Oleh : Idrus Abidin
PENDAHULUAN
Istilah da’wah
telah menjadi lazim di tengah komunitas Muslim, sebagaimana istilah missionaris
merupakan istilah baku bagi upaya penyampaian misi keagamaan dalam agama
Kristen katolik dan protestan di Indonesia. Dalam kamus bahasa inggris, istilah
missionaris dimaknai dengan dua makna ; (1) sejumlah orang yang dikirim oleh
komunitas keagamaan untuk melakukan propaganda agama, (2) suatu organisasi
agama atau lembaga keagamaan yang memfokuskan aktivitas utamanya pada konversi
agama.[1]
Kedua makna di atas jelaslah tidak bermakna dan tidak menunjukkan aktifitas
agama tertentu. Hanya saja,dalam Islam istilah tersebut tidaklah digunakan
mengingat bahwa Islam sendiri memiliki istilah khas dalam upaya yang sama,yaitu
; da’wah.
Dalam diskursus
keIslaman, da’wah selama ini terkesan kompensional dengan hanya mengadalkan
ceramah lisan di atas mimbar dengan retotika yang memukau dan pegajian lepas
dalam bentuk kajian keIslaman. Padahal, pembentukan masyarakat Islam yang
hendak dibangun tidaklah bisa terwujud tanpa adanya peran kemasyaraktan da’i
yang bersifat langsung dan berpihak kepada objek da’wah. Karenanya, da’wah
perlu diorientasikan kepada dua arus utama. Pertama, da’wah yang
bersifat kompensional dengan mengandalkan basis keilmuan yang memadai dan yang kedua,
da’wah yang mampu meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang sangat
mendasar, seperti peningkatan ekonomi keluarga dan advokasi terhadap hak-hak
mendasar masyarakat yang belum diterima selama ini. Dalam kategori ini,
hadirnya da’wah bisa dianggap
penyelesaian yang memang sangat membantu masyarakat untuk keluar dari
problema yang di hadapi. Makala ini berusaha memotret bagaimana konsep da’wah
yang dapat memberikan efek social terhadap social serta langkah yang telah
ditempuh oleh masyarakat Indonesia dalam mewujudkan metodologi da’wah tersebut
di atas. Sehingga diharapkan dapat menegaskan kembali komitmen kita dalam
mencari berbagai inovasi-inovasi yang dapat menjangkau semua objek da’wah. Studi
ini berusaha menelusuri penelitian yang dikembangkan oleh beberapa ahli terkait
peranan da’wah lisan dan da’wah sosial yang nampaknya belakangan ini mulai
melembaga sebagai institusi yang independen.
PERAN MISSIONARIS (DA’I) DALAM PANDANGAN ANTROPOLOG.
Sebelum
mendeskripsikan lebih jauh tentang peran da’i dalam masyarakat, pertama-tama
kajian akan diarahkan kepada perdebatan yang muncul seputar pandangan
antropolog terhadap upaya da’i dalam rangka memperkenalkan nilai-nilai Islam
yang berujung pada perubahan gaya hidup dan budaya masyarakat tertentu. Menurut
Erni Budiwanti, sebelum tahun 1960, beberapa antropolog yang mengikuti faham
fungsionalisme sangat menentang dan bahkan sangat memusuhi para missionaris
atau da’i. Karena aktivitas mereka
dianggap merusak budaya asli masyarakat tertentu yang dijadikan objek da’wah.[2]
Memang jika kita memperhatikan secara seksama, upaya dai untuk memperkenalkan Islam
di tengah masyarakat memang berpotensi mempengaruhi, merubah dan mengganti
dengan sempurna kepercayaan, norma-norma lokal, dan nilai-nilai budaya lokal
yang telah diwariskan turun temurun oleh masyarakat setempat, dengan nilai yang
sama sekali berbeda dengan budaya asli masyarakat tradisional sebelumnya.
Kegiatan demikian dianggap oleh antropolog sebagai aktivitas yang melanggar hak
asasi. Karena membatasi kebebasan penduduk asli untuk mengakses budayanya
sendiri dan mempertahankan kearifan lokal yang mereka bangun sebelumnya. Memang
dalam ilmu sosilogi perubahann sosial sering dianggap sebngai aspek khusus dari
aspek sosial, karena perubahan sosial merupakan gejala yang bertentangan dengan
tatanan sosial.[3]
Setelah tahun
1960, sikap antipati antropolog pengikut faham fungsionalisme mulai berkurang.
Bahkan sikap demikian mulai mendapatkan penentangan dari sejumlah antropolog
lain. Stipe, sebagaimana dikutip oleh Budiyanti, pada tahun 1980 berpendapat
bahwa sikap antropolog yang memusuhi misi keagamaan dilandasi oleh pemikiran
fungsionalisme. Dalam pandangan aliran fungsionalisme, masyarakat yang ideal
adalah masyarakat yang berusaha selalu mempertahankan keharmoniannya dan
keseimbangan sosial yang terbagun di dalamnya. Semua elemen yang berfungsi
dalam suatu system kemasyarakatakan dan kebudayaan saling terhubung,
mempengaruhi, dan karenanya saling bergantung satu sama lain untuk menciptakan
harmoni. Semua elemen ini bekerja dan berfungsi secara integral dalam rangka
menciptakan dan mempertahankan
keseimbangan dan harmoni sosial yang telah ada.
Asumsi di atas
inilah yang menjadi landasan pengikut fungsionalisme dalam anggapannya bahwa
setiap unsur yang berubah dalam masyarakat dapat mengancam hormani yang telah
terbagun antara elemen dalam mempertahankan hormoni sosial. Dengan demikian,
perubahan dianggap mengancam stabilitas hubungan masing-masing elemen yang telah
terintegrasi dalam keseimbangannya. Namun asumsi ini, bagi Abu Riho, dianggap
telah mengabaikan perubahan itu sendiri. Dan untuk memahami perubahan yang
terjadi, terlebih dahulu kita harus mengetahui masyarkat dalam kondisinya yang
serba statis. Sikap ini berimplikasi pada upaya untuk melihat perubahan pada
aspek struktur semata dan bukan pada proses yang terjadi di masyarakat.[4]
MISI KEAGAMAAN DALAM ISLAM.
Kegiatan
pengembangan da’wah dalam Islam diibaratkan seperti mata rantai yang terus
terhubung hingga akhir zaman. Masing-masing periode dalam Islam dianggap kelanjutan
dari peride sebelumnya. Yang mana, masing-masing periode diharapkan dapat
mentransmikian Islam sebagaimana yang pernah ada di zaman awal yang dida’wahkan
oleh Rasulullah saw. Dalam mata rantai ini, Rasulullah saw sebagai pembawa missi
pertama.[5]
Setelah Rasul, muncullah sahabat, tabi’in, ulama, dan ummat secara umum untuk
mengemban misi da’wah pada masa dan tempat mereka berada. Kelanjutan misi
keagamaan dalam Islam yang diibaratkan sebagai mata rantai ini mendapatkan
legalitas dari al-qur’an yang pada intinya menjelaskan bahwa Allah sendiri
menjaga keaslian al-qur’an hingga akhir zaman.
Mata rantai
yang berkesinambungan secara simbolik juga bermakna bahwa setiap Muslim memliki
tanggun jawab untuk melanjutkan praktek-praktek keIslaman di mana pun dan kapan pun mereka berada. Da’wah tidaklah dimaskdukan untuk merubah
mereka-mereka yang telah memiliki indentitas keagaamaan tertentu agar mereka
masuk Islam. Tetapi da’wah dalam
terminologi ini diharapakan dapat memperkuat integritas keislaman para penganut
agama Islam itu sendiri. Dalam bahasa lain, da’wah merupakan upaya konsolidasi
ke dalam yang nantinya dapat memperbaiki kualitas kehidupan keberagamaan ummat Islam
sendiri. Pada intinya, da’wah mengajak ummat Islam untuk menganut Islam secara
menyeluruh dan memerintahkan ummat untuk memerangai kemungkaran dan saling
mengingatkan untuk menegakkan kebaikan
dan keadilan.
Pada
perkembangan sekarang, da’wah menjadi kegiatan yang terorganisir dengan
melibatkan tenaga-tenga propesional yang dirintis oleh seorang ahli agama yang
disebut kiyai di Jawa, ajengan di Jawa Barat dan Tuan Guru di Lombok. Secara
umum mereka disebut sebagai ulama. Dalam Islam, ulama merupakan mata rantai
penyebar agama Islam yang dianggap sebagai pewaris nabi.
PENGERTIAN DA’WAH
Dakwah secara
etimologis dapat diartikan mengajak, menyeru, dan memanggil.[6]
Sedangkan, bila diartikan dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi dakwah dapat
diartikan sebagai berikut : “Mendorong (memotivasi)
untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk (Allah), menyuruh orang mengerjakan
kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di dunia dan
akhirat”. (Syaikh Ali Mahfudh, Hidayah al-Mursyidin). Dakwah
berasal dari bahasa arab yang berarti mengundang, mengajak dan mendorong. Konotasi
yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan
menjauhi kejelekan atau "amar ma'ruf nahi munkar".
Dakwah berarti juga mengajak sasaran menuju jalan Allah, yakni agama Islam.
Ada berbagai macam rumusan mengenai pengertian
dakwah. Syeh Ali Mahfudz misalnya, mendefinisikan dakwah sebagai usaha
memotivisir orang-orang agar tetap menjalankan kebajikan dan memerintahkan
mereka untuk berbuat ma’ruf serta melarang mereka berbuat mungkar, agar mereka
memperoleh kebahagiaan dunia akherat.[7]
Senada dengan Syeh Ali Mahfudz, Profesor Thoha Yahya Umar mengartikan dakwah
adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
akherat. Menggunakan rumusan lain, Syeh Bahi al-Khuly berpendapat bahwa dakwah
adalah memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain yang lebih baik.
Sedang secara operasional Adnan Harahap
memberikan pengertian dakwah adalah suatu usaha merubah sikap dan
tingkah laku orang dengan jalan menyampaikan informasi tentang ajaran Islam,
dan menciptakan kondisi serta situasi yang diharapkan dapat mempengaruhi
sasaran dakwah, sehingga terjadi perubahan ke arah sikap dan tingkah laku
positif menurut norma-norma agama.[8]
Secara umum, makna pokok yang menjadi simpul
dari pengertian dakwah yang berbeda-beda itu terletak pada tiga hal :
1. Amar ma’ruf nahi mungkar. Seluruh kegiatan dakwah pada dasarnya bertujuan untuk merealisasikan kebaikan (al-khoir) dan mengeliminasi segala hal yang menyebabkan orang semakin jauh dari jalan Tuhan Allah SWT.
2. Ishlah. Makna ishlah dari dakwah ini nampak kuat pada upaya dakwah untuk meningkatkan kualitas kebaikan dan menurunkan kadar keburukan di dalam masyarakat. Dalam makna ini dakwah dipahami sebagai segala upaya yang bertujuan untuk merubah kondisi negatif ke kondisi yang positif atau untuk memperbaharui dalam makna meningkatkan kondisi yang positif ke kondisi yang lebih positif lagi.
3. Dengan demikian dakwah pada dasarnya adalah bersifat taghyir (pengubah) dari realitas sosial yang tidak/belum ilahiyah menjadi berkondisi atau berwatak ilahiyah[9].
Menurut Amrullah Ahmad eksistensi dakwah Islam
selain berperan sebagai pengubah terhadap realitas sosial yang ada kepada
realitas sosial yang baru, juga sesungguhnya dipengaruhi oleh perubahan
sosio-kultural yang terjadi. Dengan demikian dakwah perlu mengenal dan memahami
perubahan-perubahan itu, sehingga metode dan materi dakwah dapat diselaraskan dengan suasana dan keadaan
masyarakat yang berubah.[10]
Dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa da’wah pada
dasarnya merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh
pelaku dakwah (da’i) untuk memberikan motivasi kepada individu atau kelompok
(sasaran dakwah) untuk mencapai tujuan di atas yaitu, bahagia di dunia dan
akhirat. Jadi bisa diperhatikan bahwa materi dakwah selalu bepijak pada 2 hal:
1. Dakwah yang berorientasi keakhiratan.
2. Ajakan untuk meningkatkan perihal keduniawian
Manusia pada umumnya ingin memenuhi kebutuhan yang bersifat
keduniaan sebagai berikut :
a. Kebutuhan
fisik
b. Kebutuhan
keamanan
c. Kebutuhan
sosial
d. Kebutuhan
penghargaan, dan
e. Kebutuhan
aktualisasi diri
Menurut Al-qur'an, dalam melakukan dakwah harus berdasarkan prinsip
bahwa manusia yang dihadapi (mad'uw) adalah makhluk yang terdiri dari unsur
jasmani, akal dan jiwa dengan demikian mereka harus dipandang dan diperlakukan
dengan keseluruhan unsur-unsur tersebut secara simultan dan serentak. Pembangunan
di Indonesia yang fokus pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, cenderung
mengalienasikan aspek spiritual. Hal ini mengacu pada pembentukan nilai dan
norma ekonomis. Dan akan menimbulkan gerakan ekonomi yang berjalan bebas (tanpa
spiritualitas dan melahirkan sikap kompetitif) yang bila tidak didukung oleh
aspek spritual, akan cenderung ke arah individualisme, materialisme, dan
konsumerisme.
Pengembangan dakwah yang efektif harus mengacu pada peningkatan
kualitas keislaman dan juga kualitas kehidupan masyarakatnya, dalam hal ini
dari aspek ekonominya. Karena dakwah tidak hanya memasyarakatkan hal-hal yang
religius Islami, namun juga menumbuhkan etos kerja. Inilah yang sebenarnya
diharapkan oleh dakwah bil hal yang sering disebutkan oleh
para mubalig. Dakwah bil hal ini tidak meninggalkan maqâl (ucapan lisan dan tulisan),
melainkan lebih ditekankan pada sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan nyata
yang secara interaktif mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya, yang secara langsung
atau tidak langsung dapat mempengaruhi peningkatan keberagamaan.
Pola pengembangan dakwah seperti ini, merupakan alih teknologi
sosial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sebagai imbangan alih
teknologi meteriil yang tidak akan berhenti dengan segala dampaknya.
Keseimbangan antara dua teknologi itu setidaknya akan menjanjikan ketentraman
hati serta gejolak sosial, yang terkadang berakibat terhadap meluasnya
kesenjangan sosial dan stress di kalangan masyarakat awam. Keseimbangan yang dimaksud
akan mengacu ke arah tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat. Melihat kepada
kebutuhan-kebutuhan di atas, perlu diperhatikan pemilahan sasaran dakwah secara
jeli agar tujuan dakwah dapat mencapai hasil yang maksimal. Selain itu, bila
dakwah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kelompok, maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yang partisipatif. Dengan pendekatan ini, kebutuhan
digali oleh motivator dakwah (kader) bersama-sama dengan kelompok sasaran yang
akan diberdayakan. Pemecahan masalah direncanakan dan dilaksanakan oleh kader
bersama dengan kelompok sasaran.Dengan demikian, perencanaan tidak dilakukan
secara top down
tetapi botom up.
Dakwah jenis inilah yang dapat dikatakan dakwah yang memberdayakan masyarakat
atau disebut juga Dakwah bil hal. Banyak yang menyebut bahwa
dakwah bil hal,
merupakan koreksi dari dakwah yang telah ada selama ini yang lebih banyak
terfokus pada dakwah mimbar yang monoton, sementara dana dan daya habis tanpa
adanya suatu perubahan yang berarti. Akan lebih baik, jika ada keseimbangan
diantara keduanya. Sehingga pada akhirnya ada semacam perubahan yang berarti
dalam masyarakat.[11]
Kegiatan dakwah Islamiah itu sendiri tidak dapat lepas dari lima
unsur yang harus berjalan serasi dan seimbang. Karena pada dasarnya kegiatan
dakwah merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (da’i) dan sasaran
dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran
dakwah dan si pelaku dakwah keduanya saling mempengaruhi, dimana mereka sama
menuntut porsi materi, media, dan metode tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil jika kelima unsur tersebut berjalan
dengan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan bukan sekedar memberikan
pengajian di atas mimbar di hadapan masyarakat yang luas serta heterogen. Namun
lebih dari itu, dakwah menuntut tumbuhnya suatu kesadaran bagi masyarakat yang
mendengarkan dakwah tersebut agar pada gilirannya mampu melakukan perubahan
positif dari pengamalan dan wawasan agamanya. Kita tidak bisa mengukur
keberhasilan sebuah kegiatan dakwah dari banyaknya jumlah pengunjung yang
melimpah pada suatu forum pengajian dan hebatnya mubalig yang lucu, dan kocak.
Sementara biaya yang keluar relatif banyak tanpa diimbangi dengan evaluasi dari
massa pengunjungnya.Pengembangan dakwah Islamiah merupakan proses interaksi
dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas
keberagamaan umat Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara
utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan, dan pengamalannya. Sebagai
suatu proses maka tuntutan dasarnya adalah perubahan sikap dan perilaku yang
diorientasikan pada sumber nilai yang Islami.[12]
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi
keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan. Kedua,
dengan mendorong terjadinya perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan
partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan
pendekatan yang hanya direncanakan secara sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan
pula hanya pendekatan tradisional, yang mengutamakan besarnya massa.Pendekatan
partisipatif menghendaki sasaran dakwah dilibatkan dalam perencanaan dakwah,
bahkan dalam penggalian permasalahan dan kebutuhan. Disinilah akan tumbuh
dimensi ide dan gagasan baru, di mana para da’i berperan sebagai pemandu
dialog-dialog keberagamaan yang mincul dalam mencari alternatif pemecahan
masalah.
Dakwah Islamiah dituntut untuk bisa meletakkan Islam pada posisi
pendamai dan pemberi makna terhadap konflik dalam kehidupan manusia, akibat
globalisasi di segala bidang. Dengan demikian, ajaran Islam menjadi alternatif
bagi upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya. Dalam
rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat ada dua hal yang dapat
dilakukan. Pertama, memberi motivasi kepada kaum Muslimin yang mampu untuk
menumbuhkan solidaritas soial. Kedua, yang paling mendasar dan mendesak adalah
dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung menyentuh
kebutuhan.
Dakwah dalam bentuk ini sebenarnya sudah banyak dilaksanakan oleh
kelompok-kelompok Islam, namun masih masih sporadis dan tidak dilembagakan,
sehingga menimbulkan efek kurang baik, misalnya, dalam mengumpulkan dan
membagikan zakat. Akibatnya fakir miskin yang menerima zakat cenderung menjadi thama’
(tergantung). Dalam rangka memberdayakan masyarakat Indonesia, dalam hal ini
yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kita tidak dapat hanya memberi saja
(zakat). Namun, juga diberikan semacam modal, pengetahuan serta skill yang
cukup agar mereka dapat mulai memberdayakan diri.
Jika kita melihat lembaga-lembaga sosial yang ada maka ditemukan ada
3 macam:
1. Lembaga yang
bersifat karikatif, dalam bentuk bantuan, jasa atau barang.
2. Lembaga yang
bersifat pengembangan swadaya masyarakat yang dibantu.
3. Lembaga yang
berbicara tentang konsep, ideology atau strategi alternatif pembangunan.
Walaupun yang diugkapkan ini berelevansi lebih ke global, tetapi pemkiran yang
ia kemukakan dapat juga diterapkan di Indonesia.
Dakwah dapat juga dalam bentuk pengembangan masyarakat. Diantara
keduanya terdapat persamaan yang cukup mendasar. Karena pengembangan atau
pemberdayaan masyarakat merupakan proses dari serangkaian kegiatan yang
mengarah pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Kesamaan
antara keduanya yaitu bahwa dakwah dan pengembangan masyarakat sama-sama ingin
mencapai kesejahteraan serta sama-sama meningkatkan kesadaran berperilaku dari
yang tidak baik kepada perilaku baik.
Hasil dari usaha dakwah bil hal ini juga memiliki implikasi
atau pengaruh terhadap pengembangan masyarakat, yaitu :
1. Masyarakat
yang menjadi sasaran dakwah, pendapatannya bertambah untuk membiayai
pendidikan, atau memperbaiki kesehatan;
2. Dapat
menarik partisipasi masyarakat dalam pembangunan, karena masyarakat tersebut terlibat
dari tahap perencenaan sampai pelaksanaan dakwah bil hal;
3. Dapat
mengembangkan swadaya masyarakat dan dalam proses jangka panjang dapat
menumbuhkan kemandirian;
4. Dapat
mengembangkan kepemimpinan daerah setempat, dan terkelolanya sumber daya yang
ada. Karena kelompok sasaran tidak hanya menjadi objek tetapi juga menjadi
subjek kegiatan;
5. Terjadinya
proses belajar-mengajar antar sesama warga yang terlibat dalam kegiatan. Sebab
kegiatan direncanakan dan dilakukan secara bersama hal ini menyebabkan adanya
sumbang saran secara timbal balik.[13]
Melihat sasaran dakwah yang begitu luas, yang meliputi segenap
lapisan masyarakat maka untuk lebih dapat menjalankan dakwah secara lebih
menyebar, penggunaan media serta kecanggihan teknologi merupakan suatu hal yang
wajib. Karena kita tentunya tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman. Dakwah
secara konvensional harus mulai melakukan strategi-startegi yang sesuai
kemajuan teknologi agar penampilan dari dakwah itu sendiri mendapat tempat di
hati kelompok sasaran dakwah.
Tradisi baru LSM Muslim dalam bentuk bank syari’ah dan organisasi
penggalangan SIZ yang digagas dan dibangun oleh oleh kalangan intelektual
Muslim telah meretas sebuah rumusan baru da’wah Islam di Indonesia. Jika
diletakkan dalam perkembangan gerakan Islam di Indonesia, lembaga-lembaga
tersebut semakin memperkaya organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan Islam.
Dan jika diletakkan dalam konteks da’wah dan permberdayaan masyarakat,
lembaga-lemnbaga tersebut telah membumikan konsep da’wah bi al-hal yang
selama ini mencari-cari bentuk penerapan.[14]
DA’WAH TRANSFORMATIF
Da’wah dengan mengandalkan dua tipe tersebut merupakan da’wah
yang transformatif. Yaitu da’wah yang tidak menjadikan aspek verbal sebagai
sayap utama dalam penyampaian materi-materi keislaman terhadap objek da’wah,
tetapi berusaha mengadakan internalisasi nila-nilai Islam ke dalam ruang
lingkup masyarakat secara nyata. Baik yang bersifat pendampingan, seperti desa
binaan, maupun advokasi terhadap hak-hak masyarakat untuk mendapatkan akses
ekonomi yang lebih baik. Jika ini dilakukan dengan baik, da’wah tidak hanya
dikenal mampu memberdayakan tingakat relijiusitas masyarakat, tetapi juga dapat
menegaskan kemapanan sosial mereka yang pada gilirannya akan melahirkan
perubahan sosial.
Setidaknya ada lima (5) indikator yang mesti melekat dalam
dakwah transformatif dalam pandangan Khamami Zada :
1.
Dari aspek materi dakwah; ada
perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam kerangka
ini, seorang da’i diharapkan mampu mengambangkan materi-materi da’wahnya hingga
mencakup isu-isu sosial yang berkembang dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai
contoh, materi-materi seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan layak untuk
disosialisaikan lebih jauh kepada mereka. Seorang juru da’wah tidak lagi
terlalu terpokus pada upaya mendiskreditkan agama lain jika terjadi
permalasahan dalam masyarakat. Tetapi berusaha mengambil langkah nyata yang
bisa mengangkat citra masyarakat Muslim menjadi lebih baik dan lebih
beriorientasi ke depan.
2.
Dari aspek metodologi terjadi
perubahan; dari model monolog ke dialog. Dalam hal ini, metodologi penyampaian
juru da’wah tidak lagi bertumpu pada podium dengan retorika yang menarik serta
pendengar yang hanya bisa menilai baik buruknya tampilan sang da’i. Tetapi,
dalam bentuk da’wah seperti ini, keterlibatan masyarakat dalam mengungakap
permasalahan menjadi menonjol. Karena da’i tidak lagi monolog dalam
penyampaiannya tetapi telah beralih kepada proses dialog yang memperlihatkan
keakraban masyarakat dengan juru da’wahnya. Jika kita menela’ah da’wah
Rasulullah saw, tampak bahwa perubahan sosial yang terjadi dengan da’wahnya
lebih disebabkan oleh tampilnya Rasul dalam lingkup kemasyarakatan lebih luas.
Terhitung dalam sepekan, da’wah Rasulullah yang bersifat formal hanya ditemukan
ketika hari jum’at dalam khotbahnya saja. Selebihnya mengarah kepada dialog
maupun pertanya yang timbul akibat adanya permasalahan yang dihadapai oleh
masyarakat.
3.
Menggunakan institusi yang bisa
diajak bersama dalam aksi. Selama ini, da’wah lebih banyak dilakukan secara
personal sehingga efek sosial yang ditimbulkan cendrung minimal. Walaupun
memang tidak dipungkiri bahwa juru da’wah personal juga berasal dari intitusi
pendidikan tertentu. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
personalitas mereka lebih menonjol dibanding kehadirannya dalam institusi da’wah
tertentu. Institusi sebagai basis gerakan diharapakan dapat memberikan
legitimasi yang lebih kuat kepada juru da’wah. Jaringan dan sumber daya tidak
hanya milik sendiri, melainkan juga ada pada orang lain, karena itu, institusi
menjadi sesuatu yang penting untuk menjadi basis dari gerakan sosial. Itu
sebabnya, agar para juru dakwah lebih mudah melakukan pendampingan masyarakat,
mereka perlu menggunakan institusi yang kuat.
4.
Ada wujud keberpihakan pada
mustad’afin. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang
menggunakan pendekatan transformatif. Dengan empati ini, juru da’wah tampil
dibaris depan untuk merencanakan berbagai upaya yang bisa bernilai ekonomis
bagi masyarakatnya. Kehadiran BMT yang kita saksikan saat ini dapat dimanfatkan
secara maksimal sehingga usaha-usaha yang dilakukan masyarakat dapat terbantu
denga suntikan modal yang difasilatasi oleh sang da’i.
5.
para juru dakwah melakukan
advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di
daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya
didampingi. Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan pendekatan
transformatif. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru
dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang
dihadapi masyaraat.[15]
EFEK PERUBAHAN SOSIAL DA’WAH
Perubahan
sosial menurut Henry Pratt dan Fairchild, sebagaimana dikutip oleh Simuh[16],
adalah sebuah variasi aatu modifikasi
dalam beberapa aspek baik mengenai proses, pola dan bentuk soisal.
Terdapat tiga pendekatan terhadap perubahan sosial kumulatif, yaitu : (1)
Pendekatan yang memandang pola-pola yang bisa digeneralisir dalam hal bagaiman
semua aspek perubahan terjadi.(2) Pendekatan yang mencari penjelasan terhadap
semua pola komulasi yang didasrkan poada teori evolusi. (3)pendektan yang
berpendapat bahwa tidak ada evolusi tunggal bagi semua perubahan dalam sejarah
manusia.[17]
Terjadinya
perubahan sosial biasanya melalui peroses, Pertama : upaya masyarakat
untuk mengkuti perubahan yang pada pase awal dianggap sebagai penyimpangan. Kedua
: penyedian saluran yang mendukung terjadinya perubahan soisal dalam masyakat
yang terwujud pada lembaga-lembaga, baik lembaga ekonomi, da’wah ataupun
lembaga pendidikan. Ketiga : terjadinya reorganisasi sosial. Yakni
adanya pelemahan terhadap unsur tradisi lama yang kemudian digantikan oleh
tradisi baru sesuia dengan system yang dipersiapkan.[18]
MODEL PERUBAHAN
Ada dua pilihan metode untuk
melahirkan sebuah kondisi baru sebagai sebuah terapi bagi kondisi yang hendak
di perbaiki tadi, pertama dengan cara evolusi dan kedua dengan
cara revolusi[19]
1.
Model Evolusi
Cara evolusi merupakan cara
yang paling mudah di lakukan, aman bagi jalannya sistem yang sedang berlaku
tapi dari sisi waktu tempuh akan banyak menghabiskan hitungan yang tidak
sedikit. Proses perubahan seperti ini juga cenderung hanya “melingkar” di tingkat
elit saja dan sedikit sekali mengakomodasikan input dari grass root yang
muncul ke permukaan sebagai reaksi atas berbagai kebijakan elit yang selama ini
berkuasa. Konsekunsi logis dari perubahan model ini akan menempatkan rezim
yang sedang asyik berada dalam tampuk kekuasaanya dengan leluasa memilih
agenda-agenda perubahan yang ada berdasarkan “aman atau tidak” bagi
kekuasaannya.[20]
Perkembangan masyarakat
secara umum sebagaimana digambarkan oleh teori evolusi seperti berikut: (1)
bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah layaknya garis lurus. Dalam hal
ini, masyarakt dipandang bergerak dari bentuk primitif menuju bentuk modern.
Ringkasnya, bentuk dunia ke depan dapat diprediksi bahwa dalam beberapa waktu
ke depan kemajua pasti akan diperoleh, (2) teori evolusi membaurkan antara
pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial.
Perbuahan menuju masyrakat moderen adalah perkembangan yang tidak bisa
dihindari dalam teori ini. Karenanya semua kebaikan seperti kemajuan dan
kemanusiaan dan modernitas dianggap sebagai hasil dari perkembangan masyarakat
yang selalu dicita-citakan.[21]
Tidaklah mengherankan model
ini kurang populer, apalagi di negara-negara Dunia Ketiga yang perubahan
politiknya secara umum masih cukup eksplosif. Tidak perlu tokoh yang cukup
kharismatik atau terkenal dalam model ini, karena sepenuhnya kewenangan hendak
kemana arah perubahan yang terjadi terletak di tangan penguasa sendiri. Elit
penguasa serta pihak-pihak tertentu saja yang bisa terlibat dalam merumuskan
berbagai persoalan yang ada, yang tentu saja sangat bias kepentingan.
Figur-figur di luar lingkaran kekuasaan hanya memberikan respons-respons
minimal sebatas masukan atau paling maksimal adalah melakukan pressure,
itu pun jika ada ruang kebebasan yang cukup untuk melakukan hal itu.
2.
Model Revolusi
Revolusi merupakan upaya
perubahan ide-ide secara mendasar yang disertai dengan perubahan
struktur-struktur social.[22]
Cara ini dipandang cukup popular mengignat kalangan gerakan social atau gerakan
pembebesan terkadang memilih cara-cara seperti ini. Jika dilihat dari aspek
waktu yang dibutuhkan, tampak memang bahwa revolusi adalah metode tercepat.
Sekaki pun korban yang dibutuhkan juga banyak karena perubahan yang demikian
ekstrim mensyaratkan terjadinya perubahan struktur social secara mendasar.
Padahal struktur social yang terbentuk adalah merupakan bagian dari proses
panjang yang melibatkan partisipasi beragam kepentingan dan tujuan. Maka
tidaklah nengherankan jika antropolog aliran fungsionalisme tidak mendukung terjadinya
revolusi social sebagimana disinggung pada bagian awal makalah ini. Cara ini,
jika berhasil memang dengan cepat dapat diukur tingkat keberhasilannya. Karena
memang pola yang digulirkan adalah mengikuti alur yang serba instant.
Perubahan dengan model rovolusi ini biasanya menjadikan politik sebagai medium
utama dan kekuasaan sebagai target akhirnya.
Pemikiran tentang revolusi
sendiri memiliki banyak varian pengertian dan pada umumnya berangkat dari
sebuah proses kegelisahan, kecemasan serta ketidakpastian akan kondisi yang
sedang terjadi. Saat kita membicarakan tentang perubahan sosial secara
revolutif, maka kita hampir tidak akan bisa memisahkan diri dari kaitannya
dengan masalah politik di sebuah negara. Sebelum sebuah revolusi sosial
terjadi, biasanya terjadi suatu proses alienasi kekuasaan. Alienasi ini terjadi
karena kekuasaan yang ada semakin meninggalkan kepentingan-kepentingan rakyat
dan justeru seolah menjadi bagian lain dari pranata yang ada.[23]
Revolusi sosial yang terjadi
di Barat kondisinya berbeda dengan apa yang terjadi di Timur. Barat cenderung
menunjukkan nilai-nilai perubahan itu berawal dari terancamnya nilai-nilai
kebebasan individu atau kelompok oleh sebuah sistem yang dominan dan atau
sedang berkuasa. Sedangkan revolusi di dunia Timur justru berawal dari adanya
sistem atau kekuatan dominan yang berlaku sewenang–wenang dengan mengabaikan
kepentingan mayoritas yang ada. Kondisi obyektif golongan mayoritas yang sedang
berada di bawah pengaruh kekuatan dominan ini sama sekali tidak memiliki political
bargaining yang cukup sehingga hanya jadi obyek eksploitasi tirani
minoritas yang sedang berkuasa. Selain kondisi ini, Timur juga memiliki “nilai
tambah” yang lain dalam sisi sumber energi yang menumbuhkan kekuatan untuk
bergerak dan melakukan perlawanan di kalangan mereka, yakni agama. Dunia Timur,
sebagai dunia yang secara historis tidak bisa dilepaskan dengan pertumbuhan
serta perkembangan agama-agama besar dunia, memiliki energi dan semangat yang
cukup kuat untuk tetap bertahan dan kemudian bangkit melawan kekuatan yang
mendominasinya, apalagi kekuatan itu merupakan kekuatan asing yang memiliki
perbedaan yang tegas dari sisi nilai-nilai agama.
3.
Model Reformasi
Kedua pilihan tadi pada
dasarnya tidak akan terlepas dari sejumlah kelebihan dan kekurangan, paling
tidak masih ada cara Ketiga yang ternyata banyak negara menggunakannya untuk
merombak sistem yang sedang berjalan. Cara ini pun sebenarnya bukan cara yang
bersih dari bakal adanya korban yang jatuh tapi, dalam beberapa hal cara ini
merupakan cara kompromis antara penguasa dengan rakyatnya. Cara ini kalau bisa
berjalan dengan baik akan menjembatani kehawatiran-kehawatiran yang muncul
berkaitan dengan prediksi akan adanya korban yang ada. Dalam konteks Indonesia,
pilihan terhadap cara ini bisa kita saksikan dalam rentang perjalanan sejarah
bangsa ini saat mengambil middle way sebagai sebuah pilihan dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep jalan tengah ini
ter-representasikan saaat TNI meluncurkan sebuah paradigma baru dalam menata
dirinya dengan wujud Dwi Fungsi ABRI, ternyata cara seperti ini pula yang pada
akhirnya–dengan kesadaran atau terpaksa–banyak mengilhami kalangan terbesar
bangsa ini dalam mereformasi dirinya pada peristiwa puncak reformasi di bulan
Mei 1998 sebagai sebuah momentum perubahan besar bangsa.
Islam tidaklah
mementingkan perubahan yang mana dari ketiga bentuk di atas yang hendak
diterapkan. Dalam Islam, faktor yang terpenting adalah bagaimana sebuah
perubahan terjadi dan berjalan dalam koridor keislaman yang seharusnya. Namum
demikian, jika kita berkca kepada kenyataan bahwa para nabi dating dengan
konsep wahyu tentang realitas, maka dipastikan bahwa perubahan yang mereka
usung bersifat revolusioner.[24]
Sebagai contoh, pertentangan antara Nabi Muhammad saw. dengan
kaum Quraysy Jahiliyyah, memiliki dua aspek yang berhubungan erat yaitu
aspek keagamaan dan aspek sosial. Aspek
keagamaan bermuara pada kepercayaan tentang Tuhan dengan keharusan meninggalkan
ritual sesembahan masing-masing qabilah untuk kemudian beralih menyembah
Allah yang Esa. Ditambah lagi dengan kepercayaan tentang alam akhirat yang
menjadi tempat pertanggungjawaban perbuatan manusia yang belum pernah didengar
oleh orang Quraisy dari nenek moyangnya. Ternyata, aspek keagamaan yang dianut
oleh suku-suku Jahiliyyah ini sekaligus menjadi sebuah ikatan sosial yang
mepersatukan anggota-anggota dari masing-masing suku. Sehingga, menganut ajaran
Islam berarti dianggap keluar dari ikatan kesukuan yang telah ada dan mengubah
tatanan kekuasaan pada masyarakat Jahiliyyah. Dengan demikian, tampak bahwa
da’wah nabi Muhammad, jka dilihat dari paket perubahan yang ditawarkan dan
penolakan kaum Quraisy, merupakan da’wah denga semangat revolusi yang
dikemudian hari terbukti merombak tatanan jahiliah yang berjouis dan anti
terhadap kaum proletar.[25]
Ada beragam
penelitian kualitatif yang dikembangkan dalam rangka menunjukkan peranan da’wah
dalam perubahan sosial masyarakat. Erni budiyandti misalnya, berupaya
memformulasikan aktifitas da’wah yang dilakukan oleh Tuan Guru di Lombok Barat.
Dalam penelitian tersebut, Bayan diperkenalkan sebagai basis Waktu Telu yang
lambat laun meredup tradisi keberagamaannya akibat pengaruh da’wah yang
dilakukan oleh Waktu Lima. Waktu Telu di sini adalah sebuah keyakinan
masyarakat Islam yang dipengaruhi elemen-elemen lokal setempat. Semenatara
Waktu Lima adalah kumpulan orang Muslim yang menjadikan Islam ortodoks sebagai
panduan keberagamaannya. Da’wah yang dikembangkan oleh Tuan Guru, berdasarkan
penelitian Erni, berkisar pada beberapa aspek, berupa da’wah di masjid, seperti
khutbah, pengajian biasa, pendirian madarasah dll[26]
Kedatangan
Islam ke Lombok berwal pada abad ke-13 setelah kejatuhan kerajaan Hindu
Majapahit. Dengan silih bergantinya penguasa yang berpengaruh di Lombok dengan
pengaruh agama yang dibawah masing-masing, pada akhirnya masyarakat Sasak
terpolarisasi menjadi dua kelompok : Islam sasak Waktu Telu dan Waktu Limo.
Setelah era wali dari Jawa, khusunya abad ke-19 perkembagan da’wah di Lombok
dipelopori oleh Tuan Guru. Tuan Guru merupakan pemimpin setempat yang
kharismatik. Pengaruh mereka telah lama meluas sebelum Belanda menjajah Lombok.
Pengaruh Tuan Guru makin meluas setelah mereka pergi haji ke Makkah. Setelah
menunaikan haji, beberapa orang tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi
mereka melanjutkan pendidikan di Makkah dan sekitarnya untuk beberapa tahun.
Setelah mereka kembali ke Lombok, banyak anggota masyarakat yang berusaha
berguru kepada mereka tentang peraktek keislaman. Murid-murid mereka makin hari makin bertambah sehingga
rumah tempat tinggal Tuan Guru tidak lagi memadai untuk menampung para pelajar
tersebut. Sehingga munculllah ide pendirian pondok pesantren di sekitar rumah.
Lambat laun sekolah rumah tersebut berubah menjadi sekolah formal layaknya SD,
SMP dan SMA.[27]
Adapun strategi
pengembangan da’wah yang dilakukan oleh Tuan Guru di antaranya adalah
penggunanaan kekuatan ghaib yang berbau mistis. Hal ini mirip dengan strategi
pengembangan da’wah yang dilakukan oleh para wali di Jawa sebelumnya. Beberapa
Tuan Guru dikenal di Lombok pernah memperagakan tehnik ini dalam berda’wah.
Tuan Guru Mutawalli, pimpinan pondok pesantren Darul Yatama Wa al-Masakin, pada
tahun 1960 pernah menanpilkan kekuatan ghoibnya, setelah sebelumnya mempelajari
tokoh karismatik dan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang sangat dikagumi oleh
penganut Waktu Telu. Namun memasuki abad 20, strategi demikian tidak lagi
dipergunakan oleh Tuan Guru. Tetapi, Budiwanti melihat strategi yang
dikembangkan kemudian adalah kerjasama dengan penguasa lokal maupun lembaga
swasta dan luar negeri untuk membantu misi da’wahnya. Selain itu, desa
tertinggal dijadikan sebagai penyebaran misi da’wah oleh Tuan Guru tertentu
dengan berusaha memperhatiakan aspek sosial kemasyarakatan. Sebagai hasil
kerjasma dengan pemerintah, Tuan Guru mendapatkan bantuan dari Depsos untuk
membiayai program pelatihan da’i yang dibekali dengan keterampilan seperti
pertukangan, pertanian, reparasi mesin, perbengkelan dan tehnik listrik. Selain
itu, mereka juga dibekali ilmu psikologi
dan komunikasi. Di Bayan misalnya, para dai terlibat dalam mengatasi
masalah sanitasi, program KB dan program pendirian toilet umum bagi masyarakat.
Sementara itu,
dalam konteks lebih luas, da’wah yang dipelopori oleh ulama Indonesia yang
berusaha membentuk jaringan dengan intelektual timur tengah pada abad 17-18
dikupas denga seksama oleh Azyumardi Azra. Tokoh seperti Nuruddin al-Raniri,
Abdul Ra’uf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makassari ditelaah dengan seksama
sehingga akar pembaharuan pendidikan Islam pada zaman modern terlihat dengan
sangat jelas berdasarkan penelusuran geneologi keilmuan ulama Indonesia
tersebut.[28]
Jika kita
melihat penomena pasca terjadinya reformasi di Indonesia, munculnya perhatian
lembaga-lembaga keagamaan yang berusaha merokonstruksi ekonomi kaum lemah
dengan sistem ekonomi syari’ah semakin menjamur. Zakat merupakan salah satu
instrumen yang menjadi agenda dalam hal ini. Sirojuddin Abbas berusaha melihat
bagaimana eksperimen lembaga-lembaga zakat di Indonesia dalam mengumpulkan dan
menyalurkan dana sosial kepada masyarakat. Dalam penelitiannya, Sirojuddin
mencatat bahwa pada tahun 2003 telah terbentuk satu BAZIZ tingkat nasional, 24
tingkat propensi, 277 tingakat kabupaten, 3160 tingkat kecamatan dan 38.117 tingkat
kelurahan. Ini belum termasuk lembaga-lembaga serupa yang berbasis LSM, Masjid,
dan pesantren. Gejala ini memberikan indikasi bahwa masyarakat Muslim Indonesia
telah memberikan kepercayaan terhadap sistem kesejahteraan sosial yang ada
dalam tradisi Islam.[29]
Contoh kasus
yang diangkat Sirojuddin adalah Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF) Surabaya.
Lembaga ini menerapkan cara yang unik dalam menjaring dana dari masyarakat.
Dengan pro aktif mereka menghubungi para calon investor melalui surat penawaran
bantuan penghitungan dan pengumpulan dana zakat atau dengan mendatangi
perkantoran untuk prersentasi di hadapan para calon donor. Selanjutnya, lembaga
ini mengembangkan sistem basis data sebagai wujud pertanggungjawaban dan
pemutakhiran informasi yang dilakukan. Dengan ini, YDSF berhasil mengembangkan
jumalah muzakkinya dari tahun ke tahun. Cara ini kemudian dikembangkan oleh LSM
Muslim lainnya. Bahkan dalam tataran yang lebih massif, cara demikian dilakukan
oleh Dompet Dhuafa Republika. Dengan jangkauan pemberitaan yang digarap oleh
Republika, DD dengan mudah melaporkan perkembangan dana yang terkumpul, setelah
sbelumnya meliput da’erah miskin yang sedang dibiayai. Selain itu, kerjasama
yang dilakukan dengan sejumlah stasiun telepisi nasional telah memperluas cakupan
muzakki yang bisa dijaring oleh DD. Pada tahun 2004 saja, DD mampu mengumpulkan
dana lebih dari Rp 20 milyar.[30]
KESIMPULAN
Berdasrkan
paparan di atas maka bisa kita disimpulkan bahwa da’wah sebagai sebuah upaya
untuk menawarkan Islam sebagai alternatif bagi kehidupan masyarakat memiliki
kekuatan yang mampu merubah kondisi yang sebelumnya statis dengan
ketidakberdayaan sebagai cirinya menjadi masyarakat yang memilki orientasi ke
depan. Peranan da’i yang mulai meleburkan diri dengan beragam permasalahan
masyarakat lemah dapat menjadi solusi yang diharapakan. Apalaai dengan wujudnya
lembaga-lembga keislaman yang memberikan konstribusi signifikan pada pembelaan
kaum marjinal dengan mempbilisasi zakat dari perkotaan menuju kantong-kantong
kemiskinan. Apa yang terjadi dibayan, sekalipun yang menjadi sasarannya adalah
kelompok keberagamaan yang berciri khas sinkretisme, bisa menjadi bukti bahwa
da’wah dengan segala keruwetannya mampu mendatangkan perubahan positif bagi
objek da’wah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
John
M Echol dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT
Gramedia), cet.24, th.1997.
Erni Budiyanti,
Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok
Barat, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan
Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998.
Mahmuddin dan
Try Hadiyanto sasongko, Analisis Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia), th.2006.
Abu
Ridho, Problematika Da’wah : Problem visi dan Implementasinya, dalam Adi
Sasono dkk, “Solusi Islam atas Problematika Ummat, (Jakarta : Gema Insani
Press), th.1998.
Abdul
Karim Zaidan, Ushul al-Da’wah, ( Baerut : Maktabah al-Risalah), cet.3,
th.1988.
Ibrahim
Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Turki : al-Maktabah al-Islamiyah),
vol.1, cet.3, tth. .
M Kholis Hamdi, Da’wah dan permberdayaan masyarakat, http://pmii-ciputat.or.id/Islam-a-keagamaan/157-dakwah-dan-pemberdayaan.html (diakses pada hari senen tanggal 20 juli 2009.)
Arief Subhan, Da’wah
dan pemberdayaan masyarakat, dalam Kusmana (Ed), Bunga Rampai Islam dan
Kesejahteraan sosial, (Jakarta : IAIN Indonesian Sosial Equity Project), cet.1, th.2006.
Khamami Zada,
Da’wah Transformatif : Mengantar da’i
sebagai pendamping masyarakat, (Jakarta : PP Lakpesdam NU), cet.1, th.2006.
Simuh, Islam
Tradisonal dan Perubahan Sosial, dalam Islam dan Hegemoni Sosial,
Drs Khaeroni dkk (ed), (Jakarta : Media Cita), Cet.1, th.2001.
Edgar Borgotta
& Marie L. Borgotta (ed), Ensklopedia Of Sociology, ( New York :
Macmillan Publishing Company ), th1992.
Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Persfektif Sosio Kultural, (Jakarta :
Lantabora Press), cet.3, th.2005.
Nana Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/.
Peter Burke, Sejarah
dan Teori Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), cet.1, th.2001.
Suwarsono
dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta :PT Pusataka
LP3ES), cet.3, th.2000.
Haque,
Ziaul, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakrta : LKiS), cet.1, th.2000.
Erni
Budiwanti, Islam Sasak : Wetu Telu Versus
Waktu Lima, (Yogyakarta : LKiS), Cet.1, th.2000
Budiwanti, Misi
dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok Barat,
dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan –
LIPI), Vol.II, No.1, th.1998.
Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII & XVIII,
(Jakarta : Prenada Media), Edisi Revisi, th.2004.
Sirojuddin
Abbas, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Investasi Sosial, dalam
arief Subhan dan Yusuf Kilun (ed) “Islam yang Berpihak :filantropi Islam dan
Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta : Da’wah Press), th.2007.
Amrullah Ahmad Ed., Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M), th.1985.
M. Masyhur Amin, Metoda Da’wah Islam Dan Beberapa Keputusan Pemerintah Tentang Aktivitas Keagamaan, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.
Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.
M
Kholis Hamdi, Da’wah dan permberdayaan masyarakat, http://pmii-ciputat.or.id/Islam-a-keagamaan/157-dakwah-dan-pemberdayaan.html
Nana
Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com
/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/
Sulhani
Hermawan, Masyarakat Jahiliyah : Studi Historis Tenang Karakter Egaliter Hukum
Islam, http://74.125.153.132/search?q=cache:_tEhfyVFANMJ:www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%2520Sulhani%2520Hermawan.doc+islam+dan+perubahan+sosial&cd=51&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a.
[1] John M Echol
dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT Gramedia),
cet.24, th.1997, hal.383
[2] Erni
Budiyanti, Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok
Barat, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan
Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998, hal.43.
[3] Mahmuddin dan
Try Hadiyanto sasongko, Analisis Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia), th.2006, hal.5
[4] Abu Ridho, Problematika
Da’wah : Problem visi dan Implementasinya, dalam Adi Sasono dkk, “Solusi
Islam atas Problematika Ummat, (Jakarta : Gema Insani Press), th.1998, hal.221.
[5] Abdul Karim
Zaidan, Ushul al-Da’wah, ( Baerut : Maktabah al-Risalah), cet.3,
th.1988, hal.307
[6] Ibrahim
Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Turki : al-Maktabah al-Islamiyah),
vol.1, cet.3, tth, hal.286
[7] M. Masyhur Amin, Metoda Da’wah Islam Dan Beberapa Keputusan Pemerintah Tentang Aktivitas Keagamaan, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.
[8] Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980. hal.25
[9] Nasruddin Harahap dkk., Dakwah Pembangunan, (Yogyakarta : DPD Golkar DIY), th.1992.
[10]Amrullah Ahmad Ed., Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M), th.1985.
[11] Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980. hal.43.
[12) Amrullah Ahmad Ed., Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M), th.1985.
[13]Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.
[14] Arief Subhan, Da’wah
dan pemberdayaan masyarakat, dalam Kusmana (Ed), Bunga Rampai Islam dan
Kesejahteraan sosial, (Jakarta : IAIN Indonesian Sosial Equity Project), cet.1, th.2006, hal.26-27.
[15] Khamami Zada,
Da’wah Transformatif : Mengantar da’i
sebagai pendamping masyarakat, (Jakarta : PP Lakpesdam NU), cet.1, th.2006,
hal.
[16] Simuh, Islam
Tradisonal dan Perubahan Sosial, dalam Islam dan Hegemoni Sosial,
Drs Khaeroni dkk (ed), (Jakarta : Media Cita), Cet.1, th.2001, hal.5.
[17] Edgar Borgotta
& Marie L. Borgotta (ed), Ensklopedia Of Sociology, ( New York :
Macmillan Publishing Company ), th1992.
[18] Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Persfektif Sosio Kultural, (Jakarta :
Lantabora Press), cet.3, th.2005,
hal.16.
[19]Nana Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/. Diakses pada hari senen
tanggal 20 juli 2009.
[20] Peter Burke, Sejarah
dan Teori Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), cet.1, th.2001,
hal.198.
[21] Suwarsono dan
Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta :PT Pusataka
LP3ES), cet.3, th.2000, hal.10.
[22] Haque, Ziaul,
Wahyu dan Revolusi, (Yogyakrta : LKiS), cet.1, th.2000, hal.17
[23]
Nana Sudiana, Islam
dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/. Diakses
pada hari senen tanggal 20 juli 2009.
[24]
Haque, Ziaul,
Wahyu dan Revolusi, (Yogyakrta : LKiS), cet.1, th.2000, hal.
[25]
Sulhani
Hermawan, Masyarakat Jahiliyah : Studi Historis Tenang Karakter Egaliter Hukum
Islam, http://74.125.153.132/search?q=cache:_tEhfyVFANMJ:www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%2520Sulhani%2520Hermawan.doc+islam+dan+perubahan+sosial&cd=51&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a.
Diakses pada hari senen tanggal 20 juli 2009.
[26] Erni
Budiwanti, Islam Sasak : Wetu Telu
Versus Waktu Lima, (Yogyakarta : LKiS), Cet.1, th.2000
[27] Erni
Budiwanti, Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok
Barat, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan
Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998, hal.43.
[28] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII &
XVIII, (Jakarta : Prenada Media), edisi Revisi, th.2004.
[29] Sirojuddin
Abbas, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Investasi Sosial, dalam
arief Subhan dan Yusuf Kilun (ed) “Islam yang Berpihak :filantropi Islam dan
Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta : Da’wah Press), th.2007, hal.22 (catatan
kaki).
[30] Sirojuddin
Abbas, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Investasi Sosial, dalam
arief Subhan dan Yusuf Kilun (ed) “Islam yang Berpihak :filantropi Islam dan
Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta : Da’wah Press), th.2007, hal.17-18.
0 komentar:
Post a Comment