Monday, July 6, 2020

Monitoring Islam Liberal dari Bilik Islam Klasik.

Monitoring Islam Liberal dari Bilik Islam Klasik.
Pengembaraan Intelektual. (Catatan Perjalanan Akademik). Bagian 2.

By. Idrus Abidin.

Tulisan ini memadukan antara :

1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan).
2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik. Modern tanpa kebablasan). Berhati-hati tanpa telat berkontribusi. 
3. Pengalaman real lapangan. 

Masa-masa karantina LIPIA sebagai basis akademik Islam klasik (S1 plus) sudah sangat tepat. Versi Islam lurus, sejarah peradaban itu mengikuti alur berikut :

A. Era tauhid.
B. Masa-masa degradasi tauhid menuju maksiat.
C. Era kesyirikan.

Versi ini, manusia berawal dari tauhid dan hidayah sejak masa nabiyullah Adam dan Hawa. Terjadinya kemunduran taqwa berawal dari perselisihan saudara kandung; Qabil dan Habil atas nama pesona kecantikan wanita. Itulah masa era tauhid menuju degradasi. Keturunan Qabil mewarisi degradasi, sedang Habil meneruskan otoritas Tauhid. Hadir di masa setelah itu nabi Idris alaihissalam. Nabi pertama yang terampil dalam industri jahitan versi Ibnu Katsir dalam Qashas Anbiyaa beliau. Syirik menjadi dominan, sehingga Allah mengutus rasul pertama; Nuh alaihissalam. Dalam penuturan Ibnu Katsir, interval waktu antara Adam dan Nuh kisaran 9 generasi x 1000 tahun = 9.000 tahun. Karena rata-rata umur mereka per generasi adalah 1000 tahun.

Berbeda dengan persfektif Islam lurus di atas, kalangan Islam liberal mengikuti alur peradaban versi sekuler, yaitu :

A. Era mitos.
B. Masa keagamaan.
C. Era Sains dan teknologi (positivisme).

Agama versi Islam liberal hanya masa-masa peralihan dari era mitos. Era makhluk pra sejarah yang umumnya mengakui teori evolusi Darwin dengan monyet sebagai asal-usul (nenek moyang) manusia. Agama menjadi kerdil peranan kemasyarakatannya karena (realitas) sains dan teknologi merajai kehidupan sosial. Maka, pemisahan agama dengan dunia mutlak dilakukan oleh mereka via proyek pembaharuan. Politik menjadi ajang bersih-bersih dari campur tangan agama. Ruang publik disterilkan dari perspektif agama. Agama cukup menjadi doktrin pribadi yang tak punya hak dan akses ke ranah publik. Ilmiah versi Barat bukan sekedar ilmu yang sistematis, tapi juga harus empiris (indrawi). Agama pun tak punya hak menyandang status "ilmiah" sekalipun memiliki sistematika unik melampaui ilmiahnya ilmu peradaban mana pun, seperti yang dimiliki ilmu hadits (kritik sanad). 

---------------

Selama kami berkutat di kampus dg sejumput mata kuliah yang telah disebutkan pada status sebelumnya, di sela-sela kuliah tahun pertama di wilayah Salemba, Jakarta Timur, saya juga ikut taklim pekanan kurleb setahun di masjid kompleks BRI yang terletak di bilangan jalan Pramuka menuju ke jalan Pemuda atau ke jalan Salemba Raya. Di situlah saya mengenal syari'at jenggot yang diajarkan taklimnya oleh Ust. Abdul Hakim Abdat dengan Shahih Bukhari sebagai pegangan taklim resmi. Itu berlangsung tiap Sabtu pagi di akhir pekan (weekend). Termasuk ketika itu mengeritisi kandungan majalah Sabilii yang dianggap menyimpang oleh sang Ustadz. Sesekali juga di hari Selasa sore ikut taklim di masjid Dewan Dakwah (DDI Pusat) yang diampuh oleh Ustadz Yazid Jawwaz. Riyadhusshalihin dijadikan panduan taklim rutin. Suatu ketika, saat saya sedang asyik-asyiknya menikmati buku-buku berhaluan haraki-ikhwani, terjadi polemik di internal -cikal bakal- Salafi Indonesia itu. Pemantiknya adalah bagaimana menempatkan status bagi syekh Muhammad Abduh di Mesir dengan majalah al-Urwatul Wutsqaa serta Universitas Al-Azhar-nya di Kairo, Mesir. Versi almarhum Ust. Ja'far Umar Thalib dan Ust. Hakim Abdat, Syaikh Muhammad Abduh termasuk bermasalah secara manhaj (waktu itu belum ada istilah polisi manhaj apalagi cyber army manhaj). Sedang Ust. Yazid Jawwaz terhitung positif menanggapi status sang syekh, kala itu.

Serasa ada titik balik pada diri ana sehingga sementara waktu lock down dari kajian beliau berdua. Ana melanjutkan tradisi baru yang doyan melahap buku-buku pergerakan yang juga getol menyinggung musuh intelektual kiri, terutama polemik Islam kiri dan Islam kanan di Mesir dan di Indonesia tercinta. Tulisan kritis Ustadz Hartono Ahmad Jaiz terhadap pembaharuan salah kaprah itu, termasuk di antara list menu harian kami. Buku-buku Syaikh Yusuf Qardhawi (terutama al-Ibadah Fii al-Islam dan Tsaqafatu ad-Daiyah), Syaikh Quthub (terutama Fii Zhilal Al-Qur'an, Ma'alim Fii at-Thariq dan Dirasat Islamiyah dll), Syaikh Sa'id Hawwa dg Tazkiyatunnafs dan Rambu-Rambu jalan Ruhani serta buku-buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah seperti ringkasan kitab Madarijussalikin dan volume 1 kitab Zaad al-Ma'ad. Kesemuanya menjadi menu spiritual yang mengiringi kuliah normatif Islam di kampus. Buku-buku dan kitab-kitab itu layaknya pizza huts yang menggiurkan enaknya. Setidaknya, sesuai salah satu kitab penulis terkenal Syi'ah; Hernowo, yang diterbitkan Kaifa publishing Bandung (salah satu imprint penerbit Mizan) sekitar tahun 2003. Walaupun ketika LIPIA sudah pindah ke kampus baru di Buncit Raya, Jakarta Selatan; saya dengan teman kost sesama alumni satu almamater dari pondok pesantren al-Urwatul Wutsqaa, Sidrap, Sulawesi Selatan; masih betah mondar mandir di sekitaran Salemba Raya. Di samping faktor lain, keberadaan Gramedia sebagai tokoh buku unik dan lengkap; menambah gairah untuk tetap betah di tempat lama ini. 

Di Fakultas Syari'ah, kami bahkan dipandu langsung Dr. Daud Rasyid di mata kuliah hadits ahkam (Kitab Subulussalam). Ketika itu, beliau terhitung doktor mudah yang dianggap kritis terhadap pemikiran Neo Muktazilah  Prof. Dr. Harun Nasution dan Dr. Nur Kholis Majid. Sejumlah buku beliau tulis seputar itu, termasuk buku berbahasa Arab; as-Sunnah Fii Indonesia. Di sela-sela kuliah, terkadang beliau terpancing juga menceritakan polemik Islam kiri dan Islam kanan. Bahkan, terasa itu adalah oase baru yang makin memacu kami menguasai kitab-kitab klasik. Dari beliau lah kami banyak mendapat info kitab-kitab modern yang pro Islam kanan. Seperti kitab as-Sunnah wa Makanatuha Fii at-Tasyrii al-Islami, karya Dr. Musthafa as-Siba'i, kitab as-Sunnah Qabla at-Tadwin karya Dr. Ujaj Al-Khatib dll. Termasuk mendengar buku-buku kiri seperti buku Ali Abdul Razik; Al-Islam wa Ushul al-Hukm, al-Qashah al-Qur'ani tulisan Khalafallah yang mengklaim kisah Al-Qur'an hanya sebatas rekaan imajiner; tidak real karena hanya sebatas pembelajaran dan pendidikan. Saat kami di fakultas syari'ah ini pula terbit majallah Islam liberal bernama Syir'ah. Hanya 1 edisi yang sempat saya lirik. Klo tidak salah, sempat membahas masalah budaya; tari perut yang terkenal di Mesir itu dalam pandangan Islam (Liberal). Entah majallah itu keluaran JIL (Jaringan Islam Liberal) yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta Timur; dekat tempat kerja saya sekarang atau bukan. 

Semua tumpukan literatur itu berdialog tidak karuan dalam file-file memori kami. Namun tampaknya belum cukup kuat untuk dijadikan sebuah ledakan pemikiran. Bukan karena minimnya literatur, tapi tak lebih karena kurangnya keahlian menulis kami. Namun sebagai "row material", bahan baku itu cukup mumpuni untuk menemani kami dalam petualangan intelektual berikutnya. Terutama dengan kehadiran Jurnal pemikiran dan peradaban Islam pertama di Indonesia; ISLAMIA. Produk intelektual muda muslim Indonesia; hasil didikan prof Dr. Naquib Al Attas di Malaysia. Jurnal ini dikomandani oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan Dr. Adian Husaini. Mereka berdua tokoh INSIST Jakarta.

Pertama kali jurnal ini dibawa oleh seorang teman sekelas yang belakangan ini menjadi ustadz fenomenal di jejaring sosial FB; Ustadz Anshari Taslim, Lc. Jurnal inilah yang semakin mendobrak dan membuka kesadaran ilmiah kami; tentang bagaimana literatur klasik itu memandang dan didialogkan dengan literatur pemikiran modern yang serba kiri. Belum lagi sumber-sumber orientalis yang banyak dibedah pemikiran mereka di jurnal tersebut. Pembahasan yang diangkat pun di edisi perdana langsung ke Hermeneutika. Basis umum metodologi pemikiran yang menjadi keahlian wajib di madrasah intelektual liberal. Kata dan istilah tafsir disamakan dengan Hermeneutika secara total, tanpa membedakan latar belakang budaya yang membedakan/melahirkan kedua istrilah tersebut. Hampir semua tema-tema pemikiran kontemporer sempat dipublis dan dianalisis secara cerdas dan kritis pada jurnal pemikiran dan peradaban Islam ini. Mulai dari pluralisme agama, framework studi Islam orientalis, kerancuan berpikir tokoh liberal, akar peradaban Barat dll; hadir di sini dengan bahasa ilmiah. Masa-masa itu, terkadang saya merasa, mata pelajaran dan rutinitas kuliah di LIPIA seolah merecoki kegemaran kami meliterasi di bidang pemikiran dan pergerakan. Karena terkadang buku-buku pergerakan dan pemikiran itu mengaduk-aduk semangat dan jiwa untuk berbua sesuatu. Sedang mata kuliah berasa hampa dan tekanan "tanggungjawab"nya lumayan tinggi. Tanpa disuruh; ayat, hadits, ijma', Qiyas, dll seolah harus dihapal. Kalau pun tidak, tentu bingung mau nulis apa pas lembaran ujian tiba. Namun, rasa itu kami sadari setelah lewat masa-masa karantina LIPIA dan terjun bebas di ranah dakwah dan pengajaran di salah satu pondok pesantren di Jawa Barat; Husnul Khatimah namanya. Anak-anak santri putra dan putri begitu doyan ketika di luar mata pelajaran; saya nyerempet ke cerita-cerita bernuansa pemikiran dan bersemangat dakwah. Seperti ketika kami di kampus LIPIA dulu. Itu berjalan sekitar 1,5 tahun lamanya. Sebelum peluang beasiswa Depag resmi di tangan untuk studi lanjutan di ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Itulah sekelumit modal intelektual yang coba kami terus rapikan dalam folder-folder otak; yang nantinya menemani kami dalam kelas-kelas bebas pemikiran di Pascasarjana. 

Sekian dulu ya. Dah tengah malam. Hehehe 😅. Maaf, terlalu serius. 

Ahad, 5 April 2020. (11 Sya'ban 1441 H)

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form