Tuesday, June 25, 2019

Hakikat Tauhid dan Ikhlas.



By. Idrus Abidin.

Tauhid adalah mengesakan Allah sebagai satu-satuNya zat yang mengatur kejadian di alam semesta ini dengan segala perbuatanNya yang tersimpul dalam istilah rububiyah. Rububiyah yang secara detil dijelaskan melalui nama-namaNya yang sangat bagus (al-asmaul Husnna) dan sifat-sifatNya yang sangat mulia (as-shifat al-Ulaa). Konsekwensi tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat ini adalah keimanan akan adanya qadha dan qadar Allah; baik yang berkategori buruk maupun yang bernuansa baik. Rububiyah dan asma wa sifat ini adalah kekayaan Allah dan karuniaNya yang berwujud kasih sayang yang digelontorkan kepada makhlukNya tanpa batas. Karena demikian adanya, manusia pun tulus ikhlas mencintaiNya, mengharap rahmatNya dan takut terhadap azabNya. Itulah inti keikhlasan. Itu pula hakikat Tauhid uluhiyah yang berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya yang pantas disembah di dunia ini dengan beragam jenis ibadah, baik hati, lidah dan semua anggota tubuh pada semua sektor kehidupan manusia.

Hidup Ini Bukti Kecintaan dan Rahmat Allah (Rububiyah)

Maka tak mengherankan jika kehidupan manusia ini tiada lain kecuali hamparan cinta dan kasih sayangNya yang berwujud nikmat-nikmat yang tak mungkin terhitung dalam bentuk angka-angka. Walaupun kehidupan dunia ini baru manifestasi dari 1 persen rahmatNya. Di akhirat sana 99 persen lagi yang distok khusus untuk kalangan beriman. 1 persen rahmatNya di dunia ini masih disebar untuk semua; muslim, kafir, binatang, hewan, tumbuhan, langit, bumi, dan seluruh makhlukNya. Dengan Rahmat ini, Allah mengutus nabi dan rasul. Menurunkan kitab suci. Bahkan keimanan bisa dirasakan dan amal shaleh diprioritaskan. Nilai ilmu dan hidayah serta iman dan takwa bisa menjadi realitas duniawi. Kasih sayang antar suami istri, anak dan orang tua, atasan dan bawahan; bisa terjadi. Kejujuran dalam jual beli, integritas dalam dunia kerja dan amanah terhadap setiap titipan; berjalan dengan penuh kecintaan dan keridhaan Allah. Inilah yang disebut rahim dalam asma dan sifat Allah. 

Manusia Beriman Sangat Merasakan Nuansa Kecintaan dan Kasih Sayang Allah.

Gelontoran nikmat dan rahmat Allah ini begitu terasa dalam jiwa kaum beriman. Mereka merasa sangat malu karena nikmat itu tidak mungkin terbalaskan oleh sekedar iman dan amal shaleh mereka. Walaupun mereka kadang tergilas oleh dosa-dosa kecil, karena memang manusia tidak ada yang maksum kecuali para nabi dan rasul. Namun, dengan segera mereka tersadar dan beristighfar serta memperbaiki kesalahanan itu, berkat izin dan Taufik Allah. Mereka sadar sepenuhnya bahwa karunia dan rahmat Allah ini tak akan terputus bahkan terhadap kaum munafik dan kafir sekalipun. Karena dunia ini memang ujian, maka selama itu pula rahmat itu senantiasa aktual. Walaupun rahmat di sini tidak lebih dari sekedar pemenuhan nikmat fisik semata. Adapun nikmat jiwa hanya pantas diberikan oleh Allah untuk hambaNya yang  terpilih. Hamba yang menyadari sepenuhnya bahwa pujian Allah dan rasa syukur kepadaNya bukan lagi sekedar kewajiban; tapi kebutuhan utama dalam menu kebahagiaan mereka supaya mereka tetap berada dalam siklus hidayah, indahnya istiqamah dan naungan lebat pohon Takwa.  
Mereka melihat segala sesuatu di sekitarnya sebagai karunia tak terhingga dari Allah. Semuanya dipikirkan keberadaannya dan manfaat serta fungsi-fungsinya dalam kehidupan ini. Kesimpulan pengamatan tersebut menyatakan, sungguh tidak ada apa pun yang diciptakan Allah sia-sia; semuanya penuh hikmah dan fokus serta tujuannya jelas berupa nilai dan manfaat untuk kehidupan di alam semesta (QS Ali Imran : 191)

Kekuasaan Allah Menggetarkan Jiwa Orang Beriman.

Selain cinta, kasih sayang dan rahmat Allah, azabNya yang tidak bertepian karena Dialah yang maha kuasa; juga menggetarkan jiwa kaum beriman (isyfaq). Bahwa betul Allah sangat pemaaf, penuh kasih sayang dan melimpahkan berjuta ampunan. Namun potensi kemarahan, lautan kehebatan dan kekuatan kehendakNya pun luar biasa besarnya. Maka sekalipun orang-orang ikhlas sangat mengerti dan merasakan cinta dan rahmat Allah, tapi mereka juga terus hati-hati; penuh perhitungan dengan segala hal yang bisa jadi dan berpotensi memancing murka dan kebencian Allah. Kebencian yang telah menimpa kaum Yahudi akibat sikap mereka yang tak sadar diri; walaupun gelontoran petunjuk dan kasih sayang telah diguyurkan kepada mereka. Ketersesatan dari jalan lurus akibat dari kemalasan menuntut ilmu yang diperankan oleh Nasrani di masa lalu. Maka orang beriman mengokohkan takwa di jiwa, menggenjot ibadah pada setiap kelipatan waktu yang ada dan berhias diri dengan indahnya akhlak mulia. Semua itu mereka lakukan sebagai tameng yang diharapkan melindungi mereka dari murka Allah; digerakkan oleh perasaan takut akan potensi besar azab Allah. Jadilah mereka hamba yang berpetualang menuju kepadaNya dengan kendaraan takwa; gasnya digerakkan oleh rasa penuh harap (raja'), remnya ditekan oleh rasa takut (khauf) dari ketergelinciran dan kesesatan. Sementara pengendara itu tak lain adalah rasa cinta yang menentukan besarnya tarikan gas sesuai gelora kerinduan. Tanpa terperdaya oleh potensi buruk yang bisa merintangi perjalanan mereka kepada Allah; karena mereka punya rem rasa takut yang menjaga keseimbangan laju dan kendaraan. 

Cinta dan Kasih Sayang Allah Senantiasa Dirindukan.

Ketika manusia makin mengerti makna kecintaan Allah padanya. Saat mereka menyadari betapa sayangnya Allah begitu tulus. Sehingga mereka merasakan gelora kerinduan begitu nikmat di rerelung jiwanya. Menanti setiap saat asupan gizi rahmat yang memudahkan ibadahnya. Makin syahdu mereka dalam do'a dan zikir serta pada umumnya ibadah yang mereka lakukan. Berasa dinginnya hidayah mengusir sempitnya rasa putus asa dan tekanan jiwa akibat polusi kehidupan duniawi. Iman serasa terus menunjukkan keperkasaannya sehingga keraguan menjadi barang langka di hatinya. Maka tidak heran, maksiat seolah masa lalu yang tak pantas lagi hadir pada lembaran hari-hari berikutnya di kehidupan pribadi yang bersangkutan. Kesabaran menjadi kekuatan yang menghibur saat cobaan dan duka datang bertandang. Semua itu menyadarkan orang-orang Ikhlas, bahwa sedetik saja kasih sayang Allah hilang darinya, pasti dosa dan maksit akan tiba-tiba berkerumun pada dirinya yang lemah. Maka, resmilah lidahnya berharap penuh ketulusan :

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

 “Wahai Dzat yang Maha Hidup, serta Maha mandiri, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh tindak tanduk dan semua keadaanku. Dan janganlah Engkau biarkan aku mengurus  sendiri diriku walaupun hanya sekejap mata sekali pun. (HR. Imam An-Nasai, Imam al-Bazzar dengan sanad yang Shahih juga Imam al-Hakim).

Menyadari Kelemahan, Identitas Utama Kehambaan.

Doa di atas adalah wujud pengakuan tulus akan kelemahan hamba-hamba yang ikhlas. Sekaligus menunjukkan sikap berserah diri secara total kepa Zat Allah yang maha sempurna dan maha kuasa. Sebuah pengakuan bahwa diri kita hanyalah pengemis cinta, yang tanpaNya kita menjadi makhluk yang hampa; tanpa makna dan tak jelas arah. Peminta-minta yang berkeliling dengan semua jenis ibadah demi secuil rahmatNya. Bahwa kita adalah makhluk lemah yang setiap saat bisa tergilas oleh murkaNya, seandainya kita tidak berlindung kepada rahmatNya. Egoisme pribadi lebur oleh kasih sayangNya. Sikap kepedean hancur oleh kekuasaanNya yang tanpa batas. 

Kebutuhan Jiwa Lebih Prioritas dari pada Kebutuhan Fisik. 

Maka tak mengherankan, orang-orang ikhlas lebih memprioritaskan isi hatinya dibanding isi tasnya. Mereka sangat mengerti, dunia akan ikut saat akhirat menjadi visi. Mereka sangat yakin jika akhirat dibela-belain, dunia akan dimudahkan. Tanaman jika disemai akan tumbuh disertai rerumputan. Tapi rerumputan jika tumbuh belum tentu memberi kesempatan untuk tumbuhan membersamainya apalagi menyainginya. Begitulah kejamnya dunia. Tak akan seramah akhirat yang rela berbagi dengan rerumputan dan benalu serta semua jenis hama dan wereng duniawi. 

Galau Karena Akhirat, Bukan Melulu Karena Dunia.

Shalat saja minimal lima kali mereka tunaikan. Belum lagi tambahan ruku' dan sujud pada setiap shalat sunnah. Sedang perut dan fisik ini cukup dengan tiga kali makan. Lebih dari itu pasti tubuh akan kehilangan keseimbangan. 

Tidak Ada daya dan Upaya Kecuali Milik Allah.

Ahli tauhid dan ikhlas ini akhirnya menyatakan dengan tegas, tidak ada yang mengalihkan mereka dari dosa dan maksiat kecuali Allah. Dan, tidak ada pula yang kekuatan yang menggerakkan mereka menuju ketaatan kecuali Allah. Itulah yang mereka pahami dari ucapan, la haula wala quwwata Illa billah. Mereka mengakui sepenuhnya tidak ada yang pantas dicintai secara total;  di atas segala-galanya melainkan hanya Allah. Tidak ada yang perlu diharapkan rahmatNya secara penuh selain Allah yang maha rahman dan maha rahim. Tidak ada yang mungkin ditakuti sepenuh jiwa kecuali Allah yang maha kuasa, maha hebat dan sang maha unggulan (Muhaimin)

Iman, Ibadah dan Takwa Hanya Sebab dan Sarana.

Sebagai mana obat sebagai sarana kesembuhan dan bukan penyembuh hakiki, demikian pula iman, takwa dan ibadah. Semua itu bagi orang-orang ikhlas hanyalah jalan dan sarana yang menyampaikan mereka kepada cinta dan keridhaan Allah. Mereka tidak pernah membanggakan tingkat keimanannya. Malu rasanya jika mereka mengumbar takwanya. Apalagi riya' dengan shalat, puasa, zakat, tilawah, umrah, haji dan semua keshalehan pribadi dan sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang penuh kesadaran bahwa harta, tahta dan kekuatan hanyalah titipan yang jika tidak diberdayakan dalam ketaatan dan dengan penuh amanah, maka potensial mengundang kemurkaan Allah. Mereka ogah menjadikan identitas Islam, kartu ketakwaan dan label haji sebagai kamuflase demi kepentingan duniawi yang sedikit. Karena bagi mereka, itu adalah bentuk menukar hidayah yang sangat mahal dengan dunia yang hina. Wujud kemunafikan yang menjadikan akhirat sebagai umpan demi sesuap nasi dan seteguk air kehidupan. Iman dan hidayah yang rela dikorbankan oleh orang-orang hina dan ditukar dengan kesesatan dan murka Allah. Naudzubillah.

Cinta dan Ridha Allah Segala-Galanya. 

Akhirnya, bagi Ahlu tauhid dan orang-orang ikhlas, kecintaan dan keridhaan Allah adalah cita-cita mereka yang tertinggi. Mereka tidak mau terperdaya oleh iman, Islam, ihsan, shalat, puasa, zakat dan semua yang sifatnya hanya fisik tanpa subtansi keikhlasan, tanpa hakikat ketakwaan. Apalagi kemegahan dunia yang tak menuju kepada ridhaNya, prestasi duniawi dan gengsi jiwa yang tidak berpotensi menjaring cinta ilahi. Ya Allah, kami tentu sangat butuh kepada curahan kebaikanMu, sebagaimana yang dipinta nabi Musa kepadaMu. Ya Allah, kami pasti rindu pada rahmat dan kucuran hidayahMu, sebagai mana yang dilantunkan ashabul Kahfi padaMu. Wahai Rabb yang maha segalanya, kami tidak mengerti betapa besar pujian dan rasa syukur yang pantas untuk diriMu. Pujian dan keagunganMu hanyalah sepadan dengan pujian dan pengagunganMu sendiri kepada diriMu. Itulah titah nabiku, Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Jadikanlah aku pengikut cerdas yang pantas menemaninya di dunia dengan beragam praktek sunnah-sunnah yang beliau ajarkan. Dan, jadikan pula aku manusia yang pantas mendapat syafaatnya dan menemaninya dalam pesona keindahan surgaMu. Allahumma amiiiin. 

Jakarta, 1 Juni  2019. (27 Ramadhan 1440 H)

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form