Oleh : Idrus Abidin
Perdebatan tentang metode unggulan dalam
interpretasi al-Qur'an menghiasi sejarah tafsir. Metode tafsîr bi al-ma'tsûr dan tafsîr bi al-ra'yi adalah dua metode yang saling melengkapi dan
dianggap paling ideal dalam mendekati makna al-Qur'an. Kedua metode inilah yang
paling sering digunakan oleh para mufassir dalam aktifitas penafsiran mereka.
Kecendrungan untuk mengunggulkan salah
satu metode dari kedua metode di atas, hanyalah terkait dengan ilmu yang
dikuasai seorang mufassir.[1]
Oleh karenanya, ulama berusaha menyusun kriteria ilmu yang seharusnya dimiliki
oleh orang-orang yang hendak memasuki gerbang penafsiran. Kriteria ilmu yang
ditetapkan tersebut ada yang berkategori utama, seperti ilmu-ilmu al-Qur'ân, hadîts, atsar sahabat dan tabi'in (tafsir
qur'an dengan qur'an, qur'an dengan hadits, qur'an dengan pendapat sahabat,
qur'an dengan pendapat tatbi'in), ada pula yang berkategori pelengkap, seperti
ilmu bahasa dengan berbagai cabangnya, ilmu qirâ'at, ilmu ushuluddin, Ilmu Fiqh, ilmu Ushûl fiqhi dan lainnya[2]
Terkait dengan tafsir al-qur'an dengan
al-Qur'an, sarjana ulumul qur'an secara umum mengkategorisasikannya dalam
kerangka tafsir bi al-ma'tsur. Sebut saja misalnya al-Suyuthi. Ia menjelaskan
bahwa yang dimaksud tafsir bi al-ma'tsur adalah tafsir al-Qur'an dengan
al-Qur'an, atau hadits, atau pendapat sahabat, atau tabi'in. Dalam catatan
al-Suyuti, terminologi tersebut dapat ditelusuri hingga zaman Ibnu Taimiyah.
Dan memang dalam Muqaddimah Fii Ushul al-Tafsir, definisi demikian disampaikan
oleh Ibnu Taimiyah, tetapi ia tidak mengistilahkannya dengan tafsir bi al-ma'tsur.
Ia hanya menyebutnya ahsanu thuruq al-tafsir.[3]
Sejauh penelitian yang dilakukan oleh
Darmawan, istilah tafsir bi al-ma'tsur baru ditemukan melalui tafsir yang yang
ditulis oleh al-Suyuti sendiri dengan judul al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi
al-Ma'tsur.[4] Namun
yang dimaksud al-Suyuthi, sesuai dengan kandungan tafsirnya, bukanlah
penafsiran al-qur'an dengan alqur'an, atau hadits, atau pendapat para sahabat
dan tabi'in, tetapi penafsiran al-Qur'an dengan hadits dan pendapat para
sahabat saja. Dan memang dalam mukaddimah tafsirnya, al-Suyuti mengatakan bahwa
tafsirnya hanya memuat kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi saw. dan para
sahabat saja.[5]
Kemudian pada zaman moderen, al-Zarqani,
dalam kitabnya yang berjudul Manahil al-Irfan, mengadopsi gagasan Ibnu
Taimiyah secara utuh dan menamainya dengan al-tafsir bi al-ma'tsur. Ia mengategorisasikannya
sebagai bagian (qism) dari tafsir dan bukan lagi dalam kerangka thariqah
tafsir.[6]
Dalam kitabnya tersebut, ia menjelaskan bahwa tafsir terbagi ke dalam tiga
bagian, yaitu ; al-tafsir bi al-ma'tsur, al-tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi
al-isyari. Kemudian beliau menjelaskan bahwa tafsir bi al-ma'tsur adalah apa
yang terdapat di dalam al-qur'an, atau dalam sunnah atau pendapat sahabat yang
berfungsi sebagai penjelasan terhadap kehendak Allah swt. dalam kitab-Nya.[7]
Seiring dengan perkembangan wacana
keilmuan yang makin meluas pada zaman modern, muncul beberapa upaya untuk
melihat kebasahan tafsir al-qur'an dengan al-qur'an jika ditempatkan ke dalam
bingkai tafsir bi al-ma'tsur. Misalnya saja apa yang ditulis oleh Quraisy
Shihab tentang problem yang dihadapi tafsir al-qur'an dengan al-qur'an yang
terbingkai dalam koridor tafsir bi al-ma'tsur. Ia menulis :
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, sehubungan dengan
tafsir ini, antara lain adalah : Siapa yang berwenang menetapkan bahwa ayat A
ditafsirkan oleh ayat B ? Apakah hanya Rasulullah sendiri atau para sahabat,
bahkan atau juga ulama-ulama sesudahnya, misalnya al-Thabari dan Ibnu katsir?
Apa kriteria yang harus dikandung oleh masing-masing ayat unutk maksud
tersebut? Dan banyak pertanyaan lain. Kesemunya masing memerlukan jawaban atau
penjelasan yang kongkret, karena –kalau tidak- dapat saja terjadi penafsiran
ulama yang menggunakan ayat al-Qur'an menempati posisi yang lebuh tinggi
daripada penafsiran Rasulullah saw. ini menjadi masalah, sebab, bukankah ulama
terdahulu menyatakan bahwa peringkat tertinggi dari penafsiran adalah
penafsiran ayat dengan ayat, baru kemudian disusul oleh penafsiran Rasulullah
saw. (hadits), dan
terakhir adalah penafsiran para sahabat? Ini merupakan salah satu contoh
permasalahan masa lampau yang perlu diselesaikan.[8]
Begitu
pula yang dilakukan oleh Shalah abdul Fattah al-Khalidi. Dalam bukunya, Ta'rif
al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, ia mengkritisi Mustafa Muslim yang
mengutip pendapat Abu Syahbah ketika membahas tafsir al-qur'an dengan al-qur'an
dalam kerangka tafsir bi al-ma'tsur. Kutipan tersebut disinyalir oleh
al-Khalidi sebagai persetujuan Musthafa Muslim terhadap sikap Abu Syahbah.
Sikap yang sesungguhnya tidak disetujui oleh al-Khalidi, karena menurutnya
tafsir bi al-matsur hanya mencakup tafsir al-Qur'an dengan sunnah, pendapat
sahabat, tabi'in, dan tabi' tabi'in.[9]
Adapun
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, al-Khalidi tidaklah memasukkannya dalam
tafsir bi al-matsur, karena dalam tafsir al-qur'an dengan al-qur'an, sang
penafsir hanya menginterpretasi alqur'an dengan al-Qur'an itu sendiri.
Sementara telah diketahui bersama bahwa al-qur'an bukanlah perkataan manusia,
seperti sahabat dan tabi'in. Yakni, al-Khalidi tidak melihat penafsir –ketika
menafsirkan al-qur'an dengan al-qur'an- mengandalkan aktifitas penukilan
riwayat dan penyeleksian keshahihan riwayat-riwayat yang dinukil, karena ayat
al-qur'an sendiri sudah terjaga dan dianggap paten yang tidak membutuhkan takhrij
dan tashih lagi. Baginya, takhrij, tashih dan penyeleksian
riwayat shahih yang disertai semangat untuk memperoleh riwayat yang valid
menjadi sesuatu yang inheren dalam perkataan yang ma'tsur dalam penafsiran.
Sementara, bagi al-Khalidi, al-qur'an tidak membutuhkan aktifitas demikian. Dengan
itu, ia tidak melihat tafsir al-qur'an dengan al-qur'an masuk dalam kategori
tafsir bi al-ma'tsur.[10]
Kemudian,
dalam penelitiannya menyangkut riwayat dan dirayah dalam tafsir al-Syaukani, Maryono
menegaskan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh al-Syaukani dengan menggunakan
ayat-ayat al-qur'an untuk menafsirkan ayat lainnya dapat dimasukkan dalam
tafsir bi al-ra'yi. Ia menulis :
Sepanjang dilakukan tanpa memasukkan
riwayat, tafsir al-qur'an dengan al-qur'an termasuk al-dirayah, karena ia
dilakukan berdasarkan persamaan linguistic pada tingkat lafazh.[11]
Jika
kita melihat penegasan Maryono, terlihat bahwa telah ada upaya untuk melihat
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an dari segi dirayah. Alasan yang dimajukan
olehnya adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, jika didasari pada
factor bahasa dan bukan pada riwayat maka pantas untuk dimasukkan dalam tafsir
bi-al-ra'yi. Pandangan ini menurut penulis memiliki nilai tersendiri, karena
dari beberapa peneliti yang memberikan kritik terhadap penempatan tafsir
al-Qur'an dengan al-Qur'an dalam kerangka tafsir bi al-ma'tsur, belum ada yang
mengungkapkan dengan jelas pilihan mereka. Yakni, apakah dengan kritik mereka tersebut
berarti menghendaki tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an ditempatkan dalam
kerangka tafsir bi al-rayi atau tidak?
Jika
kita melihat tulisan Quraish Shihab, tidak ada penegasan sama sekali tentang
hal ini. Demikian pula al-Khalidi. Ia tidak menjelaskan sikapnya dengan
gamblang pada kritik yang dimajukannya. Hanya saja, jika kita melihat
kecendrungannya ketika menulis tentang ahsanu thuruq al-tafsir,
tampaknya ia cendrung melihat bahwa tafsir al-Qur'an dengan al-qur'an tidak
lagi dilihat dari sudut sumber, tetapi dapat dilihat dari segi prosedur yang
harus dilakukan oleh setiap penafsir ketika hendak menginterpretasi al-Qur'an,
baik sang penafsir tersebut cendrung kepada riwayah maupun kepada dirayah.
Sikap
ini memang menjadi sikap umum dikalangan sarjana tafsir dan ulum al-qur'an
belakangan ini, mengingat al-qur'an tentu lebih tepat jika ditafsirkan dengan
ayat lainnya. Karena apa yang masih global pada ayat tertentu akan ada
penjelasannya secara luas pada ayat yang lain. Demikian pula bentuk tafsir
al-qur'an dengan al-qur'an lainnya, seperti ayat yang mujmal dengan ayat
yang mubayyan, ayat yang mutlak dengan ayat yang muqayyad,
ayat yang umum dengan ayat yang khusus, ayat yang tampak bertentangan, dan signifikansi
qira'ah dalam menjelaskan makna. Kesemua itu, menurut hemat penulis,
dapat mengiterpretasi al-qur'an sendiri, karena sang pembicara (Allah swt.)
tentunya lebih berhak menjelaskan firma-Nya sendiri sebelum melibatkan fihak
lainnya.
Jika
kita melihat perubahan konsepsi tafsir bi al-matsur, sebagaimana yang
dipaparkan Darmawan, selama berdialektika dengan tafsir bi al-ra'yi dalam
perkembangannya hingga zaman Ibn Taimiyah, terlihat jelas bahwa pase istidlal
akan menampung keberadaan tafsir al-qur'an dengan al-qur'an dalam bingkai
tafsir bi al-ma'tsur dan tafsir bi al-ra'yi sekaligus. Maksudnya bahwa, jika
dilihat dari proses untuk melahirkan
pemaknaan dari sang penafsir ketika memeriksa dalil-dalil yang hendak dijadikan
pijatan ketika menuliskan penafsirannya, maka tak ada keraguan bahwa dengan demikian
ia berada dalam bingkai tafsir bi al-ma'tsur. Tetapi jika dipandang dari sudut
hasil, berupa penafsiran yang tidak lagi menuliskan berbagai riwayat yang
menjadi pijakannya, maka kesan utama yang lahir adalah bahwa ia sangat dekat
dengan tafsir bi al-ra'yi.
Karenannya,
pandangan Maryono, sedikit banyak telah memperkuat gugatan beberapa sarjana
al-qur'an terhadap posisi tafsir al-qur'an dengan al-qur'an yang berada di
bawah naungan tafsir bi al-ma'tsur. Bahkan pandangan ini dapat memberikan arah
baru untuk melihat tafsir jenis ini dari segi bahasa murni. Kecendrungan
terakhir inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh Bint Syathi dengan al-Tafsir
al-Bayani-nya. Sebuah gagasan yang diadopsi dari suaminya sendiri, Amin
al-Khuli. Bahkan kecendrungan ini dipertegas dengan lahirnya al-Fann
al-Qashashi dari Ahmad bin Muhammad Khalafullah. Belakangan, muncul
hermeneutic sebagai tawaran metodologis baru dalam menginterpretasi al-qur'an.
Cara yang ditempuh oleh Izzat Darwasa dan Fazlurrahman.
[1] Lihat : Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo :
Dar al-Hadîts, .2005), jilid 1,
hal.133.
[2] Al-Itqân fî Ulûm al-Qur'ân, Jalaluddin al-Suyûti, (Bairut : Al-Maktabah al-'Ashriah),
jilid 4, th.1988, hal.185-188.
[3] Ibn Taimiyah, Taqi al-Din Ahnad Ibn Abd
al-Halim, Muqaddimah Fii Ushul al-Tafsir, Editor Adnan Zarzor, (Kuwait
: Dar al-Qur'an al-Karim, 1971),
hal.93-105.
[4] Darmawan, Dadang, Sejarah Tafsir bi
al-Ma'tsur, ( Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah :
Ciputat, 2003), hal.16.
[5] Al-Suyuthi, Jalal al-Din "Abd Rahman Ibn
Abi Bakr, Al-Durr al-Mantsur Fi Tafsir bi al-Ma'tsur, (Bairut : Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1990), Vol.1, Cet.1, hal.17.
[6] Perbedaan antara qism dan thariqah
tafsir sesungguhnya berdasarkan pada asumsi bahwa tafsir memiliki sumber dan
melalui sebuah proses. Berdasarkan sumber penafsiran, tafsir bisa diklarifikasi
menjadi ma'tsur dan ra'yi, atau dengan kata lain riwayah dan dirayah.
Namun jika asumsi yang mendasarinya adalah proses dalam melahirkan penafsiran,
maka thariqah merupakan nama yang tepat. Pembedaan penamaan ini
tampaknya muncul akibat pergesaran yang terjadi pada cara melihat tafsir bi
al-ma'tsur. Memposisikan tafsir bi al-ma'tsur sebagai sumber akan berimplikasi
pada adanya dikotomi antara ma'tsur dan ra'yi. Dan memang, dalam sejarahnya,
tafsir bi al-matsur lahir berdasarkan pada upaya menghindari ra'yi dalam
kegiatan penafsiran. Namun demikian, setelah formulasi baru yang ditawarkan
oleh Ibn Taimiyah dengan gagasannya, Ahsanu Thuruq al-Tafsir, wacana ini
kembali memberikan cara baru dalam memadandang tafsir bi al-ma'tsur, yang tidak
selalu berdasarkan sumber semata, tetapi juga berdasarkan proses lahirnya
sebuah penafsiran. Cara ini kemudian mendekatkan antara tafsir bi al-ma'tsur,
dengan konsep istidlal-nya, dengan tafsir bi al-ra'yi. Alasanya bahwa,
dengan konsep istidlal, tafsir bi al-ma'tsur tidak lagi berorientasi
penuh terhadap riwayat-riwayat dengan berusaha mengeliminasi ra'yi secara
maksimal, tetapi tampak mulai mengakomodasi ra'yi selama didukung oleh dalil
yang valid. Lihat : Darmawan, Dadang, Sejarah Tafsir bi al-Ma'tsur,
hal.104.
Gaya ini kemudian didukung dan mulai
dicari keabsahannya pada zaman moderen ini. Misalnya saja, al-Qardhawi menyusun
hirarki atau prosedur penafsiran yang ia anggap sebagai al-Manhaj al-Amtsal
Fi al-Tafsir, berupa : A. Menggabungkan antara riwayat dan dirayah, B.
Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, C. Tafsir al-qur'an dengan sunnah, D. Memberdayakan
tafsir sahabat dan tabi'in, E. Menggunakan makna asli bahasa, F. Memperhatikan
maksud kalimat (siyaq) dalam menentukan makna, G. Mempertimbangkan asbab
an-nuzul, H. Menjadikan al-qur'an sebagai penunutun dalam menemukan makna
dan tidak memaksa al-qur'an mengikuti kehendak penafsir. Lihat : Al-Qardhawi,
Yusuf, Kaifa Nata'amal Ma'a al-Qur'an al-Karim, (Bairut : Dar al-Syuruq,
1999), cet.1, hal.210-262).
[7] Al-Zarqani, Muhammad 'Abd al-Azhim, Manahil
al-Irfan, ( Baerut : Dar al-Ma'rifah, 1999), Vol.1, hal.431.
[8] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an;
Fingsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 1993),
Cet.5, hal.151.
[9] Al-Khalidi, Shalah 'Abd al-Fattah, Ta'rif
al-Darisin bi Manahi al-Mufassirin, ( Damaskus : Dar al-Qalam, ...), hal.148.
[11] Maryono, al-Riwayah
dan al-Dirayah Dalam Tafsir, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, th.2007, hal.156.
0 komentar:
Post a Comment