Saturday, December 17, 2011

RIYA DAN STATUS KEHARAMANNYA.


Penulis : Syekh Shaleh al-‘Utsaimin Rahimahullah.
Sumber : Syarah Riyadhusshalihin

Alih Bahasa : Idrus Abidin

Firman Allah Subhana wa Ta’ala :
(وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ) (البينة:5)
Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Allah dengan penuh ketulusan, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus. (QS.Al-Bayyinah : 5)

Firman Allah Subhana wa Ta’ala :

وقال تعالى: " لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالمَنِّ وَالأَذَى، كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ "
(البقرة: 264.)

Dan janganlah kalian mengahancurkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan sang penerima, layaknya orang yang bersedekah dengan maksud riya (dilihat oleh orang) (QS.Al-Baqarah : 264)

Firman Allah Subhana wa Ta’ala :
وقال تعالى: " يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلِيلاً " النساء: 142.
Mereka (orang-orang munafik) berbuat riya dan tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja. (QS.An-Nisaa : 46).


PENJELASAN.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalamnya kitabnya Riyadu Ash-Shalihin : Bab tentang haramnya riya. Riya merupakan bentuk masdar dari ra'aa. Ra'aa, yura'I, riya'an dan mura'atan. Seperti ja'hada, yuja'hidu, jihadan dan muja'hadatan. Yang dimaksud riya di sini adalah seseorang beribadah kepada Allah Subhana wa Ta’ala tetapi ia memperbaiki ibadahnya dengan tujuan agar dilihat oleh orang lain. Dengan begitu, mereka akan mengatakan, "Betapa rajinnya ia beribadah !, Betapa bagusnya ibadahnya !" atau dengan ungkapan serupa. Ia berharap agar orang lain memuji ibadahnya. Ia tidaklah bermaksud taqarrub kepada mereka dengan ibadahnya, karena jika ia melakukannya maka ia berarti berbuat syirik besar. Ia hanya menginginkan agar ibadahnya dipuji oleh orang lain, sehingga mereka mengatakan,  "Si fulan adalah ahli ibadah, fulan banyak puasanya, fulan banyak sedekahnya dan ungkapan-ungkapan yang semisalnya ". Ia tidaklah ikhlas dalam ibadahnya. Ia hanya menghendaki pujian orang lain terhadap ibadahnya itu. Ia ingin dilihat oleh orang. Riya yang berkategori ringan termasuk syirik kecil dan ketika sering melakukannya bisa mencapai derajat syirik besar.
Kemudian penulis rahimahullah berhujjah mengenai keharamannya dengan mengutip beberapa ayat, diantaranya :  
(وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ) (البينة:5)
Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Allah dengan penuh ketulusan, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus. (QS.Al-Bayyinah : 5)

Maksudnya, manusia tidaklah diperintahkan kecuali untuk hal itu. Yaitu agar mereka menyembah Allah Subhana wa Ta’ala dengan penuh keikhlasan. Mereka melakasanakan shalat karena Allah, bersedekah dengan ikhlas kepada Allah, puasa dengan penuh keikhlasan kepada Allah, menunaikan haji dengan ikhlas kepada Allah, membantu orang lain dengan penuh keikhlasan kepada Allah.  Demikian pula ibadah-ibadah lainnya, kita harus ikhlas ketika melakukannya.
( وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ  : Mendirikan shalat) Maksudnya, melaksanakannya dengan panuh kesempurnaan. (وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ :  Membayar zakat) Maksudnya, menunaikannya kepada orang yang berhak menerimanya. (  Itulah agama yag lurus) Itulah agama yang sebenarnya. Orang yang ikhlas kepada Allah Subhana wa Ta’ala tidaklah terdapat riya' dalam hatinya. Karena ia beribadah dengan tujuan agar mendapatkan keridhaan Allah Subhana wa Ta’ala, pahala-Nya dan kenikmatan pada hari akhirat.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:
لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالمَنِّ وَالأَذَى، كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
(Wahai orang yang beriman, janganlah kalian menghancurkan sedekah kalian dengan menyebut-nyebutkannya dan menyakiti orang yang engkau berikan sedekah)
Maksudnya, jika Anda memberikan sedekah kepada orang miskin maka janganlah selalu mengungkit-ungkitnya dengan mengatakan setiap saat, "Saya sudah memberikanmu sedekah", karena itu akan menghancurkan pahala. Sedang mengungkit-ungkitnya akan membuatnya merasa sakit. Anda akan menyakiti perasaan orang miskin dengan merasa menguasainya dengan menempatkan diri ِAnda lebih darinya serta sikap-sikap serupa. Itu semua juga menghancurkan pahala.
Dalil yang terdapat dalam ayat ini adalah ungkapan di atas tadi. (Sebagaimana layaknya orang-orang yang menginfakkan hartanya dengan tujuan agar dilihat oleh orang lain) dan agar mereka mengatakan, "Betapa banyak sedekahnya !" dan ungkapan serupa. (Sedang mereka tidaklah beriman kepada Allah dan hari akhir). Allah Subhana wa Ta’ala juga berfirman (Mereka berbuat riya dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit) Ini adalah bagian dari karakter orang munafik Jika mereka melaksanakan shalat, mereka melaksanakannya dengan penuh kemalasan. Mereka melaksankannya tidak dengan semangat, tidak dengan cinta dan tidak pula total melakukannya. Tetapi mereka mengerjakannya dengan penuh kemalasan.  Mereka juga shalat dengan tujuan agar dilihat oleh orang lain. –wal'iyadzu billah-. Karena itulah, shalat yang paling berat bagi mereka adalah shalat isya dan shalat subuh, karena pada saat itu tidaklah ada penerangan dan orang-orang yang hadir tidaklah dikenal. Sehingga shalat yang paling berat mereka laksanakan adalah shalat isya dan shalat subuh.
Orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang suka berbuat riya. Maksudnya, mereka tidaklah melaksanakan shalat kecuali dengan maksud untuk riya', mereka tidaklah membayar infak kecuali dengan maksud untuk riya', mereka tidak ikut berjihad kecuali untuk riya'. Atas dasar ini, maka siapa saja dari kalangan kaum muslimin yang melakukan perbuatan riya' maka ia telah menyerupai orang-orang munafik -wal'iyadzu billah-.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria dan enggan (menolong dengan) barang berguna.(QS.Al-Ma'uun : 4-5)
Makasudnya, mereka berbuat riya' pada setiap amalannya. Mereka hendak dilihat oleh orang lain agar dipuji karena ibadahnya. Jadi riya adalah dosa yang masuk kategori syirik, bahkan bisa jadi masuk dalam kategori syirik besar. Dan itu adalah karakter orang-orang munafik. Semoga kita semua dijauhkan dari peyakit nifak. Wallahu Al-Muwaffaq.

1624- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : قَالَ اللهُ تَعَالَى : أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكًهُ،"  (رواه مسلم).

1623 – Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, ia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, "Saya adalah parner yang paling tidak membutuhkan serikat. Barang siapa yang melakukan sebuah amalan dengan beridikasikan syirik padanya maka Saya akan membiarkannya bersama dengan perbuatan syiriknya itu",  (HR. Muslim).

1625- وَعَنْهُ  قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهَ، فَعَرَّفَهُ نِعْمَتَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا ؟ قَالَ : قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ : كَذَبْتَ، وَلَكِنََّكَ قَاتَلْتَ لَأَنْ يُقَالَ جَرِيْئٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ اْلعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ اْلقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعْمَتَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا ؟ قاَلَ : تَعَلَّمْتُ اْلعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، قَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ، قَالَ : كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ اْلعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ القُرْآنَ لِيُقَالَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيْلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ المَالِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ : فَمَا عَِمِلْتَ فِيْهَا ؟ فَقَالَ : مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ  تُحِبُّ أَنْ تُنْفَقَ فِيُهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهِ لَكَ. قَالَ :كَذَبْتَ. وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلىَ وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ،" رواه مسلم.

1625 – Dan darinya pula, ia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "Sesungguhya manusia yang pertama-tama diputuskan pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid, yang mana ia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat Allah yang telah diperolehnya, lantas ia pun mengakuinya. kemudian ia ditanya, "Apa yang engkau lakukan dengan nikmat itu ?" Ia menjawab, "Saya berjuang pada jalan-Mu sehingga saya mati syahid". Allah berfirman, "Engkau berbohong. Kamu berjuang agar dikatakan sebagai pemberani dan hal itu telah dikatakan". Kemudian Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan agar orang itu diseret samapai akhirnya ia dilemparkan ke dalam api nereka. Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca al-qur'an, lalu ia dihadapkan pada hari kimat ke hadapan Allah Subhana wa Ta’ala dan diperlihatkan kepadanya nikmat Allah yang telah diperolehnya lantas ia pun mengakuinya. kemudian ia ditanya, "Apa yang engkau lakukan dengan nikmat itu ?" Ia menjawab, "Saya pergunakan untuk belajar dan mengajar Al-Qur'an, serta saya suka membaca Al-qur'an untuk-Mu". Allah berfirman, "Engkau berbohong. Kamu belajar Al-qur'an agar dikatakan sebagai orang yang alim dan kamu suka membaca al-qur'an agar dikatakan sebagai qori' dan hal itu sudah dikatakan". Kemudian Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan agar orang itu diseret sampai akhirnya ia dilemparkan ke dalam api nereka. Ketiga, seseorang yang dilimpahkan harta dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu ia didatangkan kehadapan Allah Subhana wa Ta’ala dan diperlihatkan nikmat-nikmat Allah padanya dan ia pun mengkuinya. Ia lantas ditanya, "Kamu gunakan untuk apa harta itu ?". Ia menjawab, "Tiada jalan yang engkau sukai kecuali aku bersedekah padanya demi Engkau." Lalu dikatakan kepadanya, "Engkau berbohong. Engkau melakukannya agar mereka mengatakan si fulan orang dermawan dan itu telah mereka katakan". Lalu Allah Subhana wa Ta’ala memerintah agar ia diseret hingga ia dilemparkan ke dalam api nereka." (HR.Muslim).

PENJELASAN.
Ketika penulis rahimahullah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan haramnya syirik, termasuk di dalamnya riya', maka beliau pun menyebutkan beberapa hadits. Diantaranya hadits Abu Hurairah, yang mana ia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, "Saya adalah parner yang paling tidak membutuhkan serikat. Barang siapa yang melakukan sebuah amalan yang beridikasikan syirik padanya maka Saya akan membiarkannya bersama dengan perbuatan syiriknya itu".
Hadits ini dikenal di kalangan ulama sebagai hadits qudsi. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Tuhannya dengan berkata, "Allah Subhana wa Ta’ala berfirman begini". Karena hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, terkadang beliau menisbatkannya kepada Allah Subhana wa Ta’ala sehingga disebut hadits qudsi atau tidak dinisbatkan kepada Allah sehingga disebut hadits nabi. Dalam hadits qudsi ini, Allah Subhana wa Ta’ala berfirman di dalamnya, "Saya adalah parner yang paling tidak membutuhkan serikat". Asy-Syuraka' adalah semua yang membutuhkan orang lain dan semua yang membutuhkan bantuan dari partnernya, bagiannya dan upahnya. Tidak ada seorang pun yang mau merelakan bagiannya untuk partnernya. Misalnya, sebuah rumah yang kepemilikannya berada pada dua orang. Keduanya saling membutuhkan pihak lain. Jika terjadi kerusakan pada rumah tersebut atau ia membutuhkan perbaika maka setiap partner akan mengatakan kepada yang lain, "Berikan aku bagianku" lalu kita mengadakan perbaikan. Semua pihak berusaha mempertahankan haknya dari rumah tersebut.
Adapun Allah Subhana wa Ta’ala, Dia adalah yang paling tidak membutuhkan partner. Tidak membutuhkan apapun dari seluruh alam ini. Jika ada seseorang melakukan sebuah amal untuk Allah Subhana wa Ta’ala, lalu ia ikutkan selain-Nya maka Allah akan meninggalknnya. Jika seseorang melakukan shalat untuk Allah dan selain-Nya maka Allah Subhana wa Ta’ala tidak menerima shalatnya. Tidak bisa dikatakan, "Ia bisa menerima sebagian dan membiarkan sebagian atau menerimanya sebagian". Tidak. Ia tidak akan menerimanya. Jika seseorang bersedekah dengan tujuan riya' maka itu tidak akan diterima, karena Allah Subhana wa Ta’ala adalah serikat yang paling tidak membutuhkan partner-Nya. Jika seseorang melakukan amalan yang di dalamnya ia menyekutukan Allah, maka Allah tidak akan menerimanya.
Di sini terdapat sebuah dalil bahwa riya', jika menyertai ibadah maka ia tidak akan diterima. Jika seseorang shalat dan dari awal ia telah riya' agar orang lain berkata, "Masya Allah, Si anu beribadah sunnah, shalat dan memperbanyak shalatnya", maka ia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya, walaupun ia memanjangkan ruku'nya, sujudnya, berdirinya, duduknya. Bahkan sampai ia tidak banyak gerak karena menampakkan kekhusyu'an dan matanya menatap terus ke posisi sujud maka tetap saja tidak diterima. Kenapa ? Karena ia telah menduakan Allah Subhana wa Ta’ala dengan selain-Nya. Ia shalat karena Allah dan karena orang lain. Allah sangat tidak membutuhkan hamba-hamba-Nya. Ibadahnya itu tidak akan pernah diterima.
Demikian pula orang yang bersedakah. Ia berkeliling mencari orang miskin untuk memabagikan mereka sedekah. Hanya saja ia berbuat riya, agar orang lain berkata, "Si Anu –demi Allah- orang yang pemurah dan dermawan". Orang seperti ini pun tidak diterima pahalanya, walaupun ia menghabiskan hartanya. Karena Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, "Saya adalah parner yang paling tidak membutuhkan serikat. Barang siapa yang melakukan sebuah amalan yang beridikasikan syirik padanya, maka Saya akan membiarkannya bersama dengan perbuatan syiriknya itu".
Tetapi jika riya itu muncul saat melakukan ibadah, misalnya seseorang dengan ikhlas melakasanakan shalat, lalu muncul dalam hatinya unsur riya', maka orang seperti ini, jika berusaha menghilangkannya maka itu tidaklah berbahaya baginya. Karena setan suka sekali mendatangi manusia ketika sedang beribadah dengan lkhlas untuk memunculkan riya padanya sehingga pahalanya hilang. Hal seperti ini tidaklah bermasalah. Ia tidak boleh kalah dalam menghadapi setan yang mau menjerumuskannya pada perbuatan riya'. Ia seharusnya kokoh dan melanjutkan ibadahnya. Ia tidak boleh berkata, "Saya telah berbuat riya', saya khawatir pahala saya hilang". Jangan berpikir demikian. Lanjutkan saja shalatnya. Setan jika dilawan akan melemah (QS.An-Naas : 4) Setan yang bersembunyi dan pergi menjauh jika melihat semangat besar seseorang dalam beribadah. Silahkan Anda semangat, setan tidak akan bisa menggoyahkanmu. Itu tidaklah bermasalah bagimu.
Adapun jika riya muncul setalah ia memulai shalatnya dengan penuh keikhlasan, lalu riya' itu muncul lagi dan ia menikmatinya –wal-iyadzu billah- maka shalatnya batal semuanya, dari awal hingga akhir. Karena shalat, jika unjungnya hancur maka awalnya pun ikut hancur. Maka hati-hatilah dari riya'. Dan janganlah meninggalkan shalat karena takut kena riya'. Karena sebagian orang juga didatangi setan dengan mengatakan kepadanya : "Jangan melaksanakan shalat dan jangan tilawah, karena itu akan membuatmu riya'. Janganlah terlalu khusyu karena itu hanyalah riya'". Tujuannya apa ? Tujuannya adalah agar dapat menghalanginya dalam melakukan perbuatan baik itu. Jadi sebaiknya kita tidak memberi pulang kepada setan. Ia harus tetap shalat dengan berusaha khusyu dan bisikan demikian diacuhkan saja.
Jika ia melawan setan dan mengacuhkannya maka ujung-ujungnya setan akan bosan. Setan akan mengalah dan bosan serta menjauh. Manusia sebenarnya diliputi oleh dua hal : Pertama, hal yang ia hadapi ketika hendak memulai ibadah. Setan akan mengatakan, "Jangan lakukan ! Itu adalah riya'. Silahkan lihat ! orang-orang memujimu". Hal kedua, ketika ia sedang melaksanaknnya. Setan juga akan mendatanginya. Maka seharusnya ia melawan setan dan berusaha meminta perlindungan kepada Allah Subhana wa Ta’ala dari ganguannya. Ia harus melanjutkan ibadahnya dan tidak merasa bosan.  Jika ada yang bertanya, "Jika seseorang telah selesai melaksanakan ibadah, lalu ia mendengar orang lain memujinya dan ia pun merasa bahagia mendengarnya, apa itu berpengaruh terhadap ibadahnya ?" Jawabannya, "Hal itu tidak mempengaruhi ibadahnya, karena ibadah telah dilaksanakan dengan baik. Adapun sanjungan orang lain kepadanya maka itu termasuk berita gembira yang diterima orang mukmin jika ia dipuji oleh orang lain. Tetapi hal ini jika ia telah selesai dari ibadahnya. Ia mendengar orang lain memujinya maka hendaknya ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang menjadikanku dipuji dengan kebaikan".
Demikian pula jika seseorang melaksanakan ibadah dan ketika ia selesai melakuknnya, ia merasa gembira, apakah kita katakan kegembiraan itu adalah ujub yang akan membatalkan amal ?! Tidak. Hal itu tidaklah berpengaruh. Karena ujub adalah jika seseorang selesai melaksanakan ibadah lalu ia menyombongkan ibadahnya, merasa memiliki posisi di sisi Allah Subhana wa Ta’ala dan merasa bangga terhadap Allah. Itulah yang menghancurkan ibadahnya –wal'iydzu billah-. Tetapi orang ini tidaklah muncul dalam benaknya hal-hal tadi. Ia hanyalah bersyukur kepada Allah dan bergembira karena ia telah dimudahkan melakukan perbuatan baik. Itu tidaklah berpengaruh terhadap amalnya. Karena itulah, hadits berbunyi : من سرته حسنته وساءته سيئته فذلك المؤمن  (Barang siapa yang gembira karena ibadahnya dan merasa bersalah karena kejelekannya maka dia adalah oran mukmin). Semoga Allah Subhana wa Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka.
Adapun hadits kedua dari Abu Hurairah yang menyebutkan tentang orang-orang yang pertama kali dihadapkan pada pengadilan Allah Subhana wa Ta’ala pada hari kiamat, maka mereka terdapat tiga golonga, yaitu : Penuntut ilmu, mujahid dan ahli sedekah. Penuntut ilmu mempelajari berbagai ilmu dan menguasai al-qur'an serta mengajarkannya. Kemudian ia didatangkan ke hadapan Allah Subhana wa Ta’ala pada hari kiamat, lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmat-Nya itu kepadanya dan ia mengenal nikmat itu dan mengakuinya. Ia lalu ditanya, apa yang engkau lakukan dengan ilmu itu ? Maksudnya, apa yang engkau lakukan sebagai wujud rasa syukur terhadap ilmu itu. Ia menjawab, "Saya belajar ilmu dan membaca al-qur'an demi Engkau". Allah berkata, "Engkau berbohong, engkau mempelajarinya agar dikatakan sebagai orang alim. Engkau membaca al-qur'an supaya dikatakan sebagai ahli qira'at, sama sekali bukan karena Allah, tetapi demi untuk riya'." Kemudian Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan agar orang itu diseret hingga ia dilemparkan ke dalam api neraka.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang penuntu ilmu, ketika menuntut ilmu wajib mengikhlaskan niatnya kepada Allah Subhana wa Ta’ala. Ia hendaknya tidak memperdulikan, apakah orang mengatakan ia alim, syekh, ustaz, mujahid atau pangilan serupa. Itu semua tidak penting baginya. Tidak ada yang penting baginya kecuali keridhaan Allah Subhana wa Ta’ala, menjaga syari'atnya, menjauhkan kebodohan dari dirinya dan dari semua hamba Allah hingga ia termasuk kalangan syuhadaa, yang mana posisinya berada setelah posisi orang-orang yang jujur. Allah berfirman :
 Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS.An-Nisaa : 69).
Adapun orang yang menuntut ilmu selain dengan tujuan itu, agar dikatakan bahwa ia orang alim, dia seorang mujtahid, dia adalah allamah dan panggilan serupa, maka orang seperti ini amalnya hancur –wal'iydzu billah-. Dialah orang pertama yang diberlakukan hisab padanya, dia akan diseret dan dilemparkan ke dalam neraka, dikatakan pembohong pada hari kiamat dan dijelek-jelekkan.
Adapun yang kedua adalah seorang mujahid. Ia berjuang di jalan Allah Subhana wa Ta’ala hingga ia terbunuh. Lalu ketika hari kiamat telah tiba, ia didatangkan ke hadapan Allah Subhana wa Ta’ala. Allah lalu mengingatkannya dengan nikmat-nikmat-Nya dan ia pun mengenal dan mengakuinya. Yang dimaksud dengan nikmat di sini adalah bahwa Allah Subhana wa Ta’ala memberinya rezki, memberinya kekuatan hingga ia sampai ke posisi itu, hingga ia bisa berjihad. Kemudian ia ditanya, "Apa yang engkau lakukan dengannya ?" Ia menjawab, "Wahai Tuhanku ! Saya berjung di jalan-Mu". Dikatakan kepadanya, "Engkau berbohong. Engkau melakukannya agar dikatakan si fulan pemberani. Dan itu telah dikatakan semuanya". Kemudian Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan agar ia dilemparkan ke dalam api nereka –wal'iyadzu billah-.
Demikian pula orang yang berjuang di jalan Allah Subhana wa Ta’ala. Orang-orang yang berjuang di jalan Allah memiliki beragam tujuan. Barang siapa yang berjuang di jalan Allah agar kalimat-Nya bisa ditegakkan,  maka ia benar-benar berjuang di jalan Allah Subhana wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Barang siapa yang berjuang dibawah naungan nasionalisme maka ia berada dalam jalur thagut". Barang siapa yang berjuang karena faktor gengsi dan golongan maka ia berjuang di jalan para thagut. Barang siapa yang berjuang demi untuk memperoleh kenikmatan duniawi maka ia berada di jalan para thaghut, karena Allah swt berfirman: Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (QS.An-Nisaa : 76).
Tetapi jika seseorang berjuang demi suku ataupun demi nasionalisme dan bukan semata-mata karena suku ataupun nasionalisme, teapi demi menjaga agar tanah airnya tidak dicaplok oleh orang-oran kafir maka itu termasuk di jalan Allah Subhana wa Ta’ala. Karena melindungi tanah air kaum muslimin hasilnya adalah menjadikan kalimat Allah tetap bergema tinggi.
Tetapi jika seseorang berjuang sekedar untuk  berperang dalam peperangan ini, apakah itu termasuk di jalan Allah ? Jawabannya adalah tidak. Dan ini adalah tujuan para pemuda saat ini. Mereka pergi ke medang perang sekedar untuk berperang. Mereka berkata, "Kami terbunuh sebagai syuhada". Dikatakan kepadanya tidak. Kalian pergi ke medan perang bukan dengan maksud untuk berperang teapi dengan maksud agar kalimat Allah tetap meninggi. Ketika itulah, jika kalian terbunuh dalam perang itu maka kalian berada di jalan Allah Subhana wa Ta’ala.
Adapun orang ketiga adalah orang yang diberikan nikmat oleh Allah Subhana wa Ta’ala berupa harta yang melimpah sehingga ia banyak bersedekah, memberi dan berinfak. Ketika terjadi hari kiamat, ia didatangkan ke hadapan Allah Subhana wa Ta’ala dan Allah mengingatkannya dengan nikmat-nikmat-Nya hingga ia pun mengakuinya. Kemudian ia ditanya, "Apa yang engkau lakukan dengan harta itu ?" Ia menjawab, "Saya bersedekah, berinfak dan beramal". Lalu dikatakan kepadanya : "Engkau berbohong. Engkau melakukannya agar mereka mengatakan si fulan orang dermawan dan itu telah mereka katakan". Lalu Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan agar ia diseret hingga ia dilemparkan ke dalam api nereka.
Ini adalah tiga golongan yang akan dibakar dengan api pada hari kiamat. Pada hadits ini terdapat sebuah dalil bahwa seseorang hendaknya mengikhlaskan niatnya kepada Allah Subhana wa Ta’ala pada semua pengorbanannya ; baik berupa harta, atau kemampuan jasmani, atau ilmu atau selainnnya. Dan bahwa jika ia melakukan sesuatu yang pada hakikatnya bertujuan untuk mencari keridhaan Allah Subhana wa Ta’ala, lalu ia arahkan kepada maksud lain maka tentunya ia berdosa. Wallahu al-Muwaffaq. 

Bersambung ke Link berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2011/12/riya-dan-status-keharamannya-bag2.html

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form