Thursday, February 9, 2012

KETIKA CINTA BERBUAH SORGA


Oleh : Idrus Abidin.

PENDAHULUAN.

Mahabbatullah (mencintai Allah) merupakan wujud keimanan seorang muslim terhadap Allah swt. Kecintaan ini lahir dari pengenalan yang baik tentang Allah swt. Jika kita sadari bahwa para nabi adalah orang-orang yang paling mengenal Allah, maka dipastikan bahwa merekalah yang memendam cinta yang mendalam dalam hati mereka. Kecintaan kepada Allah swt akan menjadi landasan bagi amal yang shalih yang lahir dari keimanan yang benar. Sebuah amal yang dilakukan tanpa melibatkan rasa kecintaan akan melahirkan kehampaan. Bahkan menjadi beban yang menyesatkan dada.
Cinta, tak pelak lagi mempengaruhi kedalaman hati dan lahiriah seseorang. Ketika cinta diarahkan kepada yang seharusnya dicintai (Allah) maka akan mengawal lahirnya cinta yang menentramkan. Banyak fakta yang memperkuat hal ini. Jika cinta ditujukan kepada selain Allah maka biasanya akan membuat buta seseorang. Kecintaan demikian sering pula menghasilkan ketidakpastian, rasa penasaran dan kesenangan semu. Cinta kepada selain Allah akan hilang mana kala yang dicntai itu telah sirna dan tak berbekas lagi. Padahal cinta kepada Allah swt tidak mengenal ruang dan waktu. Kecintaan kepada orang tua, anak, istri, perhiasan dunia dan lainnya dibenarkan selama berada dalam koridor cinta kepada Allah swt dan tidak menyamai, apalagi melampauinya. Jika cinta kepada selain Allah dilandasi oleh syahwat, maka terhadap Allah, kecintaan itu biasanya dikawal oleh keimanan.
Dalam al-Qur'an juga ditemukan beberapa tingkatan cinta. Tahapan cinta ini memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana kita bercinta dan memposisikan cinta itu pada posisinya berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Secara global, cinta diawali oleh perkenalan, lalu diikuti oleh hubungan hati yang mengarahkan perasaan simpati. Kelanjutannya menuju curahan hati dan rasa rindu yang ujungnya menyampaikan kepada kemesraan, dan bahkan sampai pada level memenjarakan jiwa (menghamba). Bagi seorang muslim, cinta pada level hubungan hati diusahakan tertuju kepada benda sebagai alat, misalnya, seperti mobil pribadi. Cinta bentuk ini mengejawentah pada perawatan dan penjagaan untuk dapat dimanfaatkan pada batas-batas yang dibolehkan oleh syari'at. Sedangkan level simpati diarahkan terhadap sesama manusia karena sejumlah aspek yang sangat mendasar. Pada tahap ini, interaksi dibangun dalam rangka menularkan nilai-nilai keislaman yang universal. Sedang level cinta yang memungkinkan teradinya curahan hati diarahkan kepada tali persaudaraan sesama muslim, yang dapat diberdayakan dalam mengembang nilai-nilai perjuangan da'wah. Kepada mereka disemai pula rasa kasih sayang dan dan saling cinta. Inilah jawaban kenapa sahabat-sahabat Rasulullah sendiri sangat rindu untuk bertemu dengan sesama sahabat, setelah mereka berpencar ke seluruh penjuru wilayah Islam yang baru terbuka. Cinta yang melahirkan kemesraan sebaiknya ditujukan kepada sesama mukmin, Rasulullah dan Islam. Sedang cinta yang membuat seseorang menghamba dan mengiba adalah cinta terhadap Allah semata.

CINTA ALLAH VERSUS CINTA YANG MENJERUMUSKAN.

Cinta merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia. Cinta ini jika tidak diarahkan kepada Zat yang seharusnya dicintai (Allah) maka ia akan tersalurkan kepada selain-Nya. Sebagaimana dijelaskan, lahirnya cinta karena adanya pengenalan terhadap obyek yang menarik. Jika pengetahuan kita tentang Allah sangat kerdil, maka jelas cinta kita pun aka nihil karenanya. Ketika cinta kepada Allah tidak memadai akibat ketidakadanya pengetahuan, maka cinta kita akan berporos pada apa-apa ang kita kenal di sekitar kita, seperti, anak, ibu, ayah, saudara, kendaraan, dll. Cinta terhadap hal-hal di atas tentu tidaklah dilarang oleh Islam. Tetapi jika cinta kita kepadanya menyamai, bahkan mlebihi cinta kepada Allah maka di sanala timbul permasalahan.
Tentang kecintaan terhadap perhiasan dunia, Allah mensinyalir, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga"). (QS Ali Imran : 14).  Jika cinta jenis ini menyamai, bahkan melebihi cinta manusia kepada Allah dan rasul-Nya, maka Allah menegaskan ancaman-Nya, "Katakanlah: "Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah : 24). Urgensi cinta kepada Allah memang hendaknya ditegaskan, karena dengan penegasan demikian, cinta kepada selain Allah bisa diatur sesui dengan kadarnya dan ditempatkan dalam koridor kecintaan kepada Allah itu sendiri. Format cinta demikianlah yang merangkum spektrum cinta menjadi totalitas cinta kepada Allah dan tidak mempertentangkannya dengan kecintaan kepada-Nya.

INDIKASI CINTA.

Kecintaan melahirkan tanda-tanda yang merupakan wujud nyata dari kecintaan itu sendiri. Beberapa ciri kecintaan adalah selalu mengingat yang dicintai, mengaguminya, sering menyebut-nyebut namanya, rela dan siap berkorban untuknya dan penuh rasa khawatir dan harap terhadap yang dicintai. Indikasi demikian muncul setelah adanya upaya untuk mengenal. Dengan perkenalan inilah cinta dengan beragam manifestasinya beserta indkasinya bisa terlihat.
    Sering mengingat yang dicintai.
Rasa cinta yang diliputi kekaguman akan berefek pada seringnya seseorang mengingat yang dicintai. Orang beriman adalah orang yang memiliki cinta yang diliputi kekaguman dan pengagungan terhadap Allah swt. "Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (QS al-Baqarah : 165). Kecintaan inilah yang menggetarkan hatinya ketika nama sang kekasih disebutkan, karena memang hatinya terpaut dengan-Nya dan selalu mengisi relung jiwanya. Tetang orang beriman yang demikian, Allah menginformasikan, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal". (QS. Al-Anfal : 2).
    Kagum terhadap yang dicintai.
Cinta Allah memang akan membuat seseorang mengagumi-Nya. Kekaguman biasanya lahir dari kehebatan sesuatu. Dan tidak pelak  lagi bahwa Allah-lah pemilik segala kehebatan. Karenanya, kekagumana hanyalah pantas ditujukan kepada-Nya. Kekaguman yang melahirkan kesiapan untuk menghambakan diri kepada-Nya. Kekaguman inilah yang melahirkan pujian terhadap yang dicintai. Karenanya, Allahlah merupakan Zat yang harus dipuji sebagaimana Ia memuji dirinya sendiri dan mengharapkan para pecinta-Nya untuk memuji-Nya pula. Firman Allah, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di hari Pembalasan." (QS al-Fatihah : 1-4).
    Rela (ridha) terhadap yang dicintai.
Cinta yang menggejala pada seseorang akan melahirkan keridha'an terhadap kekasihnya. Orang beriman juga demikian keadaanya terhadap Allah swt. Keridhaan inilah yang membuat mereka melakukan perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Karena kerelaan seperti ini merupakan tanda cinta, Allah swt menegaskan pentingnya mencari keridha'an-Nya. Keridhaan Allah lahir setelah sebelumnya orang mukmin pun merelakan Allah sebagai Zat yang dicintainya. Allah swt menegaskan, "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya". (QS. Al-Bayyinah : 8).
    Siap berkorban.
Siap berkorban merupakan konsekwensi cinta seseorang terhadap pihak yang dicintai. Sejauh manapun kecintaannya terpatri pada kedalaman sanubarinya, maka sejauh itulah kesiapannya berkorban. Dalam Islam, kesiapan berkorban terhadap Allah berwujud pada pembelaan, advokasi dan menda'wahkan Islam sebagai way of life di tengah peradaban manusia. Allah swt menerangkan kesiapan para pecinta-Nya untuk berkorban demi kejayaan Islam dan kaum muslimin, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya". (QS. Al-Baqarah : 207).
    Merasa khawatir (khauf) jika yang dicintai marah kepadanya.
Cinta menghasilkan perasaan khawatir bagi sang pecinta jika sendainya sang kekasih merasa tidak senang dengan tindak tanduk yang ditampilkanya. Rasa khawatir ini muncul sebagai akibat dari harapannya yang begitu besar untuk mendapatkan keridha'an kekasihnya. Ketika seorang muslim selalu khawatir jika perbuatannya banyak yang tidak pantas kepada Allah, maka itu artinya mereka merasakan betapa besar cinta dan harapannya terhadap keridhaan Allah kepadanya. Sehingga dalam berdo'a pun mereka tetap merasakan sikap demikian.
    Mengharap keridhaan (raja') sang kekasih.
Keridhaan sang kekasih merupakan tujuan utama sang pecinta sejati. Berbagai hal dilakukanya dalam rangka mencapai keridhaan yang menyampaikannya kepada rahmat-Nya. Orang mukmin adalah mereka-mereka yang mentargetkan rahmat Allah sebagai ujung kecintaanya kepada Allah. Rahmat yang lahir dari keridhaan Allah terhadap para pecinta-Nya.
    Mentaati kehendak sang kekasih (tha'ah).
Orang mukmin adalah orang yang mengobarkan kecintaan kepada Allah swt dalam sanubarinya. Cinta mereka inilah yang menjadi faktor utama kenapa mereka sangat mentaati aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt. Kesiapan untuk mematuhi segala aturan yang diterapkan oleh sang kekasih merupakan wujud nyata kecintaan yang menggelora dalam sanubari  orang-orang beriman.

TINGKATAN CINTA KEPADA ALLAH SWT.

    Hubungan (Ala'qah).
Terjalinnya hubungan merupakan bentuk cinta terendah. Orang  mukmin menempatkan cinta pada level ini pada benda-benda yang terdapat di dunia ini untuk dimanfaatkan sesui dengan fungsinya masing-masing. Jika hubungan ini dilakukan terhadap berbagai materi yang ada melebihi kadar yang seharusnya, berupa manfaat dan dilihat sebagai sesuatu yang sangat urgen sehingga disembah, sebagaimana orang-orang yang menyembah matahari, maka ketika itulah lahir kemusyrikan. Artinya, menjadikan level cinta terendah berupa hubungan terhadap materi menjadi tunduk kepadanya sebagai hamba.
    Simpati ('Athf).
Cinta yang melahirkan simpati hanyalah pantas ditujukan kepada sesama manusia (muslim dan non muslim) sebagai wujud kasih sayang dan kepedulian untuk mendakwahi mereka menuju keselamatan dunia dan akhirat.
    Empati (Shababah).
Empati merupakan sikap yang dapat melahirkan ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Dengan berempati, diharapkan akan lahir sikap saling memahami dan berlanjut pada kesiapan unutk saling tolong menolong dalam berbagai aspek kebaikan.
    Rindu (Syauq).
Level ini merupakan bentuk cinta yang seharusnya ditampilkan terhadap sesama orang mukmin untuk merekatkan ukhuwah islamiyah. Dari ukhuwah ini diharapkan terjalinnya sebuah formasi yang propesional untuk lebih meningkatkan peranserta dalam dunia kemasyarakatan. Tentunya bertolak dari nilai-nilai Islam. Karena, pada dasarnya, formasi demikian merupakan tim yang diharapkan memperjuangkan Islam pada level kenegaraan dan forum internasional. Pada perkumpulan demikianlah cinta yang berwujud kerinduan seharusnya diberdayakan.
    Mesra (Isyq).
Setelah rindu, muncullah kemesraan. Kemesaraan ini dalam Islam diharapkan agar dinyatakan terhadap Rasulullah dan Islam sebagai dua komponen yang sangat mendasar. Bentuk nyata dari kemesaraan ini adalah lahirnya kesiapan untuk berkorban untuk membela keduanya.
    Menghamba (Tatayyum).
Inilah level tertinggi dalam hirarki cinta. Ia hanya pantas ditujukan kepada Allah swt, Zat yang memang memiliki segala prangkat dan menguasai segalanya. Sehingga menghamba kepada-Nya karena rasa cinta, kagum, dan takjub merupakan keharusan. Bahkan segala yang terkait dengan kekuasaan, kehebatan dan keperkasaan Allah ditunjukkan sebagai bukti bahwa Ia adalah Zat yang harus dicintai. Kecintaan yang melahirkan kesiapan untuk menghambakan diri dengan segala konsekwensinya. Cinta inilah yang merupakan kandungan syahadatain, La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah. Yaitu suatu bentuk penghambaan yang lahir dari kecintaan yang menghasilkan ketulusan yang mendalam berupa keihlasan.

KONSEKWENSI CINTA (LAWAZIM AL-MAHABBAH).

Kehidupan merupakan tempat mengekspresikan berbagai potensi yang dimiliki manusia. Potensi yang melekat pada diri manusia adalah rasa cinta dan rasa benci. Kecintaan merupakan bentuk ungkapan rasa yang lahir dari pengenalan yang menyebabkan seseorang merasa mampu mendapatkan keinginannya dan menjauhi bahaya yang mngancam melalui peran serta yang dicintai. Sedangkan kebencian merupakan faktor utama yang mengarahkan manusia untuk berlepas tangan dari hal atau pihak yang dibenci. Dalam Islam, kecintaan akan melahirkan loyalitas (wala') sedangkan kebencian akan menampilkan sikap berlepas diri (bara'). Kebencian ini sendiri lahir dari kecintaan kepada Allah swt. Konsekwensi cinta kepada Allah yang demikian berwujud seperti sikap-sikap berikut :
Loyalitas (wala').
    Mencintai siapa pun yang dicintai oleh sang kekasih (Allah).
Konsekwensi cinta kepada Allah adalah keharusan mencintai siapa pun yang dicintai oleh Allah sendiri. Para malaikat, nabi-nabi, shidiqin, syuhada dan orang-orang shaleh adalah kalngan yang dicintai oleh Allah swt. Firman-Nya, "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS an-Nisaa' : 69).
    Mencintai apa yang dicintai oleh sang kekasih.
Jika benar cinta seseorang kepada Allah, maka pastilah ia gemar dengan segala yang dicintai oleh Allah swt. Hal-hal yang dicintai oleh Allah adalah segala yang direkomendasikan oleh-Nya untuk dijadikan ibadah, baik berupa perkataan dan perbuatan, lahir maupun batin. Ibadah wajib dan sunnah merupakan dua amalan yang selalu digunakan oleh pecinta sejati untuk menunjukkan kecintaanya kepada Allah swt.

Berlepas diri (bara').
    Membanci siapa pun yang dibenci oleh Allah swt.
Membenci siapa pun yang dibenci oleh Allah adalah konsekwensi cinta kepada Allah. Iblis adalah penghulu semua jin dan manusia yang berani menunjukkan pembangkangannya kepada Allah. Karena itulah, Allah mengharapkan manusia menjadikan mereka semua sebagai musuh utama. Firman Allah, "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS Fathir : 6)
    Membenci apa pun yang dibenci oleh Allah swt.
Semua yang dibenci oleh Allah haruslah dibenci pula oleh orang yang mencinta Allah. Kesyirikan, kemunafikan, kefasikan, kekafiran, keraguan dll, merupakan deretan hal-hal yang dibenci Allah ta'ala.
Demikianlah tanda-tanda, tingkatan dan konsekwensi cinta kepada Allah swt yang dapat menggiring manusia kepada amaliah yang berdasarkan ilmu yang mendalam. Jika cinta kita dimenej secara apik maka akan membuahkan  sorga yang selama dingan-angankan oleh semua manusia yang beriman. Semoga kita termasuk salah seorang yang mencintai dan dicintai oleh Allah swt. Amin. Wallahu a'lam.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form