Friday, March 23, 2012

Prinsip-Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (Bag.3)


Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal


13. Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Tidaklah ia menjadi lemah jika berkata, “Bukan makhluk.” Ia berkata, “Sesungguhnya Kalam Allah tidaklah lebih jelas darinya, dan sedikitpun darinya bukan makhluk. Janganlah kamu mendebat orang yang mengada-ngada padanya[1], kelompok lafzhiyah[2] dan selainnya, serta orang yang tidak bersikap pada masalah ini dengan berkata, “Saya tidak tahu apakah ia makhluk atau bukan. Yang jelas ia adalah Kalam Allah.” Ini adalah sikap ahlu bid`ah,[3] seperti orang yang berkata, “Ia adalah makhluk.” Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah, dan bukan makhluk.[4]
14. Beriman kepada ru’yah (melihat Allah) pada hari akhirat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits-hadits yang shahih.[5]
15. Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melihat Rabb-nya, dan berita ini ma’tsur dan shahih dari Rasulullah. Diriwayatkan oleh Qatadah dari `Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakam bin Abaan[6] dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Ali bin Zaid[7] meriwayatkannya juga dari Yusuf bin Mihran[8] dari Ibnu Abbas.[9] Kami memahami hadits ini secara zhahirnya, sebagaimana ia berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan pembicaraan (perdebatan) dalam masalah ini adalah bid`ah. Hendaklah kita beriman kepadanya sesuai dengan zhahir haditsnya dan kita tidak memperdebatkannya lagi dengan siapa pun.
16. Beriman kepada adanya Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
يُوْزَنُ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ فَلاَ يَزِنُ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ
“Pada har kiamat nanti hamba akan ditimbang, dan beratnya tidak lebih dari berat sayap nyamuk.”[10]
Pada hadits lain disebutkan :
تُوْزَنُ  أَعْمَالُ العَبْدِ
“Amal-amal para hamba akan ditimbang (nanti pada hari kiamat).
Sebagaimana terdapat di dalam atsar,[11] dan harus diimani dan dipercayainya.[12] (3/12/1), serta berpaling dari orang yang membantah keberadaannya dan tidak mengajaknya berdebat kusir.
17. Bahwa Allah Ta`ala akan berbicara dengan para hamba-Nya pada hari kiamat nanti tanpa ada penerjemah antara Allah dengan mereka, dan wajib mengimani dan mempercayainya.[13]
18. Beriman kepada Al-Haudh (telaga), dan bahwa Rasulullah mempunyai telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh para umatnya. Luasnya seperti perjalanan sepanjang satu bulan, bejana-bejananya sebanyak jumlah bintang-bintang di langit, sesuai dengan hadits-hadits yang shahih tanpa ada perbedaan.[14]  
19. Mengimani akan adanya adzab kubur.[15]
20. Bahwa umat ini akan menemui fitnah kubur dan akan ditanya tentang iman dan Islam, siapa Tuhannya? Siapa nabinya? Dan ia akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir sesuai kehendak Allah Azza wa Jalla dan menurut yang Allah tetapkan. Dan wajib beriman dan mempercayai peristiwa fitnah kubur tersebut.[16]
21. Beriman terhadap adanya syafaat Rasululah, dan terhadap adanya kaum yang keluar dari neraka setelah mereka dibakar dan telah menjadi arang, lalu mereka diperintahkan menuju ke sungai yang terletak di pintu surga –sebagaimana dijelaskan di dalam atsar- sesuai kehendak Allah dan menurut yang Dia telah tetapkan. Tidak ada pilihan lain kecuali mengimani dan mempercayai hal tersebut.[17]
22. Mengimani berita tentang Al-Masih Ad-Dajjal akan keluar (ke bumi), dan di antara kedua matanya terdapat tulisan “Kafir”.[18] Hadits-hadits yang menerangkan tentang masalah itu cukup banyak, dan wajib mempercayai bahwa hal tersebut pasti akan terjadi.
23. Bahwa Isa putera Maryam Alaissalam akan turun (ke bumi) dan membunuh Dajjal di pintu Ludd.[19]
24. Iman meliputi ucapan dan perbuatan. Iman dapat bertambah dan berkurang[20] (13/12/3), sebagaimana dijelaskan di dalam khabar :
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Orang-orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya.” [21]
25. (وَمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَقَدْ كَفَرَ) “Barangsiapa yang meninggalkan shalat sungguh ia telah kafir.”[22]
Tidak ada satu amal pun yang jika ditinggalkan akan membuat seseorang kafir selain shalat,[23] maka barangsiapa yang meninggalkannya sungguh ia telah kafir dan Allah telah menghalalkan untuk membunuhnya.
26. Sebaik-baik manusia dari umat ini setelah Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan. Kami utamakan mereka bertiga karena demikianlah para shahabat Rasulullah mengutamakan mereka bertiga, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka tentang masalah ini. Kemudian setelah mereka yang tiga ini, peringkat selanjutnya adalah para anggota syura yang lima; Ali bin Abi Thalib, Thalhah,[24] Az-Zubair, Abdurrrahman bin Auf, dan Sa`ad. Semuanya layak menjadi khalifah dan semuanya adalah imam. Kami akan menunjukkan sebuah hadits yang berkenaan dengan masalah ini, yaitu hadits Ibnu Umar: “Dulu kami mengurutkan derajat tingkatan para shahabat, padahal saat itu Rasulullah masih hidup. Peringkat urutan mereka adalah : Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Utsman, kemudian kami diam”[25]  lalu para anggota Syura, setelah itu ahlu Badar dari kaum Muhajirin, kemudian ahlu Badar dari kaum Anshar dari para shahabat Rasulullah, dengan berpatokan pada hijrah dan yang lebih dahulu masuk Islam.[26]
Bersambung ke Bag 4 pada Link Berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/03/prinsip-prinsip-akidah-ahlu-sunnah-bag4.html

[1] Sesuai dengan hadits : المِرَاءُ فِيْ القُرْآنِ كُفْرٌ  Berdebat dalam masalah Al-Qur’an adalah kekafiran.” (HR. Abu Dawud dan selainnya. Lihat : Shahih Al-Jami` 6687). Imam Ath-Thahawi berkata di dalam kitab Aqidah nya, “Kami tidak pernah berpanjang lebar membahas masalah Allah, dan kami tidak mengada-ada pada agama Allah.” Makruh yang disebutkan adalah makruh yang diharamkan, sebagaimana yang kami sebutkan tadi.
[2] Al-Lafzhiyah adalah orang-orang yang mengatakan bahwa lafazh Al-Qur’an adalah makhluk. (Asy-Syari`ah, Al-Ajurri, hal. 89).
[3] Mereka ini adalah yang disebut dengan kelompok Al-Waqifah (diam dan tidak bersikap).
[4] Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. At-Taubah : 6), dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-A`raf : 54).
Ibnu `Uyaynah dan selainnya berkata, “Al-Khalq : Makhluk Allah Tabaraka wa Ta`ala, dan Al-Amru : Al-Qur’an.” Umar –Radhiyallahu Anhu- berkata, “Al-Qur’an adalah Kalam Allah, janganlah kalian memalingkannya kepada pendapat-pendapat kalian.” (Hasan Li Ghairihi- Asy-Syari`ah, (Tsa : 69).
Imam Malik berkata, “Al-Qur’an adalah Kalam Allah Azza wa Jalla, sungguh sangat mengerikan orang yang berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.” Orang seperti itu, menurut Malik, haruslah dicambuk dan dipenjara sampai mati. (Diriwayatkan oleh Al-Ajuri dengan sanad yang shahih, : 79).
Asy-Syafi`I berkata, “Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakannya sebagai makhluk, maka sungguh ia telah kafir.” (Ia riwayatkan di dalam Asy-Syari`ah, 90 dengan sanad shahih, dan Ibnu Baththah 2/ ق 577). Rujuk : At-Ta`liq Ala Ath-Thahawiah, hal. 24, 38, 39, dan Al-Wasithiyyah 46 : 50. 
[5] Dengan dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Yunus : 26). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menafsirkan kata الزيادة yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah bahwa orang-orang mukmin melihat Tuhan mereka pada hari kiamat. Sebagaimana yang terdapat di dalam hadits Shuhaib -Radhiyallahu Anhu-. (HR. Muslim, 181), dan lihat takrijnya di dalam Asy-Syari`ah, 393.
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Qiyamah : 22-23), dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ لاَ تُضَامُوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ
Kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari kiamat nanti seperti kalian bulan ini, kalian tidak terhalangi oleh apa pun dalam melihat-Nya.” (Muttafaq Alaihi). Yakni, penglihatan orang-orang mukmin kepada Tuhan mereka pada hari kiamat. (Al-Wasithiyyah, hal. 51). Hadits-haditsnya mutawatir sebagaimana disebutkan oleh sekelompok ulama, seperti Al-Hafizh di dalam Al-Fath, 1/203. 
[6] Al-Hakam bin Abaan : Al-Hafizh berkata tentang dia di dalam At-Taqrib, “Dia orang jujur dan ahli ibadah. Ia mempunyai waham (kebimbangan).”
[7] Ali bin Zaid, ia adalah Ibnu Jud`an : Adz-Dzahabi berkata tentang dirinya, “Ia salah seorang hafizh, dan bukan orang yang tsabit.” (Al-Kasyif : 2/85). Imam Ibnu Katsir berkata, “Ia mempunyai hadits-hadits munkar.” (Tafsir Ibnu Katsir : 1/299). Pada kesempatan lain Ibnu Katsir berkata, “Ia dhaif dan gharib dalam periwayatannya.” (Tafsir Ibnu Katsir : 1/340). Al-Hafizh berkata tentang derajatnya di dalam At-Taqrib, “Dhaif”, dan Syaikh kami Al-`Allamah Al-Albani berkata tentang derajatnya, “Dhaif dari segi hapalannya, dan sebagian menghasankan haditsnya.” (As-Silsilah Ash-Shahihah : 1/524). Al-Hafizh berkata dalam At-Tahdzib (7/324), “Muslim meriwayatkan darinya bersama dengan yang lainnya.”
[8] Yusuf bin Mihran Al-Bashri : Al-Hafizh berkata di dalam At-Taqrib tentang dirinya, “Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali hanya Ibnu Jud`an, haditsnya layyin”, dan Syaikh kami sependapat dengannya mengenai derajatnya, sebagaimana terdapat di dalam Ash-Shahihah : 5/27.
[9] Hadits ini Shahih, dan darinya pula Radhiyallahu Anhu riwayat shahih tentang kebalikannya, ia membaca (QS. An-Najm : 11-12), ia berkata, “Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melihat-Nya dua kali dengan mata hatinya.” (Mukhtashar Muslim : 83). Tidak benar bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma telah menyatakan dengan terang-terangan bahwa beliau melihat dengan mata penglihatan biasa, akan tetapi terkadang ia menyebutkan secara umum di dalam beberapa riwayat dengan ru`yah (melihat) saja dan pada riwayat-riwayat yang lain ia menyebutkan seara khusus dengan menyertakan kata Fuad (mata hati), sebagaimana yang terdapat pada atsar terakhir disebutkan di sini.
Al-Hafizh Ibnu Hajar –Rahimahullah- berkata, “Terdapat khabar-khabar dari Ibnu Abbas yang sifatnya umum dan khusus, maka yang umum harus disandarkan kepada yang khusus.” Ia juga berkata, “Dalam masalah Rasulullah melihat Allah, antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan hal tersebut dengan pendapat Aisyah yang menafikan dan menolak, keduanya bisa dipadukan dengan menjadikan penolakan Aisyah untuk penglihatan dengan mata biasa dan penetapan Ibnu Abbas untuk penglihatan dengan mata hati. Kemudian yang di maksud dengan mata hati adalah penglihatan dengan jiwa bukan sekedar tercapainya pengetahuan, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengetahui Allah Subhanahu wa Ta`ala selamanya. (Fath Al-Bari 8/474).
Syaikh kami menta`liq hadits Ibnu Abbas dalam masalah melihat dengan mata hati dengan berkata, “Saya katakan, ‘Walaupun hadits ini mauquf, namun yang dimaksudkan adalah bahwa beliau tidak melihat-Nya dengan mata biasanya sehingga tidak bertentangan dengan hadits Aisyah yang dengan tegas menafikan adanya ru’yah, sebab yang ia maksudkan adalah melihat dengan mata biasa. Hal tersebut seperti hadits Abu Dzar, ia berkata, ‘Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Apakah engkau telah melihat Rabb-mu?’ Beliau menjawab, ‘Cahaya yang saya lihat.’ (HR. Muslim). Hadits ini betul bertentangan dengan hadits Aisyah dari sisi lain, di mana Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang firman Allah Ta`ala, (QS. An-Najm : 12), beliau menjawab,
  ( إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَم ......)Sesungguhnya itu adalah Jibril Alaihissalam..” dan sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa hadits marfu` lebih diutamakan dari pada hadits mauquf. (Mukhtashar Muslim, hal. 29, dan Ta`liq Ala Ath-Thahawiah, hal. 27).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata, “Terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau telah bersabda, (رَأَيْتُ رَبِّيْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى)Saya telah melihat Rabb-ku Tabaraka wa Ta`ala.” Namun peristiwa itu bukan pada saat peristiwa Isra, akan tetapi terjadi di Madinah pada saat beliau dikepung, kemudian beliau mengkhabarkan kepada mereka bahwa beliau telah melihat Allah  Tabaraka wa Ta`ala pada malam tersebut di dalam tidurnya. Dengan landasan inilah Imam Ahmad –Rahimahullah- berpendapat demikian seraya berkata, “Betul, beliau telah melihat-Nya, beliau telah melihat-Nya dengan benar, karena mimpi para nabi pasti benar.” Akan tetapi, Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa Rasulullah  melihat-Nya dengan mata kepala dalam keadaan sadar. Barangsiapa yang meriwayatkan darinya seperti itu maka ia telah membuat keraguan padanya. Namun, terkadang ia berkata, “Beliau melihat-Nya”, dan pada lain waktu ia berkata, “Beliau melihat-Nya dengan mata hatinya”, lalu diriwayatkanlah darinya dua versi riwayat, dan ada riwayat ketiga yang berasal dari beberapa shahabat Imam Ahmad dengan tambahan bahwa beliau (Rasulullah) melihat-Nya dengan mata kepalanya. Padahal nash-nash riwayat Imam Ahmad masih ada lengkap dan tidak ada sama sekali tambahan semacam itu. (Majmu` Al-Fatawa 6/509).
[10] Hadits Shahih, Muttafaq Alaih. Lihat : Fath Al-Bari 8/279-4829, dan Muslim 4/2147, dari hadits Abu Hurairah marfu` :
إِنَّهُ لَيَاْتِيْ الرَّجُلُ العَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ القِيَامَةِ, لاَ يَزِنُ عِنْدَ الله جُنَاحَ بَعُوْضَةٍ.
“Sesungguhnya akan datang pada hari kiamat seseorang yang tubuhnya besar dan gemuk, namun beratnya tidak melebihi berat sayap nyamuk di sisi Allah”, lalu beliau berkata, “Hendaklah kalian membaca, (QS. Al-Kahfi : 15).
[11] Di antaranya adalah hadits Al-Bithaqah (Ash-Shahihah : 135). Timbangan di hari akhirat akan digunakan untuk menimbang tiga unsur; hamba, amal-amalnya, dan shuhuf-shuhufnya (lembaran-lembaran amal).
[12] Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. Al-Anbiyaa: 47), dan hadits :
مَا مِنْ شَيْئٍ يُوْضَعُ فِيْ المِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حثسءنِ الخُلُقِ
“Tidak ada satu pun yang diletakkan di atas Mizan yang paling berat kecuali akhlak yang baik.” (Shahih Al-Jami` 5726 – Ash-Shahihah : 876).
Juga di dalam hadits :
كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ, ثَقِيْلَتَانِ فِيْ المِيْزَانِ : سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ, سُبْحَانَ الله العَظِيْمِ
“Ada dua kalimat yang paling dicintai oleh Allah, sangat ringan diucapkan oleh lisan, tetapi sangat berat timbangannya di akhirat, yaitu: Subhanallah wa Bihamdih (Mahasuci Allah dan segala pujian bagi-Nya) dan Subhanallah  Al-Azhim (Mahasuci Allah lagi Mahaagung).Muttafaq Alaih dari hadits Abu Hurairah, Al-Bukhari : 7563, dan Muslim : 2694.
[13] Hadits shahih, Muttafaq Alaih. Redaksi awal hadits tersebut adalah :
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَسَيُكَلِّمُهُ الله يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَان
Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali pasti akan berbicara dengan Allah pada hari kiamat, dan tidak ada penerjemah di antara ia dan Allah.” (HR. Al-Bukhari : 6539, dan Muslim : 1016), keduanya dari hadits ‘Ady binHatim –Radhiyallahu Anhu-.  
[14] Allah Ta`ala berfirman, (QS. Al-Kautsar : 1). Terdapat beberapahadits yang shahih dan mutawatir yang berkenaan dengan masalah ini, di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
حَوْضِيْ مَسِيْرَةُ شَهْرٍ, وَزَوَايَاهُ سَوَاءٌ, وَمَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ, وَرِيْحُهُ أَطْيَبُ مِنَ المِسْكِ, وَكِيْزَانُهُ كَنُجُوْمِ السَّمَاءِ, مَنْ يَشْرَبُ مِنْهُ فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا
“Telagaku (luasnya) sepanjang perjalanan selama sebulan, sudut-sudatnya sama, airnya lebih putih dari pada susu, baunya lebih harum dari pada parfum, bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang di langit. Barangsiapa yang meminum air padanya, ia tidak akan pernah merasa haus lagi untuk selama-lamanya.” (HR. Al-Bukhari : 6579, dan Muslim : 292) dari hadits Abdullah bin Amru –Radhiyallahu Anhuma-.
Di dalam hadits Abu Dzar yang derajat haditsnya marfu` disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
وَالذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لآنِيَتِهِ –أَي الحَوْض- أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ نُجُوْمِ السَّمَاءِ, وَكَوَاكِبُهَا أَلاَ فِيْ اللَّيْلَةِ المُظْلِمَةِ المصحة, آنِيَة ُ الجَنَّةِ, مَنْ شَرِبَ مِنْهَا لَمْ يَظْمَأْ –آخِرُ مَا عَلَيْهِ- يَشْخَبُ فِيْهِ مِيْزَابَان مِنَ الجَنَّةِ,  مَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ, عَرْضُهُ مِثْلُ طُوْلِهِ, مَا بَيْنَ عَمَّان إِلَى أَيْلَة, مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ, وَأَحْلَى مِنَ العَسَلِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh bejana-bejananya –yaitu telaga- lebih banyak dari jumlah bintang-bintang di langit yang bercahaya pada malam yang gelap gulita, sebagai bejana surga. Barangsiapa yang minum padanya, ia tidak akan pernah merasa haus lagi. Lebarnya seperti panjangnya antara Oman dan Ailah”, airnya lebih putih daripada susu, dan lebih manis dari madu.” (HR. Muslim : 30). Lihat : At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 30, dan riwayat-riwayat para shahabat tentang masalah Al-Haudh (telaga) dan Al-Kautsar (nikmat yang banyak)’ telah disebutkan hadits-hadits yang berasal dari sekelompok shahabat yang jumlahnya lebih dari 60 shahabat seputar masalah tersebut, dan sekelompok Imam-Imam telah mengakui kemutawatiran nash-nash tersebut, di antara mereka Imam An-Nawawi, Ibnu Abdil Barr, Al-Qurthubi, Ibnu Hajar, dan selainnya yang jumlahnya cukup banyak.
[15] Nash-nash tentang adzab dan nikmat di dalam kubur mutawatir juga, di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
اسْتَجِيْرُوْا بِالله مِنْ عَذَابِ القَبْرِ, فَإِنَ عَذَابَ القَبءرِ حَقٌّ
Hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, karena sesungguhnya adzab kubur itu benar-benar ada (haq).” (Ash-Shahihah : 1444, 1377). Lihat : At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 50. 
[16] Dalilnya adalah hadits Al-Barra’ bin `Azib –Radhiyallahu Anhu- dan ia adalah hadits shahih. (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selian keduanya. Lihat : Ahkaam Al-Janaiz : 155).
Di dalam hadits yang Muttafaq Alaih dijelaskan :
إِنَّهُ أُوْحِيَ أَنَّكُمْ تُفْتَنُوْنَ فِيْ القُبُوْرِ
Sesungguhya telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan mendapat fitnah kubur.” (HR. Al-Bukhari : 86, dan Muslim : 903) dari hadits Aisyah –Radhiyallahu Anha-.
Juga terdapat hadits yang berbunyi :
إِذَا قُبِرَ المَيِّتُ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ, يُقَالُ لأَحَدِهِمَا المُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيْرُ
“Apabila seseorang mayit dikuur, ia akan didatangi oleh dua orang malaikat yang hitam lagi biru. Salah satunya disebut Munkar dan yang lainnya disebut Nakir.” (Hasan – Ash-Shahihah : 1391). Lihat : At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 50.
[17] Hadits yang memberikan isyarat kepadanya derajatnya Muttafaq Alaih dari hadits Abu Said. (HR. Al-Bukhari : 6560, dan Muslim : 184).
Ibnu Abi Ashim –Rahimahullah- berkata, “Akhbar (hadits-hadits) yang kami riwayatkan dari Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai keutamaan yang Allah karuniakan kepada beliau berupa syafaat dan beliau dapat memberikan syafaat kepada orang yang diizinkan oleh Allah untuk mendapat syafaat beliau, adalah hadits-hadits yang tsabit dan wajib diketahui hakikatnya seputar apa yang kami riwayatkan, dan orang yang menutup-nutupinya hadits-hadits Mutawatir yang wajib diketahui oleh semua orang adalah hukumnya kafir. Semoga Allah menjadikan kita dan setiap orang yang mengimani adanya syafaat tersebut termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaat tersebut.” (As-Sunnah, hal. 385). Semua hadits-hadits yang menjelaskan tentang syafaat derajatnya Mutawatir. Lihat : At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 30, dan Syarahnya, hal. 229, serta kitab Asy-Syafa`ah karangan Syaikh Muqbil.
[18] Muttafaq Alaih dari hadits Anas dan selainnya marfu`. Pada hadits tersebut disebutkan :
مَا بَعَثَ الله مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ أَنْذَرَ قَوْمَهُ الأَعْوَرَ الكَذَّابَ, إِنَّهُ أَعْوَرٌ, وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرٍ, مَكْتُوْبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ
Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali nabi tersebut akan memperingatkan kaumnya tentang bahaya orang yang bermata satu lagi pembohong. Sungguh ia (Dajjal) bermata satu dan Allah Mahasui dari sifat bermata satu. Di antara dua matanya tertulis “Kafir”. (HR. Al-Bukhari : 7131, 7408, dan Muslim : 933). Syaikh kami Al-Albani –Hafizhahullah- berkata di dalam kitab At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 59, “Hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut semuanya mutawatir, sebagaimana diakui oleh kebanyakan para Huffazh cendikiawan, dan saya mempunyai risalah yang membahas tersebut. saya beri judul buku tersebut dengan nama “Qishshah Al-MAsih Ad-Dajjal wa Nuzul Isa Alahissalam, wa Qatluhu Iyyahu”. Saya berharap semaoga Allah memudahkan saya menjelaskan bahaya Dajjal.”
[19] Di dalam hadits An-Nawwas bin Sam`an yang marfu` disebutkan :
غَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُنِيْ عَلَيْكُمْ, إِنْ يَخْرُجْ وَأَنَا فِيْكُمْ فَأَنَا حَجِيْجُهُ دُوْنَكُمْ, وَإِنْ يَخْرُجْ وَلَسْتُ فِيْكُمْ فَامْرُؤٌ حَجِيْجُ نَفْسِهِ, والله خَلِيْفَتِيْ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ 
“…selain Dajjal, saya khawatirkan terhadap kalian. Apabila ia keluar dan saya ada bersama kalian, sayalah yang akan mengalahkannya tanpa melibatkan kalian, akan tetapi jika ia keluar sedang saya tidak lagi bersama kalian maka setiap orang harus menghadapinya sendiri. Sungguh Allah adalah penggantiku (dalam menjaga) setiap muslim.” (HR. Muslim : 2136 dan selainnya).
[20] Allah Ta`ala berfirman, (QS. Al-Fath : 4). Pada ayat lain Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-Ahzab : 22), dan firman-Nya, (QS. Ali Imran : 173).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari riwayat Abu Hurairah disebutkan :
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةٌ, وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ
“Iman mempunyai lebih dari 70 cabang, dan sifat malu adalah bagian dari iman.” (HR. Al-Bukhari : 9, dan Muslim : 35-1/63, serta nash-nash lainnya. Al-Bukhari menjadikannya bab tersendiri dengan nama “Bab Bertambah dan Berkurangnya Iman. (Al-Fath : 1/127), dan lihat juga awal kitab Al-Iman : 1/60).
Al-Hafizh menyebutkan di dalam Al-Fath (1/63) atsar Ibnu Mas`ud :
 “Ya Allah, tambahkanlah untuk kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman.” (Sanadnya dishahihkan dan dinisbatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Al-Iman).
Ditanyakan kepada Ibnu `Uyaynah, “Apakah iman dapat bertambah dan berkurang?” Ia menjawab, “Tidakkah kalian membaca Al-Qur’an?” (QS. Ali Imran : 173). Ditanyakan lagi kepadanya, “Apakah ia berkurang?” Ia menjawab, “Tidak ada sesuatu apapun yang bertambah kecuali pasti ia akan berkurang.” (Dikeluarkan oleh Al-Ajuri (Tsa 120) dan sanadnya shahih).
Inilah madzhab As-Salaf, berbeda dengan Al-Hanafiyyah dan Al-Maturudiyah, dan inilah yang paling jelas dinukil dari pengarang kitab Ath-Thahawiah. Lihat : Ta`liq Syaikh kami terhadap kitab tersebut, hal. 42-43).
[21] Hadits shahih dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. (Ash-Shahihah : 284).
[22] Hadits shahih dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. (Shahih At-Targhib : 564).
[23] Abdullah bin Syaqiq –Rahimahullah- berkata, “Para shahabat Rasulullah tidak melihat suatu amal pun yang dapat menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan selain shalat.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya (Shahih At-Targhib : 227/1-562).
Saya berkata, “Terdapat penjelasan lebih rinci dalam masalah ini bagi orang yang meninggalkan shalat karena ingkar, dan barangsiapa yang meninggalkannya karena malas tetapi meyakini bahwa itu adalah kewajiban, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf. Lihat : Risalah Hukmi Tariku Ash-Shalat, karangan Ustadz kami Al-Albani.” (Al-Abbasy).
[24] Syaikh kami berkata, “Pada asalnya tidak ada dan saya dapatkan di dalam Shahih Al-Bukhari (54/7).”
[25] Penulis –Rahimahullah- menyambungkan sanadnya (2/14), ia berkata, “Abu Mu`awiyah telah menceritakan kepada kami, Suhail bin Abi Shaleh telah menceritakan kepada kami dari bapaknya dari Ibnu Umar, ia berkata, ‘..lalu ia sebutkan matan haditsnya.’ Syaikh kami menshahihkan sanadnya sesuai dengan syarat Muslim (As-Sunnah :1195). Imam Ibnu Katsir menukil dalam kitab Tarikhnya (7/206) seperti itu dari riwayat Al-Bazar, kemudian ia berkata, ‘…dan ini sanadnya shahih menurut syarat Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan mereka tidak mengeluarkannya (Thalhah)’” !! (HR. Al-Bukhari : 36655, dan Ibnu `Ashim (hal. 552) dan selain mereka. 
[26] Hadits Shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Secara zhahir, sesungguhnya Ibnu Umar menginginkan dari penafiaan ini adalah bahwa mereka berijtihad dalam mengklasifikasikan tingkatan keutamaan para shahabat, dan mereka mendapati secara jelas dan meyakinkan bahwa ketiga shahabat tersebut paling utama dibandingkan yang lain, dan mereka menguatkan ijtihad tersebut. Pada saat itu mereka tidak menyandarkan kepada suatu nash.” -kemudaian ia berkata-, “Imam Ahmad melihat hadits Ibnu Umar ini sebagai sesuatu yang berkaitan dengan motivasi dalam mengurut tingkatan keutamaan shahabat, dan ia berhujjah dalam menjadikan Ali berada di peringkat keempat (khalifah) dengan hadits Safinah yang marfu` :
وَالخِلاَفَةُ ثَلاَثُوْنَ سَنَةٌ ثُمَّ تَصِيْرُ مَلَكًا
“….dan Khilafah akan berlangsung selama 30 tahun, kemudian setelah itu menjadi kerajaan.” Lihat : Al-Fath : 7/17, 54, 58 (Ash-Shahihah : 460). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang mencela dan mencemarkan kehormatan Khilafah (kepemimpinan) salah seorang di anatara para Imam tersebut, ia lebih buruk dari pada himar keluarganya (kaumnya).” (Majmu` Al-Fatawa: 3/153). Untuk tambahan dalam masalah ini, lihat Syarah Ath-Thahawiah, hal. 467, 489).

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form