Wednesday, February 22, 2012

KONSEP PEMERINTAHAN AMANAH MENURUT IBN TAIMIYAH KARYA TARPIN

RESUME TESIS
Oleh : Idrus Abidin

BAB I
PENDAHULUAN

Pemikiran politik Islam sesungguhnya merupakan suatu usaha (ijtihad) ulama yang merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka mencari landsan intelektual bagi fungsi dan peranan Negara serta pemerintahan sebagai sebuah faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesajahteraan rakyat, baik yang lahir maupun batin. Disamping itu, barangkali bisa ditambahkan pula bahwa lahirnya ijtihad politik yang spekulatif itu juga didorong oleh suatu keinginan untuk mendapatkan legitimasi dalam rangka mempertahankan sebuah tatanan politik yang ada.
Sebagai konsekwesi dari adanya persoalan tersebut, maka setiap konsepsi politik Islam yang lahir, tokoh pencetusnya berusaha untuk menyandarkan ajaran yang dibawanya kepada kedua sumber asasi dalam Islam itu, disamping juga berusaha untuk mengaitkannya dengan pelaksanaan yang bersifat praktis pada masa Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) yang empat. Akibatnya, setiap konsepsi politik yang didasarkan pada hal-hal itu dengan sendirinya dianggap sebagai konsepsi politik Islam, dimana dalam perjalanan lebih lanjut, umat Islam dituntut untuk mengakui dan menjalankan ajaran itu sebagai sebuah bagian yang  sangat integral dari sistem keyakinan dan hukum yang ada di dalamnya. Hal ini terlihat dari hasil-hasil ijtihad politik yag lahir pada masa pertengahan  atau pada masa kejatuhan Bani Abbas oleh serbuah Mongol  Tartar yang direpresentasi –paling tidak- oleh al-Baqillani dan al-Mawardi, di mana mereka berdua menekankan bahwa tatanan politik yang sedang berlangsung pada masa itu dianggap sebagai bentuk yang diinginkan syari'ah Islam.
Ketika konstalasi politik sudah mengalami perubahan seiring dengan hancurnya sistem khilafah di Bagdad oleh serangan Mongol Tartar (1258 M), konsepsi kenegaraan, sebagaimana dicetuskan oleh kedua tokoh itu  tidak lagi mendominasi pemikiran politik Islam. Karena sebagaian ulama dihadapkan pada realitas politik di mana umat Islam telah terpecah ke dalam negara-negara Islam yang relatif kecil. Didasari oleh kenyataan ini, sebagian ulama dalam pemikiran politiknya bersifat realistis, dalam arti tidak lagi berusaha mempertahankan konsepsi khilafah yang eksistensinya telah berlalu dari kehidupan umat Islam. Di antara tokoh tersebut adalah Ibn Taimiyah yang dalam doktrinnya lebih mengedepankan aspek amanah dalam sebuah pemerintahan Islam.
Ibn Taimiyah dikenal sebagai ulama cerdas dan berpengetahuan luas. Dilatarbelakangi oleh sikap untuk selalu berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur'an, Sunnah dan al-Salaf al-Shaleh serta sikap anti taklid-nya maka tidak heran jika dalam ijtihad politiknya ia jauh dari kesan ikut-ikutan, seperti mempertahankan bentuk khilafah dan imamah serta lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd-nya. Sebagai konsekwensi dari sikapnya itu ia memunculkan gagasan original, yaitu pemerintahan amanah dan Ahl al-Syaukah, di mana hal itu merupakan respon terhadap doktrin kenegaraan dan realitas politik  umat Islam ketika itu.
Dalam ijtihad politiknya, Ibn Taimiyah menolak bentuk system khilafah dalam sunni dan imamah dalam syi'ah sebagai satu-satunya bentuk kenegaraan.  Bahkan ia mengkritik pemikiran khilafah dan imamah yang selama ini berkembang  sebagai sebuah pemikiran yang mengada-ada. Karena baik khilafah maupun imamah merupakan institusi yang pembentukannya tidak didasarkan pada nash al-Qur'an maupun Sunnah, melainkan hanya semata-mata berdasarkan ijtihad sahabat dan ulama.
Sehubungan dengan itu, ia menolak berbagai argumentasi yang dimajukan pendukug  konsep khilafah dan imamah. Karena menurutnya dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, beliau tidak pernah bertindak sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan. Asumsi Ibn Taimiyah tersebut didasarkan pada sebuah kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw yang nota benenya seorang Rasul Allah dengan sendirinya harus menjalankan kewajiban menjalankan syari'ah yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya. Tugas tersebut akan ia laksanakan dengan atau tanpa predikat sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan. Dengan kata lain, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa segala tindakan Nabi dalam segala aspeknya, termasuk berperang dengan musuh, merupakan kewajiban yang menyatu dengan kerasulannya itu sendiri, bukan aspek lain yang diberikan manusia kepadanya.
Untuk itu, pendapat ulama yang mengatakan bahwa khilafah merupakan kelanjutan pemerintahan Nabi Muhammad saw yang harus tetap dipertahankan,  karena adanya perintah nash, tidaklah tepat. Mengingat tidak satu nash pun, baik dari ayat al-Qur'an maupun Sunnah Nabi, yang menjelaskan hal tersebut. Sehubungan dengan hal itu, ia mengatakan bahwa bentuk Negara bisa apa saja selama ia menjalankan syari'ah.
Penolakan Ibn Taimiyah tersebut, menurut penulis, merupakan sikap yang realistis. Karena disamping ia tidak sempat mengalami hidup di bawah pemerintahan khilafah, juga karena penyatuan umat Islam dalam sebuah wadah yang besar seperti pada masa-masa sebelumnya sangat sukar untuk diwujudkan. Sebagai ganti dari pemikiran khilafah dalam pemerintahan Islam sunni dan imamah dalam pemerintahan Islam syi'ah, ia mengemukakan pendapat yang simpel mengenai pemerintahan Islam., yaitu bahwa Negara bisa berbentuk apa saja. Yang penting, menurutnya, harus disarkan pada ajaran syari'ah Islam dengan amanah sebagai landasan utama dalam menjalankan pemerintahan Islam.
Pendirian Ibn Taimiyah tersebut paling tidak telah mendorong reorientasi ulama yang datang belakangan unutk memikirkan kembali bentuk Negara dan pemerintahan dalam Islam, meskipun diakui oleh Nurcholish Madjid bahwa perubahan yang dipeloporinya tidak menciptakan gerakan besar. Akan tetapi, menurutnya, dinamaika ide-ide justru berlanjut terus mempengaruhi sejarah intelektual Islam. Pengaruh yang berkesinambungan tersebut terlihat dari banyaknya kajian intelektual muslim dalam rangka memahami lebih jauh pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, baik dalam bidang fikih, akidah, politik dan masalah-masalah lainnya.
Permasalahan inti dalam tesis ini adalah sejauh mana urgensitas konsep amanah tersebut dalam pemikiran pemerintahan Ibn Taimiyah. Dengan demikian, kajian dalam tesis ini bertitik tolak dari konsep amanah dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah yang bertujuan untuk mendalami permasalahan tersebut lebih lanjut.
Untuk selengkapnya, penulis rumuskan kajian dalam tersis ini melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimanah kiprah Ibn Taimiyah dalam pemikiran Islam ?
2.      Bagaimana pemikiran kenegaraan dalam pemikiran Ibn Taimiyah ?
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran Ibn Taimiyah dalam politik ?
4.      Bagaiamana bentuk pemerintahan yang amanah dalam Islam menurut Ibn Taimiyah ?
Bentuk penelitian dalam tesis ini adalah kepustakaan (library) murni. Dalam artian, penulis dalam mengkaji persoalan-persoalan yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini merujuk kepada literatur-literatur yang relevan dengan persoalan dalam tesis ini.
Adapun sistematika pembahasan dalam rangka mepermudah penulisan tesisi ini adalah sebagai berikut :
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II Riwayat Hidup Ibn Taimiyah yang meliputi, Pendidikan dan Perjuanganya, Pemahaman Dasar-Dasar keagamaannya, Karya-Karya Ilmiahnya, dan Pengaruhnya di Dunia Islam.
Bab III Ibn Taimiyah dan Pemikiran Kenegaraan, Pemikiran Kenegaraan Prakejatuhan Bani Abbas, Pemikiran Kenenegaraan Pascakejatuhan Bani Abbas, Pemikiran Khilafah dan Imamah dalam Islam.
Bab IV Amanah menurut Ibn Taimiyah yang meliputi, Penguasa dan Sumber Kekuasaan, Pemilihan dan Penentuan Pejabat, dan Harta (al-Maal) dan Pendistribusiannya.
Bab V merupakan bab penutup yang meliputi, Kesimpulan dan Saran-Saran.

BAB II
RIWAYAT HIDUP IBN TAIMIYAH

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Ia dilahirkan di kota Harran Siria pada hari senin, 10 Rabi al-Awwal 661 H (22 Januari 1263 M) dan wafat di Damaskus pada malam senin 29 Zul Qa'dah 728 H (26 Sepetember 1328 M).
Menurut beberapa sumber, Ibn Taimiyah berasal dari keluarga besar Taimiyah yang sangat terpelajar dan terdidik serta sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada zamannya. Hal ini terjadi karena selain ditunjang oleh sifat kelimuan yang ada pada keluarga itu, juga karena kehidupan islami yang mereka jalankan dalam kehidupan mereka. Ayahnya bernama Syihab al-Din Abd al-Halim ibn Abd al-Salam (627-682 H) merupakan seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Mesjid Agung Damaskus. Di sana, selain bertindak sebagai khatib dan imam besar, juga ia bertindak sebagai guru (muallim) dalam mara pelajaran tafsir dan hadits. Di samping menjabat hal-hal tersebut, ia juga bertindak sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadits al-Sukkariyah, yaitu sebuah lembaga pendidikan bermazhab Hambali yang sangat maju pada waktu itu. Di lembaga inilah ia mendidik putra kesayangannya, Ibn Taimiyah.
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang memiliki kecerdasan luar biasa. Karena ketekunan dan kesungguhannya dalam menunutu ilmu, kemampuan intelektual dan keperibadian baik, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi manusia besar. Bukan saja ia dikenal dengan penguasaan ilmunya yang matang tetapi juga dikenal sangat berpengalaman dan penulis produktif. Di usia yang masih relative muda, yaitu pada sekitar tujuah tahun, Ibn Taimiyah telah berhasil menghafal al-Qur'an dengan lancer.
Di samping dikenal sebagai ahli tafsir dan ahli hadis, ia juga dikenal sebagai ahli fiqih dan pengetahuannya terhadap ilmu ini dianggap lebih mendalam dibandingkan ulama lainnya, karena ia juga menguasai secara detail berbagai bentuk perbedaan pendapat ulama di berbagai mazhab berikut argumentasi (baik naqli Maupun aqli) yang dimajukan oleh tiap-tiap aliran fiqih itu.

BAB III
IBN TAIMIYAH DAN PEMIKIRAN
KENEGARAAN

Pemikiran kenegaraan prakejatuhan Bani Abbas didominasi oleh ulama-ulama seperti Ibn Abi Rabi, al-Mawardi, al-Gazali, ibn Taimiyah dan Ibn khaldun. Pemikiran politik yang mereka hasilkan pada prinsipnya didasarkan pada empat hal, yaitu; pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Di mana pemimpin atau kepala negara haruslah berasal dari keturunan quraisy. Kedua, adanya bai'at. Di mana dengan bai'at itu terjadi kontrak sosial antara kepala negara terpilih dengan rakyatnya. Ketiga, prinsip syura (musyawarah). Keempat, prinsip keadilan. Secara umum mereka menerima rinsip-prinsip tersebut. Meskipun demikian, dalam banyak detail pemikiran yang berkaitan dengan empat prinsip itu terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mereka tidak mencapai kata sepakat dalam beberapa hal kecuali dalam hal keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan. Kesamaan pendapat dalam keharusan adanya pemerintahan dan kepala Negara ini dikarenakan mereka mempunyai keyakinan yang sama bahwa tanpa adanya dua hal itu perinsip-prinsip syari'ah Islam tidak bisa dilaksanakan.
Ketidaksepakatan dalam hal detail persolan tampaknya terjadi akibat kondisi soial politik umat Islam yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Guna memudahkan dalam melihat persolan tersebeut, penulis mempresentasikan pemikiran beberapa tokoh pemikiran kenegaraan Islam yang sangat terkenal, seperti al-Baqillani, al-Mawardi dan Ibn Taimiyah sendiri.
Al-Baqillani misalnya adalah orang pertama yang dianggap menyusun tentang teori khilafah dan imamah dengan sistematis. Ajaran politiknya itu ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul التمهيد في الرد على الملحدة و الرافضة والخوارج والمعتزلة  Dilihat dari judulnya, karya itu ia tulis dalam rangka menolak teori-teori kenegaraan yang dihasilkan oleh golongan Syi'ah, Khawarij dan Mu'tazilah.
Setelah al-Baqillani, terdapat Abu al-Hasan al-Mawardi. Pemikiran politiknya ia tuangkan dalam kitabnya الأحكام السلطانية Buku ini ia tulis dalam rangka mempertahankan otoritas khilafah Bani Abbas dari rongrongan para penguasa Bani Buwaih yang secara efektif mengontrol pemeintahan Bani Abbas.
Kemudian pada pasca kejatuhan Bani Abbas, Ibn Taimiyah tampil dengan konsep kenegaraannya. Pada periode pasca-Mongol ini, nilai-nilai agama dan cita-cita syari'ah tidak saja dalam keadaan bahaya, tetapi juga telah jauh keluar dari rel yang benar sebagaimana difahami genaerasi awal umat Islam dahulu. Dalam permaslahan yang berkaitan dengan persoalan politik-kenegaraan, ia menulis buku yang sangat monumental sebagai respon terhadap siutasi politik dan diktrin politik sebelumnya. Buku tersebut berjudul السياسة الشرعية ف إصلاح الراعي والرعية dan kitab منهاج السنة النبوية في نقد كلام الشيعة والقدرية  Pada kedua kitab inilah beliau menekankan secara gamblang mengenai proses politik dalam rangka pembentukan sebuah Negara. Dalam pembicaraan, ia selalu menekankan bahwa hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam setiap proses tersebut adalah eksistensi syari'ah.
Meskipun Ibn Taimiyah berbicara panjang lebar tentang urgensi sebuah Negara bagi umat, namun ia tidak menyinggung sama sekali perihal khilafah, bentuk Negara, dan prosedur pemilihan atau pengangkatan imam. Yang dilakukan terkait dengan khilafah adalah penolakannya atas asumsi yang berkembang bahwa ia terkait dengan nash. Atau dengan kata lain bahwa khilafah merupakan amanah al-Qur'an dan Sunnah. Keyakina ini,menurut beliau, tidaklah berdasar mengingat ungkapan khilafah yang terdapat dalam dua sember hukum Islam itu tidak mengindikasikan adanya maksud politik dalam arti pengganti Nabi sebagai kepala negara. Melainkan unutk menunjukkan segolongan orang yang konsisten selalu menghidupkan dan menyiarkan Sunnahnya serta mengajarkannya kepada sekalian manusia.
Terkait dengan imamah yang menjadi tema kenegaraan syi'ah dan dianggap mutlak oleh mereka, bahkan dianggap terkait secara diametral dengan keimanan, Ibn Taimiyah mengajukan kritikan dan penolakan. Penolakannya terhadap imamah didasarkan pada keyakinannya bahwa Allah swt tidak pernah mengaitkan keimanan seseorang dengan imamah. Beberapa hadits diangkat oleh Ibn Taimyah terkait dengan sikapnya ini.
Adapun konsep ismah al-imam dalam doktrin syi'ah yang merupakan konsekwensi dari keyakinan mereka bahwa imam tidak didasarkan oleh pemilihan melainkan atas petunjuk Allah. Oleh sebab itu, imam dalam doktrin syi'ah merupakan seseorang yang maksum. Pendapat ini menurut Ibn Taimiyah tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya mengingat Nabi pernah bersabda bahwa umat hanya boleh mentaati pemimpin yang tidak mengajak berbuat maksiat kepada Allah.

BAB IV
AMANAH MENURUT IBN TAIMIYAH

1.      Penguasa dan Sumber Kekuasaan.
Dalam banyak kesempatan, Ibn Taimiyah menekankan adanya kekuasaan yang efektif dalam rangka menjalankan pemerintahan negara di mana dengan itu penyampaian amanah kepada yang berhak bisa berjalan dengan baik. Terkait dengan ini, Ibn Taimiyah pernah menggambarkan wilayah (negara) sebagai sebuah pedang yang sangup menolong agama. Pendapatnya itu terinspirasi oleh ayat al-Qur'an yang berbunyi:
Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS.Al-Hadid : 25).

Berdasarkan ayat tersebut, Ibn Taimiyah menarik kesimpulan bahwa negarayang menurutnya merupakan sebuah instrumen pendukung bagi tegaknya agama merupakan aspek penting bagi penegakan ajaran-ajaran yang tersapat dalam kitab Allah. Menurutnya, kitab menjelaskan apa yang diperintahkan Allah dan mencegah yang dilarang-Nya dan pedang berfungsi sebagai faktor penolong bagi pengimplementasiaan ajaran-ajaran tersebut. Mengingatnya funginya sebagai faktor penentu bagi tegaknya ajaran-ajaran Allah itulah, Ibn Taimiyah menamakan negara dengan pedang (al-Saif), karena hanya dnegan negara agama bisa diamalkan dengan efektif.
Berkaitan dengan urgensitas kekuasaan itu, terdapat aspek lain yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan kekuasaaan itu sendiri, yaitu penguasa. Jika kekuasaan itu merupakan implementasi dari jama'ah yang berada di suatu tempat dan mempunyai niat untuk menegakkan ajaran agama, penguasa merupakan aspek pelaku kekuasaan itu yang di tangannya terdapat tanggung jawab untuk melaksankan tanggung jawab tersebut. Dalam kaitan ini, Ibn Taimiyah melontarkan gagasan Ahl al-Syaukah, yaitu gagasan yang dianggap original dan segar dalam rangka menjawab permasalahan tersebut.
Berdasarkan berbagai alasan yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah terkait dengan Ahl al-Syaukah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah individu-individu yang mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat di mana pembaitannya terhadap seorang imam merupakan represantasi dari kekuatan masyarakat yang ada di bawah pengaruhnya.
Sesungguhnya gagasan Ahl al-Syaukah Ibn Taimiyah tersebut, di samping karena di dasarkan pada realitas politik pada waktu itu, juga merupakan refleksi ketidakpuasannya terhadap konsep Ahl a-Hall wa al-Aqd dalam teori khilafah klasik. Karena dalam kenyataanya, lembaga itu tidak pernah membuktikan hasil kerjanya sebagaimana laayknya sebuah institusi yang mempunyai otoritas untukitu.
Menurut Ibn Taimiyah, imamah bisa tegak, sah dan legitimated apabila dilakukan oleh Ahl al-Syaukah dan tidak seoramg pun akan menjadi imam kecuali mendapat legalisasi dari Ahl al-Syaukah , yaitu sekelompok orang berpengaruh yang menyatakan ketaatan kepada imam tersebut. Hal ini penting karena tujuan imamah yang sesungghunya adalah kapabilitas dan dominasi. Dengan demikian, apa bila seseorang telah dibai'at menjadi imam oleh Ahl al-Syaukah maka dengan sendirinya sah menjadi pemimpin atau penguasa.
2.      Pemilihan dan Penentuan Pejabat.
Dalam rangka menjalankan pemerintahan yang amanah tersebut,  seorang penguasa (sultan) haruslah memilih dan menentukan orang-orang atau pejabat yang membantunya dalam melaksanakan tugas. Masalah penentuan tugas ini dimasukkan oleh Ibn Taimiyah ke dalam aspek amanah yang mesti juga ia jalankan dengan semestinya. Amanah yang dimaksud di sini adalah bahwa seorang imam yang telah menerima amanah dari rakyat melalui bai'at yang dipresentasikan oleh Ahl al-Syaukah. Oleh sebab itu, ia harus menjalankan amanah tersebut sebaik-baiknya. Di antara bukti bahwa seorang penerima amanah menjalankan apa yang dikehendaki pemberi amanah dapat dilihat dari cara penguasa tersebut memilih para pembantunya atau para pejabat yang menjadi bawahannya. Jika penguasa menunjuk orang-orang yang sesuai denga kualifikasi yang dimilikinya untuk jabatan yang tersedia  serta ia (penguasa) bebas dari berbagai pengaruh dan intervensi orang lain, maka ia layak dikatakan orang yang menjalankan amanah dalam pemerintahannya.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa aspek keahlian dan profesinalisme bagi seorang pejabat negara, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus menjadi aspek penilian yang menentukan. Dengan demikian ia menentang praktek kolusi, nepotisme, dan korupsi, karena praktek itu bertentangan dengan perintah Allah yang juga bertentangan dengan amanah yang mesti ia jalankan.
3.      Penempatan Pejabat.
Menurut Ibn Taimiyah, untuk mendapatkan orang yang memenuhi persyaratan ideal sebagaimana ia inginkan sangatlah rumit dan boleh dikatakan sangat jarang didapat. Meski pun demikian, bukan berarti seorang penguasa harus berheti begitu saja tanpa melakukan tindakan alternatif dalam rangka mengisi kekosongan. Maka dari itu,,seorang sultan harus menetukan fungsi dan tujuan dari jabatan yang harus diisi tersebut. Jika permasalah itu telah dipecahkan oleh sultan maka tindakan selanjutnya adalah menetukan kriteria-kriteria yang semestinya dpenuhi oleh calon pejabat. Apabila ini telah dilakukan maka seorang sultan memperhitungkan dampak negatif  dan posiritf yang diakibatkan oleh penempatan pejabat di manasecara kategori tidak memenuhi syarat seratus persen.
Berkaitan dengan hal ini, sultan harus memperhatikan aspek dominan dari seorang calon itu dikaitkan dengan posisi yang akan didudukinya. Mana yang dari sifat dominan itu yang paling relevan dengan jabatan yang tersedia, sehingga pada akhirnya sultan dapat memilih orang yang lebih banyak mendatangkan manfaat bagi jabatan itu ketimbang mudharat yang mungkin ditimbulkannya.
Selanjutnya Ibn taimiyah mengatakan jika dalam suatu posisi keperluan terhadap orang yang bersifat amanah lebih mendesak dibanding oarang yang memiliki sifat al-Quwwah maka asfek amanah harus didahulukan, seperti untuk mengisi jabatan bendahara dan yang sejenisnya, di mana faktor amanah lebih diutamakan. Begitu juga jika dalam suatu jabatan, seperti jabatan hakim, faktor wara' lebih diutamakan dibanding faktor kepintaran, maka orang yang mempunyai ke-wara'-an lebih baik diutamakan dibanding dengan orang yang hanya sekedar pintar tapi tidak wara'.
Selain itu, dalam rangka menutupi aspek-aspek yang kurang dalam diri penguasa maupun pejabat, maka harus ditumbuhkembangkan tradisi musyawarah dengan para cendekiawan. Tradisi ini harus dijalankan guna menutupi kesenjangan yang besar yang besar antara kelebihan dan kekurangan seseorang.
4.      Harta dan Pendistribusiannya.
a.      Masalah-masalah yang berhubungan dengan harta.
Ibn Taimiyah mengatakan, hal-hal yang berkaitan dengan harta benda ini adalah masalah pertambangan (al-A'yan), utang-piutang baik yang bersifak khusus maupun umum seperti penyerahanbarang titipan, harta teman seperkongsian, harta orang yang diwakilinya, harta orang yang besekutu dengannya dalam suatu mudharabah (bagi hasil), dan pembayaran (penyerahan) harta anak yatim. Hal lain yang terkait dengan masalah harta adalah pembayaran utang dan lain sebagainya.
Jenis-jenis masalah yang berkaitan dengan harta tersebut sangat erat kaitannya dengan masalah amanah, yaitu memberikan hak-hak yang semestinya menjadi milik orang bersangkutan. Karenanya, baik pejabat maupun rakyat harus bersama-sama melaksanakan amanah sebagaimana mestinya. Amanah yang harus ditegakkan oleh penguasa dalam hal  ini adalah menjamin terlaksananya penyampaian hak tersebut kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan bagi rakyat, khususnya yang mempunyai kelebihan harta, hendaknya memberikan sesuatu yang semestinya kepada penguasa.
Jika harta yang diambil pemerintah dengan cara yang sah dari rakyatnya seperti pajak, zakat dan lain sebagainya harus dijamin pembagiannya kepada yagn berhak unuk itu, apalagi pengembalian harta orang lain yang belum sempat ia nikmati karena sebelumnya berada di bwah penguasaan orang lain.
b)     Masalah kezaliman pejabat dan rakyat dalam masalah harta.
Kezaliman penguasa pada umumnya adalah mengambil harata dengan cara yagn tidak semesstinya dari rakyat. Dan kezaliman rakyat biasanya adalah tidak membayar apa yang semestinya ia berikan kepada pemerintah. Berkaitan denga kezaliman rakyat terhadap pemerintah dan rakyat dengan rakyar, pemerintah harus menetukan hukuman (ta'zir) yang layk bagi mereka, seperti memenjarakan dan bahkan kalau perlu memukul mereka sampai yang bersangkutan memenuhi kewajiban semestinya. Jika mereka mau menunjukkan harta mereka dan mau memnuhi kewajiban tersebut mak amereka harus dibebaskan dari hukuman.
Adapun yang berkaitan dengan kezaliman penguasa kepada rakyat dalam masalah ini, pemerintah yang adil haruslah mengembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya. Termasuk dalam hal ini adalah hadiah dan sogokan seseorang kepada pejabat pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar nertralitas dan kinerja pemerintah tidak terganggu. Namun jika ada harta benda yang  terlanjur diambil secara zalim dari rakyat, tetapi tidak bisa dikembalikan lagi karena orang yang berhak atasnya sukar ditemukan maka hendaklah harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
c)      Pendistribusian harta.
Berkaitan dengan hal ini, Ibn Taimiyah menekankan agar  dalam pelaksanaannya memperhatikan skala prioritas. Artinya, pendistribusian kekayaan negara selain berhubungan dengan al-fa'i, al-ghanimah, dan al-shadaqah haruslah mengedapankan kemaslahatan yang berhubungan dengan kepentingan umat yang lebih besar. Adapun yang berkaitan dengan al-ganimah dan al-shadaqah secara khusus telah dijelaskan oleh Allah dan rasul-Nya. Sedangkan pendistribusian al-fai', Ibn Taimiyah menekankan bahwa yang harus diperiorotaskan adalah para pejuang di jalan Allah.
Berkaitan dengan orang-orang yang berhak mendapatkan pemabagian yang bearasal dari harta non al-ghanimah dan al-shadaqah tersebut meliputi, orang yang mempunyai otoriras dalam pemerintahan, hakim, ulama, imam shalat, muazzin dan orang-rang yang sangat membutuhkan bantuan tersebut.

BAB V
PENUTUP

Beberapa kesimpulan yang dipaparkan oleh peniliti tesis ini adalah :
1.      Ibn Taimiyah merupakan ulama besar, cendekiwan muslim dengan wawasan lintas dispilin, mujtahid mutlak, dan pejuang Islam. Dalam hal pemberantasan bid'ah, khurafat, dan tkhayul, Ibn Taimiyah bisa dikatakan sebagai pelopor, karena dari usahanya ini ia mencapai puncak ketenarannya yang akhirnya membuatnya disegani oleh lawan maupun oleh kawan. Berkat usahanya dalam memberantas tiga hal tersebut yang dianggap menyimpang itu, pemurnian Islam dalam arti kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah banyak diikuti oleh para pengagumnya. Disamping itu, ia sangat gigih meperjuangkan bahwa pintu ijtihad tidaklah tertutup. Hal ini ia lakukan guna menghindari keterbelakangan umat sebagaimana yang terjadi ketika itu.
2.      Pemikiran politik Ibn Taimiayah sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang berjalan pada waktu itu, di mana pemerintahan Islam dalam keadaan tidak solid. Ketidaksolidan itu, menurut Ibn Taimiyah, disebabkan karena umat Islam terkotak-kotak ke dalam berbagai aliran, di mana hal itu menjadi penghambat kekuatan Islam. Oleh sebab itu, lahirlah pemikiran Ibn Taimiyah yang bersifat realistis dan dianggap efektif untuk mengatasi permaslahn kenegaraan pada waktu itu. Sikap realistisnya terlihat dari pengakuannya terhadap dukungan riil kepada seorang penguasa, ketimbang mempersoalkan masalah normatif seperti Ahl al-Hall wa al-qd dalam konsepsi khilafah, karena secara fakta historis tidak pernah terbukti efektifitasnya.
3.      Amanah yang dimaksud Ibn Taimiyah dalam doktrin pemerintahannya adalah pertama, keterkaitan antara penguasa sebagai orang yang menerima kepercayaan melalui bai'ah yang dilakukan oleh Ahl al-Syaukah sebagai kekuatan yang mempresentasikan umat dalam suatu komunitas. Amanah dalam konteks ini adalah terjalinnya suatu kontrak sosial, di mana penguasa berkewajiban menjalankan dan melindungi ajran-ajaran agama. Di samping itu, ia juga wajib memberikan perlindungan dan rasa tentram bagi masyarakat. Oleh sebab itu, dalam rangka menyampaikan dan menjalankan amanah ini, penguasa harus membentuk tim pemerintahan negara dengan sangat hati-hati dan terlepas dari unsur-unsur kolusi, nepotisme, dan korupsi. Masih dalam konteks amanah, pemerintah harus mepertimbangkan aspek kepribadian orang yang akan ditunjuk. Sementara di sisi lain, umat yang telah ber-bai'at harus melakukan kewajibannya sebagaimana layaknya warga negara. Amanah yang kedua adalah yang terkait dengan masalah pengelolaan harta negara. Dalam hal ini, pemerintah wajib memberikan kepastian terhadap hak-hak dan kewajiban rakyat agar apa yang semestinya menjadi milik mereka dapat diraih. Olehnya itu, pemerintah dibolehkan melakukan penegakan hukum meskipun dengan hukuman fisik.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form