Oleh : Idrus Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan sejarah Islam, sejak abad ke-4 H./11 M. sungguh sangat
memprihatinkan. Kelemahan dan kemunduran bagaikan virus ganas yang melanda dan
menggerogoti tubuh ummat Islam, sebagai akibat dari datangnya ujian bencana
yang silih berganti, baik dari luar maupun dari dalam. Teror bangsa Tartar dari timur dan serangan kaum Salibis
dari Barat menimbulkan nestapa dan kesegsaraan bagi kaum Muslimin. Berbagai
peristiwa tragis saat negeri Syam jatuh ke tangan penjajah Eropa Salibis selama
kurang lebih dua abad. Mereka berhasil menduduki Damaskus dan sekitarnya,
seirig pula dengan jatuhnya masjid al-Aqsha ke tangan mereka. Perang
berlangsung cukup lama antara ummat Islam dengan bengsa Prancis, yang pada
akhirnya mereka mampu menguasai wilayah Dimyat dan Mesir.
Di pihak lain, pasukan Tartar
Mongol menjarah wilayah Islam, mulai tepi sungai Indus sampai ke da'erah sungai
Eufrat dengan menjarah sungai Turkistan, Samarkand, Buchara, Khurasan sampai
perbatasan Irak.hingga sekitar awal abad ke-12 M. Hulagu Khan berhasil
menduduki Bagdad –sebagai jantung kekhalifaan Islam. Dengan demikian reduplah
kekuasaan Dinasti Abbasiah, sementara pasukan tartar tetap melanjutkan
ekspansinya dengan menjarah wilayah Suriah. Akhirnya dengan kondisi demikian
mengakibatkan semakin jatuh dan bobroknya umat Islam.
Sementara itu, kondisi
interen umat Islam ternyata juga semakin parah. Kekacauan politik,
penyalahgunaan kekuasaan, kebodohan umat, kelemahan ulama serta
penyimpagan-penyimpagan tradisi semakin menggejala di mana-mana. Prilaku dan
kehidupan yang menyimpang dari ajaran Islam mengakibatkan warna keIslaman
menjadi pupus. Perpecahan merajalela, aliran dan sektte-sekte sesat yang
mengatasnamakan Islam makin subur. Taklid buta dan fanatisme mazhab dan bid'ah
semakin mengeruhkan cakrawala pemikiran Islam. ditambah dengan sikap menuhankan
akal, logika dan filsafat Yunani sebagai pengganti al-Qur'an dan Hadits dalam
manhaj hidup sehingga mazhab-mazhab fiqhi dan sekte-sekte teologis hampir
berubah posisinya menjadi agama. Ibnu
Akan tetapi, dalam kondisi
yang begitu tragis, ternyata pada perkembangannya muncul tokoh pelopor yang
menawarkan berbagai ide sebagai alternatif untuk meluruskan kembali
bentuk-bentuk keterlanjuran umat Islam dalam sejarahnya. Tokoh yang mencoba
mengantarkan umat Islam untuk kembali kepada al-qur'an dan sunnah rasul serta
konsep khidupan para sahabat secara murni, menyeluruh dan konsekwen. Siap
menghadapi bebagai bentuk kezhaliman dan kebobrokan. Tokoh itu
diantaranya adalah diantaranya Ibnu Taimiyah (661-728 H./1263-1328 M.) Ia
adalah seorang pemikir yang beasaldari Damaskus, yang mendapatkan reputasi
sebagai seorang yang berwawasan luas, pendukung kebebasanberpikir, tajam
perasaan, teguh pendirian, serta menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan.
Ia menolak otoritas mana saja dalam masalah agama, selain al-Qur'an dan
sunnah Rasul serta pendapat kaum salaf. Karena itu, ia menjadi sangat kritis
terhadap semua pemikir Islam yang mapan. Menyadari keharusan memenuhi tantangan
zaman yang senatiasa berubah, menyebabkan Ibnu taimiyah berpendirian tetap
dibukanya pintu ijtihad.
Pengaruh Ibnu Taimiyah dalam usaha menyebarkan ide-idenya pada saat itu
kelihatannya hanya terbatas pada barisan pengikutnya yang pertama dan tidak
menyebar ke dalam barisan keagamaan. Ia belum berhasil menciptakan gerakan besar, tetapi dinamika ide-idenya
teap berlanjut terus mempengaruhi sejarah intelektual Islam. Ia menelusup secara
bertahap melalui gerakan intelegensia para pengikut-pengikutnya seperti Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, Muhammad Ibnu Abdul Hadi dan Az-Zahabi. Meskipun cukup
tertunda, pada gilirannya juga mempengaruhi Gerakan Wahabi yang muncul pada
pertengahan abad ke-18 M. di Saudi Arabia sebagai satu-satunya manifesatasi
yang dinilai paling terorganisir oleh Fazlurrahman.
Pendiri gerakan ini adalah
Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1201 H./1703-1792 M.). Pada masa mudanya, ia
dikenal sebagai penganut sufi sebagaimana dalam sejarah hidupnya. Tetapi
kemudian mengalami semacam konversi (perubahan agama), yang pada perkembangan
selanjutnya mendapat pengaruh dari tulisan-tilisan Ibnu Taimiyah. Muhammad bin
Abdul Wahhab memperoleh inspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah, meskipun tidak utuh
karena rentang waktu yang begitu panjang, tetapi paling tidak mampu menembus
cakrawala pemikirannya dalam beberapa aspek tertentu. Jika Ibnu Taimiyah
menentang bid'ah, pemujaan terhadap para wali dan ziarah ke tempat-tempat suci dan lain sebagainya
Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya justru mencoba mengaplikasikannya
dalam tindakan praktis. Bahkan lebih dari itu, mereka berekspansi secara
militer, mulai dari Nejed ke Hijaz sampai ke Mekah dan Madinah.
Sejauh pengamatan penulis, cukup banyak tulisan tentang Ibnu Taimiyah.
Antara lain, Nurcholis majid dengan bukunya : Argumen untuk keterbukaan
Moderasi dan Toleransi, beberapa pokok pandangan Ibnu Taimiyah. Juhaya
S. Praja, Efistomologi Hukum Islam. Suatu Telaah Tentang Sumber, Illat
dan Tujuan Hukum Islam Serta Metode-Metode pengujian kebenarannya Dalam Sistem
Hukum Islam, Menurut Ibnu Taimiyah. Dan banyak lagi tulisan-tulisan
lainnya.Demikian pula tulisan tentang Wahabi, seperti tulisan Ahmad bin Hajar
Abu Thami dengan karyanya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Aqidatuhu
al-Salafiyah Wa Da'watuhu al-Islahiyah Wa Tsana al-Ulama Alaihi.
Studi ini ingin melihat faktor-faktor yang mendorong dan usaha-usaha Ibnu
Taimiyah dalam melakuakan pemurnian ajaran Islam, sekaligus melacak sejauh
manakah pengaruhnya terhadap Gerakan Wahabi. Jika persoalan terjawab dengan
baik, secara praktis ia akan menjadi sumbangan informasi bagi yang berminat
mendalami khazanah kesejarahan dalam Islam.
Tulisan merupakan upaya penelitian perpustakaan yang pengumpulan data-datanya
melalui penelitian kepustakaan (library reseach). Secara sederhana, upaya yang
dilakukan dalam pengumpulan data-data yang ada dalam buku-buku itu diklafikasi
ke dalam dua bahagian, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Untuk
mempermudah gambaran yang utuh dan kongkrit, maka sistematika penulisan tesis
ini di susun sebagai berikut :
Bab I pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari ; latar
belakang dan pokok maslah, tujuan penelitian, kajian dan telaah kepustakaan,
metode penelitian, tehnik penulisan dan sistematika pembahasan.
Bab II mendiskusikan tentang
kehidupan dan kondisi umat Islam pada masa Ibnu Taimiyah. Dalam bab ibi telebih
dahulu dijelaskan tentang ; riwayat hidup Ibnu Taimiyah, kondisi umat Islam
pada masanya dan prinsip-prinsip pemikirannya. Pembahasan ini dimaksudkan agar
dapat menggambarkan tentang ketokohan dan kepakaran serta keberadaanya di
tengah-tengah umat Islam.
Bab III membicarakan tentang
kebangkiran Gerakan Wahabi yang dimulai dari ; Awal bermulanya Gerakan Wahabi
dengan menyoroti kepeloporan tokohnya Muhammad bin Abdul Wahhab,
prinsip-prinsip keagamaan dan kiprahnya dalam pemurnian ajaran Islam.
Bab IV mengemukakan tentang
aspek-aspek keterkaitan dan keterpengaruhan Gerakan Wahabi terhadap Ibnu
Taimiyah. Pada bab ini pembahasan diawali dari ; Krakteristik pemurnian yang
dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dan dikaitkan sekaligus dengan sisi-sisi kedekatan
dan pengaruhnya terhadap Gerakan Wahabi.
Bab V merupakan kesimpulan
dari seluruh bahasan sebelumnya, sekaligus sebagai jawaban dari masalah pokok
pada kajian tesis ini.
BAB II
MENGENAL KEHIDUPAN IBNU TAIMIYAH
Nama lengkap Ibnu Taimiyah
adalah Ahmad Ibnu Abd al-Halim Ibnu Abd al-Salam Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan
di kota Harran Siria pada hari senin, 10 Rabi al-Awwal 661 H (22 Januari 1263
M) dan wafat di Damaskus pada malam senin 29 Zul Qa'dah 728 H (26 Sepetember
1328 M).
Menurut beberapa sumber, Ibnu
Taimiyah berasal dari keluarga besar Taimiyah yang sangat terpelajar dan
terdidik serta sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada
zamannya. Hal ini terjadi karena selain ditunjang oleh sifat kelimuan yang ada
pada keluarga itu, juga karena kehidupan Islami yang mereka jalankan dalam
kehidupan mereka. Ayahnya bernama Syihab al-Din Abd al-Halim Ibnu Abd al-Salam
(627-682 H) merupakan seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di
Mesjid Agung Damaskus. Di sana, selain bertindak sebagai khatib dan imam besar,
juga ia bertindak sebagai guru (muallim) dalam mata pelajaran tafsir dan
hadits. Di samping menjabat hal-hal tersebut, ia juga bertindak sebagai
Direktur Madrasah Dar al-Hadits al-Sukkariyah, yaitu sebuah lembaga pendidikan
bermazhab Hambali yang sangat maju pada waktu itu. Di lembaga inilah ia
mendidik putra kesayangannya, Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah sendiri sejak
kecil dikenal sebagai seorang anak yang memiliki kecerdasan luar biasa. Karena
ketekunan dan kesungguhannya dalam menunutu ilmu, kemampuan intelektual dan
keperibadian baik, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi manusia besar.
Bukan saja ia dikenal dengan penguasaan ilmunya yang matang tetapi juga dikenal
sangat berpengalaman dan penulis produktif. Di usia yang masih relative muda,
yaitu pada sekitar tujuah tahun, Ibnu Taimiyah telah berjhasil menghafal
al-qur'an dengan lancer.
Di samping dikenal sebagai ahli tafsir dan ahli hadis, ia juga dikenal
sebagai ahli fiqih dan pengetahuannya terhadap ilmu ini dianggap lebih mendalam
dibandingkan ulama lainnya, karena ia juga menguasai secara detail berbagai
bentuk perbedaan pendapat ulama di berbagai mazhab berikut argumentasi (baik naqli
Maupun aqli) yang dimajukan oleh tiap-tiap aliran fiqih itu.
Ibnu taimiyiah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi
politik, dislokai social dan dekadensi akhlak serta moral. Kondisi in terjadi menjelang abad ke-7 dan ke-8
H., di mana kaum Muslimin terpecah ke dalam berbagai negara-negara kecil. Raja
negara-negara tersebut memandang satu sama lain sebagai musuhyang setiap saat
salig memangsa. Mereka tidak memandang satu sama lain sebagai sesama Muslim yang bersaudara. Raja-raja merasa dan bahkan
bersikap semaunya terhadap masyarakat.
Kondisi tersebut makin diperparah dengan munculnya kelompok-kelompok
yang berkolusi dengan musuh-musuh Islam yang tersebar di hampir semua dunia Islam.
Seperti Nushairiyah, Kisriwiyah, Syi'ah
–sesat-, Yahudi dan Nasrani. Kelompok-kelompok sporadis ini sengaja melakukan
perlawanan berdarah terhadap umat Islam. Mereka itu pada hakikatnya adalah
fanatisme pemuja filsafat, pengikut hindu dan yunani, pewaris Majusi, musyrikin
dan penerus kesesatan Yahudi, Nasrani dan Shabi'in (penyembah batu).
Para pengikut masing-masing mazhab fiqhi
membanggakan mazhabnya sendiri dan
meremehkan mazhab lain. Msing-masing mersa sebagai yang diterima dan diperkuat
oleh Allah swt. Dengan segala kejeniusan, kelincahan bicara dan kemampuan
menulis, mereka akan berusaha keras unutk mengunggulkan mazhab sendiri atas
mazhab lain. Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang terjadinya
pertentangan-pertentangan sengit karena timbulnya sentimen mazhab dan kelompok
tertentu. Sehingga pada puncaknya, mereka sepakat unutk mengklaim bahwa pintu
ijtihad perlu ditutup.
Penutupan pintu ijtihad itu terjadi sejak penyerbuan tentara mongol ke Bagdad. Kesempata ini dimanfaatkan oleh Khulagu Khan
dengan memakai fatwa-fatwa ulama Islam yang tentunya merugikan umat Islam itu
sendiri. Selain itu, ulama-ulama yang memiliki ambisi semakin getol menyuarakan
tertutupnya pintu ijtihaddemi ketenarran pribadi, ualama-ulama yang memegang
salah atu mazhab menganjurkan unutk berpegang pada apa yang telah ada. Kondisi
ini berlanjut dan akhirnya memberikan dampak pada sikap umat Muslim menjadi
jumud dan kahidupan intelektual menjadi sepi.
Demikian pula keterkaitannya dengan aliran teologi, di mana penyatuan
antara pengikut Asy'ari dan Hambali di satu sisi merupakan sesuatu yang amat
mustahil. Antara Asy'ariah dan Hambaliah terjadi perselisihan dalam masalah
kufur dan Islam. Masing-masing pihak bersikeras mengkafirkan pihak yang lain
pembahasan soal akidah dikalangan para ahli kalam memang mengalahkan pembahasan
yang lain. Oleh sebab itu perselisihan yang terjadi antara mereka dianggap
sangat prinsip, bahkan terkadang posisi mazhab hamper identik dengan agama.
Di tengah-tengah kejumudan berpikir, perkembangan ilmu tasawuf di sisi
lain telah sampai pula kepada beragam bentuk. Karena berbagai latar belakang
historis dan keilmuan, para hali tasawuf juga telah terkena pengaruh filsafat
ketimuran yang datang dari Yunani dan India. Filsafat tersebut telah
bercampur aduk dengan akidah Islam dan pemikiran-pemikirannya.filsafat
ketimuran Plato modern, peribadaan orang India, akidah Hulul dan Ittihad,
mazhab wahdatul wujud, pembagian al-zhahir dan al-Bathin, gugurnya
tanggung jawab bagi Insan Kamil (sempurna). Semua itu membuat kacau pemikiran
sebagian besar ahli tasawuf.
Ciri khas pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menganut system pemikiran Ahlussunah
Wal Jama'ah, yang dianut oleh Ahmad bin Hambal dan tokoh mazhab hambali
lainya. Sungguhpun demikian, ia juga mengambil pikiran tokoh mazhab empat dan
para pemuka hadits seperti, Bukhari, Syafi'I, Thabari, Ibnu Khuzaimah dan
lain-lain. Bahkan Ibnu Taimiyah
menerima semua pemikiran selama itu sejala dengan kaum salaf..
Prinsip berpikir yang menjadi
landasan berfikir Ibnu Taimiyah adalah ; pertama, al-Tauhid. Dengan prinsip
tauhid, Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah adalah yang maha benar, yang nyata,
pengajar setiap ilmu, pencipta segala sesuatu, dan pembuat hukum. Karena Allah
swt memiliki kualitas sperti di atas maka ia memberi petunjuk kepada manusia
melali perantara, yakni rasul dengan mewahyikan al-kitab yang mengandung
petunjukpetunjuk dan penjelasan dari rasul yang disebut dengan Sunnah.
Kedua, kembali kepada al-qur'an dan sunnah. Prinsip
ini berdasarkan pada teorinya fitrah, yang mana ia merupakan potensi yang
inheren dalam diri manusia yang telah ada sejak ia dilahirkan. Fitrah tersebut
mempunyai daya potensial yang berfungsi untuk menganal Allah swt, mengesakan
dan mencitai-Nya yang disbut al-quwwatu al-aqliyah. Sedang daya yang
berfungsi untuk menginduksi hal-hal yang menyenangkan disebut quwah
syahwatiah, dan daya yang berfungsi untuk menjaga diri dan dan
menghindarkan dari bentuk yang merusak dan membahayakan disebut quwwah
al-ghadab. Akan tetapi fitrah tersebut tidak tidak dapat berfungsi tanpa
bantuan daruluar dirinya yang disebut al-fitrah al-munazzalah.
Ketiga, persesuaian antara akal dan wahyu. Ibnu Taimiyah
meletakkan akal pikiran di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri
sendiri. Dengan kata lain, wahyu tidak dapat terpisahkan, namun ukuran-ukuran
kesesuaian antara keduanya harus jelas, yaitu penalaran akal yang jelas dan
wahyu yang terjamin penukilannya.
Keempat. Prinsip keadilan. Persoalan di dunia ini bisa baik jika
diurus secara adil. Cara begini lebih banyak berhasil daripada diurus secara
zhalim. Oleh karena itu, dikatakan bahwa, "Sesungguhnya Allah swt
mempertahankan atau memenagkan Negara yang adil meskipun kafir dan tidak
membantu Negara yang zhalim sekalipun Muslim.
Kelima, hakikat kebenaran. Menurut Ibnu Taimiyah,
hakikat kebenaran itu ada dalam dunia empirik, bukan dalam pikiran. Islam
sebagai ajaran yang ditujukan unutk kebaikan umat manusia adalah petunjuk
praktis yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi penganutnya. Oleh
sebab itu, kebenaran yang sesui dengan ajaran agama dapat diketahui oleh
manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam mengandung sifat empirik yang memberi
peluang kepada fungsi-fungsi manusia.
Keenam, pokok-pokok dan cabang-cabang agama telah dijelaskan oleh Rasul.
Menurut Ibnu Taimiyah, Rasulullah telah menjelaskan semua aspek agama, baik
prinsip-prinsipnya naupun cabag-cabangnya, segi atin dan lahirnya, segi ilmu
maupun amalnya. Prinsip ini adalah
pangkal prinsip-prinsip ilmu dan iman. Barang siapa yang berpegang kuat-kuat
kepada prinsip tersebut maka ia lebih berhak atas kebenaran, baik dari segi
ilmu maupun dari segi amal.
BAB III
SEJARAH KEBANGKITAN KAUM WAHABI
Sekitar abad ke-18 M. dunia Islam
mengalami stagnasi pemikiran. Pada umumnya ummat Islam disibukkan oleh
kehidupan asketisme, di mana isu tentang telah tertutupnya pentu ijtihad makin
gencar. Di samping itu, tradisi yang bersufat bid'ah dan khurafat semaki
merajalela. Fabrikasi dan supertisi dikalangan umat yang berakibat pada butanya
terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Yakni ajaran-ajaran yang termaktub
dalam al-qur'an dan sunnah Rasul.
Melihat kondisi semacam itu, Muhammad bin Abdul Wahab terinspirasi untuk
menggagas kembali semangat unutk merujuk kepada ajaran Islam murni sebagai mana
pernah dilakukan oleh pendahulunya Ahnmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Reaksi
ini kemudian membentuk sebuah gerakan yang sering disebut Gerakan Wahabi yang
dianggap revolusioner dan radikal pada zamannya. Oleh sebab itu, nama Muhammad
bi Abdul Wahhab tidak bisa dipisahkan dari Gerakan Wahabi.
Nama lengkapya adalah
Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Rasyid al-Tamimi. Ia dilahirkan pada tahun 1115 H./1703 M. di Uyainah, sebuah
desa di dekat Nejed, Saudi Arabia. Rihlah ilmiahnya dilakukan ketika melakukan
ibadah haji. Di sini ia belajar dari para ulama setempat. Dua guru utamanya di
Madinah adalah Abdullah bin Ibarahim ibnu Sayf dari Nejed dan Muhammad Hayat
al-Sindi dari India. Ia mendapat ijazah periwayatan hadits melalui dua jalur
diantaranya melalui Ibnu Muflih dan silsilahnya bersambung kepada Ibnu Taimiyah
dan berkhir pada Imam Ahmad.
Dalam upaya mengaflikasika
prinsip-prinsip pemikirannya, ia membangkitkan suasana keagamaan di Basrah agar
masyarakat bertauhid dengan sebenarnya. Tetapi ia tidak mendapat respon
positif dari masyarakat. Setelah ia
gagal di Basrah, ia pindah ke Negeri Ihsa dan kembali ke Nejed, desa Huraimila,
kampung halamannya. Di sini ia menyebarkan dasar-dasar tauhid, meneyeru kepada
peribadatan yang murni kepada Allah swt dan memberantas segala kemungkaran.
Namun sikapnya yang sangat kontraversial membuat para raja dan pejabat
Huraimila merasa tidak senang. Ia akhirnya pindah ke Uyainah.
Di Uyainah, ia mendapat
respon positif dari Amir Usman bin Ma'mar dan terjadi kesepakatan unutk
menyebarkan da'wah Islam. Keduanya berusaha mempelopori masyarakat untuk
menghancurkan dan membongkar kubah-kubah dan masjid yang didirikan di atas
kuburan para sahabat. Menebang pohon-pohon yag dianggap keramat. Ketika berita
itu sampai kepada Sulaiman bin Muhammadselaku penguasa Ahsa', ia mengirim
utusan kepada penguasa Uyainah agar membunuhnya. Akhir dari perjuangan ini,
Abdul wahhab harus pindah dan meninggalkan tempat tersebut.
Kemudian ia menuju Dar'iyyah.
Di tempat ini ia menemui amir setempat, yaitu Muhammad bin Saudi. Ia diterima
amir setempat dengan penuh penghormatan dan bahkan bersedian unutk membantu
da'wah Islam yng diigulirkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pertemuan antara Abdul Wahhab dengan Muhammad
bin Suud memberi warna lain dalam kegiatan da'wahnya. Di mana mereka
mengembagkan gerakan dan perluasan dengan cara militer dari Nejed ke Hijaz dan
kota Mekah dan Madina pun jatuh ke dalam kekuasaan Gerkan Wahabi.
Muhammad bin Abdul Wahhab
benar-benar merekonstruksi pemikiran Ibnu Taimiyah dalam bentuk aktifitas yang
sangat revolusioner. Hal in dapat dibuktikan dari aktivitas da'wahnya. Ia tidak
hanya berdakwah lewat gerakan tetapi juaga dibarengi dengan jihad tulisan. Di
antara karya tulisnya adalah : Kitab Tauhid, Kasyf al-Syubuhat, Mukhtasar
al-Sirah al-Nabawiyah, kitab al-Kaba'ir, Ushul al-Iman dan lain-lain.
Kurang lebih 50 tahun Muhammad bin Abdul Wahhab bermukim di Dar'iyah. Hampi
seluruh usianya dihabiskan untuk berjihad, berda'wah dan mengajar di berbagai
Madrasah. Ia meninggal dalam usia sembilan puluh dua tahun pada tahun 1206
H./1792 M. di Dar'iyah.
Aliran Wahabi sebenarnya
merupakan lanjutan dari aliran salaf, yang mana konsep pemahaman keagamaannya
mengacu pada pikiran-pikiran Ahmad bin Hambal yang kemudian direkonstruksi oleh
Ibnu Taimiyah. Dalam aspek pemahaman keagamaan, persoalan tauhid adalah ajaran yang paling mendasar
dalam Islam. Ia membagi tauhid menjadi dua, yaitu ; Tauhid Uluhiyah
dan Tauhid Rububiyah.
Muhamad bin Abdul Wahhab
meyakini bahwa apa yang dibawa dan diberitakan oleh Rasulullah saw adalah
benar. Di samping itu, ia juga meyakini adanya syafa'at Rasulullah saw.
Nabi adalah orang pertama yang memberikan syafa'at. Tidak ada yang mengingkari
syafa'at Nabi, kecuali ahli bid'ah dan sesat. Tapi syafa'at tersebut berlaku
bagi orang yang diizinkan dan diridhai oleh Allah swt. Hanya saja Allah swt
tidak akan ridha kecuali kepada orang yang bertauhid secara benar.
Ia juga mempercayai adanya syurga dan neraka. Bahkan telah diciptakan dan telah ada sekarang yang tidak hancur binasa. Orang-orang mukmin
akan melihat Tuhannya pada hari kiamat sebagaimana mereka melihat bulan dan
dengan mata telanjang. Begitu pula sikapnya terhadap para sahabat
Rasulullah saw. Ia sangat
menghormati Khulafaa ar-Rasyidin ; Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
bin Abi Thalib. Mereka adalah sahabat utama, kemudian disusul oleh 10 orang
sahabat yang dijamin masuk sorga. Setelah sahabat yang ikut di perang Badar.
Para sahabat yang ikut dalam bait al-Ridwan serta sahabat-sahabat yang diridai
oleh Allah swt.
Terhadap para auliya
Allah ia juga bersikap objektif dan mengakui karamah dan mukasyafat
mereka. Hanya saja mereka tidak memiliki hak Allah sedikitpun dan tidak boleh
meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan. Ia juga tidak
menganggap seoarang menjadi kafir atau keluar dari Islam lantaran dosa. Ia juga
menganggap jihad tetap berlanjut beserta imam (pemimpin), baik ia pemimpin yang
baik maupun pemimpin yang zhalim. Jihad teap berlangsung sejak diutusnya
Rasulullah saw hingga generasi akhir umat Islam. Jihad tidak akan bisa
dibatalkan hanya karena kezhaliman seorang pemimpin.
Konsekwensi dari prinsip
pemikiran di atas, Mhammad bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa umat Islam harus
kembali kepada Islam asli, yaitu Islam sebagai yang dianut oleh Nabi, Shabat,
dan Tabi'in sampai ke abad ke-3 Hijriah.
Prinsip-prinsip inilah kemeudian yang dianut oleh seluruh pengikut Wahabi
sebagai landasan dalam mengembangkan da'wahnya.
Gerakan Wahabi bukanlah
bukanlah gerakan keagamaan yang muncul sebagai respon terhadap tantanganbangsa
asing, tetapi lebih merupakan reformasi ke dalam yangkemudian mampu
membangkitkan semacam kjutan ke seluruh dunia Islam. Ia muncul hanya unutk
memperbaiki kedududkan umat Islam sebagai reaksi terhadap faham Tauhid yang
terdapat di kalangan umat Islam kala itu.
Oleh sebab itu, Gerakan
Wahabi berusaha mengajak umat Islam untuk kembali kepada semangat Islam murni,
yaitu kaum salaf, sekaligus menentang segala sesuatu yang bersifat bi'ah,
menentang mistik, tarekat, otoritas mutlak para ulama dan kultus individu.
Sebagai tokoh Gerakan Wahabi, Muhamad bin Abdul Wahhab melihat bahwa kemunduran
umat Islam dikarenakan pada rusaknya tauhid dan kepercayaan kepada Allah swt.
Oleh sebab itu, segala bentuk perbuatan yang bersifar syirik dan mater-materi
yang membawa dampak kemusyrikan diberantas sampai habis.
Keterlibatan muhammad bin
Su'ud dalam kegiatan gerakanWahabi, pada tahap awal, masih merupakan bentuk
komitmen dan kepeduliannya terhadap Islam, yang meskipun pada tahap selanjutnya
mucul indikasi yang menunjukkkan adanya penyelewengan yang tentu tidak bisa
terelakkan sebagai konsekwensi dari sebuah negaara Wahabi. Sasaran utama dakwah
yang dilakukan oleh Muhamad bin Suud adalah anggota kabilah yang dipimpinnya,
yaitu penduduk Dar'iyah, yang kemudian disebut pendukung setia Gerakan Wahabi.
Dengan demikian, semakin kuatlah posisi suud sebagai amir. Setelah endapatka
kesuksesan di Dar'iyah, ia meluaskan garapan da'wahnya menuju negeri-negeri
sekitarnya.
Setelah Muhammad bin Abdul
Wahhab mennggal duani pada tahun 1792 M., misis dakwah tetap dilanjutkan oleh
Muhammad bin Suud. Ia begitu konsisten dengan dan peduli terhadap perkembangan
syi'ar Islam. Negara yang dipimpinnya hampir menjadi bentuk kekhalifaan pada
periode Mekah, yaitu masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Manakala
Muhammad Suud telah kekuasaan penuh di Nejed, ia ingin memperluas wilayah
kekuasaannya dengan maksud untuk memurnikan seluruh dunia Islam. Teapi
cita-citanya ini baru terwujud pada sekitar abad XIX, sehingga pada saat itu,
tidak satupu kekuatan yang bisa mengantisipasi serbuan Gerakan Wahabi .
Setelah Muhammad bin Suud
wafat, ia digantikan oleh anaknya Abdul Aziz bin Muhammad Suud. Ia memegang
tampuk pemerintahan dan mengikuti jejak ayahnya dalam membela prinsip-prinsip
keagamaan Wahabi. Di antara contoh kongkrit pembelaan dan dukungannya adalah
mengirim beberapa surat yang isinya menyebarkan dakwah atas nama pemerintah dan
pemimpin dakwah kepada orang-orang yang mencari petunjuk, misalnya kepada penduduk
dan tokoh-tokoh dari negeri tertentu. Isi surat himbauannya tersebut berisi
ajakan untuk memeluk agama Allah swt, menegaskan tauhid, menjauhi prilaku
syirik, amar ma'ruf dan nahi munkar.
Di amping itu, ia juga banyak
menyebarkan buku-buku karya Muhammad bin Abdul Wahhab Ibnu Taimiyah dan
karya-karya kaum salaf lainnya, yang pada mumnya berisikan tentang akidah ahlu
sunnah wal jamaah, melalui pengiriman para da'i ke daerah-daerah.
BAB IV
PENGARUH IBNU TAIMIYAH TERHADAP
GERAKAN WAHABI
Aspek tauhid adalah merupakan
fokus utama yang menjadi sentral dalam sejarah perjuangan Ibnu Tamiyah. Ia
mengangkat panji-panji jihad dan ishlah dalam rangka memberantas berbagai
aktifitas pemikiran, dan tradisi syirik yang berkembang pesat. Dalam menegakkan
panji-panji tersebut, ia tidak memperdulikan reaksi berbagai pihak. Ia membasmi
akar-akar akidah dan berbagai mitos yang yang menenjadi asas dalam segala
aktifitas kesyirikan.
Dalam beberapa kitabnya, Ibnu
Taimiyah banyak mengomentari tentang hikmah diharamkannya berdo'a kepada selain
Allah swt. Ia mengatakan, Nabi Muhammad saw telah melarang semua modus
tersebut, karena usaha demikian merupakan bentuk kesyirikan yang diharamkan oleh
Allah swt dan Rasul-Nya. Ia juga tidak membolehkan permintaan kepada nabi-nabi
atau syekh-syekh yang telah meninggal dunia. Ziarah kubur yang dimaksud Ibnu Taimiyah
sebanranya adalah ziarah kubur yang diseratai dengan sikap meminta-minta kepada
ahli kubur. Hal demikian oleh Ibnu Taimiyah dianggapseseuatu yang haram dan
musyrik. Adapun jika ziarah kubur itu dilakukan dalam rangkan untuk mempertegas
akan kesadaran terhadap akhir dari perjalan manusia di dunia ini maka tentunya
tidak bermasalah.
Ide Ibnu Taimiyah dianggap
kontraraversial ketika itu karena adanya sebuah keyakinan yang berkembang dalam
masyarakat bahwa ziarah kubur merupakan suatu kewajiban sebagaimana layaknya
menunaikan haji. Oleh sebab itu, dengan adanya fatwa Ibnu Taimiyah, orang-orang yang membenci beliau menganggap
bahwa sikap Ibnu Taimiyah itu seolah menghasut rakyat.
Dalam berbagai forum ilimiah,
Ibnu Taimiyah selalu menyampaikan pikiran-pikiran kontraversial sebagai upaya
unutk meluruskan pemahaman keagamaan umat Islam. Pada tahum 1298 M. penduduk
kota Hama di Syiria meminta pendapatnya tentang sifat-sifat Allah swt yang termaktub
dalam al-qur'an. Ia menuangkan pendapatnya dalam sebah karyanya yag berjudul al-Risalah
al-Hamawiyah. Dalam tulisannya ini, Ibnu Taimiyah mengambil posisi tengah
dan bersikap moderat antara sikap yang meniadakan sifat-sifat Allah swt dengan
aliran anthropomorphisme. Sikap ini mencerminkan upayanya untuk
menegasakan semua sifat, baik fisik maupun non fisik. Ia tidak
mengemukakan sifat-sifat itu dengan sifat-sifat manusia. Al-qur'an menjelaskan
bahwa Allah swt memiliki sifat seperti meliaht mendengar, dan berbicara. Ibnu Taimiyah
menolak bentuk penafsiran figurativ yang dikemukakan oleh kelompok Mu'tazilah,
seperti tangan Allah swt ditafsirkan dengan kekuasaan yang bukan organ fisik.
Ibnu Taimiyah menolak pendekatan demikian Karena khawatir berujung pada
peniadaan sifat-sifat Allah swt. Sikap ini didasarkan pada ayat al-qur'an (QS.42:1) yang menegaskan
bahwa Allah swt mempunyai sifat
mendengar dan melihat seraya menolak bahwa Dia tidak dapat disamakan dengan
makhluk-Nya. Substansi pandangan dan
metode demikian berbeda dengan pandangan dan etode ulama yang semasa dengannya.
Kondisis seperti inilah menyebabkan ia sering dihadapkan pada dewan hakim dan
fuqaha terkemuka untuk mempertanggung jawabkan pendapat-pendapatnya.
Kelompok Syi'ah merupakan
arah yang menjadi sasaran Ibnu Taimiyah dalam misi pemurniannya. Dengan
kelompok inilah ia acapkali terlibat dalam berbagai polemik yang cukup sengit.
Di sampingpolemiknya dengankelompok Syi'ah di Irak, Ibnu Taimiyah juga mendapat
tantagnan dari kaum sufi di Mesir yang ememilik pengaruh besar di bawah
kepemimpinan al-Mamalik, terutama pada masa al-Malik al-Muzaffar. Polemiknya
dengan para sufi terfokus pada ajaran mereka tentang pantheisme (wuhdah
al-wujud) dan unionisme (wihdah al-syuhud). Pemikiran in ditolak oleh Ibnu
taimyahh dengan landasan rasio maupun Sunnah Rasulullah saw. Ia ja menentang
ungkapan para sufi bahwa al-qur'an dan sunnah serta hukum-hukum Islam mempuyai
makna lahiriah dan batiniyah yang hanya diketahui oleh syekh-syekh mereka.
Sehingga pada puncaknya, para sufi menuduh Ibnu Taimiyah sebagai penganut anthropomorphisme
(mujassimah).kasus ini menyebabkan Ibnu Taimiyah terjebak dalam fitnah yang
menyebabkan dirinya dianggap penyebar bid'ah.
Dalam menyebarkan ide-ide
pemurnian, nampaknya Ibnu Taimiyah tidak mampu menimbulkan gelombang besar
karena ia tidak mendapat respon positip dari berbagai kalangan, terutama
penguasa. Ia hanya mendapatkan apresiasi dari kalangan pemerintah hanya pada
tataran perjuangan melawan serangan penjajah, seperti Tartar, Mongol dan
lain-lain. Sementara di sisi yang lain ia menjadi bulan-bulanan penguasa. Meski
pdemikian, Ibnu Taimiyah masih tetap memberi koreksi dan kritikan terhadap
bentuk pemerintahan pada masa itu. Ia melihat bahwa teori dan praktek politik
yang berlaku di negeri Islam pada saat itu tidak mencerminkan ajran Islam,
tetapi telah terserap dengan unsur-unsur Yunani.
Ide tersebut yang mengilhami Ibnu
Taimiyah untuk menulis sebuah kitab yang berjudul al-Siyasah al-Syar'iyah.
Kitab ini ia tulis dengan sangat elegan sebagai upaya untuk menetapkan
batasan-batasan atas hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin di samping secara
rinci memaparkan hak-hak dan kewajiban rakyat yang sepenuhnya berdasarkan
al-Qur'an dan Sunnah. Ia juga menjelasakan secara detail tentang pelaksanaan
hukum pidana hak Tuhan dan hak sesama manusia, kemudian ditutup dengan dua
pasal, masing-masing tentang musyawarah dan tentang pentingnya pemerintahan.
Unsur Yunanisme sepeti kitab al-Siyasah
al-Madaniyah karya filosof terkenal al-Farabi telah mewarnai politik Islam.
Selain itu, perundang-undangan Mongol Elyasa'
telah diterapkan dan diberlakukan oleh penguasa Kairo.
Abul Hasan Ali an-Nadawi
menjelaskan kegigihan Ibnu Taimiyah dalam usaha pemurnian terhadap ajaran Islam.
Beliau menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah sangat aktif menyampaikan da'wah kepada
para nara pidana. Disebutkan bahwa banyak nara pidana yang seharusnya keluar
dari penjara karena masa tahanannya telah habis tetapi masih ingin tinggal
bersama Ibnu Taimiyah dalam penjara sekedar untuk menimba ilmu kepadanya. Begitu
pentingnya aspek peurnian akidah dalam pandangan bnu taimiyah sehingga separuh,
bahkan dua pertiga karyanya memfokuskan bahasannya terhadap masalah tauhid.
Informasi ini, paling tidak memberikan indikasi bahwa pembaharuan yang diusahakannya
bersifat akademik jika dibandingkan dengan Gerakan Wahabi yang lebih progresif
dan praktis.
Berdasarkan uraian sebelumnya
maka nampak jelas bahwa ibnu tamiyah adalah orang yang sangat intres terhadap
keselamatan masyarakat muslim di mana ia tinggal. Leselamatan itu tidak saja
ddari aspek fisik karena serangan penjajah, tetapi juga lebih dari itu, aspek
kesalamatan keagamaan yag berdampak pada kebahagiaan di hari akhirat.
Ibnu Taimiyah mengangap jihad
melawan khurafat dan bid'ah merupakan kewajiban sepanjang hidup. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan jika ia harus menghadapi berbagai kendala dan sika
keras penguasa dan sentimen penduduk di mana ia berada. Memang dalam sebuauh
perjuangan adakalanya membuahkan hasil, teapi jauh dari maksimal karena
berbagai kendala dan kegagalan selalu memberi warna bagi aktifitas da'wahnya.
Sejarah mencatat, saat Ibnu
Taimiyah wafat pada tahun 1328 M. seluruh warga Damaskus mengiringi jenazahnya
menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya. Baik dari mereka yang pro, simpati
maupu mereka yang kontra. Inilah gambaran ketokohan Ibnu Taimiyah. Betapapu Ibnu
Taimiyah tidakmampu menghasilkan arus besar terhadap pemikiran yang diusungnya,
tetapi warisan intelektual besar Islam itu tetap dilestarikan oleh
murid-muridnya, seperti Ibnu Qayyim, Abdul Hadi, Az-Zahabi dan lain sebagainya.
Meskipun cukup tertunda,
pemikiran Ibnu Taimiyah juga mempengaruhi Gerakan Wahabi yang muncul pada
pertengahan abad ke-18 M. di Saudi Arabia. Pendiri gerakan ini adalah Muhammad
bin Abdul Wahhab. Ia berasal dari keluarga terhormat dan dari keluarga ini pula
banyak melahairkan ulama yang terdidik dalam mazahab hambali.
Muhammad bin Abdul Wahhab
sejak dini telah terlibat dalam tradisi pedagogik keluarganya. Pendidikannya
banyak diwarnai dengan pendekatan mazhab Hambali yang agak fundamentalis dan
keras dengan penekanannya pada al-Qur'an dan Sunnah Rasul sebagai satu-satunya
sumber hukum dan juresprudensi Islam. Fundamentalisme ini menggiring Muhammad
bin Abdul Wahhab untuk mengenal dan mengetahui adanya keanekaragaman dan
perbedaan antara pemikiran Islam murni, sejak zaman Nabi sampai dengan para
sahabat periode pertama serta dekadensi atau degradasi yang menodai kondisi
umat Islam pada masanya. Muhammad bin
Abdul Wahhab ketika itu masih muda segera merasakan perlunya suatu reformasi.
Bakat dan panggila reformis ini secara psikologis agaknya memberinya kesiapan
untuk mengadopsi ajaran-ajaran seorang reformer bermazhab Hambali, yaitu Ibnu
Taimiyah.
Michael Cook mejelaskan,
keterkaitan Muhammad bin Abdul Wahhab pada ulama besar Hambali dari Damaskus
tersebut sangat tampak sekali. Di mana tokoh di atas sering kali menjadi
rujukan dan bahkan disebut sebagai Syaikh
al-Islam dalam tulisan-tulisan atau surat Muhammad bin Abdul Wahhab.
Ketergantungan dan keterpengaruhan yang paling jelas kepada Ibu Taimiyah adalah
pada persoalan-persoalan yag menyangkut serangannya terhadap pengkultusan
orang-orang suci dan desakan pada umumnya unutk kembali kepada kemurnian Islam
yang sejati. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki memberi penegasan bahwa
kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan sirah jihadnya merupakan manhaj yang dianggap
lengkap oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dalam masalah teori politik, Gerakan
Wahabi juga mengajukan pendapat yang hampir senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah.
Mereka berpendapat bahwa pemerintahan Islam yang sah hanya dapat berdiri tegak
jika terdapat kerja sama yang utuh dan padu antara ulama dan umara'. Perjanjian
yan ia jalin dengan keluarga Su'ud tidak lain kecuali merupakan bentuk aplikasi
dari dari prinsip-prinsip tersebut. Oleh sebab itu, dalam maslah kewajiban
untuk mematuhi kekuasaan politik, mereka menjiplak sikap Ibnu Taimiyah, bahwa
kepatuhan dan kesetiaan sepenuhnya ditujuakn kepada pemerintah tanpa
memnghiraukan pribadi-pribadi mereka, selama perintah-perintah yang disampaikan
tidak melanggar aturan Allah swt dan Rasul-Nya. Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu
Taimiyah juga sependapat tentang masalah khilafah. Menurut pendapat mereka,
khilafah yang sebenarnya adalah penerapan syari'at.
Hamilton Gibb mengatakan,
manifesatasi dari pengaruh Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak saja muncul pada Gerakan
Wahabi, tetapi juga merambah pada gerakan-gerakan serupa seperti di India
(gerakan Sayyid Ahmad Khan), Afrika Utara (gerakan Sanusiayah) dan Sudan Timur
(gerakan Mahdi), bahkan samapai di Indonesia (Sumatra). Lebih dari itu,
pengaruh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab menitis pada pemikiran
tiga tokoh Islam kontemporer, Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha. Meskipun pada tokoh-tokoh terakhir masih dipertanyakan, namun banyak
sumber menyebutkan bahwa mereka terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah.
ANALISA DAN KRITIK
1. LATAR BELAKANG
MASALAH.
Pada
latar belakang masalah, menurut penulis, terdapat beberapa kelemahan. Diantaranya
adalah bahwa Lahmuddin hanya mengangkat kondisi sosial dan sejarah yang melatar
belakangi kehidupan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, tokoh yang
mencetuskan Gerakan Wahabi. Pada latar belakang masalah ini, penulis tidak
menemukan asumsi, hipotesis, teori tentang subyek yang dibahas. Padahal, sejauh
yang penulis ketahui, latar belakang masalah juga memuat tentang hipotesis atau
asumsi atau alasan pemilihan judul yang menjadi acuan seorang peneliti dalam
penelitiannya.[1]
Selain
itu, pada latar belakang masalah, penulis tidak menemukan identifikasi masalah
yang jelas. Lahmuddin hanya menulis pembatasan masalah yang berkisar seputar
pemurnian yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam aspek akidah saja. Sedang Muhammad
bin Abdul Wahhab, kajian tentangnya dibatasi dari sejak periode awal kemunculan
Gerakan Wahabi hingga masa kemunduran dan kekalahannya dari serangan pasukan
Muhammad Ali Pasya pada abad XIX
Menurut
Cik Hasan Bisri, masalah penelitian dapat didefinisikan sebagai hubungan
sekurang-kurangnya antara dua unsur. Unsur-unsur tersebut, secara tehnis,
dikenal sebagai variabel. Ia dirumuskan melalui tahapan identifikasi masalah,
pembatasan masalah, dan kemudian pernyataan masalah. Tahapan identifikasi
masalah dilakukan setelah ditemukanya masalah-masalah yang berhubungan secara
fungsional dengan bidang ilmu datau wilayah penelitian.[2]
Fungsi idntifikasi masalah, menurutnya, adalah untuk mempertegas adanya masalah
penelitian
Sedangkan
menyangkut rumusan masalah, Lahmuddin hanya menulis pada latar belakang sebagai
berikut, "Studi ini –sebagai kajian sejarah- iigin melihat
faktor-faktor yang mendorong dan usaha-saha Ibnu Taimiyah dalam melakukan
pemurnian ajara Islam, sekaligus melacak sejauh manakah pengaruhnya terhadap Gerakan
Wahabi." Dari tulisan tersebut di atas tampak bahwa Lahmuddin hanya
merumuskan dua permasalahan. Yang pertama ditulis dengan kalimat
pernyataan, yaitu : Ingin melihat faktor-faktor yang mendorong dan usaha-usaha Ibnu
Taimiyah dalam melakukan pemurnian ajaran Islam. Yang kedua diltulis dengan
kalimat pertanyaan berupa : Sejauh manakah pengaruhnya terhadap Gerakan Wahabi.
Kedua
rumusan masalah di atas itulah yang menjadi objek kajian Lahmuddin. Menurut
penulis, Lahmuddin belumlah maksimal dalam mengungkap rumusan masalah yang
nantinya akan ia jawab dalam penelitian.. Menurut penulis, setiap rumusan
masalah bisanya mewakili setiap bab yang akan diteliti. Misalanya, terkait
dengan Studi Tentang pemurnian dan pengaruhnya terhadap gerakn wahabi ini,
setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang nantinya akan dibahas penulis
pada bab selanjutnya. Rumusan itu berupa :
o
Ingin mengungkap faktor-faktor yang mendorong Ibnu
Taimiyah dalam melakukan pemurnian ajaran Islam dan usaha-usaha yang dilakukan
dalam mewujudkan pemurnian tersebut.
o
Ingin mengungkap faktor-faktor yang mendasari
munculnya Gerakan Wahabi, prinsip-prinsipnya dan misi serta perjuangan mereka
dalam menggemakan pemurnian Islam.
o
Mengungkap bentuk-bentuk pengaruh Ibnu Taimiyah
terhadap Gerakan Wahabi, terutama dalam aspek akidah.
Pada
bab pertama, tentunya hal-hal yang terkait dengan proposal penelitian yang akan
dilakukan yang menjadi pembahasan utama. Sedang pada bab kedua, hal-hal yang
terkait dengan Ibnu Taimiyah dan pembaharuannya dalam bidang akidah diesplorasi
dengan baik sebagai pengantar untuk membandingkannya dengan Gerakan Wahabi yang
nantinya menjadi pembahasan inti pada bab ketiga. Sedang pada bab keempat,
unsur persamaan dan perbedaan antara Ibnu Taimiyah dan Gerakan Wahabi dibahas
secara tuntas sehingga tampak sejauh mana pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap
gerakn wahabi. Dengan pembahasan demikian, Peneliti bisa memperjelas berapa
persen keterpengaruhan Gerakan Wahabi dari usaha pemurnian yang pernah dirintis
oleh Ibnu Taimiyah.
2. KAJIAN
KEPUSTAKAAN.
Dalam kajian kepustakaan, Lahmuddin hanya menyebutkan
dua buku yang membahas tentang Ibnu Taimiyah sebagai tokoh dan
pemikiran-pemikirannya. Kedua buku tersebut adalah ; pertama, Argumen
Untuk Keterbukaan, Moderasi dan Toleransi karya Nurcholis Madjid. Kedua,
Efistemologi Hukum Islam karya Juhaya S Praja. Sedang terkait
dengan Gerakan Wahabi dan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai tokoh sentralnya,
Lahmuddin juga menyebutkan dua buku, yaitu ; Pertama, Muhammad bin
Abdul Wahhab : Aqidatuhu al-Salafiyah wa Da'watuhu al-Ishlahiyah wa Tsana'
al-Ulama Alaihi karya Ahmad bin Hajar bin Muhamad bin Abu Thami. Kedua,
Kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahhab : Suatu kajian terhadap
sistem dan corak pemikirannya karya Bachrum Bunyamin.
Di sini tampak sekali Lahmuddin tidak memberikan
analisa dan kesimpulan sedikitpun terhadap literatur yang menjadi rujukannya
dalam mengusulkan tema penelitian serta relevansinya dengan kajian yang akan
dilakukan. Padahal, menurut penulis, buku-buku yang dicantumkan dalam kajian
kepustakaan hendaknya diuraikan secara ringkas dengan menjelaskan signifikansi
buku tersebut dalam kajian yang hendak dilakukan. Bahkan kalau dibutuhkan,
seorang peneliti menginformasikan hal-hal yang akan diambil dan dirujuk ketika
penulisan tesis atau desertasi dilakukan.
Menurut Dudung Abdurrahman, tinjauhan pustaka
berisi uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada
hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Hasil penelitin
terdahulu tersebut harus di-review. Dalam review tersebut
dikemukakan apa kekurangan peneliti-peneliti terdahulu dan hal-hal yang masih
perlu penelitian lanjutan.[3]
Bahkan, menurutnya, semua seumber yang dipakai harus disebutkan dengan
mencantumkan nama penulis dan tahun penerbitannya.
3.
METODE PENELITIAN.
Dalam penelitian ini,
Lahmuddin menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Sedang metode yang dipilih adalah pendekatan
historis. Lahmuddin menulis, "Karena tulisan ini berhubungan dengan kajian
sejarah maka dalam hal ini pendekatan historis dianggap paling menunjang dalam
analisis data." Sedangkan sumber data diperoleh Lahmuddin melalui sumber
primer dan sumber sekunder.
Melihat metode yang digunakan oleh Lahmuddin,
penulis beranggapan bahwa hal tersebut belum cukup memadai untuk memotret
pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap Gerakan Wahabi. Karena metode yang digunakan
oleh Lahmuddin hanya sebatas pada metode sajarah saja. Sedang kita mengetahui
bahwa pendekatan sejarah biasanya hanya mementingkan peristiwa, pelaku dan
waktu terjadinya peristiwa tersebut. Memang ketika penulis mencoba menelusuri
bab empat sebagai bab inti pembahasan, penulis kurang menemukan bentuk pengaruh
Ibnu Taimiyah secara nyata terhadap Gerakan Wahabi. Penulis hanya menemukan
bahwa bab tersebut cendrung mengulang apa yang terdapat pada bab kedua yang
membahas tentang Ibnu Taimiyah dan bab ketiga yang membahas tentang Gerakan
Wahabi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai tokoh utamanya.
Karena mengandalkan pendekatan sejarah semata,
Lahmuddin tampaknya hanya memotret peristiwa, waktu dan tokoh-tokoh yang terlibat.
Ide besar kedua tokoh -Ibnu Taimiyah dan Muhammad Bin Abdul Wahhab selaku
pentolan Gerakan Wahabi- dalam sisi akidah yang menjadi tema utama penelitian
kurang dieksplorasi secara baik. Sehingga yang muncul adalah bahwa
kesimpulan-kesimpulan Lahmuddin tentang pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap Gerakan
Wahabi cendrung merupakan pengulangan dari apa yang disimpulkan oleh penulis
lain. Analisa tentang bentuk pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap Gerakan Wahabi
kurang nyata sehingga hasil penelitian belum terlalu memperlihatkan secara
nyata wujud pengaruh tersebut. Padahal analisa seorang peneliti dalam sebuah
kajian ilmiah menjadi ruh utama yang menunjukkan jati diri dan keperibadian
seorang peneliti itu sendiri. Tanpa adanya analisa kuat maka penelitian yang
dilakukan seseorang dianggap kurang memberikan ruh yang menghidupkan wacana
keilmuan dan intelektual. Bahkan karya demikian cendrung dianggap sebagai
kumpulan kesimpulan dan yang bersangkutan tidak bisa dikatakan peneliti, tetapi
hanya dianggap sebagai penyusun semata.
Olehnya itu, selain metode pustaka dan pendekatan
sejarah, penulis menawarkan metode lain dalam mengungkap pengaruh Ibnu Taimiyah
terhadap Gerakan Wahabi. Setidaknya, setelah terkumpulnya data dan fakta
yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dikaji, maka data tersebut
hendaknya dikaji dengan menggunakan tehnik analisis dan komparatif.
Artinya, semua data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti hendaknya dianalisa
dan diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian,
diharapkan akan dapat menghasilkan suatu gambaran yang integral dan utuh.
Menurut Suharsimi Arikunto[4],
metode komparatif adalah metode yang digunakan untuk menemukan persamaan atau
perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur kerja, tetang
ide dan lain sebagainya. Secara sederhana, penelitian komparatif berusaha
membandingkan dua atau tiga kejadian dengan bertumpu pada penyebab-penyebabnya.
Langkah berikutnya adalah menuangkan hasil temuan
tersebut dengan menggunakan metode deskriftif-analitis. Dengan menggunakan metode ini, diharapkan pengaruh
Ibnu Taimiyah terdahap Gerakan Wahabi dapat ditampilkan secara sistematik dan
obyektif. Selain itu, semua informasi dianalisa sedemikian rupa sehingga
gambaran sejarah yang ditemukan tidak bersifat global dan kaku.
Metode deskriftif adalah metode yang digunakan
dalam menggambarkan atau menguraikan berbagai data/teori yang telah ada. Dalam
deskrifsi data, terdapat dua macam proses. Pertama, deskripsi data hanya
pada tataran permukaan luarnya saja. Artinya, seorang peneliti hanya
mengemukakan apa yang tersurat dari teori atau konsep yang ada. Kemudian
diikuti dengan analisis dan sintesis. Kedua, deskripsi data lebih
mendalam. Artinya, seorang peneliti berusaha menemukan hakikat di balik teori
yang dikemukakan, selain mengemukakan apa yang tersurat dari teori dan konsep.[5]
PENUTUP
Sebenarnya, hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh saudara Lahmuddin telah meberikan sumbangan berarti dalam bidang akademik.
Fakta-fakta yang diungkapkannya telah meretas jalan baru bagi peneliti lain
untuk lebih mendalami asek-asfek lain dari adanya pengaruh pemikiran Ibnu
Taimiyah terhadap beberapa tokoh kontemporer. Setidaknya, penelitian yang
dilakukan oleh Lahmuddin telah mengajarkan kepada kita bagaimana melakukan penelitian
dengan menggunakan pendekatan sejarah.
Kesan bahwa terdapat beberapa hal yang dikrtik
dari hasil penelitian Lahmuddin ini tentulah tidak berati sama sekali sebagai
bentuk kekurangan, tetapi hal tersebut tidak lebih dari perlunya penelitian
lanjutan yang nantinya memperluas bentuk lain dari apa yang telah dikemukakan
oleh saudara peneliti. Banyak kelebihan yang dikandung oleh penelitian ini dan
diharapkan dapat memberikan sumbangan signifakan pada masa mendatang. Wallahu A'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Sekolah Tinggi Pascasarjana UIN Syahid, Penyusunan
Proposal Tesis/Desertasi Sekolah Tinggi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Basri MS, Drs Cik Hasan, Penuntun
Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi, (Ciputat : Logos),
cet.1, th.1998.
Abdurrahman, Dudung, Metode penelitian
sejarah, (Ciputat : Logos), cet.1, th.1999.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian ;
Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta
: PT Rineka Cipta), th.1998.
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan
Artikel Ilmiah, (Jakarta : Gaung Persada Press), th.2007.
[1] Sekolah Tinggi
Pascasarjana UIN Syahid, Penyusunan Proposal Tesis/Desertasi Sekolah Tinggi
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, hal.5.
[2] Drs Cik Hasan Basri, MS, Penuntun
Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi, (Ciputat : Logos),
cet.1, th.1998, hal.26.
[4] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : PT Rineka Cipta), th.1998,
hal.247-248.
[5] Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel
Ilmiah, (Jakarta : Gaung Persada Press), th.2007, hal.202.
0 komentar:
Post a Comment