Koreksi Terhadap Pernyataan Prof. Quraish Shihab.
By. Idrus Abidin.
Beberapa
hari ini, Ust. Prof Dr. Quraish Shihab rutin tampil di Indosiar
menasehati kita seputar hikmah di balik Covid-19. Sungguh inisiatif
Indosiar tersebut patut diapresiasi. Prof Quraish Shihab adalah salah
satu nara sumber bermutu dalam studi keislaman (dengan segala kelemahan
manusiawi yang beliau miliki). Belum lagi tampilan kecil di sudut Tv
Indosiar yang mengingatkan masyarakat tiap hari akan dekatnya bulan suci
Ramadhan. Itu semua patut dihargai.
Namun,
ada sedikit pernyataan beliau perlu koreksi dan perbaikan. Beliau
menyatakan, 'Islam (terkadang) mendahulukan kemanusiaan daripada
keberagamaan." Pernyataan ini merupakan dasar untuk menyimpulkan
legalitas dan dukungan beliau terhadap fatwa MUI dan sikap pemerintah
yang meminta warga beribadah di rumah; dengan tidak berjamaah 5 waktu di
masjid. Cukup azan (sebagai informasi masuknya waktu shalat) dan
perwakilan kecil yang shalat jama'ah di masjid agar azan tetap
berkumandang. Juga supaya fardhu kifayah tetap berlangsung. Termasuk
Jum'atan diganti duhuran.
Mungkin
maksud beliau hafizhahullah, DALAM KONDISI DARURAT, Islam mendahulukan
kemanusiaan daripada keberagamaan. Seperti ketika nyawa terancam,
sementara tidak ada makanan lain untuk bertahan hidup kecuali daging
babi. Artinya, pernyataan beliau berusaha menetralisir kesalahpahaman
orang-orang yang membenturkan antara ibadah (keberagamaan) dengan rasa
takut dari covid-19. Sebatas itu, pernyataan beliau lurus-lurus saja.
Namun, peryataan demikian seringkali dimanfaatkan kalangan muslim
liberal untuk membenturkan fakta keislaman dengan filsafat Realisme,
Positivisme, dll untuk kepentingan buruk.
Kalau
persfektif ana yang terbatas, seharusnya dikatakan, dalam kondisi
darurat, Islam mengizinkan manusia beribadah secara pribadi di rumah
masing-masing. Sehingga tidak ada kesan kontradiksi antara agama (Islam)
dan kemanusiaan.
Keberagamaan
(Islam) itulah yang menyatu dengan kemanusiaan. Istilahnya,
rabbaniah-insaniyah. Islam menyatu dengan kemanusiaan secara utuh. Tidak
ada pemisahan, tidak ada kontradiksi. Adanya hanya kompromi, akurasi
dan sinergi. Hanya Allah yang mampu melakukan itu. Menyatukan langit dan
bumi serta dunia akhirat dalam sebuah visi misi yang komprehensif dan
proporsional. Islam itu menyatukan semua yang berpasangan (berlawanan)
dalam sebuah harmoni (tauhidi). Tidak seperti pemikiran sekuler,
liberal, materialistik dan rasional kebablasan; yang seringkali
mempertentangkan banyak hal. Langit dan bumi. Laki dan perempuan.
Idealisme dan realisme.
Selama
Islam ini dipahami dengan baik, in syaa Allah efeknya pasti baik dunia
akhirat. Bahkan, itulah salah satu perbedaan karakteristik antara Allah
dan hambaNya. Makhluk berpasangan, sedang Allah unik, istimewa dan
esa. Tidak butuh istri, anak dan apapun dan siapapun. Itulah makna
tauhid. Sementara makhluk itu berpasangan (zaujiyah). Maksudnya, dalam
kondisi darurat pun, Islam senantiasa Rabbani dan insani sekaligus.
Catatan :
Anggaplah
perbedaan ini tidak substantif, tapi hanya sebatas perbedaan istilah
saja (khilaf lafdzi). Atau ini hanya perbedaan variatif (tanawwu), bukan
perbedaan kontradiktif (thadad). Wallahu a'lam.
Menurut antum gimana gaes ?
Depok, 2 April 2020 (Kamis, 8 Sya'ban 1441 H)
0 komentar:
إرسال تعليق