Dosa dan maksiat adalah benalu yang menghalangi manusia untuk
mendapatkan kesucian fitrahnya. Padahal, kebahagiaan tidak pernah bisa
dirasakan kecuali melalui fitrah suci dan ketaatan kepada Allah. Karena itulah,
manusia perlu mengenal dampak buruk dosa dan maksiat terhadap pribadi,
masyarakat dan seluruh penduduk bumi ini. Beberapa diantaranya adalah :
1.
Dosa Menghalangi Ilmu dan Pemahaman.
Kebaikan manusia berawal dari ilmu dan pemahaman yang benar
terhadap diri dan hal-hal yang ada di sekitarnya. Hal-hal tersebut seperti
pemahaman tentang Allâh, manusia, kehidupan, akhirat dan hakikat-hakikat besar
lainnya. Ketika manusia terlumuri oleh noda dosa, maka semua hakikat tersebut
di atas pasti luput dari dirinya. Ia senantiasa lalai hingga tahap melupakan
dan tidak mengenal dirinya sendiri. Umur terbuang begitu saja tanpa ada tujuan
hidup yang jelas. Kebahagiaan yang dicari tak kunjung tiba di depan mata,
apalagi terasa di hati.
Bahkan terkadang banyak ilmu pengetahuan yang secara pikiran telah
dimiliki, namun terkadang tidak memberikan efek penyadaran yang berarti. Itu
juga bentuk lain dari pengaruh dosa dan maksiat. Pemahaman terkadang lebih
dalam dari sekedar pengetahuan. Karena pemahaman terkait dengan hati yang akan
menghasilkan perubahan dan perasaan khusyu’ (rasa takut yang disertai
dengan pengagungan kepada Allâh Swt.) pada diri manusia. Sehingga mereka
senantiasa merasakan kekerdilan dirinya di hadapan Allâh sekaligus makin
memperdalam keagungan Allâh pada jiwanya. Yang terjadi adalah dirinya
senantiasa berusaha lebih baik dalam banyak hal dibanding hari-hari sebelumnya.
Inilah inti taubat dalam Islam. Yaitu perasaan menyesal terus menerus akibat
kelalainnya dari memahami keagungan Allâh dan menyadari kekerdilan dirinya.
2.
Dosa Menggelapkan Hati.
Ilmu
adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan bisa
menghalangi, mereduksi dan memadamkan cahaya tersebut. Karena itu, ketika Imam
Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Imam Malik untuk belajar, beliau
sangat kagum terhadap kecerdasan dan daya hafal Syafi’i muda ini hingga beliau
bertutur, “Aku melihat Allâh telah menitipkan cahaya di hatimu, wahai anakku.
Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.” Suatu hari, ketika
Syafi’i muda merasakan kebuntuan hafalan dan pemahamannya, ia menyampaikan
keluhannya kepada sang guru besar lain bernama Imam Waki’. Imam Syafi’i
bertutur dalam sebuah gubahan sya’ir, “Aku mengadu kepada Waki’ tentang
hafalanku yang buruk. Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan kemaksiatan
seraya berkata, ‘Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allâh tidak
diberikan kepada pelaku dosa dan penggemar kemaksiatan’
3.
Dosa Melemahkan Hati dan Badan.
Hati adalah keaslian manusia. Disanalah prinsip hidup tertanam
dalam-dalam. Disana pula terdapat keinginan dan kehendak, bahkan perasaan
sekaligus. Ilmu sebagai cahaya akan menghidupakan hati, memunculkan kehendak
dan angan-angan untuk lebih baik dan melakukan perbaikan. Namun dosa, berfungsi
sebaliknya. Ia akan memporak-porandakan prinsip hidup, membasmi kebaikan hati
dan mendominasinya dengan beragam keburukan. Ujungnya, semangat untuk
memperbaiki kualitas hidup dan upaya untuk maksimal dalam dunia kebaikan
melemah hingga titik terendah. Ibnu Abbas r.a berkata, “Sesungguhnya perbuatan
baik itu mendatangkan pencerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kelapangan
rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu
mengandung ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di kubur dan di hati,
kelemahan badan, susutnya rezeki, dan kebencian makhluk.”
4.
Maksiat Memperkeruh Hubungan dengan Allâh.
Kedekatan manusia dengan Allâh tergantung pada hati yang bersinar
dengan tauhid dan kepatuhan kepada Allâh. Jika manusia banyak melakukan
pelanggaran maka akan terjadi kegersangan dan keterasingan dari Allâh. Sehingga
hidupnya terasa sempit. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang mengeluh
kepada seorang yang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang Arif berpesan, “Jika
kegersangan hatimu akibat dosa-dosa, maka tinggalkanlah. Dalam hati, tak ada
perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas dosa.”
5.
Dosa Menghilangkan Kedekatan dengan Orang-Orang Shaleh.
Jika dosa dan maksiat dapat mempengaruhi kedekatan manusia dengan
Allâh maka tentu dipastikan pula bahwa
dosa akan mendatangkan rasa gersang dan keterasingan dari teman-teman yang
baik. Hati yang baik akan senantiasa mencari jiwa-jiwa yang sesuai dengan arah
dan kecenderungan-kecenderungannya. Sehingga ada orang bijak mengatakan,
“Burung pun akan senantiasa bertengger dengan teman-temannya dan tidak akan mau
bergabung dengan burung lain yang tidak sama jenisnya.”
Pada zaman Rasulullah Saw., kita mendapati persaudaraan yang
terjaling kuat antara para penentang da’wah, baik dari kalangan orang-orang
munafik maupun dari kalangan orang-orang kafir Quraisy. Orang-orang munafik di
zaman itu bahkan berusaha membuat masjid Dirar yang dijadikan sebagai sarana
untuk membelokkan arah dakwah. Mereka berkumpul di sana untuk menyatukan
langkah demi merongrong persatuan kaum muslimin. Mereka bahkan saling berkumpul
dalam majlis Rasulullah untuk membuat kegaduhan dan merecoki kegiatan ta’lim.
Bahkan ketika mereka pun ikut perang, mereka senantiasa bersama-sama seolah
satu tubuh yang tak terpisahkan. Ketika datang orang-orang munafik dari beragam
penjuru, baik dari wilayah Bahrain atau wilayah Hijr mereka pasti bertandang ke
rumah Abdullah bin Ubay bin Salul; sang gembong munafik di Madinah. Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda, “Ruh-ruh
itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika
mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal
maka akan berbeda (berpisah).” [1]
6.
Maksiat Memperpendek Umur.
Kemaksiatan dipastikan akan memangkas umur manusia sehingga bisa
jadi banyak secara kuantitas namun pendek secara kualitas. Bahasa sederhananya
adalah hilangnya keberkahan hidup karena waktu yang diberikan habis pada
hal-hal yang berada di luar tugas utama sebagai hamba. Kata umur secara
kebahasan berarti ramai. Maksudnya, Islam memandang umur dari sisi fungsinya
dalam menegaskan ketaatan dan pengabdian kepada Allâh dengan mengisi dan meramaikannya
dengan beragam kebaikan. Umur memang menjadi ukuran waktu, tetapi Islam tidak
membatasinya pada sisi durasi umur secara biologis. Islam bahkan memandang umur
sesuai porsi ketakwaan, keimanan dan segala jenis ketaatan yang dilakukan.
Selain umur bermakna demikian, hidup pun juga dipahami sama.
Hakikat hidup sangat tergantung dengan hati. Jika hati hidup dengan keimanan,
tauhid, ketakwaan, dan beragam identitas Islam lainnya maka ketika itulah hidup
menjadi benar-benar dianggap kehidupan. Sebaliknya, kematian tidak hanya
terbatas pada berpisahnya ruh dan jasad. Tetapi lebih dari itu; terkuburnya
hati dalam fisik manusia. Itulah kematian sebenarnya, “Mereka itu
adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (QS an-Nahl [16]: 21)
Dengan
demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia
adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu
kehidupannya yang dijalani karena Allâh Swt., menghadap kepada-Nya,
mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya.
7.
Maksiat Menghalangi Rezeki.
Rezeki
adalah semua karunia Allâh kepada manusia yang juga merupakan bentuk
rububiyah-Nya kepada seluruh mahluk; terutama manusia. Rezeki paling utama
adalah penciptaan mahluk dan pemberian hak hidup; karena tidak ada yang mampu
melakukan hal tersebut kecuali Allâh. Sebagai pelengkap rezeki-Nya, Allâh juga
memberikan petunjuk tata cara hidup dan mengelola kehidupan di planet bumi ini
berupa al-Qur’an dan contoh teladan sebaik Rasulullah Saw. Itulah beragam nikmat
yang dikaruniakan oleh Allâh. Belum termasuk hidayah taufik yang diberikan
kepada mereka yang beriman dan bertakwa sehingga banyak amalan-amalam keislaman
yang bisa mereka kerjakan secara baik. Setelah itu, ada juga karunia berupa
biaya hidup dan segala sarana kehidupan yang terhampar luas di muka bumi ini.
Persoalan
rezeki sangat terkait dengan Allâh Swt. Artinya, kesadaran bahwa semua rezeki
berasal dari rububiyah Allâh adalah merupakan rezeki yang juga tidak
kalah berharganya. Karena dengan demikian, manusia menjadi orang beriman yang
memahami arti penting bersyukur dan berterimakasih kepada Sang Maha Pemberi
tersebut (Allâh). Ini yang menjadi alasan kenapa Allâh Swt dalam banyak
ayat-Nya dalam al-Qur’an senantiasa menyuruh kita bertakwa, beriman istiqamah,
berahlak dengan ahlak mulia dan beragam seruan kebaikan lainnya. Karena dengan
itu semua rezeki berupa kesadaran iman, ketakwaan, istiqamah, kedudukan sosial,
harta yang penuh berkah, anak-anak yang shaleh, serta beragam nikmat lainnya
bisa diperoleh.
Imam Abu Hanifah rahimahullah, manakala menjumpai suatu
problem dalam menyelesaikan masalah, dia berujar kepada santri-santrinya, “Hal
ini tidak terjadi kecuali karena dosa yang baru saja aku lakukan.” Beliau lalu
beristighfar, dan kadang langsung beranjak shalat, maka tersingkaplah masalah
yang menjadi problem baginya itu, seraya berkata, “Mudah-mudahan taubatku
diterima.” Cerita ini kemudian sampai kepada Fudhail bin Iyadh. Ketika
mendengar cerita itu, Fudhail bin Iyadh menangis keras-keras kemudian berkata,
“Itu dilakukan Abu Hanifah padahal dosanya lebih sedikit, adapun selain Abu Hanifah
tidaklah memperhatikan perkara ini.”
MUTIARA HIKMAH
Abdullah bin Abbas radiyallahu anhu berkata, “Sungguh amal
kebajikan memiliki cahaya di dalam dada, keceriaan pada wajah, kekuatan di
badan, keluasan dalam rezeki, dan kecintaan di hati para makhluk. Sedang
perbuatan dosa memiliki kegelapan di dalam hati, keburukan di wajah, kelemahan
di tubuh, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati para makhluk.”
(Risalatul Mustarsyidin, Al-Muhasibi: 218)
MUTIARA DO’A
اللَّهُمَّ
إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا
أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku
telah menganiaya diriku dengan banyak kezhaliman, sedangkan tidak ada yang
mengampuni kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan-Mu dan
kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Al Ghafur (Maha Pengampun)
dan Ar Rahim (Maha pemberi rahmat).” [HR Bukhari, no 834 dan
Muslim, no 2705]
Penulis : Ust. Idrus Abidin, Lc., M.A
0 komentar:
إرسال تعليق