الأربعاء، 27 ديسمبر 2017
RASIONALITAS AL-QUR’AN DALAM DUNIA DEBAT
Published :
ديسمبر 27, 2017
RASIONALITAS
AL-QUR’AN DALAM DUNIA DEBAT
Alih
Bahasa : Ust. Idrus Abidin, Lc., M.A.
Al-Qur’an memiliki banyak keunggulan dan beragam keistimewaan dalam
sisi arguemntasi logis. Namun, pada kesempatan ini, saya hanya menyebutkan
beberapa yang saya anggap paling istimewa sejauh yang saya bisa rangkum dari
beberapa sumber.
1.
Semua kandungan
al-Qur’an bernilai mukjizat; ungkapannya yang ringkas (iyjaz) termasuk
mukjizat, ungkapannya yang panjang (ithnab) pun termasuk mukjizat, kosa
katanya mukjizat, metode ungkapannya mukjizat, rangkaian kata dan kalimatnya
mukjizat. Semua itu adalah mukjizat. Demikian pula argumentasi, permbuktian dan
penjelasannya… pasti tidak ada ucapan yang bisa mencapai tingkat akurasi dan nilai
kemujizatannya. Perbedaan antara al-Qur’an dengan ucapan orang paling hebat
dari kalangan manusia, yang paling unggul kemampuannya memberi penjelasan,
seperti halnya perbedaan antara Sang Pencipta dan mahluk-Nya; karena ia merupakan
perbandingan antara ucapan Sang Pencipta dengan ungkapan mahluk-Nya.[1]
Debat Qur’ani merupakan mukjizat sebagaimana kemukjizatan al-Qur’an
itu sendiri. Artinya, kemukjizatan debat Qur’ani berasal dari kemukjizatan al-Qur’an.
Sedangkan al-Qur’an merupakan mukjizat pada setiap sisi perdebatan, baik sisi
akurasi bahasanya yang singkat padat sehingga memuaskan pendengar karena
kesesuaiannya dengan batas pemahaman audiens (balagah), sisi pemilihan
kata-katanya yang tidak menggunakan kosa kata asing (fashahah), sisi
petunjuk-petunjuknya (dalil) dan aspek bukti-bukti rasiona yang diajukan (burhan/demonstratif)
serta hal lain yang terkait. Sangat mustahil ada manusia yang mampu menantang,
mengimbangi, apalagi mengalahkan debat al-Qur’an. Sehingga seseorang mampu
mengoreksi atau menentang atau mengimbanginya dalam hal kebenaran makna,
ketepatan ungkapan, keindahan gaya bahasa, pencapaian tujuan dan maksud yang
dikehendaki-Nya. Abu Bakar al-Baqillani rahimahullah pernah berkata
ketika membahas seputar sisi kemukjizatan al-Qur’an, “Makna-makna yang
terkandung dalam al-Qur’an dalam mengungkapkan syari’at dan hukum dan dalam
berargumentasi ketika hendak menegaskan prinsip-prinsip mendasar agama (ushuluddin)
dan menolak kalangan pengingkar wahyu, menggunakan ungkapan yang sangat
menarik; dengan keserasiannya antara satu dengan yang lainnya dalam tingkat
kelembutan dan keahlian, menunjukkan bahwa manusia tidak akan ada yang mampu
melakukannya”. [2]
Al-Qur’an telah mempropokasi kalangan bangsa Arab agar melakukan
perlawanan dengan menghadirkan semua bentuk dan alasan agar mereka berani
menghadapi al-Qur’an, padahal bersastra adalah merupakan tabiat mereka secara
alami, sedang al-Qur’an juga turun dengan bahasa Arab. Al-Qur’an juga menantang
mereka pada keahlian tertinggi yang sering kali mereka bangga-banggakan (ini
tentunya tantangan tertinggi), mendorong mereka sekuat tenaga pada banyak ayat
dalam al-Qur’an untuk melakukan perlawanan. Bahkan al-Qur’an bertahap dalam
menawarkan penantangan -dalamrangka mengimbangi mereka- sehingga mereka
ditantang untuk membuat yang serupa al-Qur’an, lalu turun hingga sepuluh surat
atau dengan satu surat yang terpendek sekali pun, namun mereka tidak bisa sama
sekali, sekali pun mereka bekerjasama sekuat tenaga untuk tujuan tersebut. [3]
al-Qur’an menghadapi kaum musyrikin dengan menantang, mendebat
keyakinan-keyakinan mereka, menyudutkan dengan hujjah maksimal dan argument
yang menekuk, tapi mereka tidak bisa membalas dan tak mampu juga mengelak. Al-Zarkasyi
berkomentar seputar kisah al-Walid bin al-Mugirah dan kedatangan Quraisy
kepadanya agar menjadi perwakilan untuk menemui nabi, “Walid bin Mugirah
merupakan salah satu tokoh Qurasiy dan salah seorang tokoh sastrawan pada zaman
itu. Namun, ketika mendengar al-Qur’an dibacakan oleh Rasulullah, lidahnya
kelu, jiwanya mengerut, retorikanya hilang, argumennya berantakan, badanya
menggigil, kelemahannya nyata, dan akalnya tidak fokus, [4]
hingga ia mengungkapkan kesimpulan yang sangat terkenal, “Sungguh isinya sangat
manis (halawah), atasnya sangat indah penuh pesona (thalawah),
bawahnya melimpah tak terkira (mugdiq), atasnya dipenuhi buah dan bunga
(mutsmir). Sungguh sangat unggul dan tidak bakalan bisa terkalahkan”. [5]
al-Qur’an memiliki pengaruh yang sangat hebat terhadap jiwa
manusia. Sehingga orang-orang kafir dan kalangan menyimpang menganggapnya
sebagai sihir, padahal dia bukan sihir. Mereka semua menghindar agar tidak
mendengarkan al Qur’an. Allah berfirman
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا
الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
Dan orang-orang yang kafir berkata:
"Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan
buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". (QS
Fushshilat : 26)
Sebagaian mereka mengucapkan
kata-kata yang jujur seputar al-Qur’an, sekali pun mereka terpaksa, seperti
halnya yang dilakukan oleh al-Walid bin Mugirah dan selainnya. Allah berfirman
seputar orang-orang Nasrani,
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ
النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا
إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ
لَا يَسْتَكْبِرُونَ وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى
الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ
الْحَقِّ ۖ
يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
"Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya
kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman
ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang
Nasrani". Hal itu disebabkan karena di antara mereka itu terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri." Dan apabila mereka mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata
disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab
mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka
catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan
kenabian Muhammad s. a. w.). (QS al-Maidah : 82-83)
Allah juga berfirman
seputar kalangan jin
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ
يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ قَالُوا
يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan
serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka
menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: "Hai kaum kami,
sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada
kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (QS al-Ahqaf :29-30)
Argumentasi al-Qur’an senatiasa
berlaku sepanjang waktu dengan tingkat kebenaran, kekuatan pengaruh, daya
argumentasi maksimal disertai cakupan yang menyeluruh. Hujjahnya senanntiasa
kekal selama bumi dan langit ini ada. Berlaku secara umum kepada semua manusia
sekali pun mereka berbeda zaman, berlainan keadaan dan beragam tingkat
intelektualitas. Kekekalan dan cakupan yang menyeluruh ini diperoleh dari
kekelan risalah dan komprehensitasnya secara umum. Allah berfirman,
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu semua (QS al-A’raf 158)
Juga firman-Nya
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا
وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS
Saba’ : 28)
Rasulullah pun pernah bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun kecuali
diberikan mukjizat yang mengarahkan manusia mengimaninya. Sungguh mukjizat yang
diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku. Dengan itu, aku
berharap sayalah yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat. [6]
Sehingga tidak terbayangkan bahwa ada seseroang –pada suatu zaman
atau pada sebuah tempat- berani menentang dan menolak kepastian al-Qur’an atau
ragu terhadap kebenarannya. Sedang manusia bias jadi memiliki kemampuan
arguemntasi yang kuat sehingga menjadi hujjah bagi sebagian orang. Namun
seiring denga berjalannya waktu, masyarakat bisa membuktikan kelemahan dan
kerancuan atau sisi kelemahannya. Misalnya, pendapat filosof yang mengatakan
bahwa tidak mungkin ada suara atau gambar yang bisa bertahan dalam dua waktu.
Mereka menjadikan ini sebagai alasan untuk menolak dan menafikan sifat-sifat
Allah. Kalangan ulama dan penuntut ilmu sudah mengerti sisi kerancuannya ketika
itu. Sedang ulama belakangan makin membuktikan kesalahannya dengan bukti-bukti
empiris, tentunya setelah ditemukannya alat-alat yang bisa digunakan untuk
merekam suara dan gambar serta alat-alat serupa.
Sedang hujjah al-Qur’an akan senantiasa kokoh mengalahkan semua
jenis argumentasi. Waktu, tempat dan manusia mana pun tidak akan ada yang mampu
merubah kenyataan itu.
2.
Salah satu
karakteristik debat Qur’ani adalah korespondensinya dengan akal dan jiwa
sekaligus. Sehingga mendatangkan nilai rasionalitas dan kenikmatan rasa secara
bersamaan dan dalam tingkat yang sepadan, yang tidak akan mungkin ditemukan
pada diri manusia, baik dia seorang intelektual, ahli sya’ir maupun ahli
hikmah, yang bisa mengarahkan kedua hal tesebut secara bersamaan sehingga mampu
mendatangkan suatu ungkapan yang mengandung nilai pengetahuan rasional dan
keindahan bahasa sekaligus. Jika kedua hal itu ada pada diri seseroang maka
keduanya tidak berfungsi secara maksimal dan terjadi hanya secara bergiliran.
Setiap kali satu sisi kokoh maka sisi yang lain akan melemah. Sehingga pengaruh
ucapannya berkurang secara drastis. Setiap kita merasakan pertentangan antara
kekuatan rasa ketika nuansa rasionalitas menguasai pemikiran kita. Demikian
pula sebaliknya.
Siapa pun mengamati secara seksama ungkapan orang-orang, baik dari
kalangan filosof, kalangan ahli hikmah ataupun para sastrawan, mereka tidak
menemukan kecuali keunggulan di satu sisi dan kelemahan di sisi lain. Kalangan
ahli hikmah misalnya, mereka akan menyuguhkan hasil pemikirannya dan intisari
pemahamannya sebagai nutrisi akal anda tetapi mereka gagal memberikan rasa
sebagai asupan jiwa dan kepuasan batin (wujdan).
Sedang kalangan sastrawan, mereka mampu megutak-atik rasa dan
memainkan jiwa anda, namun mereka tidak peduli apakah yang mereka ungkapkan itu
kesesatan, petunjuk, kebenaran atau sekedar khayalan. Tampak mereka serius,
padahal mereka sedang bercanda. Seolah mereka menangis penuh jeritan, padahal
mereka sebenanrnya tak mengerti tangisan, mereka tampak menari, tapi
sebenanrnya tidak. Sungguh benar apa kata Allah
وَالشُّعَرَۤاءُ
يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ
تَرَ أَنَّهُمْ في كُلِّ وَادٍ يَهيمُونَ وَأَنَّهُمْ
يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ إِلَّا
الَّذينَ اٰمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللهَ كَثيرًا
وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah dan
bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak
mengerjakan(nya)? kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan
beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita
kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu kelak akan mengetahui ke tempat
mana mereka akan kembali.” (QS Asy-Syu’araa’, 224-227)
Karena itulah, tidak ditemukan adanya seseorang yang mampu memenuhi
kepuasan akal kecuali ia gagal memuaskan jiwa dan rasa. Atau dia mampu
memberikan kenikmatan jiwa tapi gagal menyuguhkan kenikmatan rasa. Sedang
al-Qur’an, Allah telah menggabungkan kedua kehebatan itu di dalamnya ; kekuatan
argumentasi rasional demonstaratif hingga tarap kepuasan maksimal, bahkan
menohok para professor intelektual rasional maupun kalangan pembesar filosof,
kekuatan rasa dan kelembutan jiwa sehingga memuaskan pembesar sastrawan. Itulah
firman Allah yang maha agung. Ia tidak fokus ke suatu hal lalu gagal dari sisi
yang lain. Dialah yang maha mampu untuk berinteraksi dengan akal dan hati
sekaligus dengan satu ungkapan, dengan menyatukan antara kebenaran dan
keindahan bahasa sekaligus. Perhatikan misalanya firman-Nya
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain
Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS al-anbiyaa : 22)
Perhatikan secara mendalam bagaimana bisa menyatu dalam tujuh kata antara,
ketajaman preposisi yang sangat meyakinkan, dengan tingkat kejelasan, serta
ketajaman deskriftif yang menunjukkan
pertentangan dan kerusakan yang maha dahsyat (bagi bumi dan langit seandainya
ada tuhan selain Allah); yang mana, jika dicari padanannya dari ungkapan
kalangan filosof dari semua zaman tentu mereka tidak bisa kecuali dengan bahasa
yang serba panjang disertai dengan kekeringan rasa, sebagaimana tampak sangat
jelas pada argumentasi saling menjegal (dalil tamanu’) yang
dideskrifsikan oleh kalangan teolog Muslim. Lalu mereka menjadikan standar ini
sabagai dasar argumentasi, namun sayang mereka salah. Perhatikan pula ayat
berikut yang mengisahkan seputar Yusuf a.s
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ
وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ
قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ۖ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf
tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan
dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini". Yusuf
berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
aku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan
beruntung. (QS Yusuf : 23)
Bagaimana bisa dari celah ayat ini
keluar bukti-bukti dmonstratif dan nasehat yang super lembut, yang menusuk
jiwa. Perhatikanlah bagaimana diadu antara tiga belitan Iblis: kedududkan
istimewa sang wanita (bangsawan), tertutupnya pintu dan kedudukan Yusuf yang
rendahan sebagai pembantu atau pegawai domestik untuk sang wanita bangsawa,
dengan tiga nada kesucian ; keteguhan memegang iman kepada Allah, sifat amanah
dan larangan menzahalimi. Sebuah peraduan (muqabalah) yang menggambarkan
dari kisah yang menarik ini debat dan pertentangan keras antara tentara Allah
dan pasukan syaithan, lalu meletekkannya di hadapan orang yang berakal sehat
pada dua daun timbagan agar memenangkan pilihan yang benar, lalu meneggelamkan
opsi setan.
3.
Salah satu
karakteristik debat Qur’ani adalah bahwa dalihnya memiliki kepastian dari sisi
keberadaanya, sebagaimana al-Qur’an memiliki status serupa. Karena teksnya ada
melaui sistem mutawatir yang mengandung pengetahuan yang meyakinkan sekaligus
mendasar. Tidak ada keraguan dan tidak ada perkiraan pada aspek kepastian
dalilnya. Sebagimana tidak ada keraguan dan tidak ada perkiraan pada status
keberadaan teksnya. Ini dari aspek keberadaan. Demikian pula halnya dari aspek
makna dan penunjukannya. Dalil-dalil debatnya juga bernilai pasti karena
tujuannya adalah menegaskan kaedah-kaedah keyakinan (akidah), menegaskan
dalil-dalil dan bukti-bukti seputar isu-isu akidah tersebut dan menolak logika lawan
debat. Itu semua merupakan tujuan utama keberadaan al-Qur’an. Karena itu,
maknanya harus sangat jelas, petunjuknya mesti kuat, tujuannya mesti sangat
detil agar supaya berfungsi sebagai hidayah bagi orang-orang yang tersesat,
menekuk argument para pembangkang, sekaligus sebagai hujjah bagi seluruh
manusia. Makanya, tidak ada pertentangan antara petunjuk dengan bukti-bukti yang
diajukannya, sebagaimana firman Allah yang menegakan
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ
اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS
an-Nisaa 82)
Dan tidak ada kelemahan sedikit pun pada kekuatan argumentasi
al-Qur’an dan pada kejelasan hujjahnya, sebagaimana informasi dari Allah,
وَإِنَّهُ
لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ
خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (Al
Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari
Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. dan sesungguhnya Al Quran itu
adalah kitab yang mulia. (QS Fushshilat : 41-42)
Tidak ada seorang pun di masa lalu
dan masa sekarang yang dikenal pernah mengajukan dalil yang benar dan hujjah
yang kuat sebagai bentuk penentangan terhadap dalil-dalil dan hujjah al-Qur’an.
Malah sebaliknya, yang terdengar adalah ketidakmampuan dan ketidakberdayaan
mereka melakukan hal tersebut. Yaitu, manakala mereka menyatakan bahwa
al-Qur’an itu adalah sihir dan sya’ir. Padahal, mereka sadar sepenuhnya bahwa
al-Qur’an tidak demikian. Sebagaimana kesimpulan Walid bin Mugirah sebelumnya.
Bahkan, mereka yang diklaim
al-Qur’an akan terpanggang api nereka, seperti Abu Lahab dan Walid bin Mugirah,
tidak ada yang berani menyatakan al-Qur’an itu pembohongan dengan membuktikan
kelemahan hujjahnya dan memaparkan kerancuannya –padahal mereka sangat
bersemangat untuk menantangnya-
Karena itulah, Abdullah ar-Razi
berkata –padahal dia termasuk ilmuan yang menguasai filsafat- pada akhir
umurnya, “Saya sudah memikirkan secara mendalam metode argumentasi ilmu kalam
dan metode filsafat, saya melihat itu semua tidak akan menghilangkan dahaga dan
tidak pula menyembuhkan penyakit. Saya meyakini metode terbaik adalah manhaj
al-Qur’an. Bacalah dalam hal penegasan sifat Allah
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy
(singgasana) berada.” (QS Thaha : 5)
إِلَيْهِ يَصْعَدُ
الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ ۖ وَمَكْرُ أُولَٰئِكَ هُوَ يَبُورُ
Kepada-Nya-lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan
orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan
rencana jahat mereka akan hancur. (QS Fathir : 10)
Bacalah dalam hal penafian kelemehan
dari Allah ayat berikut
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. (QS asy -syuraa 11)
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
sedang
ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (QS
Thaha : 110)
sungguh, siapa
pun yang telah merasakan seperti pengalamanku maka dia akan menyimpulkan
seperti kesimpulanku ini”. [7]
4.
Keistimewaan dan
keunggulan argumentasi logis al-Qur’an jika dibandingkan dengan logika Yunani
dan logika ahli teologi, bisa ditinjau dari banyak sisi. Yang paling utama
adalah :
a. Al-Qur’an turun untuk memberi petunjuk kepada semua jenis manusia.
Semua kandungan argumentasi al-Qur’an ditujukan untuk semua level manusia
dengan beragam tingkat intelektual dan jangkauan perasaan mereka. Hal ini bertentangan
dengan metode para filosof dan ahli kalam dalam hal debat dan argumentasi.
Mereka tidak akan bisa dimengerti kecuali oleh kalangan masyarakat tertentu
saja; karena adanya ketidakjelasan dan kerancuan dalam berargumentasi serta
penjelasan-penjelasan yang sangat panjang dan melelahkan.[8]
b. Al-Qur’an tidak menggunakan metode filosof dan ahli kalam serta
istilah-istilah khusus mereka; baik pada bagian mukaddimah (preposisi) dan
kesimpulan ketika berargumen dengan sesuatu yang berstatus umum untuk menghasilkan
kesimpulan yang parsial pada Qiyas Syumul[9]
atau berargumen dengan salah satu bagian terhadap bagian lain pada kasus Qiyas
Tamtsil[10]
atau dalam berargumen dengan bagian khusus kepada yang umum pada kasus Qiyas
Istiqra’[11]
karena : [12]
1)
Al-Qur’an
menggunakan bahasa Arab dan metode penuturannya pun mengikuti pola bahasa Arab.
Metode ini merangkum kedalaman makna dan penggambaran yang sangat detail (akurat)
dengan kejelasan makna serta akurasi rangkaian kata dan kalimat, tanpa adanyan kesalahan
dalam bentuk uslub ; yang bisa menghidupkan hati dan mengembangkan pengetahuan
serta mengarahkan pendangan tanpa mengaitkannya dengan istilah-istilah filsafat
yang terhitung jelimet.[13]
“Metode paparan al-Qur’an dalam berargumentasi dan mengarahkan rasio dan rasa
dalamrangka memahami hakikat terdalam sangat mudah, menyeluruh dan
ringkas…kepada semua yang belajar pada al-Qur’an dan semua da’i yang
menyebarkan prinsip dan ajaran-ajarannya, hendaklah mereka meniru dan
menerapkan metode al-Qur’an dengan pendekatan yang menjauhkan kendala-kendala
peristilahan dari pemaparannya yang indah sehingga maknanya tidak tenggelam
pada kedalaman istilah-istilah filosofis.” [14]
2)
Karena
membangun argumentasi berdasarkan pada fitrah yang mencakup apa yang terlihat
dan dapat dindera tanpa menggunakan jalur pemikiran murni yang berliku-liku,
jauh lebih besar efeknya dan tinggi nilai argumentasinya.
3)
Karena
meninggalkan pemaparan yang lebih jelas (al-Qur’an dan Sunnah) lalu memilih
paparan yang serba detil namun gelap (logika filsafat) termasuk kategori rancu
yang tidak mudah dimengerti kecuali orang-orang tertentu. Padahal, cara itu
bertentangan dengan tujuan syari’at berupa memberikan panduan bagi manusia dan
menjelaskan kebenaran kepada mereka. Al-Zarkasyi rahimahullah
mengatakan, “Ketahuilah bahwa al-Qur’an mengandung semua jenis bukti-bukti
logis (demonstrasi) dan petunjuk-petunjuk (dalil). Tidak ada bukti, dalil,
pembagian dan pembatasan sesuatu dari yang umum secara rasio maupun berdasarkan
agama kecuali kitab Allah (al-Qur’an) sudah membahasnya. Hanya saja, Allah
mengungkapkannya melalui cara bertutur orang-orang Arab tanpa mengikuti alur
yang sangat teliti, yang digunakan oleh para teolog (mutakkalimin). Hal
ini karena dua pertimbangan :
§ Firman Allah, “Tidaklah kami mengutus seorang rasul kecuali
dengan bahasa kaumnya agar sang nabi itu bisa menjelaskan wahyu itu kepada
mereka.” (QS. Ibrahim: 4).
§ Orang yang cenderung menggunakan argument yang sangat detail dan
bertele-tele (filosof) adalah mereka yang tidak mampu menegakkan argumen dengan
cara yang ringkas. Tentu orang yang mampu memberikan pemahaman dengan sesuatu
yang lebih jelas dan dapat dimengerti oleh masyarkat secara umum; tidak akan
memilih cara yang kurang jelas, yang tidak dipahami kecuali oleh kalangan
tertentu saja. Maka Allah mengungkapkan argumentasi-Nya untuk menegakkan hujjah
kepada mahluk-Nya dengan cara yang paling ringkas, mencakup segala hal,
termasuk yang paling tersembunyi sekali pun. Agar kalangan umum bisa memahami
dengan ungkapan seringkas itu, hujjah-hujjah yang bisa memuaskan mereka
sekaligus membuat mereka menerima argumentasi tersebut. Pada saat yang sama,
kalangan intelektual bisa mendapatkan ilmu yang setarap dengan kemampuan berpikir
mereka…”[15]
c. Argumentasi al-Qur’an menunjukkan sesuatu dari sisi zatnya.
Sehingga argumentasi dan debat al-Qur’an senantiasa menunjukkan hal-hal
tertentu (spesifik). Seperti nama-nama dan sifat-sifat Allah, malaikat, nabi, rasul,
kitab suci, Arasy, kursi, surga dan neraka, serta peristiwa yang terjadi antara
para nabi dengan kaumnya berupa kisah-kisah dan peristiwa khusus yang spesifik.
Demikian pula informasi yang diberikan oleh Allah dan rasul-Nya berupa hal-hal
masa depan dll, semuanya merupakan hal sepesifik dan tidak termasuk hal-hal
yang berkategori umum, yang tidak ada wujudnya kecuali dalam pikiran, yang
tidak memustahilkan adanya keserupaan padanya, seperti halnya pemaparan filosof
dan argumentasi logis mereka. Proposisi-proposisi (silogisme) yang mereka
kembangkan, yang mereka anggap bukti demonstaratif hanyalah sesuatu yang
bersifat umum dan tidak menunjukkan sesuatu yang bersifat spesifik.
d. Metode pemaparan al-Qur’an lebih tinggi dibanding retorika (khithabah)
dan lebih unggul dibanding logika Aristoteles dan siapa pun yang mengikuti
metodenya. Tampak al-Qur’an mengandalkan hal-hal yang indriawi atau sesuatu
yang dianggap swabukti, yang tidak mungkin diragukan oleh orang yang sehat
akalnya. Di sana tidak ditemukan istilah-istilah filosofis, namun tidak mengurangi
ketajaman pemaparan, kekuatan argumentasi dan kebenaran semua yang tercakup di
dalamnya; baik itu premis-premisnya
maupun konklusi yang ditawarkan. Anda akan melihat beberapa karakter
metode retorika yang mendatangkan contoh yang sempurna, namun susah untuk
disebut megikuti metode retorika….Apa pun yang dikatakan orang seputar
argumentasi al-Qur’an, intinya bahwa al-Qur’an memiliki metode argumentasi yang
mengungguli bukti demonstratif kalangan filosof dan khayalan yang diharapkan
memberikan kepuasan serta bukti-bukti retoris.” [16]
Dengan ini diketahui kesalahan orang yang sangat mendewakan logika,
yang mengira bahwa al-qur’an menggunakan metode demonstratif, metode retorika (khithobiyah)
dan metode debat (jadal). Ini artinya bahwa al-Qur’an mengandung metode
argumentasi filosof. Mereka beralasan dengan firman Allah,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Ajaklah masyarakt menuju Allah dengan hikmah, nasehat yang
baik, dan debatlah mereka denagn cara yang baik.” (QS an-Nahl ayat 125)
Ibnu Taimiyah rahmahullah menolak anggapan ini dengan menyatakan,
“Anggapan bahwa al-Qur’an sesuai dengan rumusan (prinsip metodologis) mereka
tentu tidak benar. Jika ada yang mengatakan, “Tidak ada keraguan bahwa ajaran
Rasulullah berupa hikmah, nasehat dan debat lebih jauh berbeda dengan ucapan
para filosof ketimbang perbedaannya dengan ucapan kalangan Yahudi dan kalangan
Nasrani. Tapi yang kami ingin katakan
adalah bahwa 3 hal yang termaktub di dalam al-Qur’an berupa demonstrasi
(burhan) yang benar, retorika (khutbah)
yang tepat dan debat (jadal) yang akurat, sekali pun tidak seperti yang
dimaksudkan oleh bangsa Yunani. Karena filsafat tidak membahas masalah materi
(tetapi hanya sebatas ide saja), tetapi tujuannya adalah bahwa ketiga hal
tersebut mirip dengan ketiga hal yang ada dalam fisalafat Yunani.
Jika ada yang keberatan dan berkata, hal ini juga salah, karena
retorika menurut filosof Yunani adalah argumentasi yang premis-premisnya
tersusun dari hal-hal yang sudah masyhur, baik sebagai ilmu murni atau pun ilmu
yang meyakinkan (karena adanya objeknya). Sedang retorika (wa’az) dalam
al-Qur’an maknanya adalah perintah, larangan, motivasi (targib) dan
pencegahan (tarhib), seperti firman Allah
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ
لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا وَإِذًا لآتَيْنَاهُمْ مِنْ
لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
Dan sekiranya mereka
benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, tentu hal itu lebih baik bagi
mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), 67. dan jika demikian, pasti Kami
berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, 68. Dan pasti Kami
tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus. (QS an-Nisaa : 66-67)
dan seperti firman-Nya, “Apa yang dinasehatkan”, yakni apa yang
diperintahkan. Juga bahwa dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang berbunyi :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ ۖ وَالجَدلْ
Artinya, serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah,
nasehat yang baik dan debat.
Yang ada adalah
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ
“Ajaklah
masyarakt menuju Allah dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debatlah mereka
Hal ini karena manusia memiliki 3 kondisi; apakah ia mengenal
kebenaran dan mengamalkannya atau hanya mengetahui kebenaran tapi tidak
diamalkan atau memang mengingkarinya. Yang paling baik tentu yang mengenal
kebaikan sekaligus mengamalkannya. Kedua, dia mengetahui kebenaran, tapi
jiwanya (syahwatnya) menolak dan tidak sepakat untuk emngamalkannya. Ketiga,
orang yang tidak mengetahui kebenaran sekaligus menolaknya. Orang yang berada
pada kondisi pertama, dialah yang diajak dengan hikmah. Karena hikmah artinya
pengetahuan yang benar yang disertai pengamalan. Manusia ideal adalah yang
mengetahui kebenaran sekaligus mengamalkannya, seingga mereka diajak dengan
hikmah. Kedua, orang yang yang mengenal kebaikan tapi syahwatnya menolak
beramal. Orang sperti ini dinasehati dengan nasehat dan cara yang baik. Inlah
kedua cara yan gdirekomendasikan; hikmah dan nasehat. Mayoraitas manusia
membutuhkan kedua cara ini. Jiwa memang memiliki syahwat yang terkadang menolak
kebenaran,sekali pun ia mengenalnya. Makanya, manusia membutuhkan nasehat yang
baik dan hikmah. Sehingga wajib berdakwah dengan kedua cara ini.
Adapun debat (jadal), tentu tidak dijadikan sarana dakwah.
Karena debat hanya sebagai sarana menolak orang-orang yang nyiyir. Jika ada
orang yang menolak kebenaran, barulah dia didebat dengan cara yang elegan.
Karena itulah, Allah berfirman, “Debatlah mereka”. Allah menjadikan
perdebatan ini sebagai kata kerja sebagaimana firman-Nya, “Ajaklah”.
Bias disimpulkan bahwa perintah-Nya untuk berdakwah dengan penuh hikmah dan
nasehat yang baik dan perintah-Nya pula untuk berdebat dengan cara yang paling
baik. Dia berkata seputar debat, “Dengan debat yang paling baik”, dan
tidak mengatakan dengan cara yang hanya baik saja, sebagaimana perintah-Nya
pada masalah nasehat. Hal ini karena debat berisi pembelaan dan suasana emosi
yang cenderung tinggi, sehingga dibutuhkan cara yang paling baik agar pembelaan
dan saling silang pendapat berjalan dengan baik. Nasehat tidak memiliki makna
pembelaan seperti halnya perdebatan. Selama seseorang menerima hikmah atau pun
nasehat atau menerima keduanya sekaligus, tentu tidak perlu ada perdebatan.
Namun, ketika dia tidak menerima, barulah didiebat dengan cara yang paling
baik….” [17]
e. Al-Qur’an tidak berargumen dalam debatnya dengan preposisi yang
sekedar diterima oleh lawan debat semata, sebagaimana yang ada pada metode
debat para filosof. Tetapi al-Qur’an menggunakan permasalahan dan preposisi
yang diterima oleh semua orang dan mencapai tarap demonstratif. Jika sebagian
manusia menerimanya dan sebagian lagi menolaknya, maka al-Qur’an menunjukkan
dalil yang menunjukkan kebenarannya, seperti firman Allah,
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ ۗ
قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ نُورًا وَهُدًى
لِلنَّاسِ ۖ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا ۖ وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ
ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ
ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Dan mereka tidak menghormati Allah
dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak
menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk
bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang
bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan
sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan
bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang
menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada
mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (QS
al-An’am : 91).
Pada ayat ini, terdapat informasi bahwa manakala lawan debat
mengakui kenabian Musa dari kalangan ahli kitab beserta kalangan yang mengingkarinya
yang berasal dari kaum musyrikin, maka ayat meyebutkan firman-Nya
قُلْ
مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ
Katakanlah: "Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa (QS
al-An’am : 91).
Allah telah menjelaskan bukti-bukti
yang menunjukkkan kebenaran Musa pada banyak tempat dalam al-Qur’an. [18]
5.
Bentuk lain
dari spesifikasi dan karakter debat dalam al-Qur’an adalah bahwasanya jika ia
hendak mendebat lawan, hal itu dilakukan dengan cara termudah namun memiliki
tingkat akurasi yang kokoh sehingga lawan debat tidak memiliki kesempatan
menolak dan melawan, tetapi menerima konsekwensi perdebatan dengan penuh
kerelaan. Contohnya adalah pemaparan al-Qur’an seputar kisah Ibrahim a.s ketika
ia mendebat orang yang menklaim memiliki sifat rububiyah. Allah berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ
أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي
وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ
بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
Apakah kamu tidak memperhatikan
orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah
memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang
itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS
al-Baqarah 258)
Metode al-Qur’an dalam mendebat lawan dengan cara termudah banyak
ditemukan dalam al-Qur’an, diantaranya :
a)
Menantang lawan
debat (tahaddi). Hal ini seperti Allah menantang kaum kafir Qurasiy agar
membuat karya serupa dengan al-Qur’an, kemudian ditrunkan menjadi sepuluh
surat, lalu ditrunkan menjadi hanya satu ayat saja.
b)
Menyerang lawan
debat dengan kata-katanya sendiri dengan menegaskan bahwa argumennya itu malah
mematahkan dirinya sendiri, bukan menegaskan atau membela pendapatnya.
Contohnya adalah ucapan orang-orang munafik sebagaimana Allah informasikan
dalam firman-Nya,
لَئِنْ
رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ ۚ
"Sesungguhnya jika kita telah
kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang
lemah dari padanya". (QS al-Munafiqun 8)
وَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا
يَعْلَمُونَ
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi
Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik
itu tiada mengetahui. (QS al-Munafiqun 8)
Allah menerima ucapan mereka bahwa yang kuat akan mengusi yang
lemah. Namun siapakah orang yang kuat yang akan mengusir yang lemah ?! tentu
yang kuat itu makasudnya adalah Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman.
c)
Menyepakati
sebagian premis-premis yang dibangun oleh lawan debat, lalu melanjutkan premis
tersebut dengan sebuah kesimpulan yang mematahkan argument lawan itu sendiri.
Contohnya adalah firman Allah
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ ۖ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ
وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ
قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا
عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إِلَّا
بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Berkata rasul-rasul mereka:
"Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia
menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan
(siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak
lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk
menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek
moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami, bukti yang nyata". Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka:
"Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi
karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak
patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin
Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.
(QS Ibrahim 10-11)
Para rasul itu menerima premis-premis dan alasan penolakan kaumnya
terhadapnya, tetapi mereka (para rasul) itu mengoreksi kesimpulannya dengan
berkata,
وَلَٰكِنَّ
اللَّهَ يَمُنُّ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ
akan tetapi Allah memberi karunia
kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. (QS
Ibrahim 10-11)[19]
6.
Termasuk salah
satu karakteristik debat dalam al-Qur’an adalah bahwasanya satu permasalahan
yang hendak dijelaskan, terkadang diungkapkan melalui banyak cara. Contohnya,
masalah kebangkitan setelah kematian, terkadang disampaikan dengan cara
informatif yang dikokohkan dengan suatu sarana penegas (sumpah), sebagaimana
firman-Nya,
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ
يُبْعَثُوا ۚقُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي
لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ ۚوَذَٰلِكَ عَلَى الَّهِ يَسِيرٌ
Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak
akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar
kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS at-Tagabun 7)
Terkadang juga disampaikan secara informatif berdasarkan pada
kejadian nyata, sebagaimana firman-Nya
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي
الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ
قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ
قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ
عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah
kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman):
"Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian
itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS
al-Baqarah 260)
Terkadang pula disampaikan dalam bentuk debat dengan kalangan
penentang hari kebangkitan, seperti firman Allah
أَوَلَمْ يَرَ الإنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ
مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ (٧٧) وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ
مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (٧٨) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي
أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (٧٩) الَّذِي جَعَلَ
لَكُمْ مِنَ الشَّجَرِ الأخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنْتُمْ مِنْهُ تُوقِدُونَ (٨٠)
أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ
مِثْلَهُمْ بَلَى وَهُوَ الْخَلاقُ الْعَلِيمُ (٨١) إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا
أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (٨٢) فَسُبْحَانَ الَّذِي
بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٨٣
Dan tidakkah manusia
memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi
musuh yang nyata! 78. Dan dia membuat perumpamaan bagi kami; dan melupakan asal
kejadiannyadia berkata, "Siapakahyang dapat menghidupkan tulang-belulang,
yang telah hancur luluh?" 9.Katakanlah (Muhammad), "Yang akan
menghidupkannya ialah Allah yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk, 80. yaitu Allah yang menjadikan api untukmu
dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”81. Dan
bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali
yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur itu)? Benar, dan Dia Maha
Pencipta lagi Maha Mengetahui. 82. Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka
jadilah sesuatu itu. 83. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan
atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Yasin 73-77)
Demikianlah salah satu metode argumentasi
logis al-Qur’an. Sebuah masalah diungkapkan dengan beragama cara dengan tujuan
agar makin menambah efek kepuasaan terhadap lawan debat dan memberikan banyak
peluang hidayah sehingga dapat disesuaikan dengan kecenderungan setiap orang,
sekali pun berbeda-beda tujuan mereka dan beragam tingkat intelektualitasnya.
Setiap orang akan menemukan dalam al-Qur’an argument yang bisa memuaskan
jiwanya, menuntunya kepada kebenaran atau sekedar menghilangkan keraguan serta
kebingungannya.
7.
Bentuk lain
dari karaktrerisitik debat qur’ani adalah bahwa al-Qur’an seringkali
menunjukkan kepada lawan debatnya rasionalitas murni (aqal sharih). Rasio
adalah alat paling dibanggakan oleh lawan debat. Sedang al-Qur’an tidak pernah
takut pada argumentasi rasional. Karena selamanya –kalau benar dan jelas- tidak
akan bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan. Bahkan, al-Qur’an senantiasa
mendorong untuk terus berpikir dan melakukan pengamatan serta memberdayakan
akal hingga tahap yang paling maksimal. Allah berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ ۖ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَىٰ وَفُرَادَىٰ ثُمَّ
تَتَفَكَّرُوا ۚ مَا بِصَاحِبِكُمْ مِنْ جِنَّةٍ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ
شَدِيدٍ
Katakanlah: "Sesungguhnya aku
hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap
Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan
(tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia
tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang
keras. (QS saba’: 46)
قُلِ
انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ
وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman". (QS Yunus : 101)
Ada prinsip rasional yang tidak
mungkin diperdebatkan lagi seperti keharusan menyatukan semua hal yang sama dan
membedakan semua yang beragam, menyatukan hal-hal yang serupa dan memberikan status
hukum kepada cabang sesuai hukum asal dan dasarnya dll. Karena itulah, Allah
mencela orang-orang yang berdebat tanpa modal argumentasi, baik dari buku yang
mumpuni atau pun dari rasio yang benar. Allah menegaskan
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
Dan di antara manusia ada
orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk
dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, (QS al-Hajj : 8)
Kita mendapatkan banyak ayat yang
menuntut agar kita komitmen dengan petunjuk dan hasil kesimpulan akal –tentunya
sangat sesuai dengan kesimpulan syari’at- diantaranya firman Allah
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri,
padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS al-Baqarah:
44)
Alah juga berfirman mengeritisi
pengakuan mereka yang menisbatkan diri kepda nabi Ibrahim
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ إِلَّا مِنْ بَعْدِهِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ
فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا
وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ
أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَٰذَا النَّبِيُّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا ۗ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah
membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan
melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir? Beginilah kamu, kamu ini
(sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu
bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang
kamu tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang
Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang
mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada
Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (QS Ali Imran
65)
Nabi Ibrahim a.s. menyatakan kebodohan
orang-orang yang menyembah selain Allah yang tak memberi nilai manfaat dan tidak
pula menunjukkan kemampuannya mendatangkan bahaya. Beliau menuntut mereka agar menggunakan
akalnya
قَالَ
أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا
يَضُرُّكُمْ أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Ibrahim berkata: Maka mengapakah
kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun
dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?" Ah (celakalah) kamu dan
apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami? (QS al-Anbiyaa
: 66)
Kandungan debat Qur’an terhadap
prinsip-prinsip mendasar akal murni menjadikannya sebagai hujjah untuk seluruh
manusia. Terutama mereka yang terdidik secara utuh dalam gembelengan studi
logika dan filsafat atau mereka-mereka yang berafiliasi kepada beragam mazhab
keagamaan yang mereka anggap sebagai benar, yang mana, mereka tidak akan
beralih kepada yang lain kecuali karena menemukan kepuasan baru. Itulah yang
dimiliki oleh debat Qur’ani untuk mereka yang berkategori demikian. Namun itu,
jika mereka siap menanggalkan ta’ashub dan sikap keras kepala.
8.
Bentuk lain
dari karakteristik debat qur’ani adalah bahwa tujuan utamanya yaitu memberikan
panduan hidayah kepada masyarakat. Itulah semangat utamanya. Tujuan sekaligus
cita-cita terbesaarnya. Hal ini berbeda dengan tukang debat, yang memungkinkan
mereka memiliki tujuan jelek, seperti keinginan untuk dianggap hebat, sehingga
menjadi sebab terjadinya kerusakan di alam ini dan tujuan lain yang telah
disebutkan dalam pembahasan seputar perdebatan yang berkategori jelek.
Karena itulah, anda akan melihat al-Qur’an mengakui kebenaran yang
ada pada pihak lawan, dengan penuh sopan santun dan sportivitas yang maha
agung. Ini terlihat pada firman Allah ketika berbicara seputar ratu Saba’
قَالَتْ
إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا
أَذِلَّةً ۖ
Dia berkata: "Sesungguhnya
raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan
menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; (QS al naml 34)
Karena hal ini yang dominan terjadi pada banyak raja-raja, maka
Allah mengakui,
وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ
Dan memeng
demikian yang mereka (para raja itu) perbuat. (QS al naml 34)
Dalam debat Qur’ani terdapat metode mundur atau cara mengalah
hingga tarap menyamakan diri dengan pihak-pihak yang salah terhadap suatu hal
yang diperdebatkan. Allah berfirman
وَإِنَّا
أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
sesungguhnya kami atau kamu
(orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang
nyata. (QS saba’ 24)
dan contoh lain yang umumnya manusia merasa enggan untuk mundur
atau mengalah.
Debat al-qur’an tidak semata-mata bertujuan untuk menekuk dan
memojokkan lawan debat, tetapi umumnya mengarahkan semua peserta debat kepada
hidayah, menuntun mereka menuju kebenaran, mengarahkan pandangan mereka kepada fakta-fakta,
dan kandungan alam berupa petunjuk kebenaran dan hakikat keimanan.[20]
Itulah kenapa debat al-qur’an disebut-sebut menggunakan cara terbaik (debat
plus) dan mengarahkan kaum mukiminin menggunakan metode debat yang sama. Jika
ditemukan adanya nada-nada keras dan tegas kepada lawan debat dalam al-Qur’an,
maka hal itu bukan karena masalah metode dakwah dan cara umum yang digunakan
al-Qur’an. Akan tetapi, hal itu disebbabkan oleh factor tertentu yang memang
ada pada diri lawan debat; yaitu ketidaktundukannya kepada kebenaran yang
terpampang sgat jelas di hadapannya, dia tidak menggunakan akalnya secara tepat
dalam menerima penjelasan yang berjubel dengan beragam bukti, bermacam-macam
hujjah yang sangat jelas dan sikap-sikap serupa yang menjurus kepada bentuk
pembangkangan. Pengeculian inilah yang bisa dipahami dari firman-Nya
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
Dan janganlah
kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali
dengan orang-orang yang zalim di antara mereka (QS al-Ankabut : 46)
Prinsip dasar debat al-Qur’an adalah sebagai alat penuntun hidayah
bagi mereka yang tersesat, peringatan bagi yang sedang lalai, penagajaran
kepada mereka yang tidak tahu, petunjuk bagi yang meminta pengarahan, pemutus
bagi jiwa pembangkang yang mencoba mengembangkan sikap mbalelonya
sekaligus memutus bahayanya yang bisa merusak orang lain.
Atas dasar inilah sehingga debat al-Qur’an dengan kalangan kaum
musyrikin umumnya debat hidayah dan petunjuk (pengarahan) termasuk menyalahkan
anggapan-angapan kelairu mereka. Sedang debat al-qur’an dengan kalangan ahli
kitab bernuansa menyalahkan dan menyudutkan (ilzam) karena mereka
menyembunyikan ilmu yang telah mereka pahami. Sedang debat al-qur’an dengan
kalangan kaum muanafik, tampak nuansa keras sangat dominan disertai dengan
nada ancaman serta teguran. Berikut
beberapa contoh yang bisa ditampilkan :
A. Debat al-Qur’an terhadap kaum pagan (musyrik)
إِنَّ الَّذِينَ
تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عِبَادٌ أَمْثَالُكُمْ ۖ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجِيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ أَلَهُمْ أَرْجُلٌ يَمْشُونَ بِهَا ۖ
أَمْ لَهُمْ أَيْدٍ يَبْطِشُونَ بِهَا ۖ
أَمْ لَهُمْ أَعْيُنٌ يُبْصِرُونَ بِهَا ۖ
أَمْ لَهُمْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۗ
قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ إِنَّ وَلِيِّيَ
اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ ۖ
وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا
يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ إِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَىٰ لَا يَسْمَعُوا ۖ وَتَرَاهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ وَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ
Sesungguhnya berhala-berhala yang
kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan
kamu. Maka serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka mmperkenankan
permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala
mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang
dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu
ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar?
Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah,
kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh
(kepada-ku)". Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al
Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. Dan berhala-berhala
yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat
menolong dirinya sendiri. Dan jika kamu sekalian menyeru (berhala-berhala)
untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-herhala itu tidak dapat mendengarnya.
Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu padahal ia tidak
melihat. (QS al-A’raf : 194-198)
Ini adalah model debat yangf
cenderung tenang sekali pun berisi nada penantangan, menekuk dan sedikit
menyalahkan lawan debat.
B. Debat al-Qur’an dengan kalangan ahli kitab.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ إِلَّا مِنْ بَعْدِهِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ
فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ مَا كَانَ
إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا
وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah
membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan
melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir? Beginilah kamu, kamu ini
(sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu
bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang
kamu tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang
Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (QS
Ali Imran : 65-67)
Di sini kita memperhatikan adanya nada meyalahkan lawan debat (ahli
kitab) dan memojokkan mereka karena mereka sebanarnya mengatahui hal yang
diperdebatkan, tapi mereka dengan sengaja menyembunyikannya.
C. Debat al-qur’an terhadap kaum munafikin.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ وَإِذَا قِيلَ
لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ
ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ
شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ اللَّهُ
يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Di antara manusia ada yang
mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu
Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri
sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah
penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan
bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan". Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka:
"Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka
menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu
telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh;
tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka
kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya
kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". Allah akan
(membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam
kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk,
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat
petunjuk. (QS al-Baqarah : 8 - 16)
Debat dengan orang-oran munafik tampak nada-nada keras sangat
dominan, karena mereka kafir dengan hatinya sejkali pun mengunmukkan keiamanan
denga lidah mereka sebagai upaya pengelabuan dan rasa takut dari pedang-pedang
Islam.
9.
Salah satu
model debat qur’ani adalah terkdang menggunakan gaya berkisah yang menarik
perhatian lawan debat, terutama ketika tema debat seputar nabi yang mereka
kenal dan mereka klaim sebagai pengikut dan pengaumnya. Sehingga hujjah menggunakan
lisan sang nabi, sehingga hal itu memiliki efek kuat, nada memojokkan yang
lebih tinggi dan menekuk argument lawan debat.
Dengan adanya dalil atau argument melalui penututran sang nabi yang
diakuai otoritasnya oleh lawan debat; seperti nabi Ibrahim a.s., bagi kalangan
bangsa Arab, nabi Musa a.s., bagi kalangan bangsa Israel, sangat memberikan
efek kekuatan melebihi kehebatan dalil dan hujjah itu sendiri. Sehingga hujjah
makin tegak dari dua sisi; kekauatan argument secara mandiri dan dari sisi ucapan
sang nabi yang terpercaya, yang diakui otoritasnya dan diklaim sebagai panutan
yang disegani.[21]
Contoh kongkritnya, firman Allah yang berbunyi :
وَإِذْ قَالَ
إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا
الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي
عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab
terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku;
karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". Dan (lbrahim a.
s.) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya
mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (QS al-Zukhruf : 26 – 28)
Kadang juga kisah tertentu berbentuk wasiat yang disampaikan sang
nabi kepada ummat dan keturunannya. Sehingga lawan debat memahami bahwa dia
mengkhianati sang rasul –yang mereka klaim sebagai anutannya- dalam hal
wasiatnya dan mereka belum melaksanakan waasiat yang dimaksud. Allah menegaskan
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ
نَفْسَهُ ۚ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ إِذْ قَالَ
لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ وَوَصَّىٰ بِهَا
إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ
الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ
إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ
بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Dan tidak ada yang benci kepada
agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh
Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya:
"Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam". Adakah kamu hadir ketika Ya'qub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa
yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu)
Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS
al-Baqarah : 130-133)
Bahkan terkadang dalil dan arguemtasi bisa saja diungkapkan dalam
bentuk penuturan hwan ternak , sehingga sedikit banyak memberikna nuansa lain,
tetapi efektif menarik perhatian, sehingga makin menambah kekuatan iman pada
hal yang tadinya sempat diingkari oleh mereka yang diberikan karunia akal
pikiran oleh Allah Swt. Sebagai contohnya, seperti hujjah yang diungkapkan oleh
burung Hud-Hud di zaman kekuasaan raja Sulaiman a.s. allah berfirman
وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ
أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ
لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ
فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا
عَرْشٌ عَظِيمٌ وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ
فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ اللَّهُ
لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ۩
Dan dia memeriksa burung-burung lalu
berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang
tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras
atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku
dengan alasan yang terang". Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud),
lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang
diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku
mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah
menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi
mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka
tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di
bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.
Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai 'Arsy yang
besar". (QS an-Naml : 20 -26)
10.
Ciri lain debat
Qur’ani adalah adanya pengulangan pada beberapa tempat. Tetapi pengulangan ini
sekedar menunjukkan keragaman, namun tetap tidak serupa. Karena itu, jika
diperhatikan dengan seksama dan diadakan perbandingan antara kedua jenis
perdebatan itu, pasti tampak perbedaannya. Karena memang keragaman itu
dimaksudkan untuk tujuan berbeda, sesuai dengan tema yang sedang dibahas. Hal
ini jelas pada sesi-sesi perdebatan antara nabi-nabi dengan komunitas kaumnya
masing-masing. Sehingga, sebenarnya tidak ada pengulangan apa pun di dalam
al-Qur’an. Dalam artian, pengulanagan dengan kesamaan cara pemaparan, cara
pelaksanaan, kesamaan tujuan dan kesamaan orang. Yaitu pengulanagan debat
dengan kesamaan secara total. Hal seperti ini tidak ada sama sekali dalam
al-Qur’an. Tetapi pengualangan itu terjadi dengan pertimbangan tertentu dan
dengan argemantasi tertentu pula, yang tidak seperti pertimbangan dan
argumentasi yang sama di tempat lain. Hal ini sama seperti layaknya Allah,
rasul-Nya dan kitab-Nya menamainya dengan beragam nama. Yang mana, setiap nama
menujukkan makna yang berbeda denga nama-nama yang lain. Di sini tidak ada
pengulangan sama sekali. Yang ada hanya keragaman. Makanya, Allah menamakan
diriNya dengan al-Malik, al-Quddus, as-Salam, al-Mukmin, al-Muhaimin, al-Aziz,
al-Jabbar, al-Mutakabbir, al-Khaliq, al-Mushawwir dan nama-nama lain yang
serupa. RasulNya pun dinamai dengan Muhammad, Ahmad, Hasyir, Aqib, Muqaffa.
Sedang kitabNya dinamai al-Qur’an, al-Furqan, al-Bayan, al-Huda, asy-Syifaa,
an-Nuur, ar-Ruh, dll. Setiap nama menunjukkan makna yang tidak terkanadung pada
nama-nama yang lain, padahal tetap merujuk kepada satu zat semata.[22]
Hal yang sama dikatakan kepada perdebatan yang terulang pada beberapa tempat
dalam al-Qur’an. Dengan adanya kesamaan orang-orang yang terlibat dalam sebuah
perdebatan, tetapi perdebatan itu berbeda dari sisi pemaparan, pelaksanaan dan
tujuan. Hal ini karena perbedaan kategori dan argumentasi yang dipaparkan pada
masing-masing perdebatan. Inilah salah satu keunikan dan keistimewaan debat
Qur’ani, karena memang itu merupakan firman Allah yang Mahatahu dan
Mahamengerti.
11.
Umunya
perdebatan itu memancing terjadinya luapan emosi dan rasa dendam. Sikap yang
membuat peserta debat semakin berbeda dan menunjukkan permusuhan. Akhirnya,
keseimbangan rasio peserta debat terganggu sehingga susah menguasai pikiran
mereka. Sehingga peserta debat menjadi terkadang buta dalam suasana perdebatan
dan menunggu kesempatan untuk mematahkan musuh setiap saat. Atas dasar inilah,
Rasulullah mengingatkan, “Orang hebat itu bukanlah mereka yang mampu
menghempaskan lawan ketika bergulat. Tetapi orang yang hebat adalah mereka yang
mampu menguasai dirinya ketika sedang marah.” [23]
Al-Qur’an dalam setiap perdebatannya, baik perdebatan itu melalui
lidah salah saorang wali-Nya; rajakah ataukah dia seoragn nabi atau salah
seorang hamba yang shaleh atau orang yang dipercaya Allah untuk mendebat lawan
dengan berusaha mengalahkannya dengan kekuatan hujjah, sangat jauh dari hal-hal
yang merecoki pikiran, meracuni keseimbangan rasio sehingga menyebabkan
lemahnya orang yang terlibat dalam perdebatan dan membuat yang bersangkutan
merasa benci dan seolah ingin menelan lawan debat. Allahlah yang memberikan dukungan
(ta’yid) terhadap para wali-Nya dengan hujjah yang kokoh dan menguatkan
mereka dengan bantuan yang serba hebat. Allah berfirman seputar nabi-Nya
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).. (QS an-Najm : 3-4)
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ
آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari
kiamat) (QS al-Mukmin : 51)
Sedang bentuk-bentuk pertolongan
Allah adalah adanya pengokohan hati, dukungan moral, penegasan hujjah dan
kemenengan terhadap orang yang mendebatnya.adapun jika salah satu peserata
debat adalah Allah maka sungguh cukuplah Allah yang maha menyaksikan segala
hal, maha mewakili segala hal dan mahamempertimabangkan segala sesuatu. Dialah
yang
يَعْلَمُ
خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (QS
al-Mukmin : 19)
وَمَنْ
أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada
Allah? (QS an-Nisaa : 87)
وَلَنْ
تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
dan kamu
sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah. (QS al-Ahzab : 62)
وَلَنْ
تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا
dan
sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (QS Fathir
43)
سُنَّتَ
اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ ۖ
وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
Itulah
sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu
binasalah orang-orang kafir. (QS al-Mukmin : 85)
Sumber : Manhaj
al-Jadal wa al-Munazharah Fii Taqrir Masa’il al-I’tiqad, karya : Dr.
Utsman ‘Ali Hasan.
[1] Lihat : al-Mu’jizah al-Kubraa, Abu Zahrah,
hal. 343.
[2]
Kitab al-I’jaz, hal. 42.
[3] Lihat : al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
al-Zarkasyi, vol. 2, hal. 108-110.
[4] Lihat : al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
al-Zarkasyi, vol. 2, hal. 110.
[5] Lihat : al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
al-Zarkasyi, vol. 2, hal. 110-111.
[6] HR Bukhari 9/3 (fath al-Bari), kitab
Fadha’il al-Qur’an, bab, kaifa nazala al-wahyu wa awwalu ma nazal, no. 4981
[7] Dar’u Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, vol. 1,
hal.160, wa ar-Raddu ‘ala al-Manthiqiyyin, hal. 321.
[8] Lihat : Min Asrar al-Balaqah. Mahmud
Syaikhun. Hal. 223.
[9] Qiyas Syumul : keikutsertaan semua bagian
pada suatu hukum umum dan ketercakupannya dalam ketetapan hukum tersebut. Lihat
: ar-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, hal. 364.
[10] Qiyas Tamstil : menetapkan hukum pada suatu
kasus karena hukum tersebut berlaku pada kasus yang lain karena adanya factor
(alasan) yang sama. Hal ini disebut cabang yang diberikan status hukum dan
sesuautu yang diperoleh darinya hukum asal atau permisalan. Sedang alasan dan
factor yang melatarbelakangi hukum tersebut adalah adanya kesamaan alasan dan
sebab. Inilah yang dimaksud Qiyas Ushuli atau Qiyas Syar’i. Lihat : Kasyyaf
Isthilahat al-Funun, jilid 5, hal. 1193-1194, al-Mu’jam al-Falsafi (Maj’ma
al-Lughah al-Arabiyah) , hal. 55.
[11] Istiqraa : menetapkan hukum pada kasus umum
karena hukum tersebut berlaku pada bagian-bagiannya atau seluruh anggotanya;
baik pada semua bagian yang disebut istiqra tam, atau pada sebagian besar
anggotanya yagn dikenal dengan istilah istiqraa masyhur, dengan berpegang pada
prinsip kepastian (hatmiyah). Seperti ketika kita mengatakan, “Setiap burung
memiliki dua sayap.” Lihat : al-Mu’jam al-Falsafi, Shaliba, jilid 1, hal.71-72.
[12] Lihat : Mabahits Fi Ulum al-Qur’an,
al-Qaththan, hal. 299-300.
[13] Lihat : Minhaj al-Jadal, al-Alma’i, hal.
416-417
[14] Al-Qur’an al-“Azhim, ‘Urjun, hal. 283-284.
Dengan sedikit penyesuaian
[15] Al-Burhan Fii Ulum al-QUr’an, hal. 24. Lihat
pula : Mu’tarik al-‘Aqran, al-Suyuthi, jilid 1, hal. 456.
[16] Al-Mukjizah al-Kubraa, Abu Zahrah, hal.
372-373.
[17]
Al-Radd ‘ala al-Mathiqiyyin, hal. 467-468.
[18]
Lijat : Majmu al-Fatawaa, vol. 19, hal. 165-166
[19]
Lihat : al-Mu’jizah al-Kubraa, hal. 385-386.
[20]
Lihat : al-Mu’jizah al-Kubraa, Abu Zahrah, hal. 381.
[21]
Lihat : al-Mu’jizah al-Kubraa, hal. 374-375.
[22]
Lihat : Majmu Fatawaa Ibnu Taimiyyah, vol. 19, hal. 167 – 168.
[23]
HR Muslim, 4/2014, kitab al-Bir wasshilah, bab fadl man yamlik nafsahu inda
al-aghadab…
الاشتراك في:
الرسائل (Atom)
Categories
no-style
نموذج الاتصال
Entri Populer
إجمالي مرات مشاهدة الصفحة
Translate
Categories
- akidah. (54)
- al-Qur'an (3)
- Bahagia Islami (3)
- Catatan Perjalanan. (2)
- Ceramah Keislaman (2)
- Efistemologi Islam (2)
- Fikih Islam (3)
- Ilmu Hadits. (2)
- Ilmu Kalam (3)
- Keimanan dan Ketakwaan (3)
- Keluarga (4)
- Keluarga Islami (5)
- Metodologi Studi Islam (14)
- Muhasabah (7)
- Pemikiran Islam (2)
- Pendidikan (5)
- Pendidikan Islam (8)
- Peradaban Islam. (4)
- Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (6)
- Ramadhan (3)
- Relasi Sunni dengan Syi'ah (6)
- Renungan. (9)
- Sirah (3)
- Syarah Hadits Arba'in (4)
- Syarah Riyadhusshalihin (24)
- Syarah Sunan Abi Daud (4)
- Tafsir. (8)
- Takhrij Hadits (2)
- Tasawuf (2)
- Tazkiyah (9)
- Ushul Fikih (1)