Thursday, December 8, 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

oleh : Idrus Abidin.

1.    PENDAHULUAN.
Pendidikan Islam adalah sebuah sistem pengajaran yang berupaya membekali peserta didik dengan nilai-nilai keislaman sehingga diharapkan mampu menjadi pribadi muslim yang kokoh secara prinsip (akidah) dan berkualitas dari segi intelektual. Hal ini berdasarkan pada kesadaran penuh manusia muslim sebagai khalifah di bumi Allah. Landasan utama tugas kekhalifaan adalah keimanan kepada Allah Swt. sebagai Sang Pemberi Amanah. Keimanan ini kemudian melahirkan sikap yang benar tentang bagaimana mengelola alam dengan amanah dan profesional. Karenanya, kapasitas intelektual sangat penting, mengingat Alam ini diciptakan oleh Allah Swt., di samping sebagai tanda kemahakuasaan-Nya, juga merupakan lapangan penelitian yang menjanjikan. Allah Swt. telah meletakkan ketetapan yang mendasar terhadap alam berupa sunnatullah. Sementara, di sisi lain Allah menetapkan hubungan manusia degan alam dalam wilayah taskhir. Sejauh mana manusia mampu memahami alam maka sejauh itu pula mereka mampu menundukkan dan memberdayakannya sebagai sarana ibadah kepada allah Swt.[1]
Mengingat bahwa dunia pendidikan saat ini berlandaskan pada nilai-nilai filosofis Barat yang tentunya juga lahir dari pandangan hidup mereka yang material, maka sangat penting untuk menegaskan kembali urgensi filsafat Islam dalam ranah pendidikan. Belum lagi jika kita menyadari bahwa dunia modern saat ini sedang dilanda kebingungan mendasar dalam menghadapi krisis ekonomi yang terus menghimpit. Padahal, filsafat pendidikan yang mereka rumuskan lahir dari pandangan meterialis-ekonomis. Maka tidaklah mengherankan ketika konsep ekonomi syari’ah, sekalipun dari sisi umur dan pengalaman masih terbatas, telah dilirik sebagai sebuah konsep ekonomi yang komprehensif dan tahan krisis. Jika manusia modern sadar dengan krisis ekonomi ini, maka tentu filsafat pendidikan Islam yang juga merupakan nilai filosofis ekonomi syari’ah akan menjadi alternatif yang baik dan mencerahkan di masa mendatang.
Selain urgensi filsafat pendidikan Islam di atas, juga secara ringkas dapat dipaparkan pula urgensitas lain berikut :
  1. Posisi strategis filsafat pendidikan dalam proses belajar mengajar secara menyeluruh.
  2. Terjadinya ambiguitas dalam memandang filsafat pendidikan dalam ranah pemikiran Barat dan dunia modern.
  3. Perlunya merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang dapat membebaskan manusia modern dari problematika yang sedang di alami saat ini.
  4. Kebutuhan sistem pendidikan yang sedang berjalan di dunia Islam terhadap filsafat pendidikan Islam yang jelas.[2]
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang beriman dan amanah, sebagiamana disebutkan di awal, maka dibutuhkan seperangkat nilai-nilai filosofis yang dapat menjadi acuan pendidikan Islam. Sehingga proses belajar mengajar berhasil menyadarkan peserta didik tentang dasar keberadaannya dalam alam raya ini (ibadah). Secara filosofis, keberhasilan pendidikan diukur berdasarkan kemampuannya untuk merealisasikan dua tujuan mendasar berikut :
  1. Menjaga eksistensi manusia secara penuh.
  2. Meningkatkan kafasitas manusia secara berkala hingga level kekekalan dengan mengatur pola hubungan manusia dengan semua unsur-unsur yang ada di alam raya.
Dalam rangka terwujudnya ke dua tujuan tersebut, secara otomatis membutuhkan terwujudnya dua tujuan lain berikut :
  1. Menentukan pilar-pilar utama bagi keberlangsungan eksistensi manusia dan merumuskan karakteristik yang menjadi titik utama keunggulan manusia yang berpengetahuan.
  2. Pengembangan berbagai sarana yang mendukung terwujudnya tujuan tersebut di atas.[3]
Makalah sederhana ini berusaha menjabarkan, bagaimana Filsafat pendidikan Islam dapat mewujudkan kedua tujuan mendasar di atas.
2.  MENJAGA EKSISTENSI MANUSIA.
Dalam rangka menjaga eksistensi manusia, pendidikan Islam berusaha memperkokoh hubungan manusia dengan alam secara kokoh. Hubungan manusia dengan alam menurut pendidikan Islam adalah hubungan taskhir. Yang mana, alam telah dibekali oleh Allah Swt. dengan beragam kebutuhan manusia.  Dan dalam kerangka ini, Islam juga mengatur pola hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan di level ini dibingkai dengan landasan keadilan dan nilai-nilai ihsan.  Selain itu, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan kehidupan dalam bentuk ujian. Yang mana, kehidupan ini adalah satuan waktu yang digunakan manusia dalam mewujudkan perkembangan dan kemajuan fisik dan psikisnya. Kesemuanya dipandang sebagai ujian dari Allah Swt. dalam rangka mencapai prestasi ubudiyah yang tinggi.
2.A. Hubungan Manusia Dengan Alam (Taskhir).
Makna taskhir secara bahasa adalah bekerja dan mengabdi tanpa mengharapkan imbalan. Sedang dari segi agama, ia berarti pemberian lisensi bagi manusia untuk memanfaatkan alam secara gratis dalam rangka mendukung proses kehidupannya pada segala sektor tanpa harus membayar harga tertentu. Hanya saja, alam tidak bisa mengabdikan dirinya secara gratis manakala manusia tidak memahami hukum yang berlaku padanya. Tujuan dari taskhir adalah agar manusia menyadari kekuasaan dan keilmuan Allah (rububiyatullah)yang meliputi segala sesuatu.[4] Sedang wilayah taskhir berporos pada dua wilayah utama : al-afaaq (alam) dan al-anfus (jiwa). Jika wilayah taskhir alam dielaborasi lebih jauh maka akan muncul area berikut : langit yang tampak, darat yang teraba dan air yang mengisi lautan luas (QS Luqman : 20). Pada wilayah langit ada panorama bintang, panorama angin dan panorama cuaca. Sedang pada wilayah laut terdapat dunia ikan, dunia mutiara, dunia trumbu karang dll.
Demi terwujudnya taskhir, manusia perlu memaksimalkan segala potensinya serta memaksimalkan segala sarana taskhir dan mengikuti prosedur yang berlaku padanya. Secara global, hubunga itu berupa :
  1. Memperbaiki cara memaksimalkan segala potensi manusia. Potensi manusia berupa : (1). Kemampuan untuk belajar untuk menganalisa sistem yang bekerja di alam, (2). Kemampuan akal dan kafasitas fisik untuk mengarahkan sistem menuju pengembangan industri, (3). Kemampuan akal dan jiwa yang dapat menghubungkan antara potensi taskhir dengan ibadah kepada Allah Swt
  2. Sarana-sarana taskhir. Terdapat tiga sarana taskhir, yaitu : (1). Mata, telinga dan akal, (2). Pengamatan yang cermat terhadap unsur-unsur pembentukan alam, (3). Cara pengolalaan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dengan mengarahkannya kepada tujuan utama wujud ini, berupa kesyukuran kepada Allah Swt. terhadap nikmat-Nya dan tidak menggunakannya untuk maksiat kepada-Nya.
2.B. Hubungan Manusia Dengan Sesama Manusia (Adil dan Ihsan).
Makna adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang pantas. Adil merupakan sikap proporsional dalam berbagai hal. Ia merupakan antonim dari kezhaliman. Keadilan merupakan standar minimal pola kemasyarakatan dalam Islam.[5] Keadilan terbagi dua, yaitu keadilan yang bersifat mutlak dan keadilan dalam pandangan syara’. Keadilan pertama berwujud pada hal-hal yang dipandang baik oleh akal dan tidak akan terhapus sifatnya sebagai keadilan sepanjang masa serta tidak bisa dipandang sebagai kezhaliman. Sebagai contohnya adalah bersikap baik terhadap orang yang berlaku baik kepada kita dan menjauhkan bahaya dari orang yang pernah menyelamatkan kita dari bahaya. Sedang adil yang kedua adalah adil berdasarkan syara’.  Abdul Rahman al-Sa’di menjelaskan, semua yang diperintahkan oleh Allah terhadap hamba-Nya melalui al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya berupa keadilan dalam muamalah masuk kategori ini.[6] keadilan Jenis ini bisa saja terhapus pada waktu-waktu tertentu berdasarkan pada kondisi, terutama terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah masalah. Misalnya, masalah qisas dalam Islam. Jika seseorang diperlakukan tidak senonoh, bahkan hingga tindak pembunuhan, maka pengadilan berhak menetapkan hukum bunuh terhadap pelaku. Dan itu adalah bentuk keadilan dalam Islam. Tetapi jika wali korban memaafkan tersangka maka tentu dibolehkan dan itu merupakan bentuk ihsan darinya. Karena haknya direlakan walaupun hukum asalnya adalah prinsip keadilan dengan menghukum tersangka sesuai dengan tindakannya.[7]Wilayah keadilan mencakup wilayah pribadi (an-Nisa : 35), wilayah keluarga (an-Nisaa : 3), wilayah kerabat (al-An’am : 152),  wialayah ummat Islam ( al-Hujurat : 49), dan wilayah kemasyarakatan secara umum (an-Nisaa : 52).
Sedang ihsan, dari segi kebahasaan adalah lawan dari kata isa’ah yang mengandung makna menguasai bidang yang digeluti dan profesional dalam pekerjaan. Sedang dari segi istilah syara’, ihsan adalah sikap profesional dalam ketaatan kepada Allah Swt., baik profesional tersebut dari sisi kualitas, ataupun profesional dalam segi jumlah berupa melaksanakan tugas melebihi kadar yang diwajibkan dengan memperbanyak amalan-amalan sunnah.
Dari sisi agama, ihsan diwujudkan dalam dua kategori : 
A. Bersikap profesional terhadap manusia. Bagian ini terdiri dari dua tingkatan : 
  1. Wajib. Yaitu memberikan hak-hak mereka secara sempurna, seperti berbuat baik terhadap kedua orang tua, silaturrahmi, dan adil dalam semua bentuk transaksi. Masuk pula dalam kategori ini sikap berbuat baik terhadap hewan dan binatang, terutama ketika dalam masalah penyembelihan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : Sungguh Allah mewajibkan ihsan terhadap segala sesuatu. Jika kalian membunuh maka perbaikilah proses pembunuhan. Jika kalian menyembelih maka pebaikilah cara penyembelihan. Hendaklah kalian mempertajam pisau dan membuat sembelihan kalian merasa tenang. (HR Muslim). 
  2. Sunnah. Yaitu hal-hal yang dilakukan melebihi kadar yang dituntut berupa bantuan tenaga, harta, ataupun ilmu. Level ihsan tertinggi adalah  jika seseorang mampu berbuat baik terhadap orang yang bersikap buruk terhadapnya. 
B. Ihsan dalam beribadah kepada Allah Swt.
 Ihsan seperti inilah yang disebutkan oleh Rasulullah berupa penyembahan terhadap Allah seolah-olah melihatnya (raja’). Kalau tidak, cukuplah menyembah Allah dengan kesadaran penuh bahwa Ia melihatnya (khauf). Jika kita memaklumi bahwa terma Islam mewakili gambaran lahiriah seorang muslim dan terma iman menunjukkan gamabaran batiniahnya, maka ihsan merupakan sikap profesional dalam masalah lahiriah dan batiniah sekaligus.[8] Secara ringkas Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa adil adalah sikap proporsional, sedang ihsan adalah mengusai bidang yang digeluti dan melakukan amalan-amalan sunnah, membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih besar dan membalas kejahatan dengan kejahatan yang seminimal mungkin.[9]
Wilayah ihsan beredar seputar : wilayah pribadi (al-Israa : 7), keluarga (al-Israa : 23), kerabat, ummat Islam dan seluruh masyarakat manusia (al-Baqarah : 83). Sedang ihsan, sebagaimana halnya keadilan, dibutuhkan pada segala kondisi (al-baqarah : 178), seperti, ketika susah ((hud : 115), peperangan dan jihad (al-Ankabut : 69), diskusi pemikiran dan hubungan wawasan/kebudayaan (al-Israa : 53), ketika ikatan keluarga berakhir dengan perceraian (al-Baqarah : 229), pertengkaran dan permusuhan (Fusshilat : 34),  debat pemikiran dengan non muslim (al-Ankabut : 46), menjawab salam (an-Nisaa : 34), berinteraksi dengan kaum marjinal (al-Israa : 34), hubungan politik (al-Kahfi : 76-77) hubungan ekonomi ( al-Qasas : 77). Ihsan seperti inilah yang menjadi ukuran keberhasilan manusia dalam sektor kehidupan (hubungan sebagai ujian) pada level manusia, SDA dan segala bentuk nikmat lainnya.
Sementara itu, hubungan antara kedilan dan ihsan dalam wilayah pendidikan terwujud  pada eksistensi manusia dan perkembangannya yang menyeluruh. Keadilan berperan dalam menjaga eksistensi manusia, sedang ihsan berperan pada tingkat perkembangan manusia dari dunia hingga sorga kelak. Dengan keadilan maka urusan berujung pada teratasinya segala permaslahan dan hilangnya potensi fitnah di tengah masyarakat. Sementara, di sisi lain, ihsan mengokohkan hubungan dan menumbuhkan peluang kerjasama antara berbagai level masyarakat yang nantinya berkontribusi dalam mengembangkan tingkat kemanusiaan mereka secara total.
2.C. Hubungan Manusia dengan Kehidupan (Ujian).
Ujian berperan untuk menguji makna ibadah (kecintaan yang sempurna yang melahirkan ketaatans cara menyeluruh) pada ke-3 wilayah ibadah : agama, masyarakat dan alam. Kehidupan ini merupakan satuan waktu yang ditetapkan sebagai jadwal ujian (al-Mulk : 2). Sedang bumi ini adalah merupakan ruang tempat ujian berlangsung. Sedang materi dan alat ujiannnya adalah segala yang ada di alam ini berupa sumber daya, hasil dan perhiasan yang ada (al-Kahfi : 7). Wilayah ujiannya adalah dua hal : 1. Materi dan segala bentuk hak milik, serta 2. Jiwa manusia.
Adapun bentuk-bentuk ujian terbagi ke dalam dua bagian : 1, kebaikan dan ke-2, keburukan (al-A’raf : 168).[10]  Pertama : Ujian dengan keburukan meliputi, ketakutan, kelaparan, kurangnya harta, kurangnya tingkat kesehatan, kurangnya hasil panen, terjadinya peperangan, kekalahan di medan perang dan penghancuran massal. Kedua : Ujian berupa kebaikan berupa, jabatan, anak, kendaraan (al-Mukminun : 28-30), harta (al-Maidah : 94), pengikut, kemenangan, kekuatan dan kekuasaan (an-Naml : 40), kesehatan dan ketampanan/kecantikan.
Ujian yang menimpa manusia secara pribadi dan berkelompok selalu berada pada dua sisi  (kebaikan dan keburukan) jika diukur berdasarkan waktu terjadinya ujian. Pada ke dua sisi itu, mereka harus menunjukkan ubudiyahnya kepada Allah Swt. Dalam kerangka inilah Allah mengoreksi kesalahpahaman manusia memandang ujian. Ketika diberi kebaikan seolah itu adalah kemuliaan dan ketika diuji dengan keburukan seolah itu adalah penghinaan (al-fajr : 15-16). Padahal ujian dengan kebaikan dan keburukan pada prinsipnya adalah ujian ketaatan. Yakni, apakah manusia mampu taat pada kedua kondisi tersebut. Ujian merupakan pelatihan untuk medapatkan pengalaman merasakan sesuatu secara psikologis. Tujuannya agar peserta memahami kebaikan dan merasakan keindahannya serta merasakan keburukan dan berupaya menghindar darinya. Dengan adanya ujian ini, manusia berupaya mengikuti prosedur syari’at-Nya sehingga mampu keluar sebagai manusia yang sukses. Walhasil, manusia makin meningkat pemahaman dan pengalamannya.
Semantara itu, teradapat beberapa karakter ujian, di antaranya :
A.  Demi sukses dari cobaan berupa kebaikan dan keburukan, manusia memilih salah satu dari tiga hal, (1). Memilih yang buruk, (2). Memilih yang baik, (3). Memilih yang baik demi menghindari yang buruk. Dalam hal ini, Islam berupaya mengarahkan seseorang kepada sikap ketiga dengan tindakan berupa : menghilangkan kekafiran dengan segala manifestasinya dengan iman dan prakteknya di lapangan, menghilangkan sakit dengan obat dan memerangi kezhaliman dengan keadilan.
B.  Setiap ujian, kebaikan ataupun keburukan, pasti ada masa berakhirnya. Sehingga bagi yang menderita agar ia bersabar hingga waktu menyampaikannya kepada masa sehat dan diharapkan jangan berkeluh-kesah. Sedang yang mendapatkan kebaikan agar jangan berbangga karena akan ada masa akhir yang melindas kebahagiaanya.
C.  Bahwasanya tenggang waktu dalam menghilangkan keburukan bukanlah ketundukan kepada keburukan itu sendiri. Karenanya Allah memuji mereka yang bersabar dalam menghadapi masalah dan berupaya mencari obatnya.
D.  Batasan ujian selalu disesuaiakan dengan kadar kemampuan manusia yang diuji.
E. Terkadang manusia tidak pandai untuk memilih sarana yang tepat untuk menghindari keburukan. Sehingga terkadang manusia memilih keburukan demi mengobati keburukan. Terkadang mereka memilih menyerah kepada keburukan atau memilih kebaikan yang tidak berpengaruh terhadap keburukan itu sedikit pun.[11]
3. MENGEMBANGKAN POTENSI MANUSIA SECARA SIMULTAN (DUNIA AKHIRAT).
Selain menjaga eksistensi manusia, pendidikan Islam juga berupaya mengembangkan potensi mereka dengan mengokohkan hubungannya dengan Sang Pencipta dalam bentuk ubudiyah. Manifestasi ubudiyah ini dapat dilihat dari tiga fenomena ibadah : (1). Fenomena keagamaan, (2) : Fenomena alam, dan ke-(3) : Fenomena sosial kemasyarakatan.
3.A.Hubungan Manusia Dengan Sang Pencipta (Ubudiyah).
Ibadah sebagai landasan semua bentuk kehidupan manusia, jika dilihat dari segi kebahasaan bermakna ketaatan secara menyeluruh sebagai wujud dari kecintaan yang sempurna.[12] Sedang secara terminologis, ibadah dipandang sebagai sebuah nama yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridha’i oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang bersifat eksternal (lahiriah) maupun yang bersifat internal (batiniyah).[13]
Fenomena ibadah ini kemudian dapat dilihat pada tiga aspek : aspek keagamaan, aspek kemasyarakatan dan aspek alam. Berdasarkan pada makna ibadah yang memiliki sisi perasaan berupa kecintaan yang berujung pada ketundukan tanpa reserve, maka seseorang tidak akan mencintai sesuatu dengan mendalam kecuali jika ia melihat yang dicintainya memiliki sifat yang baik dan sempurna serta memiliki kafasitas yang maha luas. Setelah itu, untuk menjaga keutuhan cintanya setiap saat, ia harus bisa merasakan kebahagiaan dan memetik buah dari kecintaannya tersebut.
Dalam aspek keagamaan, ibadah diwujudkan dalam bentuk penegakan syiar-syiar agama berdasarkan pada kecintaan dan ketaatan yang menjadi unsur utama ibadah. Untuk mewujudkan tujuan ini, pendidikan Islam diharapkan membekali peserta didik dengan rincian praktek ibadah setelah sebelumnya diawali dengan pembekalan teoritis. Sedang dari segi kemasyarakatan, pendidikan Islam mengatur hubungan peserta didik dengan tokoh-tokoh dan organisasi masyarakat secara menyeluruh. Baik dari segi sejarah masa lalu, masa sekarang maupun  harapan-harapannya pada masa mendatang. Dalam kerangka ini, pendidikan Islam diharapkan mampu membekali peserta dengan seperangkat kecakapan hidup bermasyarakat dan kemampuan untuk mempelajari sejarah untuk dapat memetik rumusan tentang konsep jatuhbangunnya sebuah masyarakat. Dari sanalah ia mampu merumuskan aturan-aturan kemasyarakatan yang telah ditetapkan oleh Allah (sunnatulah dalam kehidupan masyarakat) dan melihat hasil akhir dari pola kehidupannya. Dan dari sana pula seorang pembelajar mampu melihat keterlibatan Allah secara langsung dengan berusaha memahami efek dari jauh-dekatnya sebuah tatanan masyarakat dari konsep Allah Swt.
Adapun dari sisi alam, maka fokus-utamanya berkisar pada bagaimana manusia mampu berinteraksi dengan alam. Pada wilayah ini, pendidikan Islam bekerja dalam rangka membekali peserta dengan pengetahuan tentang proses dan unsur utama terbentuknya alam. Pendidik sebaiknya mengarahkan peserta untuk memasuki laboratorium alam ini dengan harapan, mereka dapat menemukan formulasi ilmu yang aksiomatik, terukur dan ilmiah. Penemuan ini kemudian dipatenkan dan dijadikan sebagai sarana untuk meneguhkan peran ibadah yang menjadi tugasnya di alam ini. Di samping itu, kesadaranya tentang kemahakuasaan Allah dalam berbagai fenomena alam yang mampu mengasah kecintaan dan ketundukannya secara mendalam kepada-Nya. Berangkat dari pemahaman inilah sehingga terlahir istilah ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam dll. Semua produk ilmu itu menghasilkan out put berupa ulama yang beriman dan amanah.
Ketiga aspek di atas menyatu secara ajeg dalam ruang lingkup ibadah. Karena jika salah satu dari ketiga aspek tersebut terpisah maka terjadi kelemahan dan bisa meghilangkan daya pengaruhnya dalam membentuk peradaban. [14] Pemisahan antara masing-masing aspek di atas bisa berefek pada keruntuhan dan kehancuran sebuah masyarakat karena beberapa faktor :
  1. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja maka wilayah kemasyarakatan dan ilmu alam akan bekerja sendiri sesuai dengan hawa nafsu pengaksesnya. Jika demikian, maka terjadi carut marut antar masing-masing aspek.
  2. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja maka akan lahir agamawan dan ilmuwan yang tidak searah. Agamawan akan malas, kurang produktif dan cenderung tidak berdaya. Sedang ilmuawan kehilangan arah tujuan.
  3. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja maka wilayah kemasyarakatan dan sains akan jauh dari kucuran nilai-nilai ibadah sehingga mereka tidak bisa mematuhi norma-norma yang berlaku dalam agama, terutama dalam merumuskan konsep-konsep kemasyarakatan dan sains
  4. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja, maka peran agama dalam rangka menegakkan keadilan dalam masyarakat akan lemah. Demikian pula kelemahnnya dalam rangka meminimalisir keburukan di tengah masyarakat. Inilah penyebab kenapa kaum berduit selalu memisahkan diri dari agama.
  5. Jika sains jauh dari nuansa ibadah maka agama hanya akan menjadi fenomena sejarah pada waktu dan tempat tertentu. Jika ini terjadi, agama akan jauh dari bukti-bukti ilmiah yang merupakan sumbangan ayat al-afaq dan ayat al-anfus yang pada prinsipnya akan memberikan nuansa baru dan menegaskan peranannya dalam bidang pemikiran, nilai-nilai dan lapangan praktis.
3.B. Hubungan Manusia Dengan Akhirat (Tanggung-jawab dan Hasil)
Di samping kokohnya hubungan manusia dengan Tuhan di atas, pendidikan Islam juga mengembangkan potensi manusia melalui pengokohan hubungan dengan negeri akhirat. Hubungan pada wilayah ini ditetapkan sebagai hubungan tanggung jawab dan penerimaan out put ubudiyah (pahala dan dosa). Yakni pendidikan Islam memacu segala potensi manusia untuk maju sebagai bukti adanya lompatan-lompatan yang diperolah selama berada di ruang ujian (dunia). Lalu kemudian menjadi kekal dalam surga bagi yang berkembang secara baik dalam lingkup ubudiyah. Dan dalam kerangka kekelan ini pula, terjadi pembersihan dan penyiksaan massal di dalam neraka bagi mereka yang tidak berkembang secara benar dalam wilayah ubudiyah ini.
Untuk ke dua tujuan di atas, filsafat pendidikan Islam menentukan sarana-sarana pengetahuan yang dibutuhkan. Sarana pendidikan tersebut berkisar pada wilayah wahyu (al-Qur’an dan Sunnah), akal dan indera dalam rangka mencapai pengetahuan yang benar tentang bagaimana mengelola pola hubungan manusia dengan segala wujud yang telah disebutkan sebelumnya.[15] Setelah pengetahuan yang benar tentang pola hubungan tersebut diperoleh, diupayakanlah memperaktekkannya di lapangan dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki. Tentunya dengan tetap memberikan evaluasi (penilaian) dan pengembangan lanjutan jika memang hal itu dibutuhkan.
Tujuan dan sarana yang disebutkan di sini terformulasikan secara baik dengan mempertimbangkan pengaruh dari empat faktor, (1). Faktor keyakinan (akidah). Yaitu penetapan hubungan antara Tuhan dengan manusia sebagai mahluk. (2). Faktor sosial. Yaitu menundukkan pola hubungan dan nila-nila etika ke dalam bingkai kemanusiaan yang merupakan identitas bagi peserta didik. Yang mana, hal ini mencakup semua anggota masyarakat. (3). Faktor wilayah. Yaitu tata cara hidup di dalam wilayah tugas manusia sebagai khalifah. Hal ini mencakup semua penjuru bumi ini. (4). Faktor waktu. Yaitu dengan memperhatikan waktu yang akan dilalui oleh manusia. Faktor waktu ini diawali dari semenjak di dunia ini hingga ke akhirat kelak yang tidak berpenghujung (rihlah al-khulud).
Al-Qur’an sebagai sumber utama pendidikan Islam membahas tema-tema di atas dengan menyeluruh dan komprehensif. Secara global, al-Qur’an membahas empat tema utama : Allah, alam, manusia dan hari akhir. Allah merupakan pencipta manusia dan alam. Ia menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi ini dan akan meminta pertanggungjawaban terhadap amanah tersebut. Alam merupakan bukti kekuasaan Allah Swt. dan ditundukkan bagi manusia jika mereka memahami aturan-aturan yang berlaku padanya (sunnatulah). Manusia adalah hamba yang menjadi wakil Allah di bumi. Alam ini ditundukkan baginya dengan bekal hidayah dan kemampuan untuk memilih dan berkehendak. Hari akhir adalah tempat penerimaan hasil penugasan, baik berupa pahala maupun dosa yang berujung pada penyiksaan. Jika kemudian surah-surah yang tergabung dalam lingkup Makkiyah terpokus pada tema : Allah, alam dan hari akhir, maka surah Madaniyah membahas secara tuntas dan fokus pada tema kemanusian. Secara ringkas, al-Qur’an berupaya merancang bangunan pemikiran dan norma-norma yang memperkokoh hubungan manusia yang produktif dengan Allah, manusia dan alam. Hubungan dengan Allah adalah ubudiyah, sedang dengan sesama manusia adalah adil dan ihsan dan dengan alam berupa taskhir. Hubungan inilah yang membedakan Islam dengan segala bentuk pemikiran dan nilai etika laiinya. Sejauh mana manusia mampu berkomitmen dengan prinsip ini maka sejauh itu pula ia akan mendapatkan kesuksesan (keselamatan), seniorotas dan pionir dalam lautan kehidupan, ditambah dengan pahala yang berlipat ganda di akhirat kelak.[16]


KARAKTERISTIK FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM.
Melihat konsep filosfis pendidikan Islam di atas, tampak bahwa pendidikan Islam memiliki tingkat kejelasan yang maksimal dengan sarana pengetahuan yang benar. Jika diperhatikan secara mendalam. ditemukan beberapa karaktersitik filsafat pendidikan Islam yang merupakan titik keunggulannya. Di antaranya :
1.         Menyeluruh dan komprehensif.
Menyeluruh maksudnya adalah bahwa pendidikan Islam mencakup segala sisi kehidupan manusia. Baik dari awal pembentukannya (kehidupan) hingga berujung pada kehidupannya kelak di akhirat, maupun dari sisi hubungannya dengan segala wujud yang melingkupinya. Termasuk dalam hal ini, hubungannya dengan dirinya sendiri pada setiap detik-detik kehidupan. Yakni berupa kesiapan untuk hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Yaitu kesiapan untuk memenuhi tuntunan hidup menyeluruh yang meliputi dunia dan akhirat (berani hidup dan berani mati).
Sedang komprehensifitas pendidikan Islam mengacu pada wilayah tujuan dan sarana pendidikan, di samping juga tercermin secara nyata pada aspek teoritis dan prakteknya (ilmu dan amal) sekaligus.
2.         Seimbang.
Pola kesimbangan filsafat pendidikan Islam terwujud pada pandangannya terhadap beragam aspek manusia secara integral, berupa ; fisik, akal dan psikologisnya. Ketiganya dikembangkan secara seimbang berdasarkan pada realitas kehidupan sosial.
3.         Praktis.
Yakni bahwa filsafat pendidikan Islam membekali peserta didik dengan seperangkat teori yang sangat potensial diwujudkan di alam nyata. Sehingga manusia terdidik mampu melahirkan peradaban dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat pada setiap waktu dan jenjang. Dalam kerangka inilah perkataan dan nasehat Ali bin Abi Thalib sangat tepat, “Jangan membatasi anak-anakmu dengan budaya pribadimu, karena mereka dilahirkan untuk zaman yang bukan zamanmu lagi.[17]
KESIMPULAN.
Berdasarkan paparan di atas, kesimpulan yang bisa ditarik adalah :
Pendidikan Islam menjamin eksistensi manusia secara utuh. Baik dari sisi keduniaan dengan memperkokoh hubungannya dengan alam sebagai tempat berlangsungnya kehidupan, maupun dari sisi akhirat dengan menegaskan hubungannya dengan Allah Swt. dan kehidupan akhirat sebagai tempat penerimaan prestasi ubudiyah. Bahkan dengan hubungannya dengan Allah dan akhirat, pendidikan Islam berupaya mengembangkan potensi manusia secara maksimal sehingga menjadi khalifah yang amanah dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA
Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah Mukarramah : Maktabah Hadi), cet. 1, th.1988.
Ulyan, Syaukat Muhammad, al-Tsaqafah al-Islamiyah wa Tahaddiyat al-Ashr, (Riyadh : Dar al-Rasyid), cet.1, th.1981/1401.
al-Sa’di, Abdul Rahman Nashir, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Kairo : Markaz Fajr li al-Thiba’ah), cet.1, th.2000.
al-Alma’i, Zahid bin Iwadh, Dirasaat fi al-Tafsir al-Maudhu’I li al-Qur’an al-Karim, (Riyadh : Maktabah al-Rusyd), cet.2, th.2001.
al-Utaibi, Sahl bin Rifa’ Suhail al-Riqi, A’mal al-Qulub ; Haqiqatuha wa Ahkamuha Inda Ahlussunna wal Jama’ah wa Inda Mukhalifiihim, (Riyadh  : Jami’ah Imam Muhammad Ibn Su’ud ) cet.1, th.2005.
al-Zuhaili,  Wahbah,  Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah, wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,  (Bairut : Dar al-Fikr), cet.1, th.1991, vol. 13-14.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Ciputat Press ), Cet.2, th.2005.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Ciputat Press ), Cet.2, th.2005, hal.18-19.
Al-Zunaidi, Abdul Rahman Zaid, Mashadir al-Ma’rifah fi al-Fikri al-Dini wa al-Falsafi, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1992.   
Uqaili, Ibrahim, Takamul Manahij al-Ma’rifah Inda Ibnu Taimiyah, ( U.S.A : al-Ma’ha al-Alami li al-Fikr al-Islami ), cet.1, th.1994.
Ghunaim, Hani Sa’ad, Seni Menikmati Ujian, ( Solo : Aqwam ), cet.2, th.2008, hal.23.
Lahham, Hanan, Min Hadyi Surah al-Baqarah, (Riyadh : Dar al-Hudaa), cet.1, th.1989 M/1409 M.
Ibnu Taimiyah, Abdul Halim, al-Ubudiyah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1991.
Qardhawi, Yusuf, al-Ibadah Fii al-Islam, (Bairut : Muassasah al-Risalah), cet. 18, 1986/1406.



[1] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Ciputat Press ), Cet.2, th.2005, hal.18-19.
[2] Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah Mukarramah : Maktabah Hadi), cet. 1, Th.1988. hal. 21.
[3] Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah, hal. 371.
[4] Al-Syaibani, Umar Muhammad al-Thoumy, Falsafah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang ), th.1979, hal.
[5] Ulyan, Syaukat Muhammad, al-Tsaqafah al-Islamiyah wa Tahaddiyat al-Ashr, ( Riyadh : Dar al-Rasyid), cet.1, th.1981/1401, hal. 335.
[6] al-Sa’di, Abdul Rahman Nashir, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Kairo : Markaz Fajr li al-Thiba’ah), cet.1, th.2000, hal.446.
[7] al-Alma’I, Zahid bin Iwadh, Dirasaat fi al-Tafsir al-Maudhu’I li al-Qur’an al-Karim, (Riyadh : Maktabah al-Rusyd), cet.2, th.2001.
[8] al-Utaibi, Sahl bin Rifa’ Suhail al-Riqi, A’mal al-Qulub ; Haqiqatuha wa Ahkamuha Inda Ahlussunna wal Jama’ah wa Inda Mukhalifiihim, (Riyadh  : Jami’ah Imam Muhammad Ibn Su’ud ) cet.1, th.2005, hal.53-60.
[9] az-Zuhaili,  Wahbah,  Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah, wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,  ( Bairut : Dar al-Fikr), cet.1, th.1991, vol. 13-14, hal.212
[10] Ghunaim, Hani Sa’ad, Seni Menikmati Ujian, ( Solo : Aqwam ), cet.2, th.2008, hal.23.
[11] Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah,. hal.173.
[12] Qardhawi, Yusuf, al-Ibadah Fii al-Islam, ( Bairut : Muassasah al-Risalah), cet. 18, 1986/1406, hal.27.
[13] Ibnu Taimiyah, Abdul Halim, al-Ubudiyah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1991. hal.5
[14] Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah, hal.87-92..
[15] Al-Zunaidi, Abdul Rahman Zaid, Mashadir al-Ma’rifah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1992.    Lihat pula : Uqaili, Ibrahim, Takamul Manahij al-Ma’rifah inda Ibnu Taimiyah, ( U.S.A : al-Ma’ha al-Alami li al-Fikr al-Islami ), cet.1, th.1994.
[16] Lahham, Hanan, Min Hadyi Surah al-Baqarah, ( Riyadh : Dar al-Hudaa), cet, 1, th1989 M/1409 M, hal.9.
 

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form