Sikap Moderat Ahlu Sunnah Atsariyah Dalam Pemberdayaan Rasionalitas Islam.
By. Idrus Abidin.
Salah
satu bentuk sikap proporsional dan profesional Ahlu Sunnah Atsariyah
adalah pemberdayaan mereka terhadap rasionalitas Islam yang moderat. Di
sini terdapat minimal tiga sikap, dua termasuk ekstrim :
1.
Sikap ekstrim filosof dan Ahlu Kalam yang menjadikan akal sebagai yang
utama melampaui teks-teks syari'at dalam bidang penalaran dan
argumentasi.
2. Sikap
ekstrim ahli Tasawuf yang mencela akal, menolak pandangan rasio murni
(sharih) dan merusak citra penalaran dan kandungan argumentasi rasional
syari'at.
Ahlu Sunnah
Atsariyah berusaha mengambil posisi tengah dengan menyatakan bahwa rasio
tetap sebagai sarana fungsional (alat memahami) untuk bisa menggapai
ilmu dan mencapai kesempurnaan amal. Maka, pandangan yang bertentangan
dengan rasio swa bukti (badihi) dipastikan bagian dari hawa nafsu dan
kebatilan. Karena itulah, Allah memerintahkan kita bertadabbur pada
banyak ayat; sebagai bentuk penegasan dan dukungan bahwa rasio adalah
sarana utama untuk mengetahui hujjah-hujjah Allah terhadap makhlukNya.
Namun pada waktu yang sama, mereka juga melihat bahwa rasio bukanlah
sarana pengetahuan yang independen. Tetap saja rasio sangat membutuhkan
pengarahan Wahyu. Karena walau bagaimanapun, rasio tetaplah potensi jiwa
yang setara dengan kekuatan Indra seperti pengelihatan yang dimiliki
mata. Jika rasio terhubung dengan cahaya iman; Al-Qur'an dan Sunnah maka
kekuatannya seperti mata yang berkolaborasi dengan cahaya matahari atau
semua jenis cahaya. Jika mata berusaha independen, dipastikan ia tidak
bisa mencerap objek dengan sendirinya.
Dengan
demikian, Ahlu Sunnah Atsariyah tetap berargumen dengan rasio tetapi
tidak secara mutlak. Argumentasi rasional Ahlu Sunnah Atsariyah tetap
bergerak berdasarkan pada prinsip-prinsip metodologis yang bisa
mengarahkan langkah-langkahnya agar tetap berada pada jalur moderat.
Prinsip-prinsip metodologis tersebut seperti :
1. Dalil rasional tetap harus syar'i.
2. Wahyu merupakan dasar utama semua bentuk dalil dalam Islam.
3. Teks-teks Wahyu dipastikan tidak akan kontradiksi dengan rasio murni.
4. Tidak ada permasalahan yang bernuansa syariat kecuali pasti bisa diselesaikan dengan dalil syar'i (Wahyu dan rasio).
Kategori Dalil Syar'i.
Jika
hal tersebut sudah dimengerti, pertanyaan berikutnya adalah, apakah
dalil syar'i itu? Dalil syar'i adalah semua dalil yang diperintahkan
oleh Allah atau ditunjukkan olehNya atau dibolehkan pemberdayaannya.
Dalil syar'i terdiri dari 3 kategori :
1.
Dalil syar'i yang tidak bisa diketahui kecuali via Wahyu (riwayat).
Rasio sama sekali tidak berperan di sini. Ini disebut dalil syar'i
informatif (sam'i). Contohnya seperti informasi seputar malaikat, berita
terkait Arasy dan permasalahan akidah secara detail. Termasuk detail
perintah dan larangan Allah.
2.
Dalil syar'i yang diajarkan oleh syari'at, yang mengandung argumentasi
rasional, termasuk perumpamaan-perumpamaan (amtsal madrubah) yang
ditampilkan oleh Wahyu. Ini termasuk dalil syar'i rasional (aqli).
Contohnya seperti penegasan keesaan Allah, menafikan semua bentuk
kesyirikan, menegaskan adanya kenabian dan adanya hari kebangkitan.
3.
Dali syar'i yang dibolehkan oleh syari'at. Seperti yang ditunjukkan
oleh Al Qur'an dan Sunnah, ditunjukkan pula oleh apa yang ada di sekitar
kita melalui upaya observasi. Seperti hal-hal yang bersifat duniawi;
termasuk masalah kedokteran, matematika, pertanian, industri hingga
bisnis. Intinya, selama dalil seperti ini bisa mengarahkan kepada
keyakinan dan menyampaikan kepada pemahaman yang baik, pasti dianggap
termasuk dalam kategori dalil syar'i ini.
Dengan demikian, dalil syar'i memiliki karakteristik seperti berikut :
A. Pasti benar. Karena sifatnya sebagai dalil syar'i memberinya nilai terpuji dan nilai kemuliaan.
B.
Dalil syar'i harus dinomorsatukan. Tidak boleh dibenturkan dengan dalil
lain yang tidak syar'i. Dalil syar'i pasti diutamakan dibandingkan
dengan dalil yang tidak syar'i.
C. Dalil syar'i bisa bisa bersifat informatif (sam'i) dan bisa pula berkategori rasional (aqli).
D.
Dalil syar'i hanya bisa dihadap-hadapkan dengan dalil yang bersifat
bid'ah. Karena dalil yang bersifat bid'ah ini memberikan kesan buruk
padanya. Makanya, tidak boleh mempertentangkan antara dalil syar'i
dengan dalil rasional.
Makanya,
sebelum membangun argumentasi dan penalaran, seharusnya kita memahami
dulu dalil mana saja yang tergolong dalil syar'i dan mana yang tidak
termasuk dalil syar'i. Realitas lapangan menunjukkan adanya pihak yang
memasukkan dalil bid'ah ke dalam dalil syar'i. Demikian pula sebaliknya.
Ada yang menganggap dalil syar'i sebagai bid'ah sehingga pantas
dikeluarkan dari ranah syariat. Adapula yang mengategorikan dalil syar'i
masuk dalam kategori dalil rasional.
Syariat Telah Mengkafer Semua Hal yang Bernuansa Keagamaan.
Semua
yang dibutuhkan manusia dalam sikap keberagamaannya sudah dikafer
seluruhnya oleh syari'at. Baik yang sifatnya kebutuhan primer
(dharuriyat), kebutuhan sekunder (hajiyat) dan kebutuhan tersier
(takmiliyaat). Karenanya, segala peristiwa dan kejadian yang belum
memiliki ketetapan syariat, bisa diketahui hukumnya melalui perangkat
ijtihad. Tinggal satuan peristiwa atau kejadian parsial tersebut (juz'i)
dihubungkan dengan ketentuan umum (kulliyat) Syariat. Juga perlu
ditegaskan bahwa realitas atau peristiwa baru yang ada sekarang, bisa
jadi dibutuhkan atau tidak. Jika dibutuhkan berarti dipastikan masuk
dalam ranah ijtihad berdasarkan pada prinsip metodologis yang telah
diatur oleh syari'at Islam sendiri. Tinggal upaya serius dari ahli hukum
Islam untuk meninjau dalil spesifik yang melandasinya dan menerapkannya
secara resmi pada peristiwa serupa di masa depan nanti.
Adapun
hal-hal yang tidak dibutuhkan manusia dalam keberagamaannya, dipastikan
itu termasuk kreativitas mubaddzir (bid'ah) yang diadakan tanpa ada
urgensitasnya. Bahkan, telah menjadi sarana perpecahan sekaligus
menghabiskan energi ummat dari pemberdayaan intelektual; terutama
ijtihad untuk menemukan hukum baru terhadap peristiwa baru. Belum lagi
ta'shil islami (islamisasi pengetahuan) terhadap beragam pengetahuan
sosial modern; blm berjalan sebagaimana mestinya. Karenanya, seandainya
hal terakhir ini dibutuhkan oleh manusia dalam keislaman mereka, pasti
syariat tidak tinggal diam. Wallahu a'lam. Semoga mencerdaskan. Aamiin.
Diolah dari :
- A. Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al- Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, karya Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.
- B. al-Adillah al-Aqliyah an-Naqliyah'ala Ushul al-I'tiqad karya Dr. Suud al-Arifi.
- C. Ma'rakatu an-Nash, Dr. Fahd Shaleh al-'Ajlan.
- D. Ar-Ra'yu wa Atsaruhu fii Madrasah al-Madinah, Dr. Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa.
Depok, (Ronda Malam Rabu), 25 Maret 2020.
0 komentar:
إرسال تعليق