Rasionalisme
Arab
Penulis: Prof.
Dr. Abdul Rahman Bin Zaid As-Zunaidi
Sumber: As-Salafiyah
Wa Qadhaya Al-Ashr (Salaf Dan Isu-Isu Kontemporer)
Alih Bahasa:
Idrus Abidin
Para
peneliti dalam hal ini menegaskan perbedaan mendasar yang membedakan
rasionalisme Arab dengan beragam rasionalisme lainnya. Yaitu dengan keberadaan
teks suci “wahyu” dalam budaya Arab
Islam, hal yang membuat rasionalisme tampak berdasarkan relasinya dengan teks.
Rasionalisme
Yunani sejak abad ke-6 sebelum Masehi tidak memiliki permasalahan dengan wahyu.
Karenanya tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu atau upaya penyelarasan
antara keduanya. Akal dengan intuisinya atau dengan argumentasinya menjadi raja
satu-satunya yang menguasai bidang keilmuan.[1]
Adapun
rasionalisme Barat modern pada perkembangannya, sekalipun terus melakukan
pergolakan dengan teks-teks keagamaan yang telah menekan akal Eropa hingga
tahap letusan, akan tetapi ia berhasil menyelesaikan pergolakan itu dengan
wahyu, lalu memposisikan akal sebagai penggantinya dan memberikan legalitas
secara resmi untuknya.
Sementara
rasionalisme Arab, ia tampak dan akan senantiasa tampak pada suasana di mana
persfektif terhadap kesucian wahyu sangat mendominasi dengan dukungan keimanan
yang kokoh bahwa ia merupakan wahyu dari Allah. Juga bahwa kebenaran tampak
darinya yang tidak bisa menerima keraguan, sehingga terhitung sulit untuk menerobos
keimanan tersebut demi untuk rasionalisasi pemikiran Islam.
Karena
itulah, rasionalisme, apa pun bentuknya, akan senatiasa terdefinisikan
berdasarkan sikapnya terhadap teks-teks. Bahkan sikap kepada rasionalisme dalam
lingkup masyarakat Islam diberikan sesuai dengan sikap yang diambilnya terhadap
teks-teks tersebut.
Macam-Macam
Rasionalitas.
Ust.
Hassam Alusi[2] membagi
rasionalisme Arab dengan pembagian yang luas hingga 7 macam, yaitu:
1. 1. Rasionalisme
keagamaan ekstrim. Ini melampaui akal dan menganggapnya bodoh. Di mana, mereka
melihat bahwa ketundukan kepada persfektif ghaib adalah puncak rasionalitas.
Jenis ini terdapat dua macam :
§ Rasionalisme kaum sufi yang berbasis pada pengetahuan
ladunni.
§ Rasionalisme teks yang berbasis pada wahyu
2. 2. Rasionalisme
keagamaan terbuka/fleksibel. Melihat bahwa agama dan akal tidak bertentangan,
tatapi agamalah yang membatasi dan mengarahkan akal. Mereka menganggap bahwa
yang paling tampak jelas mewakili kecenderungan ini adalah al-Kindi dan
Muktazilah !!
3. 3. Rasionalisme
teologis. Mengandalkan akal semata, tetapi mengakui keberadaan Allah dan bisa
jadi mengakui keberadaan akhirat juga, seperti pada diri Ibnu Rawandi,
al-Ma’arriy, dan ar-Razi sang dokter.
4. 4. Rasionalisme
teologis. Tetap mengandalkan akal tetapi tidak dianggap bertentangan dengan
teks-teks selama ditakwil berdasarkan retorika filsafat, sebagaimana pandangan
filosof secara umum.
5. 5. Rasionalisme
sekuler. Memisahkan dunia dan agama dengan membatasi agama hanya sebagai hubungan
pribadi dengan Tuhan.
6. 6. Rasionalisme
rasio murni. Tidak memberikan otoritas kecuali terhadap akal. Dan ini beragam :
§ Rasionalisme keraguan. Metodenya meragukan segala hal
sampai diselidiki oleh akal itu sendiri.
§ Rasionalisme empiris. Menolak semua yang tidak bisa
diketahui kecuali via indera, menolak metafisika dan memproklamirkan
berakhirnya peran agama, seni dan filsafat.
§ Rasionalisme pragmatis. Yaitu rasionalisme yang diperalat,
yang kita jelaskan sebelumnya bahwa Barat mengeluhkan hegemoninya.
7. 7. Rasionalisme hak
asasi. Yaitu rasioanalitas yang mengandalkan hasil kesepakatan lembaga-lembaga
dunia dan organisasi-organisasi internasioal demi untuk menolak pandangan
keagamaan yang berbeda.
Pembagian
ini menggambarkan bentuk setiap karakter yang memperlihatkan sikap pemikiran
yang menganggap bahwa sikap merekalah yang rasional dan logis, bukan yang lain.
Akan tetapi, kita tidak melupakan pengertian rasionalisme dalam pemikiran Arab
modern melalui pengertian berdasarkan budaya, yakni struktur pemikiran yang
diberikan kepada mereka-mereka yang berafiliasi kepadanya, berupa status
rasioanalitas pada internal mereka atau dari luar mereka.
Di sini
kita mendapatkan dua bentuk rasionalisme yang terdefinisikan dan terbedakan
juga berdasarkan sikap mereka berdua terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam,
yaitu wahyu yang berwujud al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bentuk
pertama :
Yaitu
rasionalisme yang terputus dari Islam secara total, baik sebagai wahyu maupun
secara warisan pemikiran (turats). Yang mana, ia melihat teks –di sini,
wahyu dan warisan pemikiran saling terkait- sebagai otoritas yang menghambat
akal, dan menghalangi gerakan akal yang produktif. Jika saja rasionalisme ini
didahului oleh contoh yang diteladani, yaitu rasionalisme Barat pada zaman
modern, maka rasionalisme –Barat- ini tidaklah terwujud dan tidak berkembang
positif kecuali jika akal dibebaskan
dari wahyu dan berusaha membebaskan pengetahuan dari lembaga keagamaan dan akal
serta nilainya ditarik dari agama dan dari kegiatan yang selama ini dilakoni.[3]
Demikianlah,
bangkitnya rasionalisme tergantung dari upaya meruntuhkan referensi keagamaan
dan teks-teks agama, karana teks ini dengan tuntunannya berupa sikap penuh
perasaan (iman) terhadap nalar manusia, mengandung hal-hal yang bertentangan
dengan metodologi rasional murni :
Metodologi
rasional berstatus manusia murni dalam hal referensi dan sarana-sarananya.
Sementara metode agama berpedoman pada wahyu yang diyakini berasal dari langit.
Metodologi
rasional murni, penuh keraguan dan sikap kritis. Berbeda dengan metodologi
keagamaan yang mengandalkan keimanan dan sikap pasrah. Demikianlah tampak sikap
para pemangku agama dan kaum rasionalis berpijak pada dunia yang berbeda,
sekalipun mereka sedang berusaha menyelesaikan satu permasalahan yang sama. [4]
Pemikiran
Barat tercerahkan ini berusaha keras meruntuhkan nilai kesucian dari teks-teks
keagamaan dan berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari kungkungan ilmu teologi.
Sementara, faktor psikologis, pemikiran dan sosial sangat membantu pemikiran
ini dalam menyelesaikan tugasnya, bisa jadi yang paling menonjol adalah
pencekikan total yang dilakukan oleh otoritas keagamaan terhadap pemikiran
bebas, keraguan yang ada bahkan sebelum era pencerahan seputar validitas ketuhanan kitab-kitab yang
dianggap suci dan kejelasan yang tampak berbeda antara hal yang diberikan oleh
pengetahuan agama seputar alam dan manusia dengan apa yang ditemukan oleh ilmu
empiris modern. Ini dan hal lainnya, berperan serta dalam mewujudkan
rasionalisme pencerahan beserta tujuan-tujuannya dalam aspek pemikiran dan
sosial.
Akan
tetapi, masalah terkait rasionalisme Arab terhadap Islam jauh lebih sulit “sungguh
persfektif islami yang disepakati bersama seputar penurunan al-Qur’an merupakan
tantangan sesungguhnya bagi akal sejarah, kritis dan filosofis, bagaimanapun
tingkat pengungkapannya, mulai dari yang sangat sederhana hingga yang paling
mulia.[5]
[1] Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikri al-Arabi
al-Muashir, penelitian
Hassam Alusi, hal. 64.
[2] Isykaliyah al-Aqlaniyah fi
al-Fikr al-Arabiy, Hassam Alusi, dalam : Qadhaya Isykaliyah
fi al-Fikr al-Arabiy al-Muashir, hal. 77.
[3] Igtiyal al-Aql, hal. 240.
[4] Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikri al-Arabi
al-Muashir, penelitian
Hassam Alusi, hal. 66.
[5] Asy-Syahkshiyah al-Arabiyah al-Muslimah wa
al-Mashir al-Arabiy,
karya Hisyam Jait, hal. 125.
0 komentar:
Post a Comment