Wednesday, October 18, 2023

Rasionalisme Arab

 

Rasionalisme Arab


Penulis: Prof. Dr. Abdul Rahman Bin Zaid As-Zunaidi

Sumber: As-Salafiyah Wa Qadhaya Al-Ashr (Salaf Dan Isu-Isu Kontemporer)

Alih Bahasa: Idrus Abidin

 

Para peneliti dalam hal ini menegaskan perbedaan mendasar yang membedakan rasionalisme Arab dengan beragam rasionalisme lainnya. Yaitu dengan keberadaan teks suci “wahyu”  dalam budaya Arab Islam, hal yang membuat rasionalisme tampak berdasarkan relasinya dengan teks.

Rasionalisme Yunani sejak abad ke-6 sebelum Masehi tidak memiliki permasalahan dengan wahyu. Karenanya tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu atau upaya penyelarasan antara keduanya. Akal dengan intuisinya atau dengan argumentasinya menjadi raja satu-satunya yang menguasai bidang keilmuan.[1]

Adapun rasionalisme Barat modern pada perkembangannya, sekalipun terus melakukan pergolakan dengan teks-teks keagamaan yang telah menekan akal Eropa hingga tahap letusan, akan tetapi ia berhasil menyelesaikan pergolakan itu dengan wahyu, lalu memposisikan akal sebagai penggantinya dan memberikan legalitas secara resmi untuknya.

Sementara rasionalisme Arab, ia tampak dan akan senantiasa tampak pada suasana di mana persfektif terhadap kesucian wahyu sangat mendominasi dengan dukungan keimanan yang kokoh bahwa ia merupakan wahyu dari Allah. Juga bahwa kebenaran tampak darinya yang tidak bisa menerima keraguan, sehingga terhitung sulit untuk menerobos keimanan tersebut demi untuk rasionalisasi pemikiran Islam.

Karena itulah, rasionalisme, apa pun bentuknya, akan senatiasa terdefinisikan berdasarkan sikapnya terhadap teks-teks. Bahkan sikap kepada rasionalisme dalam lingkup masyarakat Islam diberikan sesuai dengan sikap yang diambilnya terhadap teks-teks tersebut.

 

Macam-Macam Rasionalitas.

Ust. Hassam Alusi[2] membagi rasionalisme Arab dengan pembagian yang luas hingga 7 macam, yaitu:

1.      1. Rasionalisme keagamaan ekstrim. Ini melampaui akal dan menganggapnya bodoh. Di mana, mereka melihat bahwa ketundukan kepada persfektif ghaib adalah puncak rasionalitas. Jenis ini terdapat dua macam :

§  Rasionalisme kaum sufi yang berbasis pada pengetahuan ladunni.

§  Rasionalisme teks yang berbasis pada wahyu

2.     2.  Rasionalisme keagamaan terbuka/fleksibel. Melihat bahwa agama dan akal tidak bertentangan, tatapi agamalah yang membatasi dan mengarahkan akal. Mereka menganggap bahwa yang paling tampak jelas mewakili kecenderungan ini adalah al-Kindi dan Muktazilah !!

3.      3. Rasionalisme teologis. Mengandalkan akal semata, tetapi mengakui keberadaan Allah dan bisa jadi mengakui keberadaan akhirat juga, seperti pada diri Ibnu Rawandi, al-Ma’arriy, dan ar-Razi sang dokter.

4.      4. Rasionalisme teologis. Tetap mengandalkan akal tetapi tidak dianggap bertentangan dengan teks-teks selama ditakwil berdasarkan retorika filsafat, sebagaimana pandangan filosof secara umum.

5.      5. Rasionalisme sekuler. Memisahkan dunia dan agama dengan membatasi agama hanya sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan.

6.      6. Rasionalisme rasio murni. Tidak memberikan otoritas kecuali terhadap akal. Dan ini beragam :

§  Rasionalisme keraguan. Metodenya meragukan segala hal sampai diselidiki oleh akal itu sendiri.

§  Rasionalisme empiris. Menolak semua yang tidak bisa diketahui kecuali via indera, menolak metafisika dan memproklamirkan berakhirnya peran agama, seni dan filsafat. 

§  Rasionalisme pragmatis. Yaitu rasionalisme yang diperalat, yang kita jelaskan sebelumnya bahwa Barat mengeluhkan hegemoninya.

7.      7. Rasionalisme hak asasi. Yaitu rasioanalitas yang mengandalkan hasil kesepakatan lembaga-lembaga dunia dan organisasi-organisasi internasioal demi untuk menolak pandangan keagamaan yang berbeda.

Pembagian ini menggambarkan bentuk setiap karakter yang memperlihatkan sikap pemikiran yang menganggap bahwa sikap merekalah yang rasional dan logis, bukan yang lain. Akan tetapi, kita tidak melupakan pengertian rasionalisme dalam pemikiran Arab modern melalui pengertian berdasarkan budaya, yakni struktur pemikiran yang diberikan kepada mereka-mereka yang berafiliasi kepadanya, berupa status rasioanalitas pada internal mereka atau dari luar mereka.

Di sini kita mendapatkan dua bentuk rasionalisme yang terdefinisikan dan terbedakan juga berdasarkan sikap mereka berdua terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam, yaitu wahyu yang berwujud al-Qur’an dan as-Sunnah.

Bentuk pertama :

Yaitu rasionalisme yang terputus dari Islam secara total, baik sebagai wahyu maupun secara warisan pemikiran (turats). Yang mana, ia melihat teks –di sini, wahyu dan warisan pemikiran saling terkait- sebagai otoritas yang menghambat akal, dan menghalangi gerakan akal yang produktif. Jika saja rasionalisme ini didahului oleh contoh yang diteladani, yaitu rasionalisme Barat pada zaman modern, maka rasionalisme –Barat- ini tidaklah terwujud dan tidak berkembang positif kecuali  jika akal dibebaskan dari wahyu dan berusaha membebaskan pengetahuan dari lembaga keagamaan dan akal serta nilainya ditarik dari agama dan dari kegiatan yang selama ini dilakoni.[3]

Demikianlah, bangkitnya rasionalisme tergantung dari upaya meruntuhkan referensi keagamaan dan teks-teks agama, karana teks ini dengan tuntunannya berupa sikap penuh perasaan (iman) terhadap nalar manusia, mengandung hal-hal yang bertentangan dengan metodologi rasional murni :

Metodologi rasional berstatus manusia murni dalam hal referensi dan sarana-sarananya. Sementara metode agama berpedoman pada wahyu yang diyakini berasal dari langit.

Metodologi rasional murni, penuh keraguan dan sikap kritis. Berbeda dengan metodologi keagamaan yang mengandalkan keimanan dan sikap pasrah. Demikianlah tampak sikap para pemangku agama dan kaum rasionalis berpijak pada dunia yang berbeda, sekalipun mereka sedang berusaha menyelesaikan satu permasalahan yang sama. [4]

Pemikiran Barat tercerahkan ini berusaha keras meruntuhkan nilai kesucian dari teks-teks keagamaan dan berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari kungkungan ilmu teologi. Sementara, faktor psikologis, pemikiran dan sosial sangat membantu pemikiran ini dalam menyelesaikan tugasnya, bisa jadi yang paling menonjol adalah pencekikan total yang dilakukan oleh otoritas keagamaan terhadap pemikiran bebas, keraguan yang ada bahkan sebelum era pencerahan  seputar validitas ketuhanan kitab-kitab yang dianggap suci dan kejelasan yang tampak berbeda antara hal yang diberikan oleh pengetahuan agama seputar alam dan manusia dengan apa yang ditemukan oleh ilmu empiris modern. Ini dan hal lainnya, berperan serta dalam mewujudkan rasionalisme pencerahan beserta tujuan-tujuannya dalam aspek pemikiran dan sosial.

Akan tetapi, masalah terkait rasionalisme Arab terhadap Islam jauh lebih sulit “sungguh persfektif islami yang disepakati bersama seputar penurunan al-Qur’an merupakan tantangan sesungguhnya bagi akal sejarah, kritis dan filosofis, bagaimanapun tingkat pengungkapannya, mulai dari yang sangat sederhana hingga yang paling mulia.[5]



[1] Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikri al-Arabi al-Muashir, penelitian Hassam Alusi, hal. 64.

[2] Isykaliyah al-Aqlaniyah fi al-Fikr al-Arabiy, Hassam Alusi, dalam : Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikr al-Arabiy al-Muashir, hal. 77.

[3] Igtiyal al-Aql, hal. 240.

[4] Qadhaya Isykaliyah fi al-Fikri al-Arabi al-Muashir, penelitian Hassam Alusi, hal. 66.

[5] Asy-Syahkshiyah al-Arabiyah al-Muslimah wa al-Mashir al-Arabiy, karya Hisyam Jait, hal. 125.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form