Tuesday, June 25, 2019

Madinah, Puncak Tertinggi Peradaban Manusia.



By. Idrus Abidin.

Seiring dengan perjalanan hidup manusia, peradaban rasional makin menonjol dibanding serial kehidupan yang pernah ada sebelumnya. Maka tidak heran, peradaban manusia sebelum Islam setiap kali jauh dari Allah, pasti dikirim seorang nabi atau Rasul untuk mengembalikan mereka ke ranah dan otoritas tauhid. Kitab suci menjadi bekal setiap rasul untuk missi tersebut. Tak lupa juga bekal mukjizat yang menunjukkan kebenaran dan bukti bahwa  mereka benar-benar utusan Allah. 
Setiap mereka dibekali mukjizat indrawi,  seperti tongkat yang berubah jadi ular besar bagi nabi Musa alaihissalam. Onta yang keluar dari celah batu pegunungan untuk nabi shaleh alaihissalam. Kemampuan mengolah besi jadi baju perang dengan kemampuan mengarahkan angin serta mengerti bahasa binatang bagi nabi Daud, terutama anaknya; Nabi Sulaiman alaihimassalam. Kemampuan mengobati pasien dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah bagi nabi Isa alaihissalam. Namun, setiap mukjizat tersebut tidak terkoneksi secara langsung dengan kitab suci setiap nabi. Bahkan, ketika mukjizat terjadi dan luput dari mereka yang tidak hadir, tentu yang diterima hanya informasi oral (cerita) layaknya kita yang hidup di zaman sekarang ini. Dan, ketika sang nabi meninggal, mukjizat tersebut ikut terkubur bersama jasad sang nabi dan rasul. 

Berbeda dengan nabi kita, Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Beliau dibekali dengan mukjizat maknawi dan inderawi sekaligus. Maka tak diragukan, kematian beliau tetap meninggalkan mukjizat abadi, terjaga eksistensinya hingga saatnya nanti. Beliau memang telah wafat. Namun, kebenaran warisan kenabian beliau senantiasa aktual pada bidang sains dan teknologi, serta pada bidang sosial kemasyarakatan; termasuk sejarah sebagai pabrik peristiwa dan peradaban. Aktualisasi kebenaran Wahyu terus terjadi sesuai hasil penelitian ilmiah terkini pada berbagai sektor kehidupan. Puncaknya, ketika semua janji Allah tersingkap melalui lorong akhirat bernama barzakh dan kiamat, sesuai namaNya sebagai al-Mukmin. Inilah beberapa keistimewaan kota Madinah di Era Kenabian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :

Terpelajar Tanpa Madrasah.

Karena al-Qur'an menyasar langsung masalah pendidikan dengan membaca sebagai kegiatan penting dalam ranah keislaman maka pena sebagai sarana dan alat tulis yang akan mengangkat nilai literasi di tengah kalangan sahabat, disebutkan secara khusus dan paling awal dalam surat al-Alaq. Terjadilah proses transmisi keilmuan seiring dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur'an demi mengawal kebudayaan Islam diiringi penjelasan nabi secara lisan  maupun perwujudan dari firman itu pada diri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Mereka belum mengenal istilah madrasah dan lembaga resmi yang menjadi payung khusus kegiatan intelektual. Yang mereka jadikan pusat keunggulan adalah masjid; tempat semua jenis kebijakan diputuskan dengan metode musyawarah. Maka lahirlah tradisi ilmiah yang tidak banyak wacana, tapi umumnya bersifat praktis dan ideologis. Kehalusan Budi sebagai ciri orang-orang terpelajar dan moderat mereka miliki. Walaupun mereka sendiri tidak menonjolkan keberhasilan material sebagai standar kemajuan melebihi keshalehan pribadi dan sosial yang ditandai oleh ketaatan mutlak kepada Allah dan rasul-Nya, sikap persaudaraan yang melampaui batas-batas suku, warna kulit dan dan status sosial. Semua itu menciptakan nuansa egaliter, di mana  mereka tidak merasa lebih menonjol di banding sesama. Karena mereka memahami, keberhasilan adalah hasil jalinan kerjasama sesuai keahlian dan fungsi dan peran-peran masing-masing. Harga diri tidak lagi menghasilkan egoisme, tapi ketulusan dan loyalitas kepada persaudaraan, kebersamaan dan sikap mendahulukan orang lain (itsar) dibanding diri sendiri dalam hal-hal yang bersifat duniawi. 

Moderat Tanpa Dosa.

Moderenisasi seringkali identik dengan kebebasan tanpa aturan syariat. Sehingga mereka yang memiliki akses lebih kepada kekuasaan, pengetahuan dan kekayaan aset merasa berada di atas rata-rata umumnya masyarakat. Di sinilah egoisme sebagai berhala berawal. Sikap yang potensial membuat manusia menjadi tuhan-tuhan yang merasa berhak diberikan penghargaan khusus. Maka, hak-hak istimewa mulai berlaku dan masyarakat terbelah oleh status sosial sesuai tingkat dan akses mereka kepada kekuasaan, pengetahuan dan kekayaan. Demikianlah motif umum kezhaliman. Sehingga keadilan susah hadir di tengah masyarakat kaum pagan. Madinah berhasil menciptakan konsep moderenisasi yang jauh dari unsur kezhaliman. Bahwa yang dimaksud moderat itu adalah sikap pertengahan antara vokus dunia dan akhirat oriented. Sikap proporsional dalam hal spiritual dan material. Termasuk keseimbangan dalam hal ilmu dan amal. Tidak ada satu sektor yang lebih diutamakan sehingga sisi dan sektor lain terbengkalai. Tetapi ketika akhirat menjadi visi, dunia tetaplah ruang di mana misi dijalankan dengan baik. Betul bahwa para sahabat adalah  manusia bumi, tetapi jiwa mereka vokus melangit. Atau, setelah melalui serangkaian pendidikan kenabian, mereka menjadi makhluk langit yang tak lupa pijakan di bumi ini. Artinya, di saat Allah ditaati dengan baik, kemanusiaan mereka pun membumbung tinggi.  Sehingga negeri mereka menjadi persemaian kesetiakawanan sosial yang tidak akan membiarkan satu warga pun bersedih, terutama saat-saat bahagia di hari raya; idul Fitri maupun idul qurban. Tidak seperti doktrin sekulerisme yang mengatakan, jika Tuhan ditaati sebagai pusat otoritas maka manusia terzhalimi. Akhirnya, mereka memecat dan membunuh tuhan -menurut keyakinan mereka- agar manusia bisa memperoleh kemanusiaan mereka sendiri. Lahirlah humanisme tanpa Tuhan. Spiritual tak berketuhanan dan etika tanpa agama. Naudzubillah.

Maju Tanpa Riba.

Kemajuan juga identik dengan praktek riba. Di Madinah, Rasulullah mulai mengembangkan sayap-sayap perekonomian yang berbasis pada prinsip kebersamaan. Untung rugi ditanggung bersama. Pinjaman murni akad sosial yang tidak dimanfaatkan untuk menggandakan aset. Namun, jika peminjam dengan ikhlas memberi tips tanpa ada syarat sebelumnya, maka itulah yang diajarkan Islam. Suatu tradisi bisnis yang bernafaskan akhlak kebersamaan, sikap saling memahami dan mengerti makna terimakasih dan rasa syukur. Rasulullah juga membuka lapak-lapak di Madinah dengan upah sesuai kemampuan dan perkembangan bisnis setiap pedagang. Maka, lapak-lapak Yahudi yang biaya sewanya cenderung mencekik leher, lambat laun ditinggalkan para pedagang. Mereka memilih lapak-lapak Rasulullah yang lebih manusiawi. Akhirnya, kekuatan perekonomian riba yang dikembangkan Yahudi di kota Madinah sedikit demi sedikit tumbang oleh ekonomi keadilan yang disponsori Rasulullah. Beliau melarang penimbunan barang-barang pokok yang potensial merusak stabilitas harga. Juga mencegah praktek-praktek kecurangan di pasar-pasar. Timbangan, ukuran dan kiloan tidak boleh dikurangi. Maka terjadilah eksplorasi perekonomian yang tadinya didominasi oleh eksploitasi riba besar-besaran. Madinah kemudian menjadi pusat bisnis dan perdagangan yang ramah lingkungan dan meningkatkan tarap hidup warga dan sekitarnya dalam bingkai persaudaraan dan nilai-nilai kebersamaan. Itulah ekonomi syariah yang belakangan ini mulai berkecambah di negeri-negeri muslim. Para sahabatlah pionir-pionir dalam bisnis berkeadilan ini. Dan Madinahlah laboratorium resmi yang menjadi saksi keberhasilan Rasulullah dalam pengembangan ekonomi kerakyatan. 

Adil Tanpa Mahkamah.

Karena berawal dari konsep kesamaan manusia di hadapan Allah (egalitarian), kota Madinah menjadi pusat keadilan yang menenteramkan warganya. Segala persoalan hukum yang terjadi diharapkan selesai melalui pendekatan kekeluargaan. Jika telah sampai ke Rasulullah sebagai pusat otoritas kehakiman, maka sistem peradilan berlaku dan delik aduan tidak bisa lagi dicabut. Hukum-hukum paten diatur sedemikian rupa dengan istilah hudud, seperti perzinahan, pembunuhan,  pencurian dll. Ada istilah qisas atas pembunuhan terhadap seseorang, tanpa adanya legalitas syari'at. Ada pula istilah rajam bagi pezina, padahal sudah menikah. Bahkan  ada hukum cambuk (jilid)  bagi pezina yang belum menikah. Semua hukum itu berjalan sesuai petunjuk Allah, yang secara praktis diarahkan oleh Rasulullah dengan nuansa ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Mahkamah itu sekali lagi berpusat di masjid, tempat di mana keadilan Tuhan disebar dan keadilan kepada Allah diwujudkan dengan istilah tauhid dan ikhlas. 

Berkuasa Tanpa Istana.

Semua kekuasaan hebat pasti dikelola dari balik istana megah. Tidak demikian Rasulullah. Madinah tetap hanya memiliki masjid sederhana yang disebut belakangan sebagai masjid Nabawi. Di situlah kebijakan negara lahir. Soal keamanan, masalah peperangan, bahkan korespondensi antara penguasa di sekitar jazirah Arab, seperti surat-surat dakwah Rasulullah ke Meqauqis di Mesir, ke raja Jalalanda dan Abd di Bahrain, ke Heraklius sebagai penguasa Romawi dll, juga diarahkan dari masjid ini pula. Maka, sepeninggal Rasulullah, otoritas kekuasaan Madinah menjadi salah satu wilayah kekuasaan yang menggetarkan Persia dan Romawi sebagai dua adi daya di zaman itu. Dengan sejumlah keunggulan itu, tak heran jika Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah menegaskan, 

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ 

Zaman terbaik adalah zamanku. Kemudian zaman selanjutnya, lalu zaman selanjutnya lagi. (HR. Bukhari, no. 3378)

Semoga kita bisa ikut berkontribusi dalam menghadirkan konsep masyarakat Madani di negeri kita di zaman modern ini. Karena, sebagai mana informasi sang Rasul, kiamat tidak akan terjadi kecuali lahir suatu zaman yang mirip dengan zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dulu. Semoga.

Ahad, 9 Juni 2019.

Jalur Kota Nabi menuju Makkah Al-Mukarramah.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form