الأربعاء، 10 ديسمبر 2014
الثلاثاء، 18 نوفمبر 2014
الخميس، 16 أكتوبر 2014
الجمعة، 26 سبتمبر 2014
Tingkatan Kaum Beriman dan Bertakwa.
Published :
سبتمبر 26, 2014
Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
(STIS) Al-Manar Jakarta
Sumber: Tingkatan Kaum Beriman dan Bertakwa
(Karya Ust. Idrus. Sedang dalam Proses Terbit)
Manusia memiliki sebuah perangkat, jika perangkat itu baik maka
semua prangkat lainnya akan ikut baik karenanya. Itulah hati. Demikianlah titah
Rasulullah Saw. Benar sekali. Hati memang berperan besar dalam segala aktivitas
manusia. Dari sejak berpikir dan menghayalkan keinginan-keinginan serta
menggerakkan fisik untuk melakukan sesuatu, jika semuanya dilandasi oleh iman
dan takwa, akan menghasilkan nilai yang berlipat dan pahala yang besar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ
حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ
ضِعْفٍ وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ
فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً.
Dari Abu Hurairah, r.a., dari Rasulullah Saw., beliau menegaskan, “Jika terbetik dalam diri seorang
hamba-Ku keinginan untuk berbuat baik maka malaikat mencatat sebuah kebaikan
dan pahala untuknya. Lalu jika ia melakukan keingin baik itu dan mewujudkannya
dalam dunia nyata maka akan ditetapkan sepuluh pahala kebaikan lagi baginya. Hingga
kebaikan itu dilipatgandakan mencapai 700 kali lipat. Namun, jika terbetik
dalam benaknya pikiran negatif maka Aku membiarkan. Jika ia melakukannya
barulah Aku mencatatnya sebagai sebuah kesalahan.” [1]
Tidak sekedar demikian, bahkan setelah keburukan itu pun mencederai
keimanan dan fisik orang-orang beriman, malaikat pencatat keburukan masih
memberikan jeda waktu untuk bertaubat. Jika mereka menyesal, malaikat akan membiarkannya
begitu saja tanpa melakukan pencatatan. Nanti malaikat pencatat keburukan
benar-benar menetapkannya sebagai laporan kepada Allah, jika dia tidak menyesal
dengan hatinya, bersitigfar dengan lisannya dan meninggalkan keburukan itu
dengan fisiknya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ :
إِنَّ
صَاحِبَ الشِّمَالِ لِيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ
الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ أَوِ الْمُسِيء ِ، فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللَّهَ
مِنْهَا أَلْقَاهَا، وَإِلا كُتِبَتْ وَاحِدَةً.
Dari
Abu Umamah, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sungguh malaikat yang berada di
sebelah kiri akan mengangkat pena pencatat keburukan dari seorang Muslim yang
berdosa. Jika ia menyesal lalu beristigfar maka malaikat itu akan membuang
catatan keburukan itu. Namun jika tidak, maka malaikat akan menuliskannya satu
keburukan. [2]
Itulah rahmat Allah yang Mahaluas. Bagaimana mungkin kebaikan bisa
tercatat, seseorang bisa mendulang pahala banyak, hanya sekedar memikirkan kebaikan
dan kebenaran?! Alasannya, orang-orang yang berpikir positif, dengan semangat
keimanan dan ketakwaan, tentulah orang-orang yang terang jiwanya oleh Allah
yang dicintai-Nya, Rasulullah sebagai panutan yang diikutinya, al-Qur’an sebagai
navigasi sikap dalam realitas kesehariannya. Dengan alasan itu saja mereka sudah tercatat
sebagai pelaku kebaikan dan pionir pada setiap amal islami.
Jika kesalahan terlanjur terjadi, lalu hati menyesali, lidah ikut istigfar
sebagai bentuk partisifasi, kemudian fisik ikut mengejawentahkan apa yang ada
di hati dengan perbaikan, ketika itulah telaga kesalahan tadi menjadi lautan
kebaikan dan pahala yang membahagiakan. Dengan demikian, manusia menjadi lebih
baik dan meningkat secara psikis (keimanan) dan secara fisik (keislaman). Peningkatan
ini berawal dari keislaman secara lahiriah, lalu meningkat terus menerus
sehingga memiliki identitas sebagai orang beriman. Akhirnya, jika tetap
meningkat secara kualitas keilmuan dan kuantitas amal, maka tidak mustahil
untuk sampai ke tingkat paling bergengsi dalam piramida keimanan dan ketakwaan.
Yaitu, tingkat ihsan.
Tingkat pertama adalah Islam secara lahiriah. Tingkat ini disebut
sebagai tingkat orang-orang zhalim. Karena orang beriman yang berada pada
tingkatan ini masih banyak pelanggaran dan sikap menyelisihi Islam. Artinya,
fisik mereka yang shalat, puasa, haji dll. belum disertai dengan keyakinan yang
mendalam, yang dapat membuatnya komitmen dengan Islam layaknya tingkat kedua. Sehingga
shalatnya belum berfungsi menceganya dari perbuatan keji dan mungkar,
sebagaimana salah satu fungsi shalat dalam al-Qur’an. Shalat, zakat, puasa,
haji, qurban dan ibadah lainnya, yang
disyari’atkan sebagai sarana untuk mengasah ketakwaan belum berfungsi dengan
maksimal pada tingkatan atau kelompok ini.
Tingkat kedua adalah tingkat iman yang disebut sebagai muqtashid.
Yaitu tingkat kesesuaian antara rutinitas keislaman secara lahiriah dengan
tingkat keimanan secara batiniah. Dalam bahasa popular dikenal dengan
istiqamah. Yaitu sikap keberagamaan yang merefleksikan komitmen dan konsistensi
secara lahir dan bathin dalam lingkup keimanan dan keislaman, yang mengantar
seseorang menuju tangga pertama ketakwaan. Tingkat ketiga disebut tingkat ihsan
yang disebut sebagai tingkat orang-orang yang senantiasa berlomba-lomba
melakukan kebaikan (sabiq bi al-khairat) dengan tingkat profesionalisme
tinggi. Profesionalisme yang lahir dari perpaduan antara ilmu yang mapan dan
semangat yang senantiasa konsisten dalam jalur keimanan dan ketakwaan hingga
berakhirnya jatah hidup di dunia ini. tingkatan ini adalah tingkatan tertinggi
keimanan dan tingkatan paling bergengsi dalam piramida ketakwaan. Itulah makna
ayat ke- 32 surah Fathir yang segera hadir berikut ini:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ
اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ
مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ
الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32)
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang zhalim (menganiaya
diri mereka sendiri dengan banyaknya pelanggaran) dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Fathir
[35]: 32)
Ayat di atas memetakan hamba-hamba
pilihan Allah yang dikenal dengan orang-orang yang beriman dan bertakwa atau
pun dengan istilah berbeda, waliyullah. Orang-orang beriman dan bertakwa ini
terbagi menjadi:
A.
Orang-orang
beriman yang berkategoridan bertife zhalim. Yaitu mereka-mereka yang
banyak melanggar ketentuan Islam secara lahiriah maupun secara batiniah.
Sehingga, berdasarkan kategori ini, kelompok atau tingkatan zhlim ini dianggap
masih jauh dari ketentuan Islam sejati atau Islam ideal. Dengan demikian,
istilah zhalim pantas dikatakan sebagai kategori orang-orang yang banyak
berbuaat dosa besar maupun dosa kecil. Sekali pu mereka ini tidak menyadari hal
tersebut. Kesadaran tetang perbuatan dosa dan maksiat memang bersifat fitrawi
dan tertanam dalam lubuk hati yang dalam. Namun, untuk memahami secara detail
dan medalam, dibutuhakn upaya untuk mengenal Islam dengan lebih baik dari
sumber-sumber otritatif; baik berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah maupun sumber-sumber
yang menjelaskan kedua hal itu berdasarkan pada pemahaman kaum muslimin di
zaman keemasan Islam (salaf).
B.
Orang-beriman
dan bertakwa yang disebut muqtashid. Yaitu orang yang menegah iman dan
amalnya. Orang-orang yang searah keimanan hatinya dan fisiknya yang beriman
sehingga menjadi orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam lahir dan batin
(istiqamah).
C.
Orang
beriman dan bertakwa yang mencapai tingkat keimanan maksimal dan amalan yang
profesional. Mereka dikenal sebagai orang-orang pionir dalam ilmu dan amal (sabiq
bi al-Khaerat). [3]
Ketiga tingkatan ini searah dengan hadits Jibril yang membagi Islam
menjadi tiga kategori/tingkatan dengan istilah berbeda.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى
الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ
الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ
يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم
فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ
وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ
أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ
الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ
سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ،
قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ
بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ
بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ:
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ
تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ
مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ:
أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ
رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ
مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ:
اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ
أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
Dari Umar bin al-Khatthab r.a., dia berkata, ketika kami tengah berada di majelis bersama
Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut
sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan
tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di
hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan
meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah. Selanjutnya ia berkata, ”Hai
Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!" Rasulullah menjawab, “Islam
itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika
engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata, “Engkau benar.” kami pun heran, ia bertanya lalu
membenarkannya sendiri. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan
kepadaku tentang Iman.” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada
hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata,
“Engkau benar.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan!”
Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat!” Rasulullah
menjawab, “Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya
orang itu berkata lagi, ”Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Rasulullah menjawab, “Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan
puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak
berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.”
Kemudian orang itu perg sedang aku tetap tinggal beberapa lama bersama
Rasulullah. Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau
siapa yang bertanya tadi?” Saya menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah berkata, “Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang ajaran agama Islam kepadamu.” [4]
Pada hadits ini, kategori zhalim
disebut dengan istilah Islam (aspek
lahiriah). Kategori muqtashid diistilahkan dengan iman (sisi bathiniyah). Sedang kategori profesional
dikenal dengan istilah ihsan (perpaduan antara Islam dan Iman yang terangkum
secara proporsional). Selain istilah tersebut, kita juga mendapati istilah lain
untuk untuk ketiga kalangan ini pada surah al-Waqi’ah yang mengandung jannji-janji
pahala dan ancaman untuk masing-masing kelompok. Berikut penuturan surah
al-Waqi’ah tentang ketiga kelompok tersebut:
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجاً
ثَلَاثَةً (7) فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (8)
وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ (9) وَالسَّابِقُونَ
السَّابِقُونَ (10) أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (11
Dan
kamu menjadi tiga golongan.8. Yaitu golongan kanan (ashabul yamin).
Alangkah mulianya golongan kanan itu.9. Dan golongan kiri (ashabul
masy’amah). Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.10. Dan orang-orang
yang paling dahulu beriman (as-sabiqun), merekalah yang paling
dulu (masuk surga). 11. Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah) (muqarrabun).
(QS al-Waqi’ah [56]: 7-11).
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menukil pendapat Ibnu Juraij yang menyampaikan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna
firman Allah Swt. [Dan kamu menjadi tiga golongan.] adalah ketiga kelompok yang disebutkan di akhir
surah ini dan ketiga kelompok yang disebutkan dalam surah al-Malaikah.” [5]
Yang dimaksud Ibnu Abbas r.a. sebagai kelompok yang disebutkan di
akhir ayat adalah firman Allah yang berbunyi, ”Adapun
jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah) (muqarrabun),
89. maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan. 90. Dan
adapun jika dia termasuk golongan kanan (ashabul yamin), 91. maka
keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. 92. Dan adapun jika dia
termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat (mukazzibin
dan dhallin), 93. maka dia mendapat hidangan air yang mendidih,
94. dan dibakar di dalam neraka. (QS al-Waqi’ah [56]: 88-94).
Sedang surah al-Malaikah yang dimaksud Ibnu Abbas r.a. adalah surah
Fathir yang telah disebutkan sebelumnya, yang berbunyi, “Kemudian Kitab itu
Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
lalu di antara mereka ada yang suka menganiaya diri mereka sendiri dengan
banyaknya pelanggaran terhadap aturan al-Qur’an (zhalim) dan di
antara mereka ada yang pertengahan (muqtashid) dan di antara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiq bil khairat)
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS
Fathir [35]: 32)
Pada surah al-Waqi’ah yang sedang kita bahas tadi, ketiga
kelompok sebelumnya juga disebutkan
dengan istilah berbeda. Untuk kalangan zhalim disebut sebagai ashabul
masy’amah. Walaupun ashabul masy’amah ini juga mencakup orang kafir
dan munafik, selain orang-orang zhalim dari kalangan kaum muslimin. Kalangan muqtashid
disebut sebagai ashabul yamin dan kalangan profesional disebut sebagai as-sabiqun
dan al-muqarrabun.
Jika ketakwaan seperti yang dimaknai oleh Sayyid Quthb rahimahullah
sebagai sensitifitas hati yang senantiasa sadar dan terjaga, perasaan yang
sangat sensitif, khusyu’ secara bekelanjutan, senantiasa menggerakkan
fisik untuk maju maupun mundur, senantiasa semangat namun tetap berhati-hati
dan waspada, dan senantiasa berhati-hati terhadap duri yang merintangi
perjalanan,[6] maka
ketika itulah segala kebiasaan, seperti mandi, berpakaian dan makan, menjadi sumber
pahala yang tak terbatas. Bukankah prinsip Islam mengatakan bahwa niat yang
tulus dan ikhlas dapat merubah kebiasaan menjadi ibadah? Sebaliknya, bukankah
kita tidak khawatir jika ibadah murni (mahdah) kita seperti shalat,
tilawah dan haji hanya menjadi kebiasaan, gara-gara tidak dilandasi oleh niat
dan ketulusan hati?! Lalu kenapa kita tidak memperhatikan hati yang menjadi
sumber segala kebaikan, jika dioptimaslisasi dengan iman dan takwa?! Allah
telah mengisyaratkan:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّـهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّـهَا
Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, 9.
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, 10. dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams [91]: 8).
Sensitifitas hati tebangun karena ia telah melakukan pengembaraan spiritual
yang mendalam nan jauh hingga terkadang berliku. Kesimpulan perjalanan spiritualnya
menegaskan bahwa kebahagian hanya bisa dicerap, kenikmatan hakiki bisa terasa
dan kepuasaan bisa didapat jika dia memahami bahwa yang dicintai satu-satu-Nya hanyalah
Allah Swt. Allah Swt. dicintai bukan karena murni keimanan dan doktrin spiritualitas
semata, tapi karena kesadaran bahwa Dia-lah Dzat yang dengan rahmat-Nya kita
senantiasa berharap lebih baik dan karena azab-Nya kita perlu berlidung karena
merasa takut dari-Nya.
Ketiga hal ini; cinta yang mendalam kepada-Nya, harapan besar
kepada-Nya karena rahmat-Nya Yang Mahaluas dan azab yang ditakuti karena tak
terbatas, itulah yang membentuk hakikat dan sendi-sendi ketakwaan dan keimanan.
Betul bahwa takwa memprovokasi dan memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan
dan mencegahnya dari keburukan. Namun, itu hanyalah efek dari rasa cinta, harap
dan takut kepada Yang Mahabesar itu. Benar bahwa iman adalah sikap menerima dan
membenarkan pilar-pilar keimanan, mengucapkannya melalui lisan dengan syahadat
yang tulus serta mempraktikkannya dalam keseharian dengan seluruh anggota
tubuh. Namun, sekali lagi, itu semua adalah efek dari kesatuan tiga unsur utama
ketakwaan dan keimanan yang telah kami jelaskan dan kami paparkan secara
singkat sebelumnya.
[1] HR. Muslim, Tirmidzi dan al-Baihaqi.
[2] HR Thabrani. Al-Albani menghasankannya dalam
kitab Shahih al-Jami’ ash-Shagir, no. 2097.
[3] Lihat: Qawa’id wa Fawaid min al-Arbain
an_nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, (Riyaadh: Dar al-Hijrah Linnasyr wa
at-Tauzi’), cet. 6, th. 2000 M./1421H. hal. 334. Lihat pula kitab: Halawah
al-Iman, Karya: Abu Raihanah (Muhammad bin Sayyid ‘Abd al-‘Azhim al-Janzuri), cet.1, th. 2006 M./1427 H. hal.
17
[5] Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir,
(Riyadh: Dar as-Salam Linnasyr wa at-Tauzi’), cet. 1, th. 2000 M. /1421 H., hal. 1331.
[6] Surah al-Hujurat; Dirasah Tahlilyah wa
Maudhu’iyyah, Dr. Nashir bin Sulaiman al-‘Umar, (Dar al-Wathan: Riyadh), cet.
2, th. 1414. H., hal. 227.
Muhasabah Kehidupan
Published :
سبتمبر 26, 2014
Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
(STIS) Al-Manar Jakarta
Hakikat
Kehidupan
Kutemukan bahwa hakikat hidup ada pada hidupnya hati. Bahkan
hidupku terasa penuh makna ketika hatiku betul-betul hidup. Shalatku menjadi
khusyu, perasaan dan pikiranku terasa bahagia, jiwaku terasa optimis. bahkan
rutinitas harianku terasa ibadah bagiku. Karena kusadar dengan penuh
pertimbangan kalau aku melakukannya hanya karena Allah. Tetapi aku harus tetap
dan senatiasa berhati-hati serta terus menerus mawas diri agar jangan terpedaya
oleh nikmat-nikmat-Nya. Karena bahagia berlebihan itu salah demikian pula
kesedihan yang berlebihan. Nikmatnya keseimbangan (tawazun) tampak nyata dalam
diri orang-orang shaleh. Kekayaannya bukan pada miliknya secara lahiriah, tapi
hakikat kekayaannya ada pada kepuasannya secara batiniah. Siapa pun merasa
cukup (kaya) dengan Allah maka hatinya akan benar-benar merasakan kecukapan (kekayaan
dan kepuasan hati) yang sebenarnya. Kemiskinan bukan karena kurangnya harta
tapi karena kurangnya iman dan takwa.
Sumber
Kehidupan Hati
Kurasakan bahwa sumber utama kehidupan hati adalah Allah Yang Maha
hidup. Dari-Nyalah kudapatkan kehidupan secara fisik bahkan kehidupan hatiku;
hakikat diriku. Kuyakini dengan
pasti, jika aku melupakan-Nya maka aku pun akan melupakan diriku (Lihat QS
al-Hasyr ayat 19). Karena diriku kukenal karena Dia mengenalkannya padaku.
Untung saja, sekali pun aku lalai dari-Nya, tetap saja Dia tidak lalai dariku.
Aku masih ingat makan, minum, menikah, megurus anak, dll. Itulah karunian-Nya
yang lupa aku syukuri. Walau pun
sebetulnya saya lupa diriku ketika aku lalai dari shalat; terlambat
melaksanakannya dan ketika melaksankannya pun tetap saja aku cuman ingat
kepentinganku dan lalai dari-Nya. Betapa zhalimnya diriku dan betapa bodohnya
daku. Sampai seperti kacang lupa kulitnya.
Bagaimana jadinya kalau Allah biarkan aku lupa diriku lebih dari
sekarang. Hingga kulupa makan, kulupa minum hingga kulupa istri dan anak-anakku
dan semua orang dan semua apa-apa yang ada di sekitarku. Bukankah itu kegilaan sempurna
buatku?! Bagiku itu azab dunia yang sangat hebat, walau pun itu sebenarnya lebih
baik dan lebih pantas untukku. Karena, jika aku gila berarti aku tidak berdosa
saat aku tidak shalat, tidak puasa, tidak haji, dll.
Musibah: Bagian
dari Teguran dan Kasih Sayang Allah.
Kalau aku terus lalai dan melupakan-Nya, padahal; rasioku sehat,
badanku bugar, perasaanku kekar, telingaku aktif dan mataku berfungsi, maka
argo dosa dan maksiat tak akan pernah berhenti, walau sejenak. Kusadari atau
tidak, pasti argo itu bekerja dan terus bekerja, merekam jejak kelalaian dan
kealpaanku dari-Nya. Bisa jadi aku mendapatkan musibah akibat kelalaianku itu.
Tapi aku harus tetap yakin, Allah tidak membenciku dengan kiriman musibah itu. Karena
aku diciptakan dengan kasih sayang-Nya dan aku tidak diciptakan oleh-Nya untuk
disiksa dan diazab. Tapi Ia menciptakanku agar rahmat-Nya sampai kepadaku.
Karena itu, kurasakan kalau musibah yang menimpaku adalah peringatan
dan kasihsayang-Nya padaku. Agar aku tidak terus melupakan-Nya dan lalai
berkepanjangan dari-Nya. Sehingga ibadahku tidak seperti musim kemarau yang
kering dari air kekhusyu’an dan siraman keimanan serta sepi dari belaian
spiritual yang mengenyangkan. Aku khawatir jika teguran dan kasih sayang itu tidak
kurespon dengan baik, aku akan mendapatkan musibah lebih besar lagi. Yaitu
kelalaian yang bertumpuk-tumpuk hingga hatiku gelap gulita; tak tembus cahaya
hidayah. Padahal cahaya hidayah itu senatiasa melingkupiku setiap waktu, tapi
aku sendirilah yang menolaknya setiap kali aku bertemu. Aku terkadang bagaikan
ikan dalam air (kehidupan), mengimpikan air (kehidupan) di luar sana. Padahal
di luar sana tidak ada air (kehidupan) lebih baik dari airku (hidupku) saat
ini. Itulah bentuk kelalaianku. Ampuni hamba-Mu, berikan petunjuk-Mu, karena
kesesatan senantiasa menjadi pilihanku, padahal cahaya hidayah terang benderang
di hadapanku, Wahai Rab-Ku. Amin.
Proses Hidupnya Hati.
Kudapatkan bahwa proses hidupnya hati bermula dari bacaanku tentang
diri-Nya dalam kitab tauhid dan akidah serta fikih dan ahlak. Kulihat bahwa itu semua dan seluruh hakikat
kehidupan; dunia maupun akhirat ada dalam kitab pusaka bernama al-Qur’an dan
manual pendukung utama disebut Sunnah Nabi. Kutelusuri setiap saat karena
kusadar, apa yang kucari dan kubutuhkan semuanya ada pada-Nya. Bahkan
kebutuhanku pada-Nya melebihi kebutuhanku kepada makan dan minum, bahkan
menikah dan memasayarakat. Karena makanku, sekali pun hanya sebatas 3x sehari,
namun jika lebih dari itu bisa jadi aku tertidur atau bahkan makin tersungkur
(lalai). Di saat shalatku, yang wajib saja minimal 5x dalam sehari dan semalam.
Apalagi kalau kutambahkan dengan, sunnah muakkadah, seperti dhuhaa dan
tahajjud. Godaan setan untuk makan dan minum masih bisa kutahan, dibanding
godaannya agar aku bermakasiat kepada Tuhanku. Kusadar, kalau makanan rohaniku
tidak sekencang godaan setan, kuyakin dialah yang akan menggodaku, sedang aku
tak mampu menggodanya masuk Islam; terutama setan manusia. Kebutuhanku
kepada-Nya melebihi kebutuhanku kepada diriku sendiri sekali pun. Karena Dialah
aku ada dan sebab Dia aku mengerti siapa dan apa diriku sesungguhnya, termasuk
segala jenis kebutuhanku untuk kembali kepada-Nya. Kucari dan kupinta semua itu
dari-Nya. Bahkan Dia telah memberiku sebelum aku meminta, memberiku lebih baik dari
yang kuharap, memberiku lebih cepat dari yang kukira. Dia menerima dariku
kebaikan kecil lalu memberiku kenikmatan besar. Sedang aku terkadang mengingkari
dan melupakan kebaikan besar-Nya dan besarnya keburukanku senantiasa
kutunjukkan pada-Nya, setiap saat di banyak tempat.
Makin kukenal diri-Nya makin kerdil aku rasanya. Makin kutahu
tentang-Nya makin malu daku pada-Nya. Sungguh kurasakan betapa tak tahudirinya
aku dan betapa lancangnya aku pada-Nya selama ini. Dunia kadang lebih besar di
mataku dibanding kebesaran-Nya dalam hatiku. Padahal dunia ini diamanahkan
kepadaku agar aku memakmurkannya dengan cahaya keimanan dan semangat kehidupan;
dari hatiku yang bercahaya oleh terang-Nya dan jiwaku yang hidup dari kehidupan-Nya.
Tapi yang kulakukan malah memenuhi fisik dan rumahku dengan kenikmatan fisik
dengan beragam merek dan bermcam-macam model terkini. Sedang hatiku kulapa
mengisinya dengan beragam ilmu akidah dan tauhid serta fikih dan ahlak, dengan
bermacam-macam model buku terkini. Akhirnya, isi hatiku adalah perabot rumahku
dan istri dan anak-anakku. Sehingga hatiku dipenuhi oleh berhala duniawi yang
kubikin sendiri dengan segenap jiwa, seluruh usaha dan semua hidupku.
Nadzubillah. Bahkan, terkadang aku sendiri menjadi berhalanya; denga meminta
orang lain tunduk padaku padahal milikku hanya sebatas fisikku semata. Mereka
suka kekayaan fisikku, sedang mereka lupa kalau akulah orang termiskin hatinya
di kolong dunia ini. Pantas saja mereka begitu cepat melupakanku saat aku
bangkrut. Karena hakikat harapannya ada pada milikku, bukan pada diriku.
Akhirnya, kucemburu kepada ulama dan orang-orang shaleh. Mereka
minim harta terkadang, tetapi orang-orang senantiasa mengejarnya dan patuh
kepadanya. Dia tidak mengenal bangkrut seperti diriku karena ilmunya ada dalam
jiwanya dan kebahagiaannya bukan pada hartanya. Wajah mereka bercahaya padahal
mereka tidak pakai pemutih seperti aku. Mereka bahagia padahal tidak sekaya
diriku. Ketika sakit, betapa banyak yang mengunjunginya dan betapa banyak orang
yang ikut sakit karenanya. Dia dicnitai karena Allah dan dia mencintai mereka
karena-Nya. Ketika meninggal, orang-orang menangis hatinya seperti tangisan
matanya. Lidah mereka seolah tak pernah keluh medoakan ampunan dan keselamatan
untuknya. Padahal, dia sendiri ketika hidupnya, habis-habisan dalam da’a
mengharap ampunan dan keselamatan dari-Nya. Padahal modalnya menghadap Allah
dengan iman dan amal shalehnya; jelas terpampang di mataku. Sedang aku, tak
didoakan ampunan dan keselamatan oleh banyak temanku karena diriku saja malas
meminta ampunan dan kesalamatan kepada-Nya. Padahal, modalku menghadapi
kematian baru berupa rumah, mobil, istri dan anak-anak yang terkesan mewah.
Amalku? Tak begitu jumawa. Itulah salah
satu kerugianku. Anehnya, terkadang aku belum bisa menyesali apalagi bertaubat
sebelum mati.
Tak Mempan
Nasehat, Tanda Matinya Hati.
Kutemukan, matinya hati karena lalai dari al-Qur’an. Diantara fungsi
al-Qur’an, menghidupkan hati yang telah lama mati. Layaknya hujan yang
membasahi bumi hingga tanaman tumbuh kembali. Hatiku rasanya telah mati,
menganggap seruan al-Qur’an tak mempan lagi. Karena di hatiku ada selubung (kekafiran)
yang tidak kumengerti sama sekali. Sedang telingaku, saluran ilmuku, terasa ada
yang menutupi (setan). Orang-orang yang mengeja al-Qur’an padaku kuanggap
berjarak jauh dariku. Kukira ada didinding yang membatasi kami. Kumerasa tidak
akrab dengan mereka, karena kami beda energi. Aku api panas menyengat sedang mereka
air sejuk menyegarkan. Betapa takutnya aku dari mereka; seperti takutnya api
dari air.
Akhirnya, aku mengalah dan tak punya asa. Karena merasa tertekan
dan tak berdaya. Sedang hatiku masih tak menerima. Aku pun menyerahkan segala
hidupku kepada kata terserah. “Silahkan azab aku saja,” kataku. “Aku
sungguh tak tahan mendengar petuahmu wahai pembawa al-Qur’an. Silahkan engkau
urus sendiri dirimu dan tinggalkan aku”, demikian titahku. kutak tahan rusanya mendengar ancaman
kekafiran dan tidak tertarik pula diriku mengharap ridha dan ampunan dari Rab-ku.
Al-Qur’an kembali berseru padaku; pemilik hati yang mati. “Apakah
engkau mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa?! Lalu engkau
jadikan tandingan dan sekutu untuk-Nya. (tunduk patuh kepada selain-Nya dalam
syubhat dan syahwat) Padahal engkau pun sangat menyakini dalam fitrahmu yang
terdalam, bahwa Dialah Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta!” Dia pulalah
yang menegakkan gunung-gunung, sehingga bumi tidak bergetar; melemparkan engkau
tanpa sadar, ke mana pun ia bergoyang; saat menari dan berdansa. Dia pula yang
menumbuhkan tanaman dan buah-buahan di atas bumi itu sebagai makanan pokok yang
mengenyangkan engkau dan memberkatinya sehingga tumbuh berkembang, tanpa pernah
berpantang. Sehingga engkau merasa cukup dengan kebutuhan gizimu”. Setelah itu,
Dia pula yang berkata kepada langit dan bumi; milik-Nya sendiri “Patuhi
perintah-Ku, kalian mau atau tidak!”Tidak ada opsi lain bagi langit dan
bumi, sementara aku diberikan pilihan. Tinggal aku amanah atau khianat,
bersyukur atau kufur. Bumi dan langit lalu dihiasai oleh Allah dengan
perabotnya; bintang gemintang diantaranya. Agar langit tampak indah dan setan
kalau macam-macam dilempar dan dibakar dengannya.
Namun, aku tak bergeming oleh hujjah dan argumen rasional. Petuah
yang mencoba mengguah rasio dan fitrahku, yang tertimbun di balik gumpalan syubhat
dan syahwatku. Hatiku masih mati sehingga terkubur oleh fisikku sendiri. Kini,
al-Qur’an memggunakan bahasa ancaman dan peringatan padaku. “Jika memang
engkau masih ngeyel, ingatlah petir yang telah meyambar kaum ‘Ad dan kaum
Tsamud. Ketika datang kepada mereka nabi-nabi utasan Allah agar mereka jangan
pernah tunduk patuh dan menyembah kecuali kepada yang berhak: Allah ta’ala”.
Namun, aku menolak keras. Bahkan, aku
meminta nabi yang datang itu agar mengikutsertakan malaikat yang akan menegaskan
pengakuannya. Sungguh, permintaan yang tidak akan pernah tercetus kecuali dariku
yang berhati mati. Demikianlah kaum ‘Ad. Mereka benar-benar kafir dan
menyombongkan diri tanpa bukti sama sekali; kecuali argumen klise tanpa
prestise, “Emang siapa yang lebih hebat dari kami?!”(sehingga kami
diancam dan ditakut-takuti). Enatah kenapa, aku juga terkadang merasa, “Siapa yang
lebih hebat dariku!?,” karena kesombonganku. Aku berani nantang. Padahal Allah
yang kuhadapi. Betapa lancangnya aku…..
Allah menjawab perasaanku, dengan jawaban serupa kepada mereka yang
dulu mati hatinya seperti aku, “Bukankah Allah, Sang Pencipta mereka, jauh
lebih kuat!?” Akhirnya, angin kencang nan naas itu berhembus beberapa hari,
sebagai azab agar mereka tau rasa. Padahal, siksaan akhirat jauh lebih membara..
Sama saja dengan kaum Tsamud. Mereka juga sama ngeyelnya. Hidayah diberikan
tapi mereka milih kekufuran. Hidayah mereka tukar dengan kesesatan, sebagaimana
ampunan mereka tukar guling dengan azab. Jadilah mereka sengsara, dalam
penderitaan tiada tara. Sunggub keder
juga aku akhirnya. Naudzubillah. Jauhkan
daku dari mereka dan azab yang menimpa mereka ya Allah. Kini kusadar, telah
lama lalai dari-Mu. Sehingga hatiku sepi dari hidayah dan kakiku berat
melangkah, menuju sorga; ampunan-Mu yang tiada tara.
الاشتراك في:
الرسائل (Atom)
Categories
no-style
نموذج الاتصال
Entri Populer
إجمالي مرات مشاهدة الصفحة
Translate
Categories
- akidah. (54)
- al-Qur'an (3)
- Bahagia Islami (3)
- Catatan Perjalanan. (2)
- Ceramah Keislaman (2)
- Efistemologi Islam (2)
- Fikih Islam (3)
- Ilmu Hadits. (2)
- Ilmu Kalam (3)
- Keimanan dan Ketakwaan (3)
- Keluarga (4)
- Keluarga Islami (5)
- Metodologi Studi Islam (14)
- Muhasabah (7)
- Pemikiran Islam (2)
- Pendidikan (5)
- Pendidikan Islam (8)
- Peradaban Islam. (4)
- Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (6)
- Ramadhan (3)
- Relasi Sunni dengan Syi'ah (6)
- Renungan. (9)
- Sirah (3)
- Syarah Hadits Arba'in (4)
- Syarah Riyadhusshalihin (24)
- Syarah Sunan Abi Daud (4)
- Tafsir. (8)
- Takhrij Hadits (2)
- Tasawuf (2)
- Tazkiyah (9)
- Ushul Fikih (1)