Thursday, December 8, 2011

KETELITIAN DAN KOMPETENSI (AL-DHABTU WAL-ITQAN ) PERAWI HADITS DAN CARA MENGENALNYA



Oleh : Idrus Abidin.

1.      PENDAHULUAN.
            Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu Hadits adalah sebuah cabang ilmu yang mendapatkan perhatian utama sarjana Muslim. Pada masa awal perkembangan Islam, transfer keilmuan dilakukan dengan sistem transmisi terhadap ucapan, sifat dan karakteristik Rasulullah Saw. sebagai pengemban risalah. Sistem ini dikenal dengan istilah ar-Riwayah.
            Perkembangan  Islam yang begitu pesat telah melampaui batas-batas teritorial Bangsa Arab. Seiring dengan itu, pemalsuan terhadap Sabda Nabi mulai marak, terutama ketika pertikaian antara kalangan Ali dengan Muawiyah mulai meruncing. Karena itulah, sarjana Muslim pun kemudian berusaha menentukan standarisasi khusus dalam menerima atau menolak sebuah riwayat. Standarisasi ini kemudian melahirkan beragam kategorisasi hadits, seperti hadits shahih, hasan atau pun dhaif.
            Hadits shahih sering kali diartikan sebagai hadits yang bersambung sanadnya yang ditransmisikan oleh perawi yang adil dan teliti (dhabit) kepada perawi yang semisalnya tanpa adanya syusyuz[1] dan illah[2]. [3] Jika seorang perawi memenuhi standar ini, maka hadits yang dibawakannya berstatus shahih dan valid untuk dijadikan hujjah dalam bidang akidah, hukum, akhlak dll.
            Makalah sederhana ini berusaha memaparkan kriteria kedhabitan seorang perawi hadits dan ragam tingkatan keteilitian sarjana hadits dalam mentransmisikan suatu hadits serta hal-hal yang dapat meruntuhkan otoritas tersebut. Suatu keahlian yang apa bila dimiliki oleh seorang perawi maka tentunya ia memiliki otoritas dalam meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang didengarnya[4].

2.      PENGERTIAN AL-DHABT DAN AL-ITQAN.

            Dari segi bahasa, الضبط berarti kemampuan untuk menyatu dengan sesuatu dan menahan dan menyimpannya ( لزوم الشيء وحبسه ). Al-Laits, sebagaimana ditulis oleh Ibnu Manzur, mengatakan, “Dhabt adalah menyatu dengan sesuatu hingga tidak pernah terpisah dengannya. ” ( الضبط : لزوم الشيء لا يفارقه في كل شيء. وضبط  الشيء : حفظه با لحزم. والرجل ضابط : أي حازم. ورجل ضابط : قوي شديد.[5]
            Dalam kaitannya dengan ilmu hadits, makna الحزم ولزوم الشيء menjadi patokan sarjana hadits dalam memberikan makna terminologis. Yang mana, mereka mengatakan bahwa ke-dhabitan seorang perawi menunjukkan tingkat kesadaran mereka ketika membawakan sebuah hadits dan kedalaman hapalannya, serta upaya maksimal seorang perawi dalam menjaga catatan yang dimiliki agar tidak mengalami perubahan hingga tiba masa periwayatan”. يقظة المحدث عند تحمله ورسوخ ما حفظه في ذاكرته وصيانة كتابه من كل تغيير إلى حين الأداء.[6]
            Pengertian ini dipertegas oleh Abu Syahbah dengan mengatakan, "Dhabt shadr adalah hendaknya seorang perawi hadits menghapal  dengan baik hadits yang didengar dari gurunya. Yang mana ia mampu menghadirkan dan mentrransmisikannya ketika dibutuhkan sejak dari kali pertama ia mendengar hadits tersebut hingga masa periwayatan".[7]
            Sedang dhabtu kitabah dijelaskan oleh beliau dengan menulis, "Menjaga buku yang ia gunakan untuk menulis hadits dan mencegah terjadinya perubahan padanya sejak ia mendengar hadits tersebut, serta selalu memperbaikinya hingga masa periwayatannya. Ia tidak dibenarkan meminjamkan buku tersebut kecuali kepada orang yang ia yakini mampu menjaganya dan tidak melakukan perobahan apa-apa padanya."[8]
            Semua pengertian di atas sebenarnya masih terbatas pada kemampuan perawi dalam meriwayatkan hadits secara lafziah. Tetapi jika merujuk kitab-kitab ushul fiqhi maka kita menemukan bahwa menurut ahli ushul, kedhabitan seorang perawi dapat dilihat pula dari kemampuannya memahami riwayat yang mereka sampaikan. Bahkan dalam kerangka inilah mereka menafsirkan makna ad-dhabt. Hal ini, bagi mereka, lebih menjamin validitas hadits yang disampaikan, terutama sekali jika bertentangan dengan riwayat yang serupa.
            Imam Fakhruddin al-Bazdawi misalnya menginterpretasikan kata ad-dhabt dengan mengarisbawahi kekuatan hafalan dan pemahaman sang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau mengatakan, "Adapun ad-dhabt, interpretasinya adalah mendengar sebuah hadits sebagaimana mestinya, kemudian memahami makna yang dikehendakinya, kemudian menghafalanya degan segala potensi yang ada, lalu berusaha konsisten dalam menghafalnya, dengan menjaga batasan-batasannya, dan selalu memeriksa serta mengulangnya berdasarkan pertimbangan bahwa dirinya belum menguasai secara utuh hingga tiba waktu periwayatan.[9]
            Selain beliau, Ibnul Atsir[10] dan juga beberapa ulama lain mendefinisikan al-dhabt seperti di atas. Namun demikian, mayoritas sarjana hadits tidak mensyaratkan kemampuan memahami hukum-hukum fiqhi yang terkandung pada sebuah hadits sebagai unsur al-dhabt.
            Muhammad Thahir Al-Jawwabi menulis, "Pendapat yang dipegang oleh al-Bazdawi dan yang sependapat dengan beliau tidaklah berarti bahwa hal itu merupakan syarat diterimanya riwayat seseorang. Tetapi tujuan utama yang mereka kehendaki adalah dalam rangka mentarjih riwayat seorang perawi yang hafizh dan sekaligus ahli fiqhi, terutama sekali ketika terjadi pertentangan dengan riwayat perawi yang bukan ahli fiqhi.[11]
Kecendrungan ini sebenarnya diperkuat oleh sabda Rasulullah saw yang berbunyi,
نضر الله امرءا سمع مقالتي فوعاها،.فرب حامل فقه غير فقيه ورب حامل فقه  إلى من هو أفقه منه[12].
            Maksudnya bahwa Rasulullah saw sendiri mensinyalir adanya orang-orang yang mendengarkan sabda beliau lalu ditransfer kepada orang-orang setelahnya. Yang mana, bisa saja mereka lebih memahami kandungan hadits tersebut dibanding orang pertama yang mendengarnya dari Rasul secara langsung.
            Sebagai kesimpulan dari pengertian di atas adalah bahwa syarat ad-dhabt mencakup kesadaran penuh ( اليقظة ), penguasaan hafalan ( الحفظ ), dan kemampuan memahami kandungan hadits ( الفقه ) bagi yang mensyaratkannya.
            ( اليقظة ) diinterpretasikan oleh Amin Abu Lawi sebagai bentuk kesadaran penuh, yang mana seseorang memperhatikan pembicara dengan cermat dan tidak tergangu oleh apa pun. Sedangkan lupa, lalai dan ragu adalah merupakan lawan dari kesadaran.[13]
            ( الحفظ ) dimaknai oleh beliau sebagai kemampuan seorang perawi merekam dalam memorinya apa-apa yang dilihat dan didengarnya serta kemampuannya untuk menghadirkan kembali rekaman tersebut saat membutuhkannya. Jika ia tidak mampu menghadirkannya ketika berusaha untuk menampilkanya maka ia bukanlah orang yang dainggap hafizh.[14]
            Sedang ( الفقه ) dijelaskan oleh Abu Ja'far at-Thahawi sebagai pemahaman. Maksudnya bahwa sang perawi hadits mampu memahami kandungan hadits yang diriwayatkannya. Beliau menjelaskan, "Dari akar kata inilah firman Allah Ta'ala yang diceitakan oleh Nabiyullah Musa AS. (  واحلل عقدة من لساني يفقهوا قولي) [15] juga firman Allah  yang berbunyi ([16] ( وإن من شيء إلا يسبحون بحمده ولكن لا تفقهون تسبيحهم
            Sementara itu, a-Itqan, dijelaskan oleh Ibnu Manzur[17] sebagai berikut :
وأَتْقَنَ الشيءَ أَحْكَمَه وإتْقانُه إِحْكامُه والإتْقانُ الإحكامُ للأَشياء .(menguasai sesuatu berarti mendalaminya secara utuh). Sedang menurut Al-Jurjani,[18] Al-Itqan adalah : .معرفة الأدلة بعللها و ضبط القواعد الكلية بجزئياتها. و قيل الإتقان معرفة الشيء بيقين   (mengetahui beragam dalil berdasarkan alasannya dan menguasai beragam kaedah beserta segala cabangnya. Ada yang mangatakan bahwa itqan adalah mengetahui sesuatu hingga level keyakinan yang mendalam).
            Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa al-Itqan, dalam tradisi sarjana hadits, adalah merupakan bentuk kompetensi seorang perawi ketika meriwayatkan sebuah hadits. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa al-Itqan digunakan oleh para sarjana hadits dalam rangka mempertegas ad-Dhabt. Dengan kata lain, kata al-Itqan adalah sinonim dengan kata ad-Dhabt.
            Mungkin inilah alasan kenapa ketika kita merujuk literatur ilmu-ilmu hadits kita sama sekali tidak menemukan pengertian Al-Itqan dengan jelas, kecuali sekedar disandingkan dengan kata ad-Dhabt. Wallahu A'lam.

  STANDAR KEDHABITAN SEORANG PERAWI.

Tingkat kedhabitan seorang perawi dapat dikatakan baik jika riwayat-riwayatnya banyak yang sesuai dengan para perawi yang terpercaya dan teliti. Bahkan walapun kesesuaian itu hanya pada level makna dan tidak sampai pada kesesuaian lafazh maka juga dikatakan sebagai perawi yang dhabit.[19] Artinya bahwa jika ketidaksesuaian riwayat yang dibawakan oleh seorang perawi dengan para perawi level atas terhitung kecil maka tetap saja ia dianggap sebagai seorang yang dhabit. Kedhabitan seseorang menjadi cacat jika terjadi banyak ketidaksesuaian dengan riwayat para perawi profesioanal sebelumnya.
            Tentang hal ini, Ibnu Shalah menulis dalam Muqaddimah-nya, "Kedhabitan seorang perawi dikenal dengan cara membandingkan riwayat-riwayatnya dengan riwayat orang-orang yang terpercaya dan terkenal tingkat kedhabitannya. Jika kita mendapati riwayatnya sesuai, walaupun hanya pada level makna, dengan riwayat mereka, atau secara umum sama dan ketidaksesuaiannya hanya sedikit maka ketika itu kita mengenal bahwa ia dhabit. Jika kita menemukan banyak ketidaksesuaian, maka kita mengetahui bahwa kedhabitannya telah runtuh sehingga kita tidak lagi berhujjah dengan hadits-hadits yang diriwayatkan.[20]

4.RAGAM KEDHABITAN SEORANG PERAWI.
           
            Kedhabitan seorang perawi hadits terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1.  Kedhabitan dari segi sumber periwayatan.

Dari segi ini, kedhabitan seorang perawi terbagi menjadi dua, yaitu :
A.    Dhabtu Shadr.
      Yaitu melekatnya hadits yang didengar oleh seorang perawi pada memorinya, yang mana ia mampu menghadirkannya ketika ia membutuhkan.[21]
B.     Dhabtu Kitab.
Yaitu seorang perawi hadits menyimpan baik-baik kitab yang ia gunakan dalam menulis hadits yang didengar dari syekh-nya hingga sampai pada saat periwayatan. Dalam bahasa Ibnu Hajar, jenis ini dimaknai sebagai usaha seorang perawi hadits dalam menjaga catatan yang dimiliki dari tahap awal mendengar hadits dari seorang syekh, serta selalu memperbaiki kondisinya hingga ia meriwayatkan hadits tersebut dari bukunya.[22]
            Pembagian ulama terhadap hadits berdasarkan sumbernya ini didasarkan pada kondisi umum seorang perawi. Maksudnya bahwa jika ia sering meriwayatkan hadits melalui hafalannya maka kedhabitannya diklarifakasikan sebagai dhabtu shadr. Tetapi jika kitabnya menjadi sumber utama dalam meriwayatkan hadits, maka ia tergolong ke dalam dhabtu kitab. Bahkan bisa jadi seorang perawi memadukan antara keduanya, sehingga ia menempati posisi utama di kalangan para Huffazul Hadits. Maksud al-Hifz di sini adalah menjaga dan bukan sekedar menghafal semata (seperti yang selama ini dipahami). Karenanya ia mencakup tiga bentuk tersebut di atas, yakni periwayatan dengan hafalan, periwayatan melalui kitab dan perpaduan antara keduanya.[23]
2.  Kedhabitan dari segi tingkatan hafalan.
      Dari sisi tingkatan hafalan, perawi juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu :
A.    Ad-Dhabtu At-Taam.
      Yaitu seorang perawi menghafal hadits dengan kesadaran penuh dengan tidak sering lalai, lupa dan ragu pada saat membawakan dan meriwayatkan hadits.[24]
B.     Ad-Dhabtu An-Naqish.
Yaitu jika seorang perawi tidak memenuhi standar Dhabtu Taam. Misalnya ketika seorang perawi sering lalai, lupa atau ragu ketika meriwayatkan sebuah hadits.[25]
            Pembagian ini sebenarnya merupakan sub dari dhabtu shadr, karena tidak bisa digambarkan bahwa dhabtu kitab terbagi menjadi Ad-Dhabtu At-Taam dan Ad-Dabtu An-Naqish. Karena dhabtu kitab hanya bisa menerima Ad-Dhabtu At-Taam Hal ini disinggung oleh As-Shan'ani dengan mengatakan, "dhabtu shadr bisa menjadi taam dan bisa pula menjadi naqish. Adapun dhabtu kitab maka yang nampak adalah bahwa semuanya taam dan tidak bisa digambarkan ia terkena nuqshan, walaupun sebenarnya buku juga berbeda tingkatannya antara satu dengan lainnya.[26]
3.  Kedhabitan dari segi pemahaman hadits yang dibawakan.
Ada tingkatan yang menandai perbedaan antara seorang perawi dengan perawi lainnya dari segi pemahaman kandungan hadits yang diriwayatkan. Tingkatan itu terbagi menjadi dua, yaitu :
A.    Al-Dhabtu al-Zhahir.
      Yaitu tingkat pemahaman seorang perawi terhadap makna bahasa yang dikandung oleh hadits yang disampaikan.[27]
B.     Al-Dhabtu al-Bathin.
      Yaitu tingkat pemahaman seorang perawi dari segi keterkaitan hukum-hukum syari'ah dengan hadits yang diriwayatkannya. Hal ini sering dikenal dengan istilah al-Fiqh.[28]
   Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam tradisi saarjana hadits, yang dibutuhkan adalah jenis pertama. Adapun yang kedua, ia hanyalah pelengkap (pendukung), terutama jika terjadi pertentangan riwayat dengan perawi hadits yang lain.[29] Bahkan menurut Nuruddin Iter, kemampuan memahami makna disyaratkan ketika seorang perawi meriwayatkan hadits secara makna dan bukan secara lafzi.[30]
5.     
MENGUJI TINGKAT KEDHABITAN PERAWI HADITS.

     Ahli hadits menguji kedhabitan perawi hadits dengan menggunakan beberapa cara, diantaranya :
  1. Merangkum sebagian besar riwayat seorang perawi yang hendak diuji tanpa sepengetahuannya kemudian mengujinya setelah berlalu beberapa waktu.
  2. Mendengar langsung hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang hendak diuji dari syekhnya kemudian kedua riwayat itu dikomparisikan secara langsung untuk melihat ketepatannya dengan sumber asli.
  3. Membandingkan antara hafalan seorang perawi dengan kitab hadits yang menjadi pegangannya dalam meriwayatkan hadits.
  4. Menguji seorang perawi dengan mengujukan sebuah riwayat kepadanya, yang mana riwayat tersebut telah dirobah tata letaknya. Jika ia seorang yang hafizh maka tentu mampu mengembalikan hadits tersebut ke redaksinya semula.[31]

6.      HAL-HAL YANG POTENSIAL MERUNTUHKAN KEDHABITAN SEORANG PERAWI.

            Kedhabitan seorang perawi hadits diragukan jika terjadi padanya salah  satu dari hal-hal di bawah ini :
a)      Al-Ghalat.
      Yaitu suatu kondisi di mana seorang perawi meriwayatkan hadits tidak seperti seharusnya. Misalnya, ia menambah atau atau merubah atau memutar-balik matan atau sanad hadits.[32]
b)      Su'ul Hifzh.
      Yaitu ketidakmampuan seorang perawi untuk menghadirkan hadits yang telah dihafalnya dari memorinya ketika sedang membutuhkannya.[33]
c)      Al-Ikhtilat.
      Yaitu ketidak teraturan ucapan atau perbuatan seorang perawi karena penyebab yang bersifat sementara, baik karena ketuaan atau terjadinya kebutaan atau hilangnya kitab yang menjadi sumber periwayatan, jika ia meriwayatkan dari kitab.[34]
d)     Asy-Syuzuz.
      Seorang perawi banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berbeda dengan riwayat orang-orang yang terpercaya. Akhirnya ia hanya sendirian dalam riwayat tersebut ( تفرد به ).[35]
e)      Talkin.
      Yaitu seseorang yang mengatakan kepada perawi hadits bahwa hadits tertentu adalah termasuk riwayatnya, padahal sebenarnya bukan, lalu Ia mengakuinya begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak bisa membedakan riwayatnya dengan riwayat-riwayat yang lain.[36]
f)       Tasahul.
      Yaitu ketidakhati-hatian seorang perawi dalam menjaga kitab-kitab haditsnya, khususnya jika ia meriwayatkan hadits dai kitab. Atau ia meriwayatkaan hadits dari kitab yang tidak benar atau kitab yang belum disesuaikan dengan sumber aslinya (diedit).[37]

KESIMPULAN.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa  :
  1. Ad-Dhabt dan Al-Itqan merupakan dua kata yang sinonim penggunaannya dalam ilmu hadits.
  2. Ad-Dhabt memiliki klarifikasi tertentu berdaarkan sumber periwayatan, kekuatan hafalan dan kemampuan memahami kandungan fiqhi hadits.
  3. Ad-Dhabt memiliki syarat-syarat seperti ; At-Tayaqquz, Al-Hifz, dan Al-Fiqh bagi yang mensyaratkannya. Wallahu A'lam Bisshawab.



DAFTAR BACAAN

  1. Taisir Musthalahul Hadits, Dr.Mahmud Thahhan, (Baerut : Darul Fikr), Cet.1, tth
  2. ManhajAn-Naqdi Fii Ulumil Hadits, Dr.Nuruddin Itr, (Baerut : Darul Fikr), Cet. Ke-3,  Th.1992.
  3. Lisan Al-Arab, Ibnu Manzur, vol.7, cetakan (Bairut :.Dar Shadir) Tanpa tahun.
  4. Juhudul Muhadditsin fii Naqdi Matnil Hadits an-Nabawi asy-Syarif, Dr. Muahammad Thahir Al-Jawwabi, Muassasah Abdul Karim bin Abdullah, tanpa tahun.
  5. Difaa Anissunnah, Abu Syahbah, (Baerut : Darul Jil), cet. 1, th, 1991.
  6. Kasyful Asrar, Ahmad Al-Bukhari, Ta'liq : Muhammad Al-Mu'tashim Billah, (Darul kitabAl-Arabi), jild 2, Cet.2, th.1994.
  7. Ilmu Ushul al-Jarh wa at-Ta'dil, Dr.Amin Abu Lawi, (Saudi Arabia : Dar Ibnu Affan),Th,1997.
  8. Jamiul Ushul Min Ahaditsirrasul, Ibnul Atsir, Tahqiq : Aiman Shaleh Sya'ban, Jili1, (Darul Kutubul Ilmiah), Cet,1, th,1998, h.52-53.
  9. At-Ta'rifaat, Ali Bin Muhammad Al-Jurjani, (Baerut : Darul Kitab Al-Arabi), Cet.1, Th.1405 H
  10. Mukaddimah Ibnusshalah, Imam Ibnusshalah, (Baerut : Darul kutub Al-Ilmiah), cet.1, th. 1978
  11. Fathul Mughits Bisyarhi Alfiati al-Hadits, Al-Iraqi, Tahqiq : Muhammad Ruba'I, (Baerut :Darul Fikr), Cet.1, Th.1995
  12. Syarh Nukhabatil Fikr Fii Musthalahi Ahli al-Atsar, Ibnu Hajar Al-Asqalani, (Baerut :DarulMasyari'), Cet.1, Th.2000.
  13. Al-Kifayah Fii Ilmi ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Bagdadi, (Baerut : Darul Kutub Al-Ilmiah), Th.1998, tth
  14. Qawaid Ulumul Hadits, Dr.Ahmad Umar Hasyim, (Baerut : Darul Fikr).
  15. Nuzhatu an-Nazr Fii Taudihi Nukhbatil Fikr, Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahqiqi : Nuruddin Iter, (Damaskus : Matba'atu Ash-Sha'bah), Cet.3, Th.2000.




[1] Syuzuz adalah perbedaan riwayat yang dibawakan oleh seorang perawi dengan riwayat
  perawi lain yang lebih tinggi tingkat kedhabitannya. (Lihat : Nuzhatu An-Nazr Fii Taudihi
  Nukhbatul Fikr, Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahqiqi : Nuruddin Itr, (Damaskus : Matba'atu As-
  Shabah), Cet.3, Th.2000, Hal.59.
[2] Illah adalah sebab yang tersembunyi yang dapat mengancam validitas (keshahihan) sebuah
  hadits. (Ibid)
[3] Lihat : Taisir Musthalahul Hadits, Dr.Mahmud Thahhan, (Baerut : Darul Fikr), Cet.1, tth.
[4] ManhajAn-Naqdi Fii Ulumil Hadits, Dr.Nuruddin Itr, (Baerut : Darul Fikr), Cet. Ke-3,
  Th.1992.
[5]  Lisan Al-Arab, Ibnu Manzur , vol.7, (Bairut : Dar Shadir). Tanpa tahun.
[6]  Juhudul Muadditsin fii Naqdi Matnil hadits an-Nabawi asy-Syarif, Muhammad Thahir Al-
    Jawwabi, Muassasah Abdul Karim Abdullah, Hal.78.
[7]  Difaa Anissunnah, Abu Syahbah, (Baerut : Darul Jil), cet. 1, th, 1991, hal.29.
[8]  Ibid.
[9]  Kasyful Asrar, Ahmad Al-Bukhari, Ta'liq : Muhammad al-Mu'tashim Billah, Darul kitab al-
     Arabi, jild 2, Cet.2, th.1994.
[10]  Lihat : Jamiul Ushul Min Ahaditsirrasul, Ibnul Atsir, Tahqiq : Aiman Shaleh Sya'ban, Jilid
     1, cet Darul Kutubul Ilmiah, Cet,1, th,1998, h.52-53.
[11]  Juhudul muadditsin fii naqdi matnil hadits an-nabawi asy-syarif, hal.181.
[12]  HR…….
[13] Ilmu Ushul Al-Jarh Wa At-Ta'dil, DR. Amin Abu Lawi, (Saudi Arabia : Dar Ibnu Affan), Cet.1
    Th,1997. Hal.109.
[14]  Ibid.
[15]  QS.Thaha : 27-28.
[16]  QS.Al-Israa : 44.
[17]  Lisanul Arab, jilid 13, hal 72.
[18]  At-Ta'rifaat, Ali Bin Muhammad Al-Jurjani, (Baerut : Darul Kitab Al-Arabi), Cet.1, Th.1405 H.
[19]  Juhudul Muhadditsin fii Naqdi Matnil Hadits an-Nabawi asy-Syarif, hal.182.
[20]  Mukaddimah Ibnisshalah, Imam Ibnusshalah, (Baerut : Darul kutub Al-Ilmiah), cet.1, th.
    1978.
[21]  Fathul Mughits Bisyarhi Alfiati Al-Hadits, Al-Iraqi, Tahqiq : Muhammad Ruba'I, (Baerut :
     Darul Fikr), Cet.1, Th.1995.
[22]  Syarh Nukhabatil Fikr Fii Musthalahi Ahli Al-Atsar, Ibnu Hajar Al-Asqalani, (Baerut :
    DarulMasyari'), Cet.1, Th.2000.
[23]  Juhudul muadditsin fii naqdi matnil hadits an-nabawi asy-syarif, Hal.183.
[24]  Taudhihul Afkar Lima'ani Tanqihil Anzar, Jilid 1, Hal.8.
[25]  Ibid, Hal.
[26]  Taudhihul Afkaar, Jilid 2,
[27]  Jamiul Ushul Min Ahaditsi Ar-Rasuul,
[28]  Ibid.
[29]  Lihat halaman tiga tentang kesimpulan DR.Thahir Al-Jawwabi tentang hal ini.
[30]  Lihat : Manhaju An-Naqd Fii Ulumil Hadits, (Baerut : Darul Fikr), Cet.3, Th.1992.
[31]  Juhudul muadditsin fii naqdi matnil hadits an-nabawi asy-syarif, Hal.183-182.
[32]  Al-Kifayah Fii Ilmi Ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Bagdadi, (Baerut : Darul Kutub Al-Ilmiah),
   Th.1998, tth.
[33] Ibid. hal. 223.
[34]  Qawaid Ulumul Hadits, Dr.Ahmad Umar Hasyim, (Baerut : Darul Fikr), Hal.120-121.
[35]  Ilmu Ushul Al-Jarh Wa At-Ta'dil, Dr.Amin Abu Lawi, (Saudi Arabia : Dar Ibnu Affan),
    Th,1997.
[36]  Manhaju An-Naqd Fii Ulumil Hadits.
[37]  Ibid.

1 komentar:

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form