Oleh : Idrus Abidin
A. PENDAHULUAN.
Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah seorang Intelektual
Muslim yang membidik tema-tema keislaman, khususnya yang berkaitan dengan
bahasa, yang menjadi objek kajiannya sejak ia mengawali debut ilmiahnya dari
bawah hingga meraih gelar doctoral. Hanya saja, menurut Khoiran Nahdiyiin, ia
tidak memperlakukan ilmu-ilmu tersebut sebagai ilmu itu sendiri, tetapi sebagai
ilmu bantu untuk menjelaskan ilmu-ilmu lain. Oleh karena ilmu ini dalam tradisi
Arab Islam tidak berkembang, ia memanfaatkan perkembangan lain yang terjadi di
luar dalam disiplin yang sama.[1]
Yang dimaksud khairon Nahdiyiin adalah
pemanfaatan Abu Zaid terhadap Hermeneutik yang berkembang pesat di barat yang
memiliki benang merah dengan disiplin ilmu yang ia kembangkan.[2]
Memang kalau kita menyimak tulisan-tulisan
Abu Zaid, nampak sekali ia menaruh perhatian besar terhadap aspek teks (Nash).
Buku seperti Mafhum Al-Nash yang ia tulis, menjelaskan dengan runtut
karakteriristik teks Al-Qur'an. Pada kitab tersebut ia menyimpulkan bahwa peradaban
Islam Arab adalah peradaban teks (Hadharatu Al-Nash).[3] Karenanya
ia melihat Al-Qur'an sebagai Produk Peradaban (Muntaj Tsaqafi). Yang mana,
dalam proses pembentukannya selama kurang lebih 23 tahun, berdialektika dengan
peradaban yang ada ketika itu.
Karena berangkat dari displin ilmu
hermeneutik, maka tahapan penting yang harus ia lalui adalah melakukan analisa
terhadap corak teks itu sendiri. Dengan itu kondisi pengarang teks tesebut dapat
diketahui.[4]
Tetapi karena pengarang teks, dalam hal ini Allah, tidak bisa jadi objek
analisa, maka realitas dan kebuadayaanlah yang dijadikan Nasr sebagai pintu
masuk.
Tentang ini, Nasr Hamid menulis, "Ketika
pengirim (Allah) tidak mungkin dijadikan objek kajian ilmiah, maka sudah
sewajarnya kalau realitas (Al-Waqi') dan kebudayaan (Al-Tsaqafah) menjadi pintu
masuk yang empirik untuk kajian teks al-qur'an. Realitas di sini adalah
realitas yang mengatur dinamika manusia-manusia yang menjadi audiens (al-mukhathabuun)
teks tersebut, dan mengatur penerima pertama teks tersebut, yaitu Rasul. Adapun
yang dimaksud dengan kebudayaan di sini adalah kebudayaan yang dipersonifikasikan
di dalam bahasa. Dengan penjelasan sedemikian, maka studi teks melalui medium
budaya dan realitas, sama artinya dengan memulainya dengan fakta-fakta yang
empirik."[5]
Kemudian
Nasr medeskripsikan Rasulullah saw sebagai hasil dan produk masyarakatnya :"Muhammad,
sebagai penerima pertama dan penyampai teks, merupakan bagian dari realitas dan
masyarakat. Ia adalah hasil dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh berkembang
di Mekah sebagai anak yatim, dididik dalam suku bani sa'ad sebagaimana
anak-anak sebayanya di perkampungan badwi."[6]
Karena hasil produk masyarakat, maka ketika
menerima wahyu, Rasulullah saw digambarkan oleh Nasr Hamid sebagai penerima yang
tidak sekedar pasif, tetapi ikut terlibat dalam mengelolah teks wahyu[7].
Ia menulis, "Pembicaran tentang Muhammad sebagai penerima pertama teks
bukanlah pembicaaraan tentang penerima pasif, tetapi itu adalah pembicaraan
tentang seorang manusia yang pada dirinya terbentuk harapan-harapan masyarakat
yang merupakan tempatnya berafiliasi.[8]
Berdasarkan hal di atas, maka tema besar yang diusung oleh Nasr Hamid Abu Zaid
dalam Mafhum Al-Nash adalah upaya membuktikan bahwa tekas Al-Qur'an,
berdasarkan sejarah pembentukanya, mengalami dialektika dengan peradaban yang
ditemuinya, sehingga teks yang ada tidaklah harus ditaqdiskan sebagaimana ummat
Islam memperlakukannya sekarang, tetapi ia bisa saja dikaji secara kritis.
Corak yang menjadi bingkai pemikiran Abu Zaid
ini pula yang melatar belakangi pembahasannya tentang I'jaz Al-Qur'an, yang
mana ia berusaha membuktikan bahwa teks (Al-Qur'an), mukjizatnya bukanlah
secara inheren ada pada bahasa yang dimilikinya, tetapi I'jaznya berada di luar
teks (I'jaz eksternal), berupa ketidak mampuan orang arab menggubah ungkapan atau
puisi yang menyerupai al-qur'an, karena Allah sendiri yang menutup peluang itu.
Artinya bahwa al-qur'an tidak bisa ditandingi bukan karena ketingian bahasanya,
tetapi karena Allahlah yang membuat mereka tidak memiliki kemampuan itu. Dalam
hal ini, Abu Zaid mengikuti pendapat kaum mu'tazilah yang kebetulan searah
dengan peroyeknya dalam mengulas teks–teks Al-Qur'an berdasarkan alur Hermeneutika.
Wallahu A'lam.
B.
KONSEP I'JAZ NASR HAMID ABU
ZAID.
Sebenannya kajian ijaz Nasr Hamid hanya
seputar perbandingan konsep I'jaz Asy'ari yang dimotori oleh Al-Baqillani, Ibnu
Khaldun dll, dengan konsep I'jaz kalangan Mu'tazilah yang dipelopori oleh Ibrahim Bin Sayyar yang dikenal dengan
sebutan An-Nazzam. Kemudian Nasr Hamid mendukung konsep Mu'tazilah karena itu
dekat dengan kesimpulannya terhadap al-qur'an sebagai produk budaya.
Perbedaan Nasr Hamid dengan Mu'tzilah
terletak pada kesimpulannya yang menjadikan al-qur'an sebagai produk budaya,
hal yang tidak pernah diklaim oleh Mu'tazilah, walaupun mereka mengatakan
Al-Qur'an adalah mahluk. Artinya Mu'tazilah tidak sampai mengklaim bahwa posisi
teks atau wahyu al-qur'an telah berubah menjadi peradaban.[9]
Menyangkut konsep Mu'tazilah tentang I'jaz,
Nasr Hamid menyimpulkan konsep I'jaz An-Nazzam yang tidak melihat I'jaz tersebut
terletak pada bahasa al-qur'an (I'jaz internal-pen). Ia menulis "Mukjizat
menunjukkan kebenaran wahyu berkaitan erat dengan al-qur'an, akan tetapi Mukjizat
tersebut tidak berasal dari watak khas al-qur'an sebagai teks yag berbahasa. Ia
berasal dari ketidakmampuan bangsa arab
yang hidup semasa turunnya teks dalam membuat satu surat yang sepadan dengannya. Ketidakmampuan
ini merupakan yang aksidental lantaran adanya interpensi kehendak Tuhan dan
keraguan para penyair untuk menerima tantangan tersebut.[10]
Di sini tampak sekali pandangan An-Nazzan
yang diikuti oleh Nasr Hamid bahwa I'jaz tidak pada bahasa. Dengan demikian
bahasa yang merupakan medium yang digunaka Tuhan benar-benar menjadi milik
kebudayaan, sehingga al-qur'an diposisikan layaknya teks-teks lainnya dalam
masyarakat.
Gamal Al-Banna menyimpulkan kecendrungan Nasr
Hamid ini dengan menulis, "Nasr Hamid tidak membuat perkecualian terhadap
al-qur'an sebagai teks Ilahi yang bersumber dari Tuhan. Yang penting bagi Abu Zaid,
teks tersebut telah membahasa, sementara bahasa bukanlah wadah yang hampa,
tetapi merupakan perangkat kebudayaan dan pengetauan. Dengan asumsi demikian,
al-qur,an mungkin didekati melalui pintu masuk kebudayaan karena ia produk
kebudayaan.[11]
Bagi An-Nazzam, I'jaz al-qur'an hanya terjadi
pada berita tentang peristiwa masa lampau dan yang akan datang serta hilangnya
dorongan untuk mengadakan perlawanan. Sehingga perhatian Bangsa Arab terhadap
hal itu hilang secara paksa. Menurut An-Nazzam, apabila mereka dibebaskan dari
semua itu, niscaya mereka mampu membuat satu surat yang sepadan dengan al-qur'an, dalam
segi balagah, ketinggian bahasa dan susunannya."[12]
Nasr Hamid menegaskan kecendrungan An-Nazzam
ini dengan mengatkan, "Kemukjizatan di sini bukanlah kemukjizatan atau
keunggulan yang terdapat dalam struktur teks jika dibandingkan dengan teks-teks
lainnya."[13]
Lebih lanjut, Nasr Hamid menulis, "Dalam
pandangan Mu'tazilah, hal yang dapat menunjukkan kebenaran Nabi adalah adanya
sesuatu yang melemahkan (Mu'jiz) pada dirinya, baik melemahkan
perbuatan-perbuatan yang meyalahii aturan kebiasaan dan alam ataupun
perbuatan-perbuatan biasa alamiah yang dapat dilakukan oleh manusia."[14]
C.
SEPUTAR DUKUNGAN NASR HAMID
TERHADAP KONSEP I'JAZ MU'TAZILAH DAN ALASANNYA.
Sejumlah alasan penting yang dikemukakan oleh
Nasr seputar dukungannya terhadap konsep Mu'tazilah. Menurut hemat kami, alasan itu terbagi dua,
diantaranya adalah :
1
Teori kemahlukan al-qur'an.
Dengan mendukung konsep
umum Mu'tasilah tentang khalqu al-qur'an maka proyeknya seputar Muntaj
Tsaqapi tidak bermasalah, bahkan tampak logis dan searah. Karena dengan
konsep kemahlukan al-qur'an maka akan berujung pada sebuah jalur yang memberikan
peluang seluas-luasnya bagi akal untuk melakukan penalaran atas al-qur'an
melalui medium tafsir dan ta'wil.
Alur ini nampaknya disadari
oleh Gamal Al-Banna sehingga beliau menerangkan dalam komentaranya, "Tidak
ada perbedaan antara Abu Zaid yang mengatakan : Kalau dia (al-qur'an) itu betul-betul kalam Ilahi maka dia tetaplah fenomena sejarah, sebab
setiap perilaku Tuhan merupakan sebuah aksi di alam dunia ciptaan-Nya yang
baharu dan historis. Demikian juga dengan al-qur'an. Dia merupakan fenomena
sejarah kalau dilihat dari sisinya sebagai manifesatsi kalam ilahi, sekalipun
merupakan manifestasi paling utuh,.sebab dia adalah yang paling akhir",
ungkapan demikian sama belaka dengan pemikiran Mu'tazilah tentang kemanusian
al-qur'an (basyariatul qur'an). Bahwa al-qur'an ditinjau dari sisi kalimat,
hurup, suara tinta yang tertulis dalam sebuah lembaran, merupakan mahluk yang
baharu. Bahkan dengan sifat-sifat demikian dia bisa menjadi aksi manusia yang
bercakap-cakap denganya, yang membacanya dan menulis ayat-ayatnya.[15]
Tentang peluang akal yang
begitu luas dalam menjamah al-qur'an setelah meyakini kemahlukannya dijelaskan
oleh gamal al-banna dalam kesimpulannya, "Atas asumsi itu, Mutazilah
menegaskan bahwa ungkapan al-qur'an sebagai mahluk berarti sama dengan ungkapan
tentang kemanusian kitab tersebut dari segi bahasa, suara, huruf, dialek.
Kesemuanya merupakan upaya manusia yang kemudian membuahkan kaidah-kaidah yang
disepakati dan ditaati. Itu semua pada akhirnya akan memberikan akal manusia
ruang yang lebih lapang untuk melakukn penalaran atas kitab tersebut melalui
medium tafsir dan ta'wil."[16]
Apa yang dijelaskan oleh
Gamal Al-Banna di atas tampaknya menjadi peluang bagi Nasr Hamid untuk
mengesplor hermeneutika yang menjadi efistemologinya. Yang mana, fakta bahwa
Nabi Muhammad saw sebagai penerima awal al-qur'an bukanlah penerima pasif
tetapi penerima aktif, sangat jelas terpampang.
Tentang peluang memasukkan
hermeneutik ini, Adian husaini dan Henri Salahuddin menulis, "Di sinilah
Nasr Hamid tampil cerdik dengan menempatkan Nabi Muhammad saw -penerima wahyu- pada
posisi semacam pengarang "al-qur'an".[17]
A.
I'jaz eksternal teks.
(al-I'jaz kharija al-nash).
Terekait dengan ini, alasan dukungan Nasr
Hamid adalah bahwa dengan memandang mukjizat al-qur'an bukan inheren
(eksternal-pen) dalam teks, tetapi hanya pada sisi pemberitaan masa lalu dan
masa mendatang, berarti upaya menyamakan mukjizat Nabi Muhammad saw dengan
mukjizat nabi-nabi sebelumnya. Yang mana da'wah dan risalah sebelum Islam
memerlukan sebuah bukti (I'jaz) yang menegaskan kebenaran wahyu, yaitu bukti
eksternal yang mencerminkan terjadinya aksi di luar kebiasaan pada diri
Nabi-Nabi sebelumnya.
Sebelum Nasr Hamid mengungkap upaya penyamaan
Mukjizat Nabi Muhammad saw dengan nabi-nabi sebelumnya, Nasr sendiri telah
menolak pandangan I'jaz jumhur ulama yang melihat mukjizat al-quran sebagai
mukjizat internal. Mukjizat internal ini dalam bahasa Ibnu Khaldun dikenal
dengan istilah "ittihadu ad-dalil wal madlul"
(inheren).
Alasan penolakan Nasr Hamid ini diungkapkan
dalam tulisannya, "Yang perlu ditegaskan di sini bahwa menyatunya dalil
dengan madlul dalam konsep wahyu merupakan konsep yang mebutuhkan
interpretasi ulang. Kita patut bertanya, mengapa wahyu Islam menempati
kedudukan seperti itu, sementara wahyu-wahyu sebelumnya, yang antara dalil dan
madlulnya terpisah, memerlukan dalil eksternal untuk menegaskan kebenarannya
?."[18]
Dengan paparan di atas, saya menyimpulkan
–wallahu a'lam- bahwa konsep I'jaz Nasr Hamid merupakan perpaduan antara
pandangan Mu'tazilah dengan teori hermeneutik yang sering
didengung-dengungkannya.
RQiS), cet.1,
th.2003, hal.10-11.
Tsaqafi
Al-Arabi), th.1994, hal.9.
Mu'tazila, dalam
majalah ISLAMIA, vol.2, juni –agustus 2004, hal.33.
diterjemahkan oleh
Nabi Muhammad saw melalui medium bahasa, dalam hal ini bahasa arab. Adian
Husaini dan Henri
Salahuddin mengomentari kecendrungan Nasr Hamid Abu Zaid ini degan menulis,
"Pendapat
Nasr dan kalangan dekonstruksionis ini memang menjebol konsep dasar
tentang al-qur'an
yang selama ini
diyakini kaum Muslimin, bahwa al-qur'an, baik makna maupun lafazhnya adalah
dari
Allah. Dalam
konsepsi islam, nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan,……Posisi
beliausaw dalam
menerima dan menyampaikan wahyu memang pasif. Hanya sebagai
"penyampai"
apa-apa yang
diwahyukan kepadanya. (Lihat : Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi
Komparatif ; Konsef Al-Qur'an Nasr Hamid dan Mu'tazila,
dalam majalah ISLAMIA, vol.2, juni –
agustus 2004,
hal.34).
[7] Ibid, hal.65.
Mu'tazila, dalam
majalah ISLAMIA, vol.2, juni –agustus 2004, hal.41.
[11] Gamal Al-Banna, Evulusi
Tafsir dari jaman klasik hingga jaman moderen, (Jakarta : Qisthi Press), cet.1, th.2004,
hal.229.
Bang boleh ga ini saya jadikan skripsi?
ReplyDeleteSilahkan. Dengan senang hati. Semoga lewat Antm Allah membukakan hidayah orang-orang yang terlanjur liberal. Amin
DeleteAlhamdulillah makasih banyak bang...
DeleteMoga dapat kelancaran dalam penyusunan nya