Tuesday, June 25, 2019

Sisi Lain Kota Makkah (Catatan Perjalanan)



By. Idrus Abidin.

Setiap sift perjalanan umrah memiliki kesan berbeda dan keunikan tersendiri. Umumnya mesjid menjadi tempat favorit. Didatangi sebelum azan berkumandang dan diprioritaskan sebelum waktu shalat tiba. Tilawah diseriusi sambil i'tikaf. Hati terkondisi untuk siap menerima indahnya lantunan tilawah imam-imam pilihan dengan hentakan mereka yang tergolong ber"suara emas". Terkadang hati mudah khusyuk dengan lelehan air mata. Teringat kelemahan diri dengan keindahan surga yang ngangenin. Khawatir sendiri jika diri ini belum standar untuk terdaftar sebagai calon penghuninya. Sementara gambaran kengerian neraka membuat hati "ngeri-ngeri tak sedap" (isyfaq).

Ketika hati diserahkan ke pemiliknya, kerinduan pun menjadi realita. Khusyuk pun dimengerti, walaupun bisa jadi, yang memahaminya adalah fitrah yang sedang suci; bukan semata karena ngerti bahasa Al-Qur'an yang sedang terlantun. Itulah bahasa universal iman; fitrah suci. Kenyataan yang kadang kita saksikan sendiri, ketika anak-anak dari beragam negara dan  bangsa berkumpul dalam ceriahnya permainan. Perbedaan bahasa bukan lagi kendala. Karena  bagi anak-anak seumuran mereka, bermain adalah tuntutan jiwa yang tak mengenal rintangan apa pun. Suatu saat, salah seorang jamaah bertanya serius, "Kenapa sih Ust., di Haramain ini mudah banget kita tersentuh khusyuk dan mengeluarkan air mata?," "Karena kita menyiapkan dan menyerahkan hati kita kepada Allah secara total. Urusan duniawi dan mal-mal serta pasar tidak kita nomorsatukan. Polusi dunialah yang menghambat hati kita hingga jarang merasakan nikmatnya khusyuk dalam shalat ketika kita di negeri sendiri. Masjid baru  didatangi setelah muazzin selesai dari kumandang azan," jawabku. "Padahal, sesuatu itu menyerahkan diri secara utuh kepada kita, jika kita sendiri lebih dulu menyerahkan jiwa kita kepadanya sepenuh hati," tambahku.

City Tour.

Setelah fokus ibadah dan tilawah, sisi hiburan dan rehat sambil Napak tilas ke beberapa situs bersejarah, tetap masuk list dan paket umrah. Kami awali dengan museum dua kota suci (muthaf al-Haramain). Di sini, benda-benda pusaka yang pernah terpasang di Makkah atau Madinah dipajang lintas zaman. Dari sejak Rasul, khilafah Rasyidah, umawiyah hingga era terkini. Status tentang beberapa benda-benda bersejarah di sini sdh saya rilis akhir 2018 kemaren. Setelah itu, kami sambangi Hudaibiyah yang berjarak sekitar 20 km dari Haram. Tempat di mana Rasulullah dan kalangan sahabat dulu pernah dicegat ketika hendak masuk wilayah Makkah untuk haji sambil mudik ke kampung halaman. Padahal, sudah berlalu kurang lebih 6 tahun beliau di Madinah, diserang kerinduan yang tak terkira. Mimpi melihat diri dan sahabatnya memasuki kota Makkah dengan aman;  menjadi pencetus awal perjalanan haji Rasulullah ketika itu. Sekalipun, mudik sekaligus haji tersebut berakhir dengan penandatanganan nota kesepahaman yang dikenal dengan istilah Sulhul Hudaibiyah (Perjanjian Damai Hudaibiyah). Bahwa tahun depan baru mereka diberi legalitas untuk berhaji. Karena tahun 6 hijriah setelah perang khandaq itu, kaum musyrikin Makkah belum siap menerima mereka dan masih merasa terhina karena kecewa tidak mampu menerobos pertahanan parit selama perang khandaq. Sekalipun kedatangan Rasulullah dan sahabat ketika itu, tanpa senjata dan hanya disertai dengan hewan-hewan yang siap diqurbankan.  Di sini pula terjadi janji setia (Baiat Ridwan) dan pernyataan siap mati membela Rasulullah untuk kedua kalinya. Karena mereka mendengar, Utsman radhiyallahu anhu yang dikirim sebagai juru bicara, katanya teraniaya oleh pihak sebelah. Itulah sejarahnya. Kami pun ambil miqat di sini untuk umrah kedua. 

Di hari berikutnya, Jabal Tsur sebagai tempat transit dan persembunyian Nabi dan Abu Bakar sebelum mengambil jalur pantai menuju ke kota impian (Madinah) ; juga dikunjungi. Terasa betapa Rasulullah dan Abu Bakar harus berjuang keras menapaki gunung terjal agar bisa mengecoh konco-konco Iblis Makkah yang lagi haus darah itu. Terbayang pula peran laba-laba yang menutupi akses ke gua dengan sarangnya. Seolah menutupi ketidakmungkinan adanya manusia yang bersembunyi di balik gua tersebut. Bahkan Asma', sang putri Abu Bakar yang bolak balik dari Makkah dan gua itu agar suplai makanan tetap terjamin, terkenang perjuangan dan kesabarannya.  Ketika keluar tengah malam atau sebelum subuh, domba-domba pun ikut diarahkan agar bekas kaki sang putri tidak terdeteksi mengarah ke gua Tsur karena kabur oleh injakan kaki gembala. Sebuah strategi sempurna dan perencanaan matang yang menunjukkan kecerdasan dan tawakkal sang nabi. 

Padang Arafah pun tak luput dari kunjungan pada city tour kali ini. Es krimnya cukup menggoda, apalagi terik matahari sangat berasa. Padahal, jam baru menunjukkan 09.00 pagi. Peziarah begitu mengalir memutihkan jalur-jalur dan akses menuju puncak bukit Arafah. Setelah itu, ngambil miqat di Ji'ranah bagi jamaah yang mau umrah ketiga; baik sebagai badal atau pun untuk sendiri, juga difasilitasi. Di sini, penjual kaki lima khas Saudi berderet dengan dagangan masing-masing. Jalur haji di Muzdalifah dengan deretan tenda-tenda putih yang tertata rapi juga ikut dilalui hingga tampak kemegahan jamarat yang bertingkat itu berada di sisi kiri bus kami. Di depan pun, terowongan sebagai akses kembali ke haram sudah menunggu antrian bis yang kami tumpangi. Sebelum tiba di Haram, Jabal Nur, tempat Rasulullah berkhalwat dan menyendiri sebelum turunya wahyu pertama; juga sempat kami pandang jauh-jauh. Butuh 30 menit bagi umur setengah baya seperti kami agar bisa tiba di pintu gua. Itu kata seorang teman muthawwif yang mukim di Madinah sebagai mahasiswa tingkat akhir di S1 UIM (Universitas Islam Madinah). Kata beliau, di atas itu kawanan monyet sebesar anak 6 tahun menjemput kita; karena berharap dapat lemparan makanan, tanpa rasa takut. Bahkan, ransum makanan bawaan bisa mereka rampas, jika kita terlena. Inilah akhir dari city tour sekitar Haram hari ini. Karena, jama'ah yang berumrah, harus menyelesaikan proses thawaf dan sa'i mereka dengan tahallul. 

Sudut-sudut Keindahan Tata Kota.

Haram berada pada posisi dataran rendah. Di sekitarnya, terutama wilayah jalan Ibrahim Khalil, terdapat kawasan disebut Misfalah (turunan atau dataran rendah). Zam-zam tower dengan jam mewahnya terlihat hanya setengah badan, jika kita baru meluncur dari luar kota. Jalan-jalan by pas berseliweran dan terkoneksi langsung dengan sejumlah terowongan. Bahkan nafaq dlm bahasa Arab dan tunnel dalam bahasa Inggris ini termasuk ciri Haram yang unik. Tidak ada terowongan pendek seperti di Jakarta. Umumnya berkisar 1 hingga 2 dan 3 km. Deretan hotel-hotel berbintang mengelilingi dinding dan sekitaran Haram. Termasuk hotel Elaf Mashair, tempat kami transit dan hotel Pullman di zam-zam tower, tempat sebagian jamaah kami menginap. Sekitar 1-2 KM setelah kita meninggalkan haram, bangunan-bangunan mewah bernuansa minimalis dengan ornamen khas Arab tersebar begitu padat. Tertata begitu rapi walau tampak sepi dan kering. Memang begitulah negeri ini. Mereka tidak senang banyak berkeliaran. Karena prinsip keagamaan yang mereka anut menuntut demikian. Terutama para kaum hawa yang umumnya bercadar dalam balutan pakaian hitam. Selain itu, cuaca panas yang ekstrim memang seolah memaksa mereka lebih banyak berada di dalam ruangan, ditemani AC khusus khas Arab Saudi. 

Hijau Mulai Merekah. 

Dulu, kawasan ini terkenal dengan hamparan Padang pasir di tengah kepungan gunung cadas bebatuan. Itu sesuai pengakuan nabiyullah Ibrahim sendiri saat pertama kali menitip Hajar dan Ismail kecil di tempat suci ini. Namun, era kekuasaan keluarga Saud belakangn ini menghiasi sudut-sudut kota dan pinggir-pinggir setiap jalan dengan pepohonan hijau. Tak jarang taman-taman tampak indah dengan hijaunya rerumputan khas jepang. Belum lagi, wilayah Arafah tampak mulai seperti calon hutan, dijejali dengan pohon Sukarno di setiap ruas-ruasnya. Dari puncak bukit Arafah, hamparan pepohonan hijau seolah menghapus citra Saudi sebagai padang sahara. Itu sekarang. Akhir tahun kemaren, saat banjir dan hujan sempat mengguyur kota ini. Sepanjang perjalanan Makkah Madinah dan akses ke Jedah ditumbuhi rerumputan hijau menyegarkan pandangan mata. Sekalipun kehijauan itu tetap menyisakan harap-harap cemas di kedalaman jiwa ini, karena kiamat, kata Rasulullah tidak akan terjadi kecuali negeri ini menghijau kembali. Baik karena rekayasa tekhnologi maupun perubahan cuaca akibat rotasi matahari yang kian meyakinkan. Bahwa suatu hari nanti, matahari benar-benar akan terbit dari ufuk barat. Juga di malam hari sinar terang lampu-lampu jalan begitu dominan membuat kota ini seolah sedang bersolek. Belum lagi miniatur bulan dan bintang disertai goresan tulisan Arab mungil yang berbunyi Iedun said (hari raya berlimpah bahagia) dengan gemerlap cahaya hijau putih; seolah ikut melengkapi indahnya pesona kota Makkah. Karena memang, bulan ramadhan baru saja berpisah dan  berpamitan dari kota ini. 

Kuliner Tak Kalah Beragamnya.

Semangat hidup juga tak pernah lepas dari nikmatnya kuliner. Sepanjang pinggiran kanan zam-zam tower, saat keluar dari Haram, berderet warung makan dengan penganan khas timur tengah dan India. Demikian pula di setiap jalan dan akses lain menuju masjid. Bahkan, menu Al Baik yang serupa dengan ayam kentaky di Indonesia, iklannya terpampang di mana-mana. Awal kami tiba, di bus-bus jama'ah kami, al-baik dibagikan sebagai menu pembuka. Ayamnya yang besar tidak mungkin habis sekali makan, apalagi jika kita hanya sendirian. Inilah makanan khas yang banyak dirindukan para mantan jama'ah haji dan umrah. Ada pula Brost yang mirip dengan Al baik. Nasi mandi dan briani begitu melimpah. Terkadang dinikmati sebagai hadiah dari orang kaya dan pengusaha Arab Saudi, terutama ketika musim haji. Juz-juz minuman juga beragam, termasuk roti-roti Arab yang disebut Isy di Mesir. Buah-buahan apalagi. Jeruk sangkis dan apel, bahkan pisang dan pir khas Arab; juga tersedia di mana-mana. Menu makanan internasional, terutama di hotel bintang lima seperti Pullman disertai makan pembuka yang beragam tertata rapi sedemikian rupa. Terkadang seolah masih tampilan foto, padahal nyata adanya. Begitu rapinya deretan kursi putih bersama sendok dan garpu serta serbek putih yang berjejer itu. Sekalipun saya yang bercita rasa lokal ini terkadang sulit merasakan nikmatnya makanan mewah demikian. Tidak seperti makanan yang tersaji di hotel kami di Elaf Mashair, full Indonesian taste karena diolah langsung oleh orang kita yang umumnya dari Madura. Bakso, kikil, ayam opor, dendeng tipis yang serba kres dll termasuk menu favorit sayya tak iye. Hehehe... Bahkan, agar sensasi briyani, mandi dan kebuli terasa lebih nikmat, tak jauh dari wilayah Aziziyah, kami sempatkan berkuliner ria bersama 4 tour leader dan muthawwif. Yaah....kali ini jumlah jamaah mencapai 85 orang. Jadi kami harus kawal lebih ketat. Agar kepuasan mereka tidak sekedar fatamorgana. Salah satunya dengan menikmati menu Arab-India ini sesekali di sebuah resto bernama Raidan. Betul, sedikit ada perbedaan tekstur dengan resto serupa di Jakarta seperti Abu Nawas Dan al-Jazirah. Namun, semuanya tetap unik dengan ciri khasnya masing-masing. Itu kesan dan sedikit pengalaman saya di negeri para nabi ini. Bagaimana dengan anda? 

Haram Makki, Rabu 13 Juni 2019.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form