Monday, February 20, 2012

HARAMNYA MENCELA SEORANG MUSLIM TANPA ALASAN YANG BENAR.

Alih Bahasa : Idrus Abidin
Sumber : Syarah Riyadhu Shalihin, Syekh Sholeh al-Utsaimin

    Allah ta'ala berfirman :   (QS.Al-Ahzab : 58)

  وَعَن ابنِ مَسعُودٍ  رَضِيَ الله عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : "سَبَابُ المُسِلمُ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفرٌ". متفق عليه.

1567 Daru Ibnu Mas'ud Radiyallahu Anhu ia berkata : Rasulullah saw bersabda, "Mencela seorang mukmin adalah kefasikan sedang membunuhnya adalah kekafiran". (Muttafaq Alaihi).

PENJELASAN.

    Penulis Rahinahullah mengatakan dalam kitabnya Riyadusshalihin, bab tentang haramnya mencela seorang muslim tanpa alasan yang benar. Mencela seorang muslim berarti menghinanya dan menceritakan sesuatu yang dibenci olehnya saat ia sedang ada. Adapaun jika ia idak ada maka ia disebut dengan Ghibah. Kemudian penulis Rahinahullah menyebutkan firmana Allah ta'ala (QS.Al-Ahzab : 58). Lafazh " الذين " adalah Mubtada', sedang  فقداحتملوا adalah khabarnya. Maknanya adalah : bahwa orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa berdasarkan pada kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang mukmin dan mukminah yang disakiti  maka mereka sesungguhnya telah memikul kebohongan, maksudnya  kesalahan dan dosa yang nyata, maksudnya siksaan. Wal-Iyazu Billah. ini mencakup semua jenis bentuk menyakiti, baik dengan prkataan maupun perbuatan. Setiap kali seseorang berhak untuk dihormati maka sejauh itu pula tindakan menyakiti itu makin besar dosanya. Menyakiti orang dekat beda dengan menyakiti orang yang jauh. Menyakiti tetangga berbeda dengan menyakiti bukan tetangga. Menyakiti orang yang memiliki hak kepada kita tidaklah seperti menyakiti orang yang tidak memiliki hak kepada Anda.
    Yang penting bahwa menyakiti itu tidaklah sama kadar dosanya dan bahayanya sesuai dengan orang yang disakiti. Yang mengheerangkan bahwa banyak diantara kaum muslimin pada saat ini yang menyakiti tetangganya dengan mengganggu mereka serta melihat aurat mereka dll. Ini adalah dosa yang sangat besar. Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman-3 kali-". Sahabat bertanya, "Siapa mereka wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, "Orang yang tidak aman tetangganya dari kejahatannya".  Yakni kezhaliman dan bahayanya. Dan firman Allah ta'ala, "tanpa dosa yang mereka perbuat" difahami bahwa jika seorang muslim disakiti akibat dari perbuatannya sendiri maka tidalah masalah. Yakni jika Anda menyakiti seseorang sebagai balasan terhadap perbuatannya maka tidaklah mengapa, atau menyakiti seseorang demi menegakkan hukum Allah ta'ala, atau menyakiti seseorang agar menyelesaikan kewajiban yang ia enggan untuk menunaikanya maka tentu itu tidaklah bermasalah. Bahkan Allah ta'ala telah memerintahkan bagi orang-orang yang melakukan zina dengan firman-Ny, "Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya" Allah ta'ala memerintahka untuk menyakiti atau menghukum keduanya "Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka." Ini sebelum disyariatkannya pembunuhan terhadap pelaku dan korbannya ketika terjadi liwat (perzinahan sesama jenis). Dulu, perzinahan sesama jenis (liwat) tidaklah didera dan tidak pula dibunuh, tetapi disakiti atau dihukum hingga keduanya bertaubat. Kemudian Allah ta'ala memerintahkan agar membunuh pelaku dan dengan pasangannya melalui lisan Nabi-Nya saw lalu sahabat sepakat (berijma') dengan hukum itu.
    Kemudian penulis menyebutkan hadits Ibnu Mas'ud Radiyallahu Anhu bahwasanya Rasululla saw bersabda, "Mencela seorang mukmin adalah kefasikan sedang membunuhnya adalah kekafiran". Ini menunjukkan bahwa fasik lebih rendah dibandin dengan kekafiran, karena beliau menjadikan penghinaan sebagai kefasikan dan menjadikan pembunuhan sebagai kekafiran. Atas pertimbangan ini, jika seorang muslim menghina sesamanya maka orang yang menghina itu menjadi fasik, tidak diterima  kesaksiannya dan tidak boleh menjadi wali walaupun terhadap anak perempuannya. Dia tidak boleh menikahkan seseorang walaupun itu anaknya, karena ia telah fasik dan tidak sah menjadi imam bagi kaum muslimin. dan juga tisak boleh menjadi muezzin. Demikianlah pendapat mayoritas ulama-Rahimahumullah-. Pada bebrapa permasalahan tadi masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Yang terpenting bahwa siapa pun yang menghina sesamanya maka ia fasik, adapun orang yang membunuh seorang muslim ia kafir. Jika ia ia mengahalalka pembunuhan tanpa adanya alsan yang dibenarkan maka ia kafir dengan jenis kekafiran yang membuatnya keluar dari islam. Jika ia tidak menganggapnya halal, tetapi hanya karena hawa nafsu yang menguasainya maka ia pun kafir, hanya saja itu bukanlah kekafiran yang menyebabkan ia keluar dari islam. Dalil yang menunujukkan hal itu adalah firman Allah ta'ala (QS.Al-Hujurat : 10). Allah ta'ala menjadika dua kelompok mukmin yang saling berperang itu sebagai saudara bagi kelompok yang berusaha untuk mengadakan islah. Ini menunjukkan bahwa keduanya tidaklah keluar dari jalur keimanan tetapi itu hanya merupakan jenis kekafiran yang berada di bawah derajat kekafiran yang sebenarnya. Wallahu Al-Muwaffaq.

 وَ عَن أَبِي ذَرِّ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "لَا يَرمِي رَجُلُ رَجُلاً بِالفِسقِ اَو الكُفرِإِلاَّارتَدَّت عَلَيهِ إِن لَم يَكُن صَاحِبَهُ كَذَ لِكَ". رواه البخاري.

1568  – Dari Abu Dzar Radiyallahu Anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah seseorang menuduh orang lain sebagai orang fasik atau orang kafir kecuali tuduhannya itu berbalik kepadanya, jika saja yang dituduh itu tidaklah demikian adanya." (HR.Bukhari).

 وَعَن أَبِي هُرَيرَة رَضِيَ اللهُ عَنهُ قَالَ : المُتَسَابَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى البَادِي مِنهُمَا حَتّىَ يَعتَدِي المَظلُومِ". رواه مسلم.
1569  – Dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Kedua orang yang saling mencaci akan ditanggung dosanya oleh orang yang memulai mencaci. Hingga orang yang dicaci melampaui batas ketika membalas cacian tersebut." (HR.Muslim).

PENJELASAN.

    Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Riyadusshalihin di dalam bab tentang haramnya mencela seorang muslim tanpa alasan yang benar : Dari Abu Dzar Radiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang menuduh sudaranya dengan kekafiran atau atau kefasikan maka ia akan berbalik kepadanya selama saudaranya itu tidak demikian adanya."  Yakni jika Anda mengatakan kepada seseorang, "Engakau fasik atau Wahai orang fasik maka Andalah yang menjadi fasik, kecuali jika ia memang demikian adanya. Demikian pula orang yang mengkafirkan orang lain dan mengatakan, "Engkau kafir atau wahai orang kafir" dan ia tidak demikian maka dialah yang kafir. Di sini terdapat sebuah petunjuk bahwa itu termasuk dalam kategori dosa besar. Karena Rasulullah saw mengacam bahwa orang yang mengatakan demikian akan menjadi seperti yang Ia tuduhkan. Atas dasar ini maka tidak dibolehkan seseorang mengatakan kepada sesama orang mukmin, "Wahai orang fasik" atau mengatakan si fulan orang fasik, kecuali jika dia memang demikian adanya.  Jika Ia melakukan hal itu agar orang lain berhati-hati terhadapnya maka itu tidaklah bermasalah. Demikian pula ia tidak boleh mengatakan, "Wahai orang kafir" atau mengatakan "Si fulan kafir" maka itu tidak boleh baginya selama ia tidak demikian. di sini terdapat peringatan dari bahaya mengkafirkan kaum muslimin tanpa disertai dengan dalil syar'I. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang, wal-iyazu billah, ia mengkafirkan dengan derajat yang paling rendah. Misalnya ia mangatakan, "Ini adalah kekafiran, ini adalah kefasikan" serta hal-hal  yang seperti itu.
    Adapun hadits kedua, maka ia berasal dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Kedua orang yang saling mencaci itu akan menanggung dosa cacian yang mereka lakukan itu hingga orang yang dimaki ….”.
    Al-Mutasaabbani adalah Mubtada', sedang "Maa" adalah mubtada yang kedua. " فعلى البادي" adalah khabar dari mubtada yang kedua. Sedang jumlah secara keseluruhan adalah khabar bagi mubtada yang pertama. Maknanya adalah bahwa kedua orang yang saling mencela itu jika saling mencela dengan perkataan yang buruk maka yang menaggung dosanya adalah yang memulai dari awal. Kata-kata yang mereka ucapkan akan ditanggung dosanya oleh yang pertama memulai, selama orang yang dizhalimi itu (yang kedua) tidak melampaui batas. Jika ia melampaui batas maka ia juga menanggung beban dosa. Di sini terdapat sebuah dalil bahwa seseorang bisa menghina sesamanya seperti penghinaanya terhadap dirinya, tetapi tidak boleh melampai batas. Karena itulah, ketika nabi bersabda, "Allah ta'ala melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya", para sahabat bertanya, "Bagaimana bisa seseorang melaknat orang tuanya ? Beliau menjawab, "Ia menghina ayah seseorang sehingga orang itu menghina ayahnya. Ia menghina ibu seseorang sehingga orang itu menghina ibunya pula".  Ini menunjukkkan bahwa seseorang jika menjadi penyebab terjadinya keburukan maka ia sendir akan mendapatkan keburukannya. Apa yang mereka berdua ucapkan akan ditanggung dosanya oleh orang yang memulai, selama orang yang dizhalimi itu tidak melampaui batas keika membalas penghinaan itu. Jika ia mengambil haknya tanpa berlebihan maka tidak ada dosa baginya. Wallahu Al-Muwaffaq.

 وَعَنهُ قَالَ : أُتِيَ النَّبِيُّ بِرَجُلٍ قَد شَرِبَ قَالَ : اضرِبُوهُ. قَالَ أَبُو هُرَيرَة : فَمِنَّا الضَّارِبُ بِيَدِهِ، وَالضَّارِبُ بِنَعلِهِ، وَالضَّارِبُ بِثَوبِهِ. فَلَمَّا انصَرَفَ، قَالَ بعَضُ القَومِ : أَخزَاكَ اللهُ، قَالَ : لَا تَقُولُ هَكَذَا، لَا تُعِينُوا عَلَيهِ لشَّيطَانَ. رواه البخاري.

1570  – Dan darinya pula ia berkata, "Ada seseorang didatangkan kepada Rasulullah saw yang telah minum khamer. Beliau mengatakan, "Pukullah". Abu Hurairah mengatkan, "Diantara kami ada yang memukul dengan tangannya dan ada pula memukul dengan sAndalnya. Adapula yang memukul dengan pakaiannya. Ketika ia pergi, ada beberapa orang mengatakan, "Semoga Allah ta'ala menghinakanmu". Maka Rasulullah saw berkata, "Jangan mengatakan demikian dan jangan pula membantu setan untuk menguasai dirinya". (HR.Bukhari).

PENJELASAN.

    Ini adalah sisah hadits pada bab tentang haramnya mencaci seorang muslim tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Sebelumnya telah dibahas dua hadits, yaitu hadits Ibnu Mas'ud dan hadits Abu Hurairah Radiyallahu Anhuma pada pembahasan ini. Adapun hadits ketiga adalah berasal dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah saw didatangkan kepadanya seseorang yang telah minum, yakni minum khamer setelah turunnya ayat yang mengharamkan khamer. Khamer adalah semua yang membuat seseorang mabuk maka dikatakan khamer, baik terbuat dari anggur atau dari korma atau dari gandum arab atau dari gandun biasa atau dari bahan-bahan selain di atas. Semua yang memabukkan adalah khamer. Rasulullah saw bersabda, "Semua yang memabukkan adalah khamer dan semua yang memabukkan adalah haram".
    Mabuk adalah tertutupnya akal dengan merasakan kelezatan dan merasakan kegembiraan, dan bukan sekedar tertutupnya akal saja. Karena itulah, al-banju (sejenis tumbuhan yang bisa dijadikan alat bius) tidaklah memabukkan, walaupun ia membuat akal tidak berfungsi, dan orang yang dibius tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi dengan khamer –Nas'alullaha Al-Afiah- seseorang akan merasakan kelezatan, kegembiraan dan perasaan melayang, sehingga ia merasa dirinya sebagai salah seorang raja dan merasa sedang berada di atas awan serta perasaan yang serupa dengan itu. Sebagaimana pepatah yang mengatakan, "Dan kami meminum khamer sehingga kalian membiarkan kami menjadi raja".
    Sebgaimana yang dikatakan oleh Hamzah bin Abdul Mutthalib Radiyallahu Anhu kepada anak saudaranya, yaitu nabi Muhammad saw. Ketika itu ia dilihat oleh beliau sedang mabuk maka ia berbicara kepada beliau dalam keadaan mabuk, "Bukankah Anda adalah budak ayah saya ?". Ini adalah ungkapan yang tidak pantas, tetapi ia sedang mabuk. Sedang perkataan orang yang sedang mabuk tidaklah dihukum karena perkataannya. Peristiwa ini berlangsung saat ayat tentang haramnya khamer belumlah diturunkan.
    Pengharaman khamer melalui empat tahapan :
    Tahap pertama : Boleh. Allah ta'ala membolehkan khamer kepada hamba-hamba-Nya dengan baik dengan firman-Nya (QS.An-Nahl : 67). Yakni, kalian meminumnya hingga kalian mabuk dan kalian memperdagangkannya hingga kalian mendapatan rezki darinya.
    Tahap kedua : Sindiran Allah ta'ala tentang keharamannya. Allah ta'ala berfirman (QS.Al-Baqarah : 219) dan pada tahap ini keduanya belumlah diharamkan.
    Tahap ketiga : Allah ta'ala berfirman (QS.An-Nisaa' : 43). Di sini Allah ta'ala melarang seseorang untuk shalat saat mereka sedang mabuk. Ini menunjukkan bahwa seseorang masih boleh minum khamer selain tiga waktu yang diwajibkan shalat di dalamnya.
    Tahap keempat : Pengharaman. Allah ta'ala berfirman (QS.Al-Maidah : 90) maka masyarakat pun meninggalkan khamer. Akan tetapi Karena jiwa manusia sangat tertarik oleh khamer dan meminumnya, maka diberikan ancaman yang membuat masyarakat tidak berani meminumnya, yaitu berupa sanksi.
    Rasulullah saw belum menentukan hukuman apa-apa. Jadi hukuman peminum khamer bukanlah Had tetapi hanyalah Ta'zir. Karena itulah, ketika ada seseorang yang didatangkan kepada beliau sedang ia telah minum khamer, Rasulullah saw berkata, "Pukullah dia" dab beliau tidak mengatakan empat puluh kali, delapan puluh kali dan tidak seratus kali serta tidak pula sepuluh kali. Maka para sahabat memukulnya. Diantara mereka ada yang memukul dengan pakaiannya, ada pula dengan tangannya, ada pula dengan sAndalnya. Hanya saja mereka memukulnya sekitar empat puluh kali. ketika mereka pergi semuanya dan sang terhukum pun pergi maka ada seseorang yang mengatakan, "Semoga Allah menghinakanmu" yakni, menghinakan dan merusak kehormatannya. Lalu Rasulullah saw menegurnya, "Jangan katakan demikian, jangan do'akan ia agar mendapatkan kehinaan". Seseorang yang telah minum minuman yang memabukkan kemudian ia dihukum pukul (jilid), dan ia telah suci dengan hukuman itu, maka janganlah membantu setan untuk merusaknya. Rasulullah saw melarang mereka untuk menghinanya, Padahal ia adalah peminum minuma keras.
    Lalu bagaimana sikap kita terhadap pecandu khamer ?. Sikap kita adalah kita hendaknya mendoakannya sehingga ia mendapatkan hidayah. Katakan : Ya Allah ! Berilah dia petunjuk, Ya Allah ! Perbaikilah keadannya, Ya Allah ! Jauhkanlah ia dari minuman keras serta do'a yang serupa dengan itu. Adapun jika Anda mendoakannya agar mendapatkan kehinaan, maka berarti Anda telah membantu setan merusaknya. 
    Pada hadits ini terdapat dalil bahwa khamer adalah haram dan ia mempunyai sanksi, tetapi pada zaman pemerintahan umar, terjadi perluasan islam hingga banyak orang-orang yang baru memeluk islam. Bahkan banyak yang minum khamer pada zamannya. Padahal beliau dikenal sangat tegas dan sangat berkeinginan untuk memberi sanksi bagi para peminum khamer yang dapat membuat mereka jera, hanya saja beliau-karena kewara'an dan kehati-hatianya-mengumpulkan para sahabat, yakni mengumpulkan sahabat yang berpikiran cemerlang, karena orang biasa atau orang awam tidak pantas untuk diajak membahas masalah seperti ini, demikian pula dengan masalah politik. Masyarakat awam pun tidak pantas untuk menyibukkan lidahnya dengan membahas politik pemerintah. Politik memiliki orang-orang tertentu. Juga masalah masak memasak memiliki orang-orang tertentu. Jika saja politik menjadi santapan setiap lidah orang-orang awam maka dunia ini akan hancur, karena orang awam tidaklah memiliki keilmuan, tidak memiliki akal dan tidak pula memiliki pemikiran. Akal dan pikiranya tidaklah melampaui langkah kakinya. Yang menjelasakan tentang ini adalah firman Allah ta'ala (QS.An-Nisaa' : 83). Lalu mereka menyebarkannya. Allah ta'ala berfirman (QS. An-Nisaa' : 83). Ini menunjukkan bahwa orang awam tidaklah seperti ulil amri, para pemikir dan para ahli diskusi. Pembahsan tentang masalah politik bukanlah garapan orang-orang awam. Barang siapa yang meghendaki agar masyarakat umum terlibat dengan fihak yang berwenang (pemerintah) dalam  masalah politik, pAndangan dan pemikirannya maka ia telah tersesat sangat jauh. Ia telah keluar dari petunjuk sahabat dan khulafaurrasyidin serta petunjuk kaum salaf
    Yang terpenting bahwa Umar bin Khattab, karena semangatnya beliau mengumpulkan orang-orang yang cerdik dari kalangan sahabat kemudian mengatakan kepada mereka yang maknannya : (telah banayak pecandu khamer). Jika semangat keberagamaan mulai redup maka fitalitas kekuasaan haruslah kuat. Yakni jika kedua factor utama itu melemah, yaitu semangat keagamaan dan kekuasaan pemerintah maka ummat akan hancur. Umar pun meminta pendapat kepada mereka apa yang harus ia lakukan. Abdurrahman Bin Auf lalu mengatakan, "Wahai Amirul Mukminin ! had yang paling rendah adalah 80 kali. Tambahlah hukuman peminum khamer itu menjadi 80 kali pukulan. Abdurrahman Radiyallahu Anhu menunjuk hukuman orang yang menuduh orang-orang baik-baik sebagai pezina. (had qazaf), karena Allah ta'ala berfirman (QS.An-Nur : 4).  Ini adalah hukuman terendah, sehingga Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu menambah hukuman pecandu khamer manjadi delapan puluh kali. Ini seperti nash yang sangat jelas (sharih) bahwa hukuman pecandu khamer bukanlah termasuk kategori Had, tetapi Ia sangat jelas (sharih), karena ia mengatakan : Hukuman terendah adalah delapan puluh, dan sahabat menyetujui hal itu, umar pun tidak mengatakan, tidak demikian sehingga beliau menjadikannya delapan puluh kali derah agar masyarakat bisa jerah. Dalam sunnah ditemukan bahwa peminum khamer jika meminum khamer maka ia harus didera, jika minum lagi maka ia didera lagi, jika minum lagi maka ia didera lagi, jika minum lagi maka ia didera lagi. Jika minum lagi pada kali keempat maka ia harus dibunuh. Demikianlah yang terdapat dalam sunnah. Az-Zhahiriah mengambilnya secara zhahir dan berpendapat : Peminum khamer, jika ia telah dihukum dera maka ia harus dibunuh pada kali keempat, karena ia menjadi sesuatu yang telah rusak. Ia tidak lagi bisa diperbaiki dengan pengarahan dan hukuman. Jumhur ulama mengatakan : Ia tidaklah dibunuh. Tetapi hukuman deranya diulang berulang kali. Setiap kali ia minum maka setiap kali itu pula ia didera. Syekh islam rahimahullah mengambil jalan tengah dengan mengatakan : Jika mium khamer menjadi realitas masyarakat, dan mereka tidak mau meninggalkan minuman keras kecuali dengan jalan pembunuhan maka ia harus dihukum bunuh pada kali keempat. Ini adalah pendapat yang moderat yang mempertimbangkan kedua kemaslahatan. Maslahat yang menjadi kandungan beberapa nash yang sangat jelas (sharih), karena Umar tidaklah menjadikan hukuman pecandu minuman keras hingga pada level pembunuhan, padahal ia mengatakan bahwa masyarakat banyak yang menjadi pecandu minuman keras. Hadits yang masih menjadi perdebatan ulama atas keshahihan dan sisah hukumnya, apakah ia mansukh atau tidak mansukh, apa ia shahih atau tidak. Tapi walau bagaimana pun, yang menjadi pilihan syekhul islam adalah yang betul-betul benar : Yaitu bahwa jika masyarakat banyak meminum khamer dan masyarakat tidak mau meninggalkan Khamer kecuali jika diadakan hukum bunuh maka pecandu khamer dihukum bunuh pada kali keempat. Semoga saja pihak yang berwenang melaksanakan hal ini. Jika mereka meberlakukan hal ini maka akan terjadi banyak kebaikan dan banyak kejelekan yang bisa disingkirkan serta masyarakat yang menjadi pecandu khamer akan berkurang yang sekarang mulai marak-Wal'Iyazu Billah- Pada sebagian negara-negara muslim khamer menyebar seperti penyebaran minuman biasa layaknya juz lemon, juz jeruk dan yang sejenisnya. Tanpa diragukan bahwa itu merupakan fenomena yang bukan merupakan gambaran Negara muslim. Itu juga seolah membolehkan dalam kehidupan masyarakat. Ia tersebar di tengah-tengah masyarakat, seseorang membuka kulkas lalu minum khamer –Wal'Iyazu Billah- Demikianlah, ia seperti membolehkannya. Ini persis seperti sabda Rasulullah saw "Akan ada kalangan dari umatku yang menghalalkan kemaluan wanita, kain sutra, minuman keras dan musik". Masyarakat saat ini saling membagi keempat hal ini. Diantara mereka ada yang menyebar zina dan liwat (onani) -Wal'Iyazu Billah- Hal itu dianggap boleh-boleh saja oleh mereka. Ada yang menyebutkan kepada kami bahwa di sebagian Negara, jika pesawat mendarat, maka di bAndara terdapat beberapa pemuda dan pemudi yang menyambut penumpang dengan mengatakan : Anda mau apa ? yang cantik atau yang biasa-biasa saja ? pemuda atau bukan ?.
    Kemaluan wanita maksudnya adalah zina atau onani. Pada sebagian Negara, minuman keras tersebar di mana-mana, dijual bebas di pasararan. Diminum siang malam layaknya minuman halal. Dan pada beberapa Negara, terutama Negara-negara yang penduduknya makmur, kita mendapati laki-laki seperti wanita, ia memakai kain sutra, pakaian yang sangat halus. Bahkan bisa jadi ia memakai perhiasan emas : Anting-anting, cincin atau yang serupa dengan itu.
    Sedang musik : Sekarang sering dibicarakan, dan tidak ada yang merasa berdosa. Musik beredar pada kebanyakan Negara islam, itu jika saya tidak mengatakan pada semua Negara islam. Telah menyebar-Wal'Iyazu Billah-musik dengan berbagai ragamnya. Kita memohon kepada Alah ta'ala agar diberikan keselamatan dan hidayah, dan agar memperbaiki pihak yang berwenang serta rakyatnya. Dialah yang maha kuasa atas segala sesuatu.

  وَعَنهُ قَالَ : سَمِعتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ : مَن قَذَفَ مَملُوكَهُ بِالزِّنَا يُقَامُ عَلَيهِ الحَدَّ يَومَ الِقيَامَةِ، إِلاَّ أَن يَكُونَ كَمَا قَالَ". متفق عليه.

1571 – Darinya pula ia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang menuduh budaknya berzina maka akan diberikan hukuman pada hari kiamat, kecuali jika budaknya itu betul-betul seperti yang ia tuduhkan". (HR.Bukhari dan Muslim)

PENJELASAN.

    Penulis, yaitu Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Riyadhusshalihin pada bab haramnya menghina sesama muslim tanpa alasan yang benar. Beliau menyetir beberapa hadits dan sebelumnya beberapa ayat. Hadits yang terakhir adalah hadits Abu Hurairah Radiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah saw bersbda, "Barang siapa yang menuduh budaknya berzina maka akan diberikan hukuman pada hari kiamat, kecuali jika budaknya itu betul-betul seperti yang ia tuduhkan".
    Al-Mamluk adalah hamba sahaya yang dimiliki oleh seseorang. Hamba sahaya seperti layaknya barang dagangan. Diperjual belikan dan dihibahkan. Ia juga bisa digadaikan dan dijadikan wakaf. Hanya saja dalam perihal hukum-hukum Allah ta'ala ia tetap sama dengan orang-orang merdeka pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan masalah harta.
    Tuannya adalah pemilik hamba secara sempurna –maksudnya semuanya- dan manfaatnya. Jika ia menuduh hambanya sebagi pezina dengan mengatakan kepadanya, "Wahai pezina ! Atau Wahai tukang onani ! Atau perkataan yang seperti  itu, yag mana termasuk dalam kategori tuduhan, maka di dunia ini ia tidak dihukum, karena dia adalah sang pemilik (tuan), sedang hamba adalah bersatatus hak miliknya. Tetapi ia dihukum pada suatu tempat, yang mana siksaanya lebih hebat-Wal'Iyazu Billah-yaitu Darul Akhirah. Ia  akan dikenai hukuman pada hari kiamat atas dasar ini. Maka menuduh hamba sahaya sebagai pezina juga termasuk dosa besar, karena ia juga mendapatkan ancaman pada hari akhirat. Segala sesuatu yang mendapatkan ancaman di akhirat maka ia termasuk dalam rangkaian dosa besar, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli ilmu Rahimahumullah dalam memberikan batasan tentang dosa besar.
    Adapun jika hamba sahaya itu benar-benar berzina, lalu tuannya menuduhnya seperti itu, maka ia tidak memiliki sanksi, berdasarkan pada sabda Rasulullah saw, "kecuali jika budak tadi memang demikian adanya". Yakni seperti yang dituduhkan. Tetapi kapan itu menjadi seperti apa yang ia tuduhkan ? itu terjadi jika ada yang menjadi saksi atas perbuatannya itu sebanyak empat orang. Empat orang laki-laki yang adil yang menjadi saksi bahwa ia berzina dan menegaskan bahwa telah terjadi perzinahan atau ia sendiri mangaku berbuat demikian. Maka ketika itu sanksi menjadi lepas dari tuannya. Ketahuilah bahwa jika budak berzina maka sanksinya setengah dari sanksi orang merdeka, sebagaimana firman Allah ta'ala, "Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina)", yakni budak perempuan "Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami". (QS. An-Nisaa' : 25). Yang terbagi dua dari sanksi wanta-wanita merdeka adalah dera (jilid), sehingga budak yang berzina hanya dihukum dengan 50 kali dera saja. Ulama megatakan bahwa sanksi berupa pengasingan tidaklah berlaku baginya, karena pezina yang merdeka, jika melakukan perbuatan zina, sedang ia bukan muhsan (belum menikah) maka ia didera sebanyak 100 kali pukulan, lalu diasingkan dari negeri asalnya selama setahun penuh. Adapun budak, maka ia hanya dihukum dengan 50 kali pukulan dan tidak di asingkan. Karena pengasingan akan membahayakan tuannya, sehingga ia termasuk membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu ia pukul. Seorang tuan berhak melaksanakan sanksi jika hambanya melakukan dosa, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Jika budak kalian melakukan zina maka hukumlah" . Maka tuan diperintahkan untuk melaksanakan hukuman dera terhadap budak wanitanya. Adapun orang merdeka maka ia tidak bisa dihukum kecuali oleh seorang imam atau penggantinya. Bahkan jika anakmu sendiri yang berzina, padahal ia telah balig dan berakal maka tidak boleh melaksanakan hukuman terhadapnya, kecuali oleh imam atau penggantinya. Demikian pula jika saudaramu berzina setelah ia balig, padahal ia sudah berakal maka tidak boleh ada yang menghukumya kecuali sang imam atau penggantinya. Adapun sang tuan maka ia boleh melakukannya terhadap budaknya, khususnya dalam hukuman dera. Adapun jika sang budak mencuri, sedang pencurian dikenakan sanksi potong tangan, maka tidaklah dilaksanakan hukum potong tangan, kcuali oleh imam atau penggantinya.  Karena itulah ulama berpendapat : Seorang tuan tidaklah melaksanakan hukuman terhadap budaknya kecuali jika sanksi itu berupa hukum dera (jilid). Wallahu A'lam.





0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form