Allah. Naudzubillah.

Cinta dan Ridha Allah Segala-Galanya. 

Akhirnya, bagi Ahlu tauhid dan orang-orang ikhlas, kecintaan dan keridhaan Allah adalah cita-cita mereka yang tertinggi. Mereka tidak mau terperdaya oleh iman, Islam, ihsan, shalat, puasa, zakat dan semua yang sifatnya hanya fisik tanpa subtansi keikhlasan, tanpa hakikat ketakwaan. Apalagi kemegahan dunia yang tak menuju kepada ridhaNya, prestasi duniawi dan gengsi jiwa yang tidak berpotensi menjaring cinta ilahi. Ya Allah, kami tentu sangat butuh kepada curahan kebaikanMu, sebagaimana yang dipinta nabi Musa kepadaMu. Ya Allah, kami pasti rindu pada rahmat dan kucuran hidayahMu, sebagai mana yang dilantunkan ashabul Kahfi padaMu. Wahai Rabb yang maha segalanya, kami tidak mengerti betapa besar pujian dan rasa syukur yang pantas untuk diriMu. Pujian dan keagunganMu hanyalah sepadan dengan pujian dan pengagunganMu sendiri kepada diriMu. Itulah titah nabiku, Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Jadikanlah aku pengikut cerdas yang pantas menemaninya di dunia dengan beragam praktek sunnah-sunnah yang beliau ajarkan. Dan, jadikan pula aku manusia yang pantas mendapat syafaatnya dan menemaninya dalam pesona keindahan surgaMu. Allahumma amiiiin. 

Jakarta, 1 Juni  2019. (27 Ramadhan 1440 H)

Antara Maksiat dan Rahmat Allah (Lupa Diri dan Istidraj)



By. Idrus Abidin.

Hidup di dunia ini memang ujian. Ujian kesadaran dan kesabaran. Sadar mengikuti kebenaran dan saling menguatkan di atas konsistensi dengan berbekal lautan kesabaran. Karena pelaku maksiat pun membela diri dengan beragam kekuatan; ilmu, kedudukan dan kekayaan.  Merasa diri sedang membela kebenaran dan harga diri. Yakin sedang melakukan kebaikan dan perbaikan. Percaya diri sebagai reformis sejati tanpa cacat hati dan trac record keberutalan. Justru yang mereka yakini sedang merusak dan propokator adalah pihak sebelah. Bukan mereka. Demikianlah perasaan orang Munafik di zaman Rasulullah Saw. Tidak bisa dilarang ketika menebar kerusakan dengan nifaknya. (QS Al-Baqarah 11) Tidak menerima disuruh beriman secara total tanpa kepalsuan dan pencitraan semata. Beriman layaknya Rasulullah dan para sahabatnya dianggap kebodohan. (QS Al-Baqarah 13) Sementara mereka merasa pintar; tak mungkin mudah beriman dengan celotehan Rasulullah, layaknya sahabat yang kurang akal itu, menurut mereka. Orang munafik tidak pernah merasa bersalah, apalagi menyesal. Jangan pernah tunggu mereka bertaubat. Karena hal itu mustahil dalam kamus kemunafikan. Mereka mudah menuduh pihak lain sebagai perusak. Lihatlah Fir'aun. Dia menuduh nabi Musa sebagai perusak dan pengacau negara. Bahkan, menuduh beliau gila beneran dan gila ketenaran. Mereka semua itu jebolan terbaik universitas Iblis dengan keahlian suka menuduh pihak lain bersalah dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan mereka sendiri. Jangankan nabi dan para pengikutnya, bahkan Allah saja mereka tuduh bersalah karena telah menyesatkan mereka. Hanya pernyataan terakhir ini yang mengandung sedikit kejujuran (merasa tersesat), tapi itupun hanya umpan untuk menyalahkan Allah. Betul sekali firman Allah yang berbunyi, 'Maukah kalian mengetahui orang paling buruk perbuatannya?! Orang yang sikapnya salah dalam dunia ini, namun mereka yakin sepenuhnya sedang melakukan kebaikan". (QS al-Kahfi: 103-104)

Rahmat Allah Melenakan dan Melalaikan Pelaku Maksiat.
Apapun di dunia ini pasti Rahmat Allah. Allah memang sangat pengasih dan maha penyayang. Bahkan, dosa dan maksiat seperti kufur, nifaq, pencurian, zina, riba, sombong, syirik juga terjadi karena rahmat Allah. Rahmat dalam artian diizinkan terjadi dan diulur hingga waktu tertentu, tanpa azab, teguran dan sanksi berarti. Itulah bagian dan bentuk rahmat Allah di dunia ini. Sehingga tak sedikit pelaku dosa merasa Allah tidak ada. Bahkan mereka kadang menantang, kalau Allah betul ada, tunjukkan siksaanNya sekarang juga. Mereka lupa, hidup ini ujian. Dengan rahmatNya, Allah menunda azab selama ujian ini masih berlangsung. Seperti kita ketika ujian, walaupun salah tidak langsung diberi balasan. Sekalipun lupa tidak langsung sanksi diberlakukan. Itulah makna ujian dan rahmat Allah di dunia ini. 

Dibiarkan Tak Berarti Diridhai. 

Terjadinya maksiat dan dibiarkannya para pelaku dosa tanpa disegerakan azab oleh Allah tak berarti Allah ridha dan lupa serta tidak mengetahui semua kejahatan itu. Allah dengan hikmahNya memilih agar ketaatan dan kepatuhan kepadaNya tidak sekedar karena rasa takut yang ditebar kepada para pelaku maksiat dengan azabNya. Allah ingin agar ibadah manusia murni karena kecintaan kepadaNya, karena penuh harap kepada rahmatNya dan ditambah rasa takut kepada azabNya (ikhlas). Itulah tiga paket ibadah resmi di dunia ini. Dan itu pula makna ujian dan tujuan hidup kita sebagai hamba. Menunjukkan rasa cinta, membuktikan rasa butuh terhadap rahmatNya dan menampakkan rasa takut terhadap azabNya. Itulah keikhlasan yang menjadi syarat utama dan pertama ibadah kita, selain mengikuti Rasulullah secara utuh.

Jika para pelaku dosa diazab dengan segera ketika mereka bermaksiat, saat mereka kafir dan munafik maka hidup ini tidak akan berlangsung lama. Karena mereka semua segera mati oleh dosa dan maksiatnya sebelum sempat menikah dan berkembang biak (QS Fathir : 45) Hidup ini tidak lagi berfungsi sebagai lahan ujian, tapi berubah jadi surga semata. Bahkan ibadah dari orang-orang yang tulus cintanya kepada Allah, murni harapannya kepadaNya dan total rasa takutnya; hanyalah teori semata. Akhirnya, ibadah manusia hanya karena takut azab saja. Hikmah dan tujuan  hidup ini hanya penyiksaan; tidak ada lagi kasihsayang Allah. Allah tidak lagi maha lembut (latif) dan tidak pula maha halus (rauf) kepada hambaNya. Allah hanya sebagai tukang bantai (muntaqim) dan penuh kesombongan (mutakkabbir). Subhanallah. Sungguh Allah maha suci dari semua kegilaan seperti ini. 

Rahmat Allah di Dunia, Istidraj Bagi  Orang-Orang Lalai. 

Ketika para pelaku maksiat mengamuk dengan beragam pelanggaran mereka, gembok jiwa makin kokoh menutupi setiap celah-celah hidayah yang ada di hati. Akhirnya, hidup mereka diliputi oleh kesombongan dan lupa diri. Mereka tidak merasa takut sedikit pun kepada Allah. Tak ada rasa butuh dan keinginan sedikit pun untuk mengharap rahmatNya. Harga diri mereka hanya sebatas materi; kekayaan dibanggakan dan diandalkan. Kedudukan dianggap gengsi yang melambungkan citra diri. Kekuatan dianggap terus menerus terjamin tanpa pernah terancam oleh kelemahan dan kematian. Akhirnya egoisme menjadi sikap resmi. Mereka menjadi makhluk yang dibenci Allah karena tersesat jalan dan tak memiliki orientasi hidup selain bumi ini (materi). Langit sebagai kiblat kebenaran (spiritual) tak lagi berarti. Akhirnya, mereka tidak lagi ditegur oleh Allah dengan sayangNya berupa musibah dan bencana yang umumnya menyadarkan manusia yang masih ada secercah iman pada kedalaman hatinya. Tapi mereka dibiarkan dalam gelapnya lorong kelalaian yang berkepanjangan. Bahkan, terkadang mereka terus diberi umpan kenikmatan yang mereka tidak sadari sebagai jebakan setan menuju lorong-lorong neraka jahanam. Mereka merasa bahagia dan bangga dalam dosa dan maksiat. Akhirnya, mereka mati dalam kekafiran dan kemusyrikan. Naudzubillah. 

Allah Tidak Lupa dan Tak Mungkin Lalai.

Orang-Orang lalai dan lupa diri ini mengira Allah tidak ada. Padahal, Allah menunda mereka murni karena bentuk ujian sehingga terbukti trac record mereka sebagai pecinta dan pengasong keburukan (QS Muhammad : 31). Allah membiarkan mereka agar dosa dan maksiatnya memenuhi catatan sehingga alasan untuk menyiksa mereka dalam neraka pun tak lagi bisa diragukan (QS Ali Imran : 178). Allah membiarkan mereka dalam jeratan dan perangkap dosa agar mereka mendapatkan siksa di akhirat yang membelalakkan mata akibat ngerinya yang luar biasa (QS Ibrahim : 42).

Setan Mengelabui, Menipu dan Mengibuli Manusia (Musang Berbulu Domba).

Makin lalai manusia dari Allah semakin mudah mereka terperangkap dalam jebakan dan tipu daya setan. Mereka akan terus dikibuli dengan beragam gengsi dan harga diri sehingga tidak mau menerima nasehat. Segala tindak tanduknya dianggap sebagai kebenaran dan ditujukan untuk ketenaran. Setan tampil sebagai teman setia yang seolah tulus agar manusia mendapatkan harapan dan keinginan duniawi mereka. Seperti ketika berusaha Mengibuli Adam dan Hawa dengan nasehat rasional penuh jebakan. Bahwa pohon itu sengaja diblacklist Allah dari menu makanan agar mereka tidak menjadi malaikat yang kekal menghuni surga. Namun, ketika larangan  itu dilabrak Adam dan Hawa; justru mereka dengan segera disuruh meninggalkan surga. Demikianlah musang yang berbulu domba berusaha menjebak buruannya yang kehilangan pegangan, prinsip dan keyakinan (iman).

Orang-Orang Ikhlas Tak Akan Terperangkap dalam Jebakan Setan. 

Orang-orang ikhlas adalah mereka yang hatinya sensitif dan merasakan nikmat dan segala yang dimilikinya sebagai bentuk cinta dan kasih sayang Allah kepadanya. Mereka itulah yang senantiasa menyebut-nyebut nama kekasihnya (Allah) pada setiap tempat dan dalam beragam kondisi dan keadaan. Ketika berdiri, saat duduk dan bahkan ketika berbaring sekali pun (QS Ali Imran : 190-191). Mereka itulah orang-orang yang disebut ulul albab dan ulul Abshar; melek hati dan matanya. Telinganya rindu nasehat. Nalarnya mudah menangkap rasionalitas Islam yang berbalut dengan fitrah suci manusia. Orang-orang seperti ini, setan tidak merasa punya nyali dan kehilangan kepercayaan diri untuk bisa merecokinya. Sekalipun bisa memperlambatnya dari ketaatan sesekali, namun penyesalan dan istighfarnya kembali menutupi keterlambatan tersebut di catatan malaikat. Bisa jadi terkadang jatuh dalam kubangan dosa. Tapi tiba-tiba kesadarannya kembali membuatnya taubat dan istighfar. Maka, dosa itu berganti dengan kebaikan yang memenuhi catatan (QS al-Furqan : 79). Di saat makan, bismillah diucapkan. Setannya jadi kelaparan. Saat tidur, bismika allahumma ahya wa amut, dibaca. Setan tak lagi punya akses untuk mengganggunya. Demikianlah seterusnya. Akhirnya orang-orang ikhlas menjadi manusia merdeka dari tekanan dan penyesatan Iblis dan setan serta semua konco-konconya. Mereka hanya tunduk dan patuh penuh cinta, penuh harap akan rahmatNya dan sangat merasa ngeri karena takut akan bahaya siksaNya. Semoga kita termasuk orang-orang ikhlas yang membuat geram setan karena ketulusan cintanya kepada zat ilahi Rabbi. Allahumma amiiiin. 

Jakarta, 31 Mei 2019 (26 Ramadhan)

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :

1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.

Nilai Ilmu dan Ulama Vs Lemahnya Jebakan dan Tipu Daya Setan Terhadap Orang-Orang Alim.



By. Idrus Abidin. 

Hidup adalah pertarungan ideologi. Hak dan batil selalu berhadapan. Muslim terus belajar kepada Allah Ta'ala via para nabi yang berbekal kitab suci. Malaikat senantiasa ikut mendukung, menghibur, memotivasi dan membela mereka hingga bisa Istiqamah sesuai kadar semangat dan tingkat kejujuran mereka dalam berislam. Di pihak lain, orang-orang kafir bersekutu dengan setan; baik yang berwajah manusia maupun yang bertampang jin. Mereka berkolaborasi dalam keburukan dan terus memutarbalikkan fakta; sihir dianggap mukjizat, nabi dan rasul dianggap propokator. Orang beriman dianggap preman berjubah. Amar makruf nahi mungkar dianggap memecah NKRI. Info-info kritis seputar penyelenggaraan negara dianggap hoaks. Padahal, apa yang dianggap hoaks itu; cepat atau lambat, nyata dalam kehidupan berbangsa. Demikianlah tabiat kehidupan dunia. Ia adalah serial keberpihakan; loyal terhadap kebenaran atau vokal berjuang demi keburukan dengan beragam istilah mentereng penuh jebakan. Itulah sebagian tipu daya setan kepada para pemuja iblis; terus dilalaikan dengan kenikmatan semu. Senantiasa diiming-imingi dengan kenikmatan sesaat. Dan akan terus dikibuli dengan beragam janji-janji palsu yang tampak menarik oleh mereka yang kebelet hawa nafsu dan sifat kebinatangan. 

Langkah-langkah dan Perangkap Setan.

Setan tak mengenal waktu jeda dan istirahat untuk terus mengeluarkan jurus-jurus ampuh yang mereka berdayakan demi agar manusia dibenci Allah atau tersesat di perjalanan menuju kepadaNya. Mereka yang tidak ikhlas dan jauh dari cipratan hidayah dipastikan akan menjadi tawanan potensial kalangan setan. Keburukan menjadi bahan mentah yang siap diolah oleh para perampok dan pencuri ketaatan ini. Beragam cara dan intrik mereka tempuh supaya manusia dan jin terperangkap ke dalam jerat-jerat keburukan. Minimal ada tujuh perangkap yang mereka siapkan demi tercapainya cita-cita mereka menjadikan manusia dan jin terdaftar secara resmi dalam  list orang-orang  durjana dan sebagai penduduk asli di neraka :

1. Kekafiran dan Kesyirikan. 

Kufur adalah kata lain dari gembok batin yang menutupi mata, telinga, nalar dan hati dari cipratan hidayah dan petunjuk Allah. Sedang syirik adalah istilah lain bagi mereka yang mengakui adanya kekuatan lain selain Allah yang berpengaruh dan bisa mengarahkan peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Jimat, berhala, mitos hingga perbintangan seperti virgo, scorpio, leo dan semisalnya diyakini sebagai yang memiliki efektivitas, pengaruh dan khasiat. Mereka akhirnya bermasalah dalam hal keyakinan terhadap rububiyah dan qadha dan Qadar Allah Ta'ala. Padahal, Allah tak akan pernah menerima iman dan amal yang tidak murni karena Allah. Semakin manusia kafir, semakin manusia syirik maka semakin kuat pula gembok jiwa itu menutupi kesadaran manusia. 

2. Bid'ah dan semua keyakinan serta amalan rekaan yang dijadikan semacam ijtihad prematur dalam masalah keagamaan oleh mereka yang bukan ahlinya. 

Bid'ah adalah kreativitas manusia dalam bidak keislaman yang dipengaruhi oleh kerangka berpikir yang bukan lahir dari rahim Islam itu sendiri. Filsafat seringkali dituduh sebagai biang kerok lahirnya pemikiran seperti ini dalam bidang akidah. Terbentuklah ilmu Kalam dengan beragam Mazhab dan metodologinya dengan debat (Mantiq) sebagai sarana utamanya. Kaburlah Keyakinan benar dalam lautan syubhat yang seolah tak lagi menghasilkan kecuali keraguan dan kebimbangan. Bahkan, menimpa ulama-ulama kaliber dunia karena terjadinya simpang siur rasionalitas. Maka tak heran, di penghujung hidup mereka, tak sedikit yang mengumumkan bahwa akidah kaum awam (ahlul hadits) yang bertumpu pada fitrah dan rasionalitas sederhana adalah identitas asli akidah Islam. Intelektualitas rasional yang dibanggakan sebagai ciri ilmu Kalam hanyalah bagian dari perangkap setan yang telah melululantakkan keserjanaan dan keilmuan Islam. 

Di bidang fikih, banyaknya zikir-zikir dan shalawat rekaan dari beragam grup dan kelompok thariqat seolah mengalihkan masyarakat muslim dari do'a-do'a Rasulullah, para sahabat dan kalangan tabi'in. Shalawat digemakan setiap saat, namun belum tentu tilawah harian. Tahlilan disemarakkan padahal tahlilan 100 x tiap pagi dan petang sebagai mana petunjuk praktis Rasul tak digubris apalagi diamalkan. Maka hilanglah prioritas amal. Kacaulah standar haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib. Semuanya simpang siur dan menjadi syubhat yang menyambar-nyambar. Setan bergembira tiada kira. Karena hilangnya standar kejelasan dalam bidang akidah dan ibadah menjadi lahan empuk di mana mereka menyemai bid'ah, syubhat bahkan memporak-porandakan ikatan ukhuwah. Bid'ah menjadi senjata ampuh setan karena ketika manusia mengamalkannya; mereka merasa sedang dalam ketaatan. Padahal, amalan sunnah yang potensial mendekatkan surga dan menjaring ridha Allah; banyak dibiarkan akibat gelapnya syubhat dan minimnya pengetahuan agama. 

3. Dosa-Dosa Besar. 

Riba, zina, perdukunan, syirik, pembunuhan, durhaka terhadap orang tua dll termasuk umpan setan yang banyak kalangan manusia terjebak di dalamnya. Umumnya disebabkan oleh hawa nafsu yang terpancing oleh iming-iming setan. Yaitu ketidaksabaran untuk mendapatkan sesuatu yang dipandang menambah gengsi, mengupdate harga diri dan melambungkan citra diri. Semua yang dianggap sebagai halangan dibunuh. Semua larangan dilabrak. Hingga semua dosa besar seolah dilist sebagai menu pelanggaran dan prestasi unggulan. Naudzubillah.

4. Dosa-Dosa Kecil. 

Jika manusia berat dan susah dikibuli dengan kufur dan syirik, bid'ah dan syubhat, dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecil pun menjadi pilihan. Berbohong, menipu, pencitraan, pengkhianatan, pacaran, dan beragam pelanggaran lain menjadi umpan berbahaya bagi sang pemuas nafsu dan pecinta dunia. 

5. Kegiatan yang bersifat mubah.

Banyak kegiatan yang bersifat rutinitas dan umumnya mubah bisa juga menjadi perangkap setan. Berlama-lama dalam tidur. Berkepanjangan ketika berkumpul bersama teman hingga lalai dari shalat sunnah qabliyah dan tilawah harian; termasuk hal mubah yang menghabiskan umur. Terutama sekali HP cerdas yang membuat manusia begitu mudah terhubung dengan FB, Instagram, YouTube dan berselancar sangat lama dalam dunia hiburan. Hilangnya kesempatan hidup akibat ramainya kegiatan yang bernuansa mubah seperti ini sangat banyak merugikan manusia. Itulah yang sering disebut kelalaian. Naudzubillah.

6. Sunnah-Sunnah Berpahala Kecil. 

Sungguh setan sangat cerdik mencuri waktu dan jatah hidup manusia. Jika hal-hal mubah susah dijadikan perangkap, amalan-amalan sunnah berpahala kecil pun diberdayakan. Seperti baca barzanji yang merupakan karya sastra dalam bidang Sirah Nabawiyah. Seolah ia bacaan wajib pada setiap hajatan. Padahal yang membaca belum tentu mengerti makna dan artinya, apalagi nilai keindahan sastranya. Padahal jika baca buku Sirah Nabawiyah berbahasa Indonesia disertai pemahaman hikmah pada setiap peristiwa, tentu jauh lebih bermakna. Karena bukan sekedar ritual tanpa pemahaman ke arah makna hidup yang lebih aktual. Tak sedikit kita dapati adanya jama'ah tilawah harian di masjid atau musholla. Padahal taklim pekanan atau bulanan sedang dilaksanakan. Tilawah memang bernilai tinggi. Tapi saat dibenturkan dengan taklim yang berpahala besar, tentu tilawah menjadi ibadah berpahala kecil. Shalat Sunnah memang termasuk amalan yang dianjurkan. Tetapi ketika ibu memanggil, tentu panggilan ibu lebih prioritas dijawab dibanding melanjutkan shalat sunnah tersebut. Ketika ada majelis zikir dan shalawat, sedang di tempat berbeda ada pengajian yang membahas tema-tema keislaman seperti tauhid atau akidah atau fikih atau akhlak maka majelis ilmu ini memiliki rating pahala tinggi dibanding majelis pertama yang hanya berisi zikir dan shalawat. 

7. Serangan Fisik dan Kehormatan.

Langkah terakhir setan yang sudah stres akibat hilangnya efektivitas semua perangkap di atas ketika menggoda manusia adalah serangan Fisik dan Kehormatan. Setan memberdayakan pengikutnya sesuai potensi, jabatan dan kekuatan yang dimiliki agar menyakiti kalangan beriman, baik dengan serangan fisik maupun menyerang kehormatan para ulama dan simbol-simbol Islam. Di sinilah pertentangan itu menjadi nyata dan mempolarisasi manusia menjadi dua golongan yang saling bertentangan;  golongan setan Vs golongan kaum beriman. Senjata kalangan mukmin untuk mematahkan semua tipu daya itu adalah ilmu yang menghilang syubhat sekaligus mengarahkan syahwat kepada hidayah yang terang benderang dan petunjuk yang tidak kabur oleh deru-deru kekhilafan. 

Jika dicermati lebih dalam, ditemukan motiv umum setan dalam menjebak manusia ke dalam kubangan maksiat dan jerat-jerat pelanggaran :

A. Membuat manusia terlena oleh indahnya maksiat dan nikmatnya kufur, syirik, bid'ah dan dosa-dosa, baik kecil maupun yang besar. Ini disebut tazyiiin.

B. Mencegah manusia memahami kebaikan dan mengerti nilai hidayah dan manfaat taklim dan pengajian. Ini disebut shaddu asy-Syaithan. 

C. Memperlambat dan merecoki setiap ketaatan dan kebaikan yang dilakukan manusia supaya mereka tidak melakukan kebaikan itu secara rutin. Karena jika mereka konsisten dalam siklus kebaikan itu, setan merasa kehilangan kekuatan untuk memperdaya mereka.

D. Memancing manusia agar mengungkit kebaikan yang telah dilakukan sebagai bentuk riya' dan sum'ah supaya amalan tersebut kehilangan nilai dan pahalanya di sisi Allah. Naudzubillah.

Sasaran, Objek dan Target Setan.

Jebakan berupa kekafiran dan Kesyirikan ditujukan untuk semua manusia terutama kaum Kafirin dan musyrikin. Bid'ah dijadikan sebagai jebakan khusus dalam internal kaum muslimin sehingga bisa mengoyak keutuhan ukhuwah dan menghabiskan jatah umur tanpa menyadari kekeliruan dan penyimpangan. Dosa-dosa besar juga dikhususkan untuk kalangan muslim terutama yang jauh dari majelis ilmu dan pengajian pekanan atau taklim bulanan. Sedang dosa kecil banyak ditujukan setan sebagai perangkap untuk kalangan ustadz-ustadz dan kalangan ulama. Demikian pula hal-hal mubah seperti mandi tanpa disertai niat untuk menjadi pribadi suci dan bersih serta sibuk dengan sunnah berpahala kecil sehingga luput dari amalan yang berpahala besar; semua itu perangkap setan yang ditujukan untuk kalangan ulama dan para asatizah. Jadilah mereka ulama dan asatizah yang kurang efektif dalam banyak hal. Sementara itu, sikap saling serang dan sikap saling menjatuhkan, juga dibesar-besarkan oleh setan agar muslim terpelajar dalam bidang agama ini tidak mudah bersatu dalam proyek-proyek kebaikan dan perbaikan. Semua itu hanyalah tipu daya dan muslihat setan agar kebaikan tidak merajai seluruh sektor kehidupan manusia. Itu pula nilai ilmu dan ulama serta urgensi mereka dalam menjelaskan ilmu dan menyibak penyakit syubhat dan kilauan syahwat. Semoga kita terbebas dari tipu daya setan dan terselamatkan oleh ilmu dan ulama. Allahumma amiiiin. 

Depok, 27 Mei 2019 (22 ramadhan 1440 H)

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :

1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.

Ramadhan Bulan Perubahan.



By. Idrus Abidin.

Hidup adalah gerak. Dinamikanya berjalan sesuai arah ideologi yang melatari. Bisa dipicu oleh iman (agama), mungkin juga digerakkan oleh ideologi. Iman dan ideologi memang mirip. Tapi hakikatnya tidak sama. Iman lahir dari kitab suci samawi. Sedang ideologi dipicu oleh filsafat. Iman berbasis pada keghaiban. Ideologi dibangun oleh rasionalitas. Iman akhirnya terbentuk oleh validitas informasi (Wahyu). Allah dan para rasullah aktor utamanya. Sementara ideologi tidak lebih dari sekedar intelektual. Maka, perubahan basisnya kalau bukan agama pasti filsafat. Namun agamalah yang menyentuh langsung denyut nadi kehidupan masyarakat. 

Perubahan  (Gerak) Tabiat Kehidupan.

Di semua lini kehidupan, segala sesuatu bergerak dan berubah. Matahari bergerak di porosnya sendiri. Bintang juga melaju di orbitnya. Bumi pun demikian. Tanaman dan tumbuhan terus bergeliat. Apalagi jika curah hujan cukup untuk mendukung laju dinamiknya. Bahkan, Alam semesta pun bergerak dan mengembang secara konstan (QS adz-Dzariyat : 47) Jika pergerakan itu mengalami stagnasi, alam semesta akan mengalami kehancuran sehingga kematian bisa menjadi realitas tak terelakkan. Itulah sunnatullah di dunia fisik. Di dunia kejiwaan pun gerak dan perubahan itu berjalan. Jiwa butuh asupan yang menjamin gerak dan pertumbuhannya. Karena di sana tercetus kemauan dan semangat hidup. 

Turunnya Qur'an Titik Tolak Perubahan.

Perubahan dalam Islam berawal di bulan Ramadhan. Sebelum Rasulullah menjadi nabi, nalar kritisnya sudah meyakini bahwa hidup pasti ada maksud dan tujuan. Sebagai bagian dari Quraisy, beliau ikut menjadi pebisnis internasional yang menyambangi banyak pasar-pasar di semenanjung jazirah Arab. Dari sejak umur 12 tahun hingga menikah di umur 25, bahkan puncaknya pada umur 37. Beliau telah menjadi bisnisman kaya dan marketer ulung yang menguasai lingkungan geografis; bahkan perkembangan politik tanah dan dunia Arab.  Maka, tak heran, pada rentang umur 37 hingga 40 beliau kadang jeda dari dunia bisnis dan sesekali menyendiri di gua Hira dengan bekal secukupnya. Beliau mencari fakta-fakta kehidupan secara filosofis. Kesimpulan dari fakta-fakta itulah yang disebut istiqra' (pencarian/pengamatan). 

Ketika al-Alaq turun, jelaslah bahwa memang perubahan itu berawal dari pengamatan dan pencarian. Iqra' hanya menjelaskan sumber dan semangat pencarian dan pengamatan itu ; Allah sang maha pencipta. Pencipta segalanya, khususnya manusia sebagai pemain utama semua lini dan sektor kehidupan. Yang mana, mereka dari tiada jadi ada. Demikian pula ilmu, dengan mengamati dan mencari dia akan ada dari ketiadaannya. Penalah sarana belajar itu. Walaupun bagi nabi, tidak melalui goresan pena. Tapi melalui berita langit yang dibawa oleh Jibril alaihissalam. Sebagaimana manusia memang umumnya ada lewat kelahiran. Tapi Adam ada via penciptaan. Dengan Qur'an ini, manusia mengenal semangat ketuhanan (ruh). Namun itu juga belum cukup. Perlu ada cahaya (nur) sehingga semangat perubahan itu berjalan pada jalur yang benar (shiratal Mustaqim). Di bulan Ramadhanlah konsep perubahan itu turun. Di sebuah malam yang disebut Lailatul Qadar; malam penetapan takdir manusia. Takdir berupa aturan dan ketetapan syari'at (agama Islam), disertai pula dengan ketetapan alam dan segala isinya (takdir kauni)

Islam, iman dan Ihsan (Takwa) Gerak Perubahan.

Perubahan dalam agama itu bernama Islam. Yaitu suatu proses dalam kehidupan manusia yang menghendaki perkembangan dan kemajuan. Manusia yang Ingin agar status quo yang hanya berdasarkan  pada budaya mitos itu menjadi budaya Tauhid yang berbasis pada keadilan. Sehingga ia menyerahkan hidupnya diatur oleh Allah sehingga tampak lahiriahnya sebagai manusia yang berislam dengan identitas seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dll. Perubahan dalam sisi lahiriah ini dicetuskan oleh iman terhadap rabbul a'lamiin. Dzat yang mengadakan segala sesuatu lalu mengarahkan mereka semua ke tahap kesempurnaan; sedikit demi sedikit sesuai siklus kehidupan itu sendiri. Selain dicetuskan oleh keyakinan kepada Allah, perubahan juga lahir dari iman terhadap adanya hari pengadilan yang bernama kiamat. Kedua hal ini menjadi semacam visi perubahan yang melandasi setiap misi perubahan yang digulirkan. Misi yang bergerak menyadarkan manusia tentang hakikat kehidupan yang tak lain sebagai ujian. Misi yang menegaskan bahwa terhadap manusia dan semua makhluk, kita harus adil dan Ihsan kepada mereka. Misi yang mendukung upaya untuk mengeksplorasi alam semesta dengan ilmu pengetahuan demi kemudahan hidup mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Sedang Ihsan adalah kondisi manusia yang mencapai puncak maksimal dalam hal iman sehingga Allah tampak dalam jiwanya. Keadaan ini menunjukkan tingginya harapannya kepada Allah sehingga menjadi manusia yang senantiasa berubah sesuai yang dicintai dan diridhai Allah. Atau Ihsan berupa kesadaran jiwa yang membuat seseorang merasa selalu diawasi Allah sehingga takut terhadap pelanggaran dan senantiasa komitmen dalam perintahNya. Sebuah kondisi lain yang melahirkan perubahan maksimal pada diri manusia.  Baik Kondisi harapan atau pun kondisi takut; keduanya melahirkan Ihsan pada diri manusia. Ihsan yang berarti manusia profesional dalam berislam dan beriman; berdasarkan ilmu yang mapan dan amal yang berkategori unggulan. 

Taubat Proses Mendasar Perubahan.

Jika dicermati perubahan manusia dari Islam ke iman hingga ke tahap Ihsan, ditemukan sebuah rahasia perubahan; itulah taubat. Yaitu penyesalan  manusia akibat kelalaian dari kebaikan (Allah dan segala aturanNya). Sehingga ia berusaha memperbaiki hatinya dengan tauhid (inti keimanan), lisannya dengan istighfar dan fisiknya dengan shalat, puasa, zakat, haji dan sejumlah akhlak mulia lainnya. Taubatlah yang mengantar manusia ke pangkuan Islam. Taubat pula yang merubahnya menjadi manusia yang benar-benar beriman. Bahkan taubat khusus melambungkan manusia ke derajat Ihsan. Tiada perbaikan tanpa penyesalan, lalu diiringi perbaikan terus menerus tanpa henti dan tak kenal stagnasi. Para nabi dan rasul dikenal dengan karakter mereka sebagai awwab; yaitu sikap merasa bersalah dan merasa belum maksimal mengagungkan Allah; sebagai mana mestinya. Pantaslah, penghulu para Rasul, nabi kita Muhammad berucap,
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
"Aku tidak mengerti berapa seharusnya pujian yang pantas untukMu. Yang jelas, keterpujianMu hanya selevel dengan pujianMu sendiri terhadap diriMu". 

Taubat adalah energi yang terus menjalar pada setiap sendi-sendi perubahan. Mengawal manusia dan jin melewati jalur-jalur keislaman, menelusuri setiap lorong yang ada pada ruas-ruas keimanan. Bahkan, taubat pula yang mengantar manusia yang bernyali tinggi dan bersabar kokoh, menuju ruang-ruang ihsan yang telah berhasil ditelusuri dengan sempurna oleh para rasul Ulul Azmi. 

Ilmu, Pemicu Kesadaran dan Pencetus Taubat.

Dari mana taubat itu bermuara? Dari pengetahuan akan keagungan Allah Ta'ala. Seiring dengan pemahaman manusia akan kehebatan, kesempurnaan dan kekuasaan Allah, sejauh itu pula kesadaran akan lahir dan taubat dipastikan akan hadir, biiznillah. Egoisme manusia yang selama ini mencegahnya dari hidayah dan taubat tiba-tiba tersingkap menjadi kekerdilan di hadapanNya. Demikianlah ilmu mengembalikan segala sesuatu kepada porsi dan takarannya masing-masing (keadilan). Ketika ada orang tidak tahu menahu siapa sebenarnya yang dia lewati di jalan atau di tempat manapun tanpa sapaan dan teguran. Lalu diberi informasi kalau itu sang idola atau orang yang telah berjasa padanya di masa lalu; dengan segera ia merasa bersalah. Seperti itulah pengetahuan menggugah penyesalan, kesadaran dan taubat. Sehingga membuahkan perubahan kepada yang lebih tepat, proporsional dan profesional (Ihsan). Memang terkadang pengetahuan tidak melahirkan kesadaran, layaknya obat yang tidak menyembuhkan. Sebabnya, tembok ogoisme  begitu kokoh, menghalangi pengetahuan mencapai jantung kesadaran. Akhirnya, simbol perubahan itu ternyata ada pada siapa pun yang berilmu Amaliah dan beramal ilmiah. 

Statis, Lonceng Kematian. 

Dinamika seorang muslim demi lahirnya kebaruan dalam siklus perubahan begitu jelas bagi yang mengerti nilai ilmu dan manfaat hidayah. Waktu bagi mereka adalah lorong yang menyampaikan kepada kebaikan-kebaikan dan menjauhkan mereka dari lembah keterpurukan dan kubangan keburukan. Hidup dan semangat mereka melampaui kadar umur biologis. Sebaliknya, diam tanpa progres, murung tanpa target, hidup tanpa semangat bukan tipenya orang-orang beriman. Harapan akan indahnya negeri akhirat membuat semangat mereka berderu seolah tak kenal capek dan jeda istirahat. Mati bagi mereka bukanlah semata berpisahnya roh dari badan. Tapi hilangnya semangat perbaikan dan gelora keimanan. 

Muslim Tidak Mengenal Stagnasi;  Hanya Jeda dan Istirahat. 

Karena itu, muslim sesungguhnya adalah yang terus bergerak dalam skala perbaikan. Membangun jiwa via ilmu. Mengembangkan fitrah dengan Tazkiyatunnafs. Mensucikan hati dengan tauhid. Mereka memahami diam itu sebatas istirahat; karena memang tabiat manusia juga butuh jeda setelah sekian lama berjibaku dengan gerak kebaikan dan semangat perbaikan. Walau bagaimanapun, tubuh ini punya hak; dengan mengistirahatkan mata, telinga, nalar dan jiwa, walau hanya sejenak.  Keluarga pun punya hak; dengan memenuhi kebutuhan mereka secara fisik dan kejiwaan. 

Puasa, Langkah Perubahan.

Pada kewajiban puasa jelas sekali nuansa perubahan itu begitu tampak. Di sana ada ujian kejujuran untuk senantiasa menahan lapar, haus dan semua hal yang membatalkan puasa. Mudah bagi siapa pun yang tidak jujur mengelabui orang sekitar; seolah dia puasa. Padahal, dalam sepinya ruangan malah kenyang oleh nikmatnya makan dan lezatnya minuman. Kalau bukan karena ketulusan dan keikhlasan, puasa hanya sekedar hoaks, tanpa ada realitas. Maka, di sinilah kita mengerti, kenapa puasa itu langsung ditetapkan sendiri pahalanya oleh Allah Ta'ala. Karena kejujuranlah basis utamanya.  Tidak  mudah kena  riya' dan  sum'ah, seperti shalat, tilawah dll. Rasulullah bersabda : 

 كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ )

"Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia murni untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan menetapkan kelipatan pahalanya." (HR. Muslim, no. 1151)

Zakat, Tahapan Perubahan.

Dengan puasa, beratnya rasa haus, susahnya kelaparan, walau hanya berbatas waktu, sebulan penuh, setiap hari antar subuh hingga magrib; terasa secara langsung bagaimana orang-orang yang tereliminasi dari sumber-sumber kekayaan seperti orang miskin, merasakan semua itu tanpa berbatas waktu. Bahkan tidak adanya kepastian kapan lapar itu berubah jadi kenyang, haus menjadi hilang dengan tegukan air tawar; berlangsung sepanjang waktu, di setiap tempat. Maka empati dipastikan akan hadir menjadi kepedulian minimal. Itulah zakat fitrah dan harta, bahkan infaq dan shadaqah. Shadaqah sendiri berarti bukti kejujuran iman (shidq) selain bukti persaudaraan kemanusiaan (shadaqah). Atas nama Allah, kepedulian itu menjadi semacam kebersamaan. Terutama di hari kebahagiaan internasional kaum muslimin di seluruh belahan dunia; hari raya Iedul Fitri. Tidak boleh ada sedih bagi siapapun pada hari itu karena makan dan minum saja belum jelas ketersediannya. 

I'tikaf Energi Perubahan.

Untuk mengasah kesadaran, mempertajam target besar yang belum terlaksana, mengukur diri dengan standar keislaman, keimanan dan keihsanan; dibutuhkan jeda waktu dari hiruk pikuk dunia kerja dan keluarga. Semacam fokus untuk menata diri dan menginstrospeksinya secara langsung dan dengan sangat mendalam. Supaya ketenangan dalam khusyuknya ibadah, kenikmatan dalam indahnya tilawah dan nikmatnya baca buku keislaman yang diselingi oleh tausiyah dan Taujih dari ahli di bidangnya; memberikan energi spiritual yang sangat dibutuhkan setelah ramadhan sudah tiada.  

Kadang jiwa ini tumpul akibat deru kesibukan duniawi. Seringkali jiwa ini melemah karena terlalu fokus dengan target-target materi. Bahkan, bisa jadi lemah spiritual karena terlalu mengandalkan rasionalitas dan kemampuan diri. Berat untuk fokus dalam shalat. Susah untuk merasakan indahnya nasehat. Semua itu karena jiwa lagi kurang asupan gizi spiritual. Maka, nasehat seolah tak melahirkan gelombang dalam jiwa. Untuk semua itu, i'tikaf hadir supaya jiwa mendapatkan kekuatannya kembali. Iman berasa kokoh, takwa bersemi dan optimisme pun  menatap masa depan dengan penuh senyuman.

Idul Fitri, Perayaan Status Baru. 

Di saat takbiran berkumandang, jiwa merasakan bahwa Allah penuh keagungan. Ketika puasa berakhir, fitrah seolah menemukan jati dirinya sebagai makhluk baru. Beban-beban yang selama ini mengekang jiwa, seolah sirna oleh kekuatan iman. Ketaatan membuahkan jalan baru menuju Ridha Allah dengan potensi surgaNya yang sangat menawan. Keyakinan seolah tenang oleh rindangnya pohon ketakwaan. Maka, iedul Fitri menjadi hari bahagia karena diri kembali ke fitrahnya yang suci. Bahagia karena tanggung jawab telah tertunaikan. Sebulan penuh disertai dedikasi untuk menahan lapar dan haus, termasuk menjauhkan diri dari kebohongan dan kepalsuan. Berusaha sekuat tenaga membangun kembali puing-puing kejujuran yang telah lama berantakan oleh pencitraan berlebihan. Bahwa kini, iman itu bukan sekedar hiasan bibir yang membuat orang lain takjub, sekali pun jauh panggang dari api. Tapi yang lebih penting dari itu semua, bahwa takwa berarti lahirnya manusia baru yang berbekal cinta Allah yang luar biasa. Memahami bahwa rahmat Allah diharapkan sepenuhnya. Sekaligus azab Allah sungguh sangat menakutkan di jiwa. Semoga demikian adanya. Aamiin. 

Depok, Tengah Malam,  18 Mei 2019. 

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :

1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form