Wednesday, December 28, 2011

RIYA' DAN STATUS KEHARAMANNYA (BAG.3)


Penulis : Syekh Shaleh al-‘Utsaimin Rahimahullah.
Sumber : Syarah Riyadhusshalihin

Alih Bahasa : Idrus Abidin


1627- وَعَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدُ اللهِ بْنِ سُفْيَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قََالَ : قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ". متفق عليه، ورواه مسلم أيضا من رواية ابن عباس رضي الله عنه.

1627 – Daru Jundub bin Abdullah bin Sufyan radiyallahu anhu, bahwasanya Ia berkata : Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang berbuat sum'ah maka Allah swt akan menyingkap hakikat dirinya, dan barang siapa yang berbuat riya' maka Allah swt akan membuka tabir kejelekannya".[1] (HR.Bukhari dan Muslim). Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu anhu.

1628- وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : "مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ لَايَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عُرْفَ الجَنَّةِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ".

1628 – Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata : Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya digunakan untuk mencari keridhaan Allah subhana wata'ala, lalu ia pelajari dengan maksud agar mendapatkan kenikmatan dunia maka ia tidak mencium wangi surga pada hari kiamat".[2] (HR.Abu Daud dengan sanad yang shahih).
            Hadits-hadits tentang pembahasan ini sangat banyak dan masyhur.

PENJELASAN.

            Penulis –rahimahullah- menukil sisa hadits-hadits tentang riya' yang telah dibahas sebelumnya. Dari Jundub bin Abdullah radiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang berbuat sum'ah maka Allah subhana wata'ala akan menyingkap hakikat dirinya, dan barang siapa yang berbuat riya' maka Allah subhana wata'ala akan membuka tabir kejelekannya". Yakni, barang siapa yang mengucapkan perkataan yang seharusnya untuk beribadah kepada Allah subhana wata'ala, lalu ia mengeraskan suaranya ketika mengucapkannya agar didengarkan oleh orang lain dan dianggap sebaga ahli dzikir, kutu buku dll, maka orang seperti ini telah berbuat sum'ah terhadap masyarakat dan berlaku riya' dengan perbuatan tersebut –kita memohon perlindungan dari sikap demikian- maka Allah subhana wata'ala akan memperdengarkan hakikat dirinya. Maksudnya, menyingkap keburukannya, mempermalukannya dan menyebarkan aibnya kepada orang banyak sehingga mereka mengetahui bahwa orang tersebut adalah tukang riya'. Hadits ini tidaklah dibatasi kejadiannya. Apakah di dunia atau di akhirat?. Maka biasa saja Allah subhana wata'ala akan menyingkap hakikat dirinya di dunia sehingga aib-aibnya diketahui oleh masyarakat banyak, dan mungkin juga itu terjadi di akhirat kelak. Bahkan itu adalah peristiwa yang lebih dahsyat dan lebih mengerikan lagi –wal-iyazu billah-, sebagaimana firman Allah subhana wata'ala "Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan”. (QS. Fusshilat : 41:16).      
            Demikian pula orang yang berbuat riya', Allah subhana wata'ala akan membuka aib-aibnya. Yakni bahwa orang-oang yang melakukan suatu perbuatan dengan harapan agar masyarakat melihat dan memujinya maka Allah subhana wata'ala akan memperlihatkan kelemahan-kelemahannya kepada masyarakat dan mempermalukannya –wal-iyazu billah- sehingga jelaslah bahwa ia berbuat riya'.
            Pada hadits ini terdapat peringatakan keras dari perbuatan riya', juga peringatan bahwa orang yang berbuat riya', bagaimana pun cerdik dan hebatnya menyembunyikan sikap riya'nya, pasti akan terbongkar kedoknya. Wal-iyadzu billah ; karena Alah subhana wata'ala telah menyatakan demikian. "Barang siapa yang berbuat sum'ah maka Allah subhana wata'ala akan menyingkap hakikat dirinya, dan barang siapa yang berbuat riya' maka Allah subhana wata'ala akan membuka tabir kejelekannya".
            Adapun hadits Abu Hurairah, maka ia terkait dengan orang yang menuntut ilmu yang seharasunya dimanfaatkan untuk mencari keridhaan Allah subhana wata'ala, yaitu ilmu-ilmu syar'i, ilmu tentang al-Qur'an dan Sunnah. Jika seseorang mempelajari ilmu yang merupakan bagian dari ilmu tentang Al-Qur'an dan Sunnah, sedang tujuannya tiada lain kecuali untuk mendapatkan kemegahan dunia maka ia tidak akan mendapatkan wangi surga, padahal wangi surga itu bisa tercium dari jarak tertentu. Misalnya, jika ada seseorang yang mempelajari ilmu tentang dasar-dasar aqidah (keyakinan) agar dikatakan bahwa si fulan hebat dalam ilmu aqidah atau dengan maksud untuk menjad pegawai serta alasan serupa, atau ilmu fiqhi atau ilmu tafsir atau hadits demi untuk berbuat riya', maka ia tidak akan menciuum wewangian surga-wal-iyadzu billah-yakni, tidak bisa memasukinya.
            Adapun ilmu yang dipelajari tetapi tidak semata-mata untuk mencari ridha Allah ta'ala, seperti ilmu-ilmu dunia ; ilmu matematika, dan ilmu rancang bangunan, jika seseorang mempelajarinya dengan maksud mencari kemegahan dunia maka tidak ada dosa apa-apa baginya. karena ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu dunia yang juga bertujuan untuk mencari kehidupan dunia, sedang hadits yang mengandung ancaman  hanyalah terbatas pada ilmu-ilmu yang bertujuan untuk mencari keridhaan Allah subhana wata'ala Jika ada seseorang yang mengatakan, "Banyak mahasiswa sekarang yang belajar di berbagai fakultas, hanya menginginkan ijazah, berupa ijazah sekolah tinggi", maka jawabnnya adalah bahwa, "Semua amalan itu tergantung pada niatnya. Jika dengan ijazah sekolah tinggimya itu ia mengharapkan pekerjaan atau posisi, maka orang tersebut menghendaki keuntungan duniawi. Jika dengan ijazahnya itu ia berharap dapat memperoleh posisi yang membuatnya bermanfaat terhadap masyarakat dengan menjadi guru, dengan menjadi menejer atau menjadi pengarah maka itu tentu baikdan tidak ada masalah. Karena masyarakat saat ini tidak menghargai seseorang berdasarkan ilmunya, mereka menghargai orang lain berdasarkan ijazahnya.
            Jika ada seseorang mengatakan : Jika saya membiarkan diri saya sendiri tanpa memperoleh ijazah, betapapun banyaknya ilmu yang saya peroleh, maka tetap saja mereka tidak mengangkatku sebagai guru. Karenanya saya belajar sekaligus mencari ijazah, agar aku bisa menjadi guru yang nantinya dapa bermanfaat bagi orang banyak", maka ini merupakan niat yang baik dan tidak ada masalah padanya. Wallahu Al-Muwwaffaq.


289 – HAL-HAL YANG DIANGGAP RIYA' PADA HAL TIDAK TERMASUK RIYA'

1629- عَنْ أَبِيْ ذَرِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ الَّذِيْ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ اْلخَيْرِ، وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ ؟ قَالَ : "تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى اْلمُؤْمِنِ". رواه مسلم.

1629 – Dari Abu Dzar radiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah shallahu alaihi wasallam pernah ditanya : Bagaimana penadapat tuan jika ada seseorang melakukan perbuatan yang termasuk amal baik, lalu masyarakat memujinya ? Rasulullah menjawab, "Hal itu adalah berita gembira pendahuluan bagi seorang mukmin".[3] (HR.Muslim).

PENJELASAN.

            Penulis, Imam Nawawi –rahimahullah- mengatakan dalam kitabnya Riyadhu Ash-Shalihin "Bab tentang hal-hal yang dianggap riya' padahal tidak termasuk riya". Yakni, hal-hal yang dianggap riya' oleh masyarakat umum padahal sebenarnya bukanlah riya'. Kemudian beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallahu alaihi wasallam pernah ditanya : Bagaimana penadapat tuan jika ada seseorang melakukan perbuatan yang termasuk amal baik, lalu masyarakat memujinya ? Rasulullah menjawab, "Hal itu adalah berita gembira pendahuluan bagi seorang mukmin".
            Masyarakat memuji perbuatannya. Gambaran permasalahan yang terdapat dalam hadits adalah bahwa ada seseorang yang melakukan perbuatan shaleh karena Allah ta'ala. Ia tidak peduli apa orang lain mengetahuinya atau tidak. Mereka melihatnya atau tidak. Mereka mendengarnya atau tidak. Karena Allah-lah ia berbuat seikhlasnya, sehingga orang-orang memujinya karena perbuatan itu sambil mengatakan : Si fulan baunyak bebuat baik, si fulan banyak melakukan ketaatan, fulan banyak berbuat baik terhadap sesame, dan ucapan yang serupa. Rasulullah shallahu alaihi wasallam menjelaskan, "Hal itu adalah berita gembira pendahuluan bagi seorang mukmin". 
            Itu adalah pujian kepadanya, karena masyarakat, jika memuji seseorang yang memiliki suatu kebaikan, maka mereka adalah saksi Allah ta'ala di bumi-Nya. Karena itulah, ketika ada jenazah yang diantara melewati Rasulullah shallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya, mereka memuji kebaikannya sehingga Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengatakan, "Wajib". Kemudian jenazah lain menyusul, lalu mereka menyebutkan kejelekannya, beliau mengatakan, "Wajib". Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah ! Apa itu "Wajib" ? Beliau menjawab, "Adapun yang pertama, sorga wajib baginya. Sedang yang kedua, neraka wajib untuknya. Kalian adalah saksi Allah ta'ala di bumi".[4] Inilah makna perkataan beliau, "Hal itu adalah berita gembira pendahuluan bagi seorang mukmin".
            Perbedaan antara hal ini dengan riya' adalah bahwa orang yang berbuat riya' tidaklah melakukan suatu perbuatan keucali untuk dilihat oleh orang lain, agar dilihat oleh masyarakat, sehingga niatnya mengandung kesyirikan. Ia menyertakan tujuan lain bersama tujuan sebenarnya, yaitu Allah ta'ala. Sedang yang kedua, niatnya ikhlas karena Allah ta'ala. Tidak terbesik dalam jiwanya bahwa masyarakat akan memuji atau mencelanya. Hanya saja masyarakat mengetahuinya. Seperti ungkapan penyair :
مَهْمَا تَكُنْ عِنْدَامْرِءٍ مِنْ خَلِيْقَةٍ    وَإِنْ خَالُهَا تَخْفَى عَلَى النَّاسِ تُعْلَمِي
            Yakni, apapun akhlak yang terdapat pada diri manusia yang diperbuatnya, walaupun ia mengira masyarakat tidak mengetahuinya, maka mereka pasti akan mengetahinya. Jika masyarakat mengetahui ketaatannya, lalu memujinya, maka itu bukanlah perbuatan riya'. Itu adalah berita gembira pendahuluan bagi orang mukmin. Yang mana, masyarakat memuji kebaikannya. Siapapun yang dipuji oleh masyarakat karena kebaikannya maka pantaslah jika ia termasuk penduduk surga.
            Adapun pelaku riya –naudzu billah-, jika mereka shalat, mereka berharap masyarakat mengetahuinya. Jika mereka mengucapkan perkataan baik, mereka berharap masyarakat mendengarnya agar mereka memujinya. Perbedaan antara orang ini dengan yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah pada saat ini adalah perbedaan yang sangat jauh. Kita memohon kepada Allah ta'ala agar kita semua dijauhkan dari riya' dan menjauhkan kita dari kejelekan fitnah. Dialah yang maha kuasa terhadap segala sesuatu.




[1]  Shahih Al-Bukhari, hadits no, 6499. Shahih Muslim, hadits no.2978 dan 2987.
[2]  Shahih Al-Jami', hadits no.6159. Al-Albani rahimahullah menshahihkannya dalam kitab Misykat Al-Mashabiih, hadits no.227. sebelumnya telah ada pada no.1399.
[3]  Shahih Muslim, hadits no.2642.
[4] Shahih Al-Bukhari, hadits no.1367. Shahih Muslim hadits no.949, hadits yang berasal dari Anas bin Malik radiyallahu anhu.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form