Wednesday, October 18, 2023

Rasionalisme Arab

 

Rasionalisme Arab


Penulis: Prof. Dr. Abdul Rahman Bin Zaid As-Zunaidi

Sumber: As-Salafiyah Wa Qadhaya Al-Ashr (Salaf Dan Isu-Isu Kontemporer)

Alih Bahasa: Idrus Abidin

 

Para peneliti dalam hal ini menegaskan perbedaan mendasar yang membedakan rasionalisme Arab dengan beragam rasionalisme lainnya. Yaitu dengan keberadaan teks suci “wahyu”  dalam budaya Arab Islam, hal yang membuat rasionalisme tampak berdasarkan relasinya dengan teks.

Rasionalisme Yunani sejak abad ke-6 sebelum Masehi tidak memiliki permasalahan dengan wahyu. Karenanya tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu atau upaya penyelarasan antara keduanya. Akal dengan intuisinya atau dengan argumentasinya menjadi raja satu-satunya yang menguasai bidang keilmuan.[1]

Adapun rasionalisme Barat modern pada perkembangannya, sekalipun terus melakukan pergolakan dengan teks-teks keagamaan yang telah menekan akal Eropa hingga tahap letusan, akan tetapi ia berhasil menyelesaikan pergolakan itu dengan wahyu, lalu memposisikan akal sebagai penggantinya dan memberikan legalitas secara resmi untuknya.

Sementara rasionalisme Arab, ia tampak dan akan senantiasa tampak pada suasana di mana persfektif terhadap kesucian wahyu sangat mendominasi dengan dukungan keimanan yang kokoh bahwa ia merupakan wahyu dari Allah. Juga bahwa kebenaran tampak darinya yang tidak bisa menerima keraguan, sehingga terhitung sulit untuk menerobos keimanan tersebut demi untuk rasionalisasi pemikiran Islam.

Karena itulah, rasionalisme, apa pun bentuknya, akan senatiasa terdefinisikan berdasarkan sikapnya terhadap teks-teks. Bahkan sikap kepada rasionalisme dalam lingkup masyarakat Islam diberikan sesuai dengan sikap yang diambilnya terhadap teks-teks tersebut.

 

Macam-Macam Rasionalitas.

Ust. Hassam Alusi[2] membagi rasionalisme Arab dengan pembagian yang luas hingga 7 macam, yaitu:

1.      1. Rasionalisme keagamaan ekstrim. Ini melampaui akal dan menganggapnya bodoh. Di mana, mereka melihat bahwa ketundukan kepada persfektif ghaib adalah puncak rasionalitas. Jenis ini terdapat dua macam :

§  Rasionalisme kaum sufi yang berbasis pada pengetahuan ladunni.

§  Rasionalisme teks yang berbasis pada wahyu

2.     2.  Rasionalisme keagamaan terbuka/fleksibel. Melihat bahwa agama dan akal tidak bertentangan, tatapi agamalah yang membatasi dan mengarahkan akal. Mereka menganggap bahwa yang paling tampak jelas mewakili kecenderungan ini adalah al-Kindi dan Muktazilah !!

3.      3. Rasionalisme teologis. Mengandalkan akal semata, tetapi mengakui keberadaan Allah dan bisa jadi mengakui keberadaan akhirat juga, seperti pada diri Ibnu Rawandi, al-Ma’arriy, dan ar-Razi sang dokter.

4.      4. Rasionalisme teologis. Tetap mengandalkan akal tetapi tidak dianggap bertentangan dengan teks-teks selama ditakwil berdasarkan retorika filsafat, sebagaimana pandangan filosof secara umum.

5.      5. Rasionalisme sekuler. Memisahkan dunia dan agama dengan membatasi agama hanya sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan.

6.      6. Rasionalisme rasio murni. Tidak memberikan otoritas kecuali terhadap akal. Dan ini beragam :

§  Rasionalisme keraguan. Metodenya meragukan segala hal sampai diselidiki oleh akal itu sendiri.

§  Rasionalisme empiris. Menolak semua yang tidak bisa diketahui kecuali via indera, menolak metafisika dan memproklamirkan berakhirnya peran agama, seni dan filsafat. 

§  Rasionalisme pragmatis. Yaitu rasionalisme yang diperalat, yang kita jelaskan sebelumnya bahwa Barat mengeluhkan hegemoninya.

7.      7. Rasionalisme hak asasi. Yaitu rasioanalitas yang mengandalkan hasil kesepakatan lembaga-lembaga dunia dan organisasi-organisasi internasioal demi untuk menolak pandangan keagamaan yang berbeda.

Pembagian ini menggambarkan bentuk setiap karakter yang memperlihatkan sikap pemikiran yang menganggap bahwa sikap merekalah yang rasional dan logis, bukan yang lain. Akan tetapi, kita tidak melupakan pengertian rasionalisme dalam pemikiran Arab modern melalui pengertian berdasarkan budaya, yakni struktur pemikiran yang diberikan kepada mereka-mereka yang berafiliasi kepadanya, berupa status rasioanalitas pada internal mereka atau dari luar mereka.

Di sini kita mendapatkan dua bentuk rasionalisme yang terdefinisikan dan terbedakan juga berdasarkan sikap mereka berdua terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam, yaitu wahyu yang berwujud al-Qur’an dan as-Sunnah.

Bentuk pertama :

Yaitu rasionalisme yang terputus dari Islam secara total, baik sebagai wahyu maupun secara warisan pemikiran (turats). Yang mana, ia melihat teks –di sini, wahyu dan warisan pemikiran saling terkait- sebagai otoritas yang menghambat akal, dan menghalangi gerakan akal yang produktif. Jika saja rasionalisme ini didahului oleh contoh yang diteladani, yaitu rasionalisme Barat pada zaman modern, maka rasionalisme –Barat- ini tidaklah terwujud dan tidak berkembang positif kecuali  jika akal dibebaskan dari wahyu dan berusaha membebaskan pengetahuan dari lembaga keagamaan dan akal serta nilainya ditarik dari agama dan dari kegiatan yang selama ini dilakoni.[3]

Demikianlah, bangkitnya rasionalisme tergantung dari upaya meruntuhkan referensi keagamaan dan teks-teks agama, karana teks ini dengan tuntunannya berupa sikap penuh perasaan (iman) terhadap nalar manusia, mengandung hal-hal yang bertentangan dengan metodologi rasional murni :

Metodologi rasional berstatus manusia murni dalam hal referensi dan sarana-sarananya. Sementara metode agama berpedoman pada wahyu yang diyakini berasal dari langit.

Metodologi rasional murni, penuh keraguan dan sikap kritis. Berbeda dengan metodologi keagamaan yang mengandalkan keimanan dan sikap pasrah. Demikianlah tampak sikap para pemangku agama dan kaum rasionalis berpijak pada dunia yang berbeda, sekalipun mereka sedang berusaha menyelesaikan satu permasalahan yang sama. [4]

Pemikiran Barat tercerahkan ini berusaha keras meruntuhkan nilai kesucian dari teks-teks keagamaan dan berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari kungkungan ilmu teologi. Sementara, faktor psikologis, pemikiran dan sosial sangat membantu pemikiran ini dalam menyelesaikan tugasnya, bisa jadi yang paling menonjol adalah pencekikan total yang dilakukan oleh otoritas keagamaan terhadap pemikiran bebas, keraguan yang ada bahkan sebelum era pencerahan  seputar validitas ketuhanan kitab-kitab yang dianggap suci dan kejelasan yang tampak berbeda antara hal yang diberikan oleh pengetahuan agama seputar alam dan manusia dengan apa yang ditemukan oleh ilmu empiris modern. Ini dan hal lainnya, berperan serta dalam mewujudkan rasionalisme pencerahan beserta tujuan-tujuannya dalam aspek pemikiran dan sosial.

Akan tetapi, masalah terkait rasionalisme Arab terhadap Islam jauh lebih sulit “sungguh persfektif islami yang disepakati bersama seputar penurunan al-Qur’an merupakan tantangan sesungguhnya bagi akal sejarah, kritis dan filosofis, bagaimanapun tingkat pengungkapannya, mulai dari yang sangat sederhana hingga yang paling mulia.[5]



[1] Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikri al-Arabi al-Muashir, penelitian Hassam Alusi, hal. 64.

[2] Isykaliyah al-Aqlaniyah fi al-Fikr al-Arabiy, Hassam Alusi, dalam : Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikr al-Arabiy al-Muashir, hal. 77.

[3] Igtiyal al-Aql, hal. 240.

[4] Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikri al-Arabi al-Muashir, penelitian Hassam Alusi, hal. 66.

[5] Asy-Syahkshiyah al-Arabiyah al-Muslimah wa al-Mashir al-Arabiy, karya Hisyam Jait, hal. 125.

SEPUTAR RASIONALISME

 SEPUTAR RASIONALISME


Penulis : Prof. Dr. Abdul Rahman Bin Zaid As-Zunaidi

Sumber : As-Salafiyah Wa Qadhaya Al-Ashr (Salaf Dan Isu-Isu Kontemporer)

Alih Bahasa : Idrus Abidin

  

Rasionalisme merupakan fokus utama tema penelitian pada hari ini dari para pengagum dan pengeritiknya, sebagai upaya untuk membesar-besarkan persoalan ini, sekaligus menyeru kalangan intelektual kepadanya. Bahkan ada yang meratapinya –dari penentangan yang tidak rasional dalam lingkup dunia Arab- dari sejak generasi awal. Bahkan ada seorang pemikir yang mengusulkan agar rasionalitas menjadi salah satu bagian dalam struktur Maqashid Syari’ah pada era kontemporer.[1] Sementara pemikir lain ada yang minta meresmikannya sebagai pengganti dari sekularisme yang telah usang dan menuai kegagalan, sehingga banyak pemikir dari lingkup dunia Arab yang menjauhinya. [2]

Ada gambaran ketiga terkait zaman sekarang yang sedang kita alami ini sebagai “zaman predator” di mana “kaum rasionalis Arab menunjukkan ketidakmampuannya untuk memberikan sebuah teori dalam lingkup pengetahuan ilmiah dan dalam merencanakan penelitian yang bersifat metodologis, yang sarat dengan temuan-temuan baru”.[3]

Adapun kelompok lain yang berseberangan dengan mereka, mereka berusaha mengarahkan kritik pedas terhadap rasionalisme dan seluruh pengikutnya, sambil berusaha memperlihatkan bahaya rasionalisme terhadap agama dan terhadap rasio yang menisbatkan diri kepadanya serta ancamannya terhadap kehidupan ummat dan masa depan mereka secara umum.

Rasionalisme bukanlah produk zaman kita saja dan bukan pula hasil era sekarang. Sungguh rasionalitas merupakan isme dan aliran lama yang terus ada secara berkesinambungan, sekalipun bentuknya bermacam-macam dan kalangan yang menentangnya pun beragam. 

Pengertian.

Rasionalisme berasal dari istilah Arab yang berbunyi al-Aqlaniyah, yang terdiri dari kata al-Aql ditambah dengan huruf alif dan huruf nun. Keduanya merupakan tambahan yang menunjukkan nuansa sangat (mubalagah). Ditambah pula dengan huruf ya’ yang menunjukkan identifikasi (ya an-Nisbah). Lalu ditambah lagi dengan huruf ta’ yang berkategori feminim (ta’ ta’nits). Istilah ini merupakan sebuah karakteristik yang dinisbatkan kepada akal. Petunjuk identifikasi ini -di sini- menunjukkan peran utama karakteristik rasio ini; termasuk siapa pun yang memiliki karakteristik serupa dalam aktivitasnya, terutama dalam lingkup ilmu pengetahuan.

Mari kita lihat: kata al-Aql dalam bahasa Arab menunjukkan makna mencegah, merintangi dan membatasi. Sementara, secara real diartikan layaknya unta yang dikekang dengan alat kekang yang disebut iqal. Secara maknawi diartikan seperti akal seorang siswa, berupa ilmu yang diperoleh dari gurunya.  Akal yang ada pada diri seseorang ini sehingga pantas dianggap sebagai orang waras (aqil) karena:

§      Dari sisi bahwa akal ini mencegah pemiliknya terjatuh ke dalam tindakan yang tidak diterima oleh akal itu sendiri.

§       Juga dari sisi lain sebagai alat yang digunakan untuk menerima pengetahuan. [4]

Kekang unta akan mencegahnya agar tidak terlepas dari daerah yang subur yang telah dipilih oleh pemiliknya atau menghalanginya agar tidak menyakiti orang lain atau membuatnya hilang jejak.

Sementara akal manusia akan mengamankannya dari hal-hal yang bisa menghancurkan atau merusaknya. Karena itulah, fungsi pencegahan akal yang menjadi karakternya akan tampak dalam wujud lain berupa perlindungan dan karakter positif lainnya; bukan saja sekedar merangkum makna secara ilmiyah, yakni mengikat dan memahaminya, tetapi juga mencegah manusia untuk melakukan perbuatan buruk sekaligus mendorongnya kepada tindakan yang baik dan bagus. Karena mundur dari kebaikan merupakan sesuatu yang dilarang oleh akal itu sendiri.

Karena itulah, terdapat penilaian beberapa kalangan pemikir bahwa makna akal dalam aspek bahasa Arab yang didukung oleh kalangan Salaf, yang ditunjukkan oleh makna kebahasaan bahwa ia merupakan upaya pengekangan terhadap nalar, sekaligus membatasi kebebasan dan aktivitasnya; hanya dibangun berdasarkan pada kerangka pemahaman kebahasaan yang tampak terburu-buru.     

Dalam al-Qur’an, kata akal dimaknai dengan karakteristik seperti ini, yakni sifatnya berupa perbuatan sebagaimana  pada banyak firman Allah yang berbunyi; afala ya’qilun, atau ta’qilun, setelah penyebutan ayat-ayatnya atau ayat-ayat yang berbicara seputar alam semesta. Allah berfirman :

كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal (QS ar-Rum: 28)

firman Allah seputar ayat-ayat terkait alam semesta

وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (QS ar-Rum: 24)

Allah berfirman seputar ayat-ayat yang berbicara terkait kondisi sosial masyarakat manusia setelah menyebutkan kaum Luth dan penyimpangan dan sanksi hukum terhadap mereka

وَإِنَّكُمْ لَتَمُرُّونَ عَلَيْهِمْ مُصْبِحِينَ وَبِاللَّيْلِ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi, dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (QS ash-Shaffat: 137)

Juga terdapat di dalam al-Qur’an ayat yang menunjukkan makna berupa keahlian yang menjadi pencetus dari sebuah sikap pada firman Allah :

اللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُو

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS an-Nahl: 78)

Kata fu’ad di sini, yang maksudnya adalah keterampilan, yang apabila diberdayakan dengan bantuan indra seperti mata dan telinga dll, maka seseorang bisa mendapatkan pengetahuan yang sebelumnya tidak dia pahami.

Keterampilan atau keahlian ini akan tampak atau kesadaran internal pada diri manusia dengan semua prinsip-prinsip umum yang kokoh pada diri semua manusia yang berakal yang akan menjadi pondasi bagi sebuah bangunan pengetahuan perolehan setelah itu, seperti prinsip hakikat (huwiyah), tidak adanya kontradiksi dan sebab akibat/kausalitas (illiyah).

Karena itulah, kita mendapatkan para ahli peristilahan dari kalangan intelektual kaum muslimin memberikan pengertian akal berupa sebuah garizah atau instink pada diri seseorang yang digunakan untuk memahami fakta-fakta.[5] Mereka juga mengartikannya sebagai pengetahuan yang bersifat mendasar yang terjadi melampaui observasi dan bersifat menyeluruh bagi semua orang-orang yang dianggap berakal. [6]

Akal dengan pengertian seperti inilah yang membuat seseorang dianggap sebagai manusia yang layak dibebani dengan amanah, di mana jika akal seperti ini tidak berfungsi maka seseorang dianggap keluar dari wilayah manusia yang pantas dipercayakan sebuah tugas mulia (taklif). Terkait inilah kita menemukan ada hadits yang berbicara seputar orang-orang yang tidak dianggap layak mendapatkan beban tugas (taklif), yaitu 3 kategori, di antara mereka adalah “orang-orang yang gila hingga mereka sadar kembali”. [7]

Dengan prinsip-prinsip seperti ini dan dengan bantuan indera manusia terjadilah interaksi dengan lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu yang nantinya akan menjadi bagian dari akal itu sendiri. Karena itulah, akal dibagi menjadi :

§        Garizah

§        Perolehan

Pembagian demikian sangat terkenal dalam lingkup pemikiran Islam.[8]

Tentu kedua jenis akal ini memiliki perbedaan signifikan, tanpa ada keraguan sedikit pun. Karena prinsip akal pertama memiliki karakter benar secara mutlak, berlaku menyeluruh dan bersifat umum untuk semua manusia –yang berakal- sekalipun tingkat kejelasannya berbeda antara masing-masing orang di antara mereka. Sedangkan akal kedua, baik ia berwujud pengetahuan partikular atau sebuah rumus atau kaedah yang lahir dari penelitian mendalam, tetap saja nilai dan aspeknya serba relatif, terutama bagi orang yang mengusainya secara khusus.

Di sini terjadi pencampuradukan, di mana terkadang pemikiran tertentu menguasai akal seseorang dan sangat kokoh dalam pemikirannya sehingga menganggap hal itu sebagai bagian dari prinsip utama rasio. Lalu dia menafikan akal dari siapa pun yang mengingkarinya. Karena ia menganggap orang yang dimaksud menolak prinsip utama pengetahuan, yakni menolak rasio berpikirnya. Inilah yang dimaksud al-Farabi ketika berbicara terkait kalangan teolog, ketika mereka berkata: ini merupakan konsekwensi rasio atau ini dinafikan oleh akal atau ia tidak menerimanya dengan maksud “yang masyhur pada awal pemikiran semua orang. Sungguh pemikiran awal yang menjadi milik semua orang atau bagi kebanyak orang mereka sebut sebagai rasional (akal).” [9]

Adapun akal dalam filsafat modern, sekalipun beragam maknanya sesuai dengan tuntunan filsafat dan aspek-aspek yang sedang dihadapi, hanya saja tidak bisa keluar dari “Prinsip pengetahuan yang menyeluruh dan terstruktur”. Kemudian tambahan yang diberikan kepadanya berupa pengetahuan perolehan sebagaimana menurut Andre Lalande yang membagi akal menjadi akal “pembentuk” (mukawwin) dan akal “bentukan” (mukawwan). Yang mana pembagian ini sama seperti sebelumnya, yaitu akal fitrawi dan akal perolehan sebagaimana pandangan intelektual muslim.[10] Prinsip pengetahuan yang menyeluruh dan terstruktur ini dianggap ......oleh kalangan rasionalis, berbeda dengan kelompok observatif-empiris yang menolak......dan menganggapnya sebagai hasil interaksi antara manusia dan realitas. Inilah pandangan yang banyak diterima oleh pemikir modern. Ini maksudnya adalah bahwa tidak ada hal yang paten dan pasti dalam rasio, tetapi semuanya bisa berubah sesuai dengan gaya pemikiran baru. Sehingga akal bukanlah suatu prinsip atau persfektif yang eksis dan kokoh, lalu pantas diberikan status final (selesai), lengkap dan sempurna. Tetapi akal  merupakan suatu fenomena atau sama seperti fakta lainnya yang senantiasa berubah dan menyesuaikan diri dan juga terimbas oleh faktor waktu (sejarah) dan perdebatan”. [11] 

Hesmas melihat bahawasanya akal bukanlah sebuah perangkat tetapi ia adalah sebuah sifat atau karakter. Yakni, kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk membahas hakikat inti daripada akal tetapi yang terpenting adalah kita mengetahui mana yang rasional dan mana yang tidak rasional dalam perkataan dan perbuatan. Itu tentu jauh lebih dekat kepada kita. [12]  

Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kita bisa menghukumi suatu pembicaraan atau sebuah perbuatan bahwa ia termasuk rasional atau tidak? Agar kita bisa memberikan status hukum, kita harus memiliki persfektif tertentu seputar akal sehingga kita bisa menimbang dan menghukumi suatu realitas, jika ia sesuai dengan prinsip-prinsipnya maka disebutkan bahwa hal tersebut masuk akal, kalau tidak tentu dianggap tidak masuk akal.

Sekarang kita melangkah kepada rasionalisme sebagai sebuah nilai-nilai pengetahuan dan peradaban.

Kita memulai pembahasan dari  sebuah pertanyaan, apakah rasionalisme merupakan sebuah nilai yang bersifat mutlak yang terwujud pada beberapa prinsip atau sebuah keunikan manusia secara umum, baik terkait waktu dan tempat seperti halnya prinsip pertama dalam akal berdasarkan pandangan kaum rasionalis ataukah ia terhitung relatif sehingga terhitung banyak kategori rasional tergantung pemikiran yang mengitarinya dan tingkat pengetahuan sains pada masanya.

Ada unsur-unsur teoretis yang berlaku umum dalam internal kalangan rasionalis, yang paling konprehensif adalah memberdayakan akal sebagai penentu pada semua hal dengan keyakinan bahwa akal bisa menyingkap semua fakta pada semua jenis bidang pengetahuan.[13]

Rasionalisme adalah menyingkap rasionalitas suatu masalah dan keterkaitannya secara internal, yakni rasionalitasnya secara zatnya.[14] Karena itulah, kita menemukan bahwa rasionalisme kembali –jika kita lihat dalam lingkup pemikiran Arab Islam- kepada kelompok Muktazilah yang sangat meyakini kemampuan akal seperti ini dan bergerak dalam bingkai pemikiran yang sangat jauh berdasarkan pada tingkat keyakinan ini. Karena itulah tokoh yang dianggap sebagai pentolan rasionalis pada pemikiran Arab saat ini melihat bahwa Muktazilah adalah “mereka yang tampil sebagai panglima rasionalitas dalam peradaban Islam” Lalu akal seperti apakah yang apabila kita berdayakan maka seseorang bisa dianggap rasional dan hasil pemikirannya dianggap rasional?

Sebenarnya kalangan Muktazilah tidak memiliki tambahan atau temuan baru seputar pengertian akal yang berbeda dengan kalangan intelektual muslim lainnya. al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamadzani mengartikan akal sebagi kumpulan pengetahuan tertentu, apabila dikuasai oleh seseorang maka ia dianggap layak melakukan penalaran dan berargumentasi serta siap melakukan tugas yang diembannya (taklif).”[15] Inilah pengetahuan mendasar yang disebutkan pada pengertian sebelumnya. Mereka mengaitkan pengertian mereka dengan aspek kebahasaan, yaitu mencegah dan membatasi karena adanya pengatahuan mendasar ini, ketika menyatu, akan mencegah seseorang untuk melakukan keburukan.

Bahwasanya akal mendasar ini –makna mendasarnya adalah bahwasanya akal tidak bisa terpisah darinya di mana seorang yang berakal mendapati dirinya terpaksa untuk menerima semua konsekwensinya- sekalipun tidak sesuai gayanya, ia mewujud pada akal yang Allah ciptakan untuk manusia dan membuatnya sebagai dasar penugasan (taklif). Juga menjadikannya sebagai jalan manusia menuju keimanan kepada-Nya dan kepada  kitab-kitab suci serta para rasul. Karenanya, prinsip ini tidak mungkin mengandung kesalahan atau kesesatan. Dengan demikian, ia merupakan kebenaran secara mutlak.

Jika kondisi akal memang demikian adanya, maka seharusnya manusia menjadikan akal tersebut sebagai standar penilaian pada semua hal sehingga pemikiran lurus bisa terwujud. Demikian pula aspek praktis bisa lurus di mana mereka semua bersatu dalam sebuah manhaj dan pergerakan karena adanya kesamaan semua manusia pada beragam pengetahuan tersebut. [16]

Berdasarkan pada prinsip ini, maka Muktazilah megarahkan wajahnya kepada setengah akal untuk mendirikan bangunan pemikiran dan filsafat, terutama pada bidang agama.

Dengan demikian, mereka dianggap sebagai kelompok rasionalis berdasarkan prinsip dan penisbatan. Akan tetapi, sekalipun secara teoretis mudah untuk menjelaskan persoalan pemikiran dan perkataan rasio/akal dengan kedua macam dan jenisnya, baik jenis pertama yang bersifat mendasar maupun jenis kedua yang bersifat relatif, tetapi sungguh sangat berat untuk menguasainya secara realitas, yakni pada wilayah praktis. Karena seringkali makalah rasio mendasar dan rasio perolehan saling  tumpang tindih. Bahkan bisa jadi rasio perolehan lebih dominan sehingga tampak seolah mendasar dan menyeluruh dan menguasai pribadi orang yang memilikinya.

Inilah yang terjadi  dalam internal kalangan teolog (mutakallimin) –termasuk Muktazilah sendiri- yang mana, jika ada seseorang di antara mereka menyatakan hukum sesuatu sebagai konsekwensi akal atau pun akal menafikannya atau tidak menerimanya, sungguh status hukum ini dikeluarkan berdasarkan pada ucapan rasionya yang sedang eksis ketika itu, yang memang menjadi fokus perhatian dan pemikirannya.[17]   

Mereka dalam kondisi demikian juga tetap dianggap rasional dalam aktivitas mereka, tetapi tidak berdasarkan pada prinsip yang mereka bangun, yaitu “berhukum berdasarkan pada prinsip akal yang bersifat mendasar, menyeluruh dan berlaku umum”. Yang mereka lakukan adalah cara lain berupa berhukum dengan persfektif akal yang berkategori perolehan yang bernuansa relatif dalam menunjukkan fakta-fakta, yang juga sebenarnya berbeda antara masing-masing orang.

Karena itulah, tidak aneh jika kalangan Muktazilah sampai kepada suatu tujuan yang berbeda dari yang mereka harapkan sebelumnya, berupa pengungkapan fakta-fakta kebenaran dan kesatuan pemikiran antara seluruh manusia. Yang mana, mereka sampai kepada kesimpulan atau hasil yang bermasalah dalam aspek akidah, metode bernalar dan persfektif metafisis dll. Sebagaimana mereka sampai ke sebuah titik pertengkaran sengit yang terjadi di internal mereka sendiri yang menyebabkan terjadinya pertikaian dan perpecahan kelompok yang saling bermusuhan berdasarkan pada  perbedaan –rasionalitas tentunya- pada hal-hal yang sedang mereka bahas. Bahkan permasalahan tidak berhenti pada perpecahan dan pertengkaran semata, akan tetapi lebih dari itu sehingga mereka saling mengakfirkan karena pertimbangan rasionalitas. Banyak tokoh-tokoh Muktazilah sendiri yang mengkafirkan an-Nazzam. Ja’far bin Harb al-Mu’tazili mengkafirkan Abu al-Hudzail al-Allaf. Abu Musa al-Mirdar yang dikenal sebagai pendetanya Muktazilah, al-Bagdadi menjelaskan tentang pribadinya, “Dia mengkafirkan syeikhnya. Sementara syeikhnya juga mengkafirkan dirinya. Kedua belah fihak memang pantas untuk saling mengkafirkan”.[18]

Demikianlah, kita mulai dari persfektif Muktazilah terkait rasionalitas yang tampak tidak ada masalah. Namun kita sampai kepada persfektif lain, di mana akal di dalamnya yang dimaksudkan adalah sekumpulan pemikiran yang dibawa oleh seseorang dan diingatnya dengan jelas dan baik. Sementara rasional adalah memandang beragam hal berdasarkan kaca mata pemikiran tersebut dan menundukkan semua pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan pada kaca mata dan persfektif tersebut.

Di sini rasionalisme kehilangan nilanya sama sekali, karena semua manusia membawa pemikiran dan pandangan khas mereka masing-masing. Yang mana, mereka melihat sekitarnya berdasarkan pada persfektif mereka tersebut. Lalu di mana letak keistimewaan orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai kalangan rasionalis?!  Tidak ada sedikitpun, kecuali ucapan mereka yang berbunyi, pemikiran yang kami emban merupakan referesentasi dari fakta-fakta kebenaran rasio, bukan pemikiran yang lain. Tentu ini hanya klaim semata. Sementara  sudah terbukti bahwa itu –sebagaimana yang diungkapkan oleh realitas dan sejarah pemikiran- salah. Itulah rasionalitas Muktazilah yang senantiasa dibanggakan oleh sekelompok kaum rasionalisme Arab modern.

Mari kita kembali kepada rasionalisme dalam persfektif pemikiran modern, di mana kita menemukan adanya pihak yang mengajukan beberapa indikasi yang dianggap sebagai unsur utama secara mutlak bagi rasionalitas. Seperti ucapan sebagian mereka: itu masih bisa dikeritisi. Jadi, retorika rasionalitas adalah yang senantiasa siap menerima keritikan dan diskusi. Sehingga semua retorika yang anti keritik dan anti diskusi akan keluar dari wilayah rasionalitas. [19]  

Contoh serupa seperti, sikap adil dan proporsional dalam berpendapat, relatif dalam menentukan hukum dan siap berdialog dengan kelompok lain[20] dan hal semacamnya yang termasuk indikasi yang dihasilkan oleh kondisi pemikiran yang sedang eksis yang menganggapnya sebagai standar umum bagi rasionalitas.

Bagaimana pun juga, sungguh rasionalitas berdasarkan pada praktek berpikir bukanlah sebuah nilai yang berlaku mutlak, yang mengungguli semua perubahan sejarah, tetapi ia merupakan rasionalitas yang sangat beragam dalam merespon realitas manusia yang senantiasa berubah-ubah.

Ada beragam rasionalitas sesuai dengan lawannya atau fungsinya:

§  Ada rasionalisme sebagai lawan dari empirisme dan observasisme, yang memberikan akal peran utama sebelum peran dan fungsi indera dalam mewujudkan pengetahuan.

§  Ada rasionalisme yang dipertentangkan dengan kelompok yang disebut tekstualis. Umumnya hal ini ada dalam lingkup keagamaan. Di mana pemikiran diberikan akses lebih luas dibanding teks dan memberikan peluang takwil berdasarkan persfektifnya.

§  Ada juga rasionalisme-empirik yang dilakukan oleh intelektual yang memadukan antara berpatokan pada efektivitas rasio, keterbatasan dan harapan-harapannya dengan pelaksanaan pengamatan obserevatif di laboratorium mereka.

§  Ada pula rasionalisme kritis yang berusaha menganalisa pemikiran dan membuat keraguan atau menghilangkan hal-hal yang dianggap tidak searah dengan akal demi menghadapi sikap taklid.[21]

Akan tetapi, rasionalisme -apa pun bentuknya- harus tetap memiliki basis pemikiran yang menjadi kiblatnya sebagai bentuk kebenaran faktual paling tinggi, minimal pada zamannya masing-masing. Basis pemikiran tersebut adalah ilmu dengan pengertiannya pada zaman modern. Yaitu pengetahuan alam dan matematika yang dijadikan oleh akal sebagai pondasi dalam membentuk persfektifnya terhadap wujud, yang dijadikan pijakan dalam aktivitas rasionalnya.

§  Filsafat Aristoteles dibangun berdasarkan basisnya pada persfektif metafisik Aristoteles terhadap wujud. Dan inilah yang menjadi alasan kenapa kaum muslimin banyak menolaknya.

§  Rasionalitas ulama ahli kalam (teolog) yang bingkai penelitiannya di bidang akidah. Basisnya adalah apa yang mereka sebut sebagai pembicaraan mendetail (daqiq al-Kalam), yaitu konsep atau teori perangkat tunggal (nazhariyah al-jauhar al-Fard) dengan segala aspeknya yang terkait dengan waktu dan tempat, gerak dan perbuatan. Di mana, mereka bertolak darinya sebagai basis pemikiran yang kokoh –sebagaimana- mereka gambarkan untuk membangun pendapat yang mulia (jalil al-Kalam) yaitu persfektif terkait Allah dan sifat-sifat-Nya.[22]

§  Seperti itu pula Rene Descartes dalam (upayanya mengalihkan ilmu alam dan ilmu metematika dari Aristoteles)[23] untuk membangun metode dan rasionalitasnya berdasarkan pada konsep Galileo dan dari persfektif mekanika yang sedang bekembang di zamannya dan dari pembahasan matematisnya.

§  Imanuel Kant dalam rasionalitas kritisnya berpedoman pada tahapan Newtonian dalam keilmuan....dan demikianlah seterusnya. [24]

Juga karena ilmu observasi senantiasa berkembang secara berkelanjutan, karena itulah pandangannya senantiasa terus berkembang terhadap segala hal. Rasionalitas yang hanya terpaku padanya akan kehilangan nilainya. Karena apa yang dikembangkan oleh rasionalitas dalam bidang pemikiran atau metodologi atau persfektif terhadap wujud dan kehidupan, bisa terus terpaku sehingga akan tergilas oleh kemajuan ilmu. Dan, ini merupakan indikasi kejahutannya sebagaimana yang terjadi pada teori perangkat tunggal (nazhariyah al-jauhar al-fard) yakni bagian yang tak terbagi lagi, sebuah basis yang menjadi pijakan ahlul kalam dalam menegaskan keberadaan Allah. Lalu bagian ini terbagi lagi ke hal lain yang tidak bersifat materil, sehingga kemudian hancurlah pondasi tersebut.

Persfektif terhadap wujud, etika, metodologi, dan filsafat yang dibangun oleh akal yang senantiasa dalam kondisi berubah di balik ilmu yang senantiasa berkembang, akan kehilangan nilainya juga. Bahkan bisa menjadi sumber kesengsaraan bagi manusia manakala nilai-nilai, persfektif terhadap wujud senantiasa beragam dan berubah serta menjadi lahan keraguan serta tunduk untuk diberdayakan melalui pemberdayaannya yang dilakukan oleh akal berpijak pada ilmu yang senantiasa berkembang.[25] Siapa yang menyadari titik ini, maka awal bertolak dari keritik keras terhadap rasionalitas Barat dari banyak kalangan pemikir yang melihat bahwa rasionalitas yang membuka peluang keragaman nilai-nilai dan persfektif serta orientasi hampir saja membawa manusia kepada kematian dan kehancuran.[26]

Tetapi, apakah keterkaitan antara rasionalitas dengan ilmu empiris pada zamannya, hanya itu saja makna kesejarahannya? Tidak, sungguh rasionalisme memiliki wajah lain, bahwa ia juga berbentuk wawasan budaya, yakni bahwa ia juga berbeda sesuai dengan wawasan yang melingkupinya.

Tidak diragukan lagi bahwa akal memiliki prinsip menyeluruh yang berlaku untuk seluruh manusia. Tetapi rasionalisme -seperti yang telah kita jelaskan- tidaklah berpatokan kepada prinsip tersebut melebihi patokannya kepada pemikiran yang berstatus perolehan yang diyakini oleh para pemiliknya sebagai yang paling dekat kepada prinsip akal yang benar (fitrawi). Padahal pemikiran tersebut hanyalah perolehan dari wawasan tertentu.

Raionalisme Barat, sebagaimana disampaikan oleh Burhan Galion, “Lahir di Eropa, secara garis besarnya berdasarkan pada kaedah nilai-nilai, pemahaman, mimpi-mimpi, tujuan dan tuntunan jiwa dan sosial yang diarahkan sebelumnya oleh budaya Kristen Barat secara umum. Bahkan, beberapa analisis menganggap Filsafat Hegel sebagai rumusan baru  yang dirilis kembali olehnya dalam bentuk  berbeda dan sekularistik untuk kalangan Kristen. Ini berarti bahwa setiap wawasan budaya memiliki sejarah untuk setiap masyarakat. Dan, suatu hal yang tidak mungkin adalah menghapus begitu saja dengan penghapus pulpen atas nama rasionalisme alami analogis. [27]

Jika kita mulai ini dengan penuh keanehan –terutama bagi rasionalisme Barat yang sarat dengan semangat menjauhi agama- sungguh sang penulis menjelaskan dengan menyertakan sebuah contoh yaitu sekularisme yang mewujud dalam bentuk paling tampak dari beragam bentuk rasionalisme, bahwa ia merupakan hasil dari pergolakan antara gereja dan masyarakat. Jika kita merenungi secara mendalam tabiat sekularisme Barat, kita mendapati bahwa kemandirian dari kekuasaan waktu, yakni pembebasannya dari dominasi gereja yang senantiasa berusaha untuk menundukkannya tidak berarti mengganti nilai-nilai dan persfektif yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat Kristen dengan nilai-nilai dan pemahaman serta kaedah-kaedah yang berbeda secara menyeluruh, bahkan bertentangan dengan agama yang sedang berkembang. Ia telah menjadikan nilai-nilai yang berkembang adalah nilai-nilai sekuler. Yakni, ia menariknya dari tangan dan wasiat gereja, lalu menjadikannya sebagai nilai-nilai sosial perkotaan yang tunduk di bawah kendali akal, diambil darinya lalu ditambahkan dengan nilai-nilai baru yang diambil dari budaya Barat yang tidak bernuansa agama. Sehingga asas dari kegiatan sekularisme ini tidaklah menafikan nilai-nilai dan menggantinya dengan yang lain, tetapi hanya mengganti panduannya kepada akal sebagai pengalihan dari agama, yakni pada realitas rasionalnya.[28]

Sungguh rasionalisme bukanlah model berpikir murni yang bisa beredar pada beragam budaya. Sungguh ia, sebagaimana yang tampak pada rasionalitas Barat hari ini, hanyalah merupakan beban khusus bagi dunia Barat sendiri yang pantas dijadikan sebagai solusi permasalahan sosial dan pengetahuan. Bahkan berpadu dengan kondisi yang ada sehingga dialah yang menjadi sumber dari rasionalitas tersebut “jadilah semua yang rasional sebagai realitas dan semua realitas sebagai yang rasional”.[29] Yang dimaksud dengan realitas di sini adalah realitas dunia Barat atau yang menyesuaikan diri berdasarkan pada laju dunia Barat yang senantiasa mendikte akal dengan rasionalitasnya dan fungsi akal hanya melegalisasi realitas tersebut kemudian menambahkan nuansa logis padanya. Inilah rasionalisme pragmatis yang dianggap oleh sebagian kritikus rasionalisme Barat seperti Max Horkheimer dan Odierno sebagai rasionalitas mengekang, yang memanfaatkan akal demi kepentingan pribadi semata sehingga segala sesuatu dianggap sebagai dagangan, termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual yang memiliki nilai kemulian lebih.[30]

Ketika filsuf Jurgen Habermaz datang, yang sekarang dianggap sebagai filosof Jerman terkemuka –sebagaimana pandangan Hasyim Shaleh- demi menyelamatkan rasionalitas ini melalui apa yang ia sebut sebagai rasionalitas penghubung, yang bersemangat agar rasionalitas Barat kembali pulih melalui upayanya ini berdasarkan pada adanya dialog dan diskusi antara masyarakat manusia secara bebas sesuai dengan tuntunan bahasa dan diarahkan oleh logika penuh hikmah dan logika rasional agar biasa membuahkan rasionalitas yang terpuji.

Seketika itu Habermaz menghadapi kritik pedas dan dianggap berpikir sempit dan tidak realistis secara sosial karena menggambarkan sesuatu yang tidak masuk akal! ia menganggap masayarakat baik-baik saja dan bahwa makna kemanusiaan yang akan mengarahkan pandangan dan sikap mereka. Inilah yang ditolak oleh rasionalisme modern dan menganggapnya tidak rasional.[31]

Dia dituduh –di sini- sebagai orang yang suka milih-milih, dan suka menunjukkan bentuk yang menunjukkan kerusakan rasionalisme Barat, lalu membiarkan gambaran lain dari rasionalitas tercerahkan di mana akal di sana berusaha mengarahkan realitas dan berusaha merencanakan gambaran ideal, kemudian berusaha untuk mengarahkan realitas di atasnya secara keseluruhan atau sebagian, sebelum berubah menjadi rasionalitas pembenaran bagi realitas, kemudian lemah dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dari waktu ke waktu. Saya katakan, betul. Rasionalitas  rennaisan memang merupakan rasionalitas muda pada banyak unsur pembedanya, seperti :

§  Indera material yang mendalam yang membuat mereka memperhatikan materi dalam aspek ilmiah dan praktis.

§  Semangat keraguan, penelitian dan observasi.

§  Semangat untuk keragaman pemikiran.

§  Menolak otoritas eksternal, terutama otoritas agama dan semisalnya.[32]

Tetapi itu tidak merubah apa yang telah kami sampaikan, yaitu bahwa rasionalitas sangat terkait dengan budaya. Yakni bahwa ia merupakan produk sosial yang lahir dari berbagai syarat dan kondisi budaya dan sosial pada zamannya.

 

 



[1] Lihat : Majallah al-Arabiyah, terbitan Mei 1994,”Iqtirah Masyru Qira’aah Jadidah Li al-Maqashid al-Kulliyah Li asy-Syari’ah al-Islamiyah“(Usulan Seputar Proyek Pembacaan baru Terhadap Maqashid Umum Syari’ah), Hamid Abu Zaid.

[2] Hiwar al-Masyriq wa al-Magrib (Dialog Timur dan Barat), Hasan Hanafi dan Muhammad Abid al-Jabiri, cet. 1, Maktabah Madbuli, Kairo, hal. 46.

[3] Igtiyal al-Aql : Mihnah ats-Tsaqafah al-Arabiyah Baina as-Salafiyah wa At-Tabaiyyah. (Memasung Nalar: Tribulasi Warisan Intelektual antara Salafi dan kalangan Pentaqlid Buta), Burhan Galiyun, hal. 272.

[4] Ma’ajim al-Lugah.

[5] Kasyfu Istilahat al-Funun, hal. 1034

[6] Al-Hudud, karya Al-Baji, hal. 31.

[7] HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Ini merupakan hadits shahih berdasarkan jalurnya. Lihat : Jami’ al-Ushul, jilid 3/611.

[8] Lihat : al-Mufradat, karya ar-Ragib al-Asfahani, hal. 342.

[9] Risalah fii al-Aql, al Farabi, hal. 8

[10] Lihat : al-Aql wa al-Ma’ayir, Andre Lalande, hal. 12.

[11] Al-Aqlaniyah al-Muashirah baina an-Naqd wa al-Haqiqah, Salim Yafut, cet. 2, th. 1989, dar ath-Thali’ah, Baerut, hal. 69.

[12] Qira’ah fi al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 36.

[13] Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Saliba, vol. 2, hal. 91

[14] Igtiyal al-Aql, hal. 250.

[15] Al-Mugni, karya Abdul Jabbar, vol. 11, hal. 318.

[16] Muktazilah –dan bukan mereka saja – mengatakan kesamaan akal pada semua manusia, berbeda dengan pendapat yang menyatakan adanya perbedaan level kejelasan dan kehadiran prinsip ini di antara kalangan manusia.

[17] Inilah akal menurut pandangan mutakallimin (teolog), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farabi.

[18] Muktazilah Baina al-Qadim wa al-Hadits, Karya Muhammad al-‘Abdah dan Thariq bin Abdul Halim, hal. 29.

[19] Lihat : Qira’aah fi al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 36.

[20] Al-Mas’alah ats-Tsaqafiyah, Karya Abid al-Jabiri, hal. 123.

[21] Idem, hal. 284.

[22] Lihat : idem, hal. 284.

[23] Binyatu al-Aql al-Arabiy, Muhammad Abid al-Jabiry, hal. 183.

[24] Al-Aqlaniyah al-Mu’ashirah, Salim Yafut, hal. 63.

[25] Padahal sebenarnya bahwa pemikiranlah yang harus memberdayakan ilmu empirik, membentuk filsafatnya dan mengalihkannya berdasarkan pada persfektifnya. Karena itulah, kita mendapati beragam filsafat yang saling kontradiktif –materialisme maupun idealisme- semuanya mengklaim diri berpatokan pada ilmu empiris.

[26] Qira’ah fii al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 31

[27] Igtiyal al-Aql, Burhan Galiyon, hal. 226.

[28] Idem, hal. 227.

[29] Al-Aql, Jil Kaston, alih bahasa: Henri Zagib, hal. 20.

[30] Qira’ah fii al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 37-42.

[31] Idem, hal. 40. Lihat : Muhammad Waqidi, Binaa an-Nazhariyah al-Falsafiyah, hal. 14, di mana, beliau menyebutkan beberapa isu masa depan di dunia hari ini, di mana Barat mengambil sikap yang ditolak oleh prinsip rasional murni dan rasional manusiawi. Tetapi Barat melegalisasinya sehingga dianggap rasional sedang penentangnya diposisikan tidak rasional seperti keterbelakangan yang menimpa dunia ke-3 dan Palestina, perbedaan derajat, persenjataan dan kelaparan massal

[32] Lihat : Hal Hunaka Aql Arabiy, Karya : Hisyam Gasib, hal. 111 

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form