Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal
37. Barangsiapa
bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta`ala (meninggal dunia) dengan menanggung
dosa yang tampaknya bisa membuatnya masuk neraka, namun sebelumnya ia telah
bertaubat dan tidak terus melakukan perbuatan dosa tersebut, Allah akan
menerima taubatnya. Dia Maha menerima taubat para hamba-Nya dan mengampuni
setiap kesalahan mereka.[1]
38. Barangsiapa
menemui-Nya (meningal dunia), sedang ia telah menerima hukuman had di
dunia ini akibat dosa yang dilakukannya, maka hukuman had tersebut
itulah sebagai penebus dosa-dosanya. Hal ini berdasarkan pada hadits yang
berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.[2]
39. Barangsiapa
yang menemui-Nya dengan tetap melakukan dosa dan tanpa bertaubat dari dosa-dosa
yang menyebabkannya berhak mendapatkan hukuman tersebut, maka urusannya
diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Jika Dia menghendaki, Dia
menyikasanya dan jika Dia menghendaki Dia mengampuninya.[3]
40. Barangsiapa
yang menemui-Nya (meninggal dunia) –dari kalangan orang-orang kafir- Dia akan
mengadzabnya dan tidak akan mengampuninya.[4]
41. Hukum rajam
bagi orang yang berzina dan telah menikah, jika ia mengakui sendiri
perbuatannya atau telah banyak bukti-bukti yang menegaskan perbuatannya.
42. Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam telah memberlakukan hukum rajam.[5]
43. Para
imam-imam yang hanif telah memberlakukan hukum rajam.[6]
44. Barangsiapa
yang menjelek-jelekkan seorang pun dari kalangan para shahabat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam atau membencinya karena sebuah peristiwa yang telah
terjadi karenanya, atau menyebut-nyebut kejelekannya, maka ia termasuk pelaku
bid'ah, sampai ia merubah sikapnya dengan mencintai dan menghormati mereka
dengan hati yang bersih.[7]
45. Nifak
adalah kekufuran. Yaitu, bahwa seseorang mengingkari Allah Subhanahu wa
Ta`ala lalu menyembah selain-Nya. Ia menampakkan Islam secara
terang-terangan seperti orang-orang munafik pada zaman Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam.[8]
46. Sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ
"Tiga hal yang jika terdapat pada diri seseorang
maka ia adalah seorang munafik. ”[9] Ini dalam hal penegasan.
Kami meriwayatkannya sebagaimana adanya dan kami tidak menafsirkannya.
47. Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا ضُلاَّلاً يَضْرِبُ بَعْضُكًمْ رِقَابَ
بَعْضٍ
“Janganlah kalian kembali menjadi kafir dan
tersesat setelah aku tiada. Yang mana, sebagian kalian menebas leher sebagian
yang lain.”[10]
Dan juga seperti,
إِذَا الْتَقَى
المُسْلِمَانِ بِسَيِفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُوْلُ فِيْ النَّاِ
“Jika dua orang muslim bertemu dengan membawa
pedang masing-masing (berkelahi) maka pembunuh maupun yang terbunuh masuk ke
dalam neraka.”[11] Dan juga seperti,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Menghina
seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.”[12] Juga seperti,
مَنْ قَالَ لأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “Wahai
orang kafir”, maka pasti kekafiran itu terjadi pada salah seorang
diantara keduanya.”[13]
Juga seperti,
كُفْرٌ
بِالله تَبَرُّؤٌ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ
“Kekafiran kepada Allah
adalah berlepas diri dari nasab keturunan walaupun hanya setipisnya.”[14]
48. Dan hadits-hadits
serupa dengan itu yang memiliki derajat shahih dan tetap terjaga maka kami
menerimanya, walaupun kami tidak mengetahui tafsirannya. Kami tidak membahasnya
dan tidak mempertentangkan isi kandungannya. Kami tidak menafsirkan
hadits-hadits tersebut kecuali apa adanya. Kami tidak menolaknya kecuali jika
ada yang lebih benar darinya.[15]
49. Surga dan neraka
adalah makhluk yang telah diciptakan sebagaimana penjelasan dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, “Saya masuk ke dalam surga lalu saya melihat sebuh
istana.” “Saya melihat sumur Al-Kautsar”, “Saya memandang ke neraka lalu saya
melihat bahwa penghuni terbanyak adalah dari kalangan wanita”, “Saya
memandang ke dalam Neraka lalu saya melihat begini dan begitu…” Barangsiapa
yang mengira bahwa keduanya belumlah diciptakan maka berarti ia menyelisihi Al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Saya tidak
yakin bahwa ia mempercayai adanya surga dan neraka.[16]
50. Barangsiapa yang meninggal dunia dari kalangan ahli
kitab (kaum Muslimin) dan tetap dalam keadaan bertauhid, maka ia tetap
dishalati dan dimintakan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ia
tidak dihalangi untuk memperoleh permohonan ampunan dan tidak boleh tidak
dishalati karena suatu dosa yang dilakukannya –baik dosa kecil atau dosa besar-
. masalahnya diserahkan sepenuhnya
kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala.[17]
[2] Hadits tersebut shahih. Ia berasal dari hadits
Khuzaimah bin Tsabit, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
مَنْ أَصَابَ
ذَنْبًأ فَاُقِيْمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ, فَهُوَ كَفَّارَتُهُ.
“Barangsiapa
yang melakukan dosa, lalu ia dikenakan hukum had karena dosanya tersebut, maka
itu menjadi pebebusnya.” [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/215). Al-Hafiz meng-hasan-kan
sanadnya dalam kitab Fath Al-Baari (1/86). Rujuk kembali kitab As-Shahihah
: 1755.
Dalam hadits Ubadah Bin
Shamit secara marfu' Rasulullah bersabda,
بَايِعُوْنِيْ عَلَى أَلاَّ تُشْرِكُوْا بِالله شَيْئًأ, وَلاَ تُسْرِفُوْا,
وَلاَ تَزِنُوْا, وَلاَ ... فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَاَجْرُهُ عَلَى الله ,
وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ فِيْ الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ
لَهُ, وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ الله فَهُوَ إِلَى الله
, إِنْ شَاءَ الله عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ.
"Berjanjilah kepadaku
bahwa kalian tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta`ala, tidak mencuri, tidak
berzina, dan tidak......, Barangsiapa yang memenuhi janjinya maka pahalanya ada
di sisi Allah Subhanahu wa Ta`ala. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran dari
janjinya, lalu ia dihukum karenanya di dunia ini maka itulah penebusnya. Barangsiapa
yang melakukan pelanggaran dari janjinya itu, lalu Allah menutupi keadaannya, maka urusannya diserahkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Jika Dia menghendaki, Dia menyiksanya dan
jika Dia menghendakinya Dia mengampuninya.“. [HR. Al-Bukhari (1/81-hadits no.18, 3892,
dan terdapat pada banyak tempat). Juga diriwayatkan oleh Muslim (Hadits no.
1709, kitab Al-Hudud, bab ke-10].
[3] Allah Subhanahu wa
Ta`ala berfirman, (QS. An-Nisaa : 116) Lihat kembali At-Ta`liq
`Ala At-Thahawiyah, hal. 45 dan Syarahnya, hal. 370 dan setelahnya.
[4] Dalilnya adalah firman
Allh Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Ma'idah : 72) dan juga firman
Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 116). Lihat kembali At-Ta`liq
`Ala At-Thahawiyah, hal. 41.
[6] Dalil tentang hal ini banyak, di antaranya
dari Ibnu Abbas -Radiyallahu Anhuma-, ia berkata, “Umar bin Khattab
berdiri di atas mimbar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sambil
berkata, ’Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mengutus Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam dengan kebenaran, lalu menurunkan kitab kepadanya. Di
antara ayat yang diturunkan kepadanya adalah ayat tentang rajam. Kita
membacanya dan memahaminya. Rasulullah lalu memberlakukan hukum rajam dan kita
pun memberlakukannya setelah beliau wafat. Saya khawatir jika manusia telah
melewati masa yang panjang, lalu ada yang mengatakan, ‘Kita tidak menemukan ayat
rajam dalam kitab Allah, sehingga mereka tersesat karena meninggalkan kewajiban
yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala. Rajam dalam kitabullah
adalah benar adanya bagi orang yang berzina setelah menikah, baik laki-laki
maupun perempuan, jika bukti-bukti telah terkumpul atau pelakunya mengakui perbuatannya.’”
(HR. Al-Bukhari : 7323, Muslim : 1691), lafazhnya berasal dari Muslim.
Dalam kitab Shahih
terdapat sebuah hadits dari Ali, bahwasanya ia merajam seorang perempuan pada
hari jum'at dan ia berkata, “Saya merajamnya berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam.” [Al-Fath : 6812]. Lihat pula Al-Irwa' : 7/352.
[7] Dalilnya adalah firman
Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. At-Taubah : 117) dan firman Allah
Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Hasyr : 10). Dan juga sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ, لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ,
فَوَالذِيْ نَفْسِيْ بيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ اُحُدٍ ذَهَبًا مَا
بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ.
“Janganlah kalian menghina shahabatku,
janganlah kalian menghina shahabatku. Demi Dzat
yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, Jika seseorang di antara kaliam menafkahkan emas sebesar gunung
Uhud maka itu tidaklah mencapai satu Mud kebaikan mereka dan tidak pula
setengahnya.” [HR. Al-Bukhari : 3673, dan Muslim : 2541] dari kumpulan
hadits Abu Said -Radiyallahu Anhu-.
Jika Anda telah memahami masalah ini, maka
jelaslah bagi Anda di mana letak kesesatan kalangan Rafidah. Yang mana,
mereka sering menghina, mencela, dan melaknat shahabat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Hati mereka dipenuhi oleh rasa dendam terhadap para shahabat,
padahal mereka tidaklah menyaksika periode khilafah dan pemerintahan kecuali
pada keluarga Ali -Radiyallahu Anhu-..
Atabah bin Abdullah
Al-Hamadani Al-Qadi berkata, saat di sampingnya terdapat seseorang yang
menyebut nama Aisyah yang disertai dengan ungkapan jelek, “Wahai sang pemuda ! Tebas leher orang tersebut.” Kalangan
Alawiyun berkata kepadanya, “Orang tersebut berasal dari kalangan kami.” Ia
menjawab, “Naudzubillah ! Orang ini telah mencela Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS.
An-Nuur : 62). Jika saja Aisyah termasuk orang jelek, maka Rasulullah pun
orang jelek!! Dia adalah orang kafir. Silahkan tebas lehernya. Mereka lalu
menebas lehernya. ” [Allalika'i : 2402]
Imam Syafi'i –Rahimahullah- berkata, “Saya
tidak melihat orang dari sisi hawa nafsu lebih keras pemalsuannya dibanding
kalangan Rafidah. ” [Allalika'i : 2811].
Diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, bahwasanya ia
mengatakan, “Wahai Malik (Ia adalah Malik bin Migal Al-Kufi, Abu Abdullah. Ia
adalah orang yang terpercaya. Banyak kalangan yang meriwayatkan hadits
darinya), ’Jika saya ingin agar mereka menyerahkan dirinya sebagai seorang
budak atau mereka mengisi rumah saya dengan emas dengan tujuan agar saya membuat
kebohongan tetang Ali, maka mereka pasti melakukannya. Tapi demi Allah! Saya
tidak akan melakukan kebohongan tentang Ali demi kepentingan mereka
selama-lamanya.’ ”
Wahai Malik ! Saya telah mempelajari tentang hawa
nafsu semuanya lalu saya tidak menemukan kelompok yang lebih bodoh dibanding Al-Khasyabiah.
Jika ia berasal dari binatang maka ia termasuk khimar. Jika ia berasal dari
jenis burung maka pasti ia burung Rukham (Rukham adalah jenis burung
tertentu yang telah dikenal luas oleh masyarakat dan dikenal dengan sifat
pengecutnya).“ [An-Nihayah, Ibnul Atsir : 2/212]
Ia pernah berkata, “Saya mengingatkan engkau dari
bahaya nafsu yang bisa membuatmu sesat, nafsu yang terjelek adalah Ar-Rafidhah.
Alasannya, karena mereka disusupi oleh Yahudi yang sengaja menyusup dan
menyerang Islam dari dalam demi untuk memperluas jangkauan kesesatannya,
sebagaimana Bulus bin Sya'ul –orang Yahudi yang menyusup ke dalam barisan
Nasrani. ”
Mereka masuk ke dalam Islam bukan karena semangat dan
dengan disertai rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, tetapi
mereka masuk ke dalam Islam disertai dengan rasa benci yang mendalam terhadap
kaum Muslimin dan dengan maksud untuk menghancurkan mereka. Ali bin Abu Thalib
pun membakar mereka dan mengasingkan mereka ke beberapa daerah. Di antara
mereka terdapat Abdullah bin Saba' yang diasingkan ke daerah Sabat, Abdullah bin
Syabab yang diasingkan ke daerah Jazat, dan Abul Karusy serta anaknya. Hal itu
dilakukan karena peristiwa Rafidah itu juga termasuk peristiwa yang didalangi
oleh Yahudi.
Orang-orang Yahudi berkata, “Kekuasaan tidaklah
sah kecuali jika dipegang oleh Keluarga Daud. ” Orang-orang Rafidhah
mengatakan, “Kekuasaan tidaklah sah kecuali jika dipegang oleh keluarga Ali. ”
Orang-orang Yahudi mengatakan, “Tidak ada jihad di
jalan Allah Subhanahu wa Ta`ala keculi jika Dajjal telah keluar atau
Nabi Isa turun dari langit. ” Sedang
orang-orang Rafidhah berkata, “Tidak ada jihad kecuali jika Al-Mahdi telah
keluar dan ada suara teriakan dari langit. ”
Orang-orang Yahudi menunda shalat Maghrib hingga
bintang gemerlapan, demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah.
Hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berbunyi,
لاَ تَزَالُ اُمَّتِيْ عَلَى الفِطْرَةِ مَا لَمْ
يُؤَخِّرُوْا المَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكُ النُّجُوْمُ
"Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah
selama mereka tidak menunda shalat Maghrib hingga bintang gemerlapan. ” [Shahih : Al-Irwaa'
: 917]
Orang-orang Yahudi sedikit membelok dari arah
kiblat, demikian pula orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi
menjulurkan pakaian mereka, demikian pula orang-orang Rafidhah. Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang menjulurkan pakaiannya,
lalu beliau membetulkan pakainnya tersebut. Orang-orang Yahudi telah merubah
isi kitab Taurat, demikian pula orang-orang Rafidhah, mereka telah mengubah isi
Al-Qur'an. Orang-orang Yahudi tidak memandang perlunya ada iddah bagi
wanita, demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi membenci
malaikat Jibril dengan mengatakan, “Dia adalah musuh kita dari kalangan
Malaikat”, demikian pula sikap orang-orang Rafidhah. Mereka mengatakan, “Jibril
salah mengantarkan wahyu kepada Muhammad. ”
Orang Yahudi dan orang
Nasrani lebih diutamakan dibanding orang Rafidhah karena dua hal : Orang Yahudi
ditanya, “Siapa orang terbaik dalam agama kamu?” Mereka menjawab,
“Shahabat-shahabat Nabi Musa.” Orang-orang Rafidhah ditanya, “Siapa orang
terburuk dalam agama kamu ?” Mereka menjawab, “Shahabat-shahabat Muhammad.”
Orang Nasrani ditanya, “Siapa orang terbaik dalam agama kamu?” Mereka menjawab,
“Para kaum Hawariyyin yang mendukung Isa.” Orang Rafidhah ditanya, “Siapa orang
terjelek dalam agama kamu?” Mereka menjawab, “Para kaum Hawariyyin yang
mendukung Muhammad. Mereka diminta untuk
memohonkan ampunan bagi mereka tetapi mereka malah menghina mereka.”
Pedang akan senantiasa terhunus bagi mereka hingga
datangnya hari kiamat. Mereka tidak akan pernah eksis dan tidak akan pernah
bisa sepakat dalam naungan sebuah bendera, dan mereka tidak akan pernah
merasakan nikmatnya persatuan. Ajaran mereka sangat hancur. Perkumpulan mereka
bercerai berai. Setiap kali mereka
menyalakan api peperangan, seketika itu pula Allah Subhanahu wa Ta`ala
akan mematikan baranya. [Allalika'i : 1461 : 4]
Muhammad bin Shabih As-Sammak mengatakan, “Saya
mengetahui bahwa orang-orang Yahudi tidak pernah menghina shahabat- shahabat
Musa. Saya juga mengetahui bahwa orang-orang Nasrani tidak akan menghina para shahabat-
shahabat Nabi Isa. Lalu apa gerangan, wahai orang bodoh, sehingga kalian
menghina shahabat-shahabat Nabi Muhammad?! Saya mengetahui dari mana kalian
berasal? kalian tidaklah disibukkan oleh dosa-dosa kalian, jika kalian sibukkan
dengan dosa-dosa kalian maka pasti kalian takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta`ala. Dosa-dosa kalian membuat kalian tidak sempat mengurusi orang-orang
yang berbuat jahat. Celakalah kalian! Lalu kenapa dosa-dosa kalian itu tidak
membuat kalian lupa untuk menghina orang-orang baik. Jika kalian termasuk
orang-orang baik, maka kalian tidak akan menghina orang jelek dan pasti kalian
mengharapkan ampunan bagi mereka kepada Dzat Yang Maha Pengasih. Tapi karena
kalian termasuk orang-orang yang berbuat jelek sehingga kalian menghina para
syuhada dan orang-orang shalih. Wahai orang-orang yang menghina shahabat-shahabat
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika kalian tidur di malam hari
dan makan ketika siang, maka itu tentu lebih baik dibanding jika kalian shalat
malam dan puasa pada siang hari, karena kalian menghina orang-orang baik.
Bergembiralah dengan sesuatu yang tidak mengandung berita gembira, jika kalian
tidak bertaubat dari apa yang Anda lihat dan Anda dengar. Celakalah kalian!
Mereka itu mulia dengan keikutsertaan mereka pada perang Badar, mereka juga
ikut serta di perang Uhud. Mereka semua telah mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu
wa Ta`ala dengan firman-Nya, (QS. Ali Imaran : 155). Kita berhujjah
dengan hujjah Nabi Ibrahim Alaihissalam. Allah Ta`ala berfirman,
(QS. Ibarahim : 36). Dia menawarkan ampunan kepada para pelaku dosa.
Jika Dia berfirman, “Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Adzab-Mu
adalah adzab yang sangat pedih”, maka Dia sedang menawarkan balasan. Dengan
siapa kalian berhujjah, wahai orang-orang bodoh, kecuali dengan orang-orang
bodoh pula!? Betapa jelek generasi penerus yang demikian. Sebuah generasi yang
menghina kalangan Salaf padahal satu
orang dari kalangan Salaf lebih baik dibanding seribu orang yang belakangan.
Mereka semua itu (para shahabat) telah ada ampunan bagi mereka dengan
firman-Nya (Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mengampuni dosa-dsoa mereka).
Apa yang hendak kalian katakan terhadap orang yang telah dimaafkan dosa-dosa
mereka?!” [Allalika'i : 2819].
Hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta`ala orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan antara Ahlussunnah
dengan Syi'ah. Mereka seperti apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu
wa Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 150).
Tidaklah ditemukan kecuali hanya satu jalan saja. Satu kelompok saja
yang akan selamat dan mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta`ala
hingga kiamat tiba. Atas dasar apa
mereka bisa menyatu?! mereka itu : (QS. An-Nisaa' : 143).
Ada perumpaan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam tentang mereka,
مَثَلُ المُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ
العَائِرَةِ بَيْنَ الغَنَمَيْنِ, تَعِيْرُ إِلَى هَذَا مَرَّةً, وَإِلَى هَذَا
مَرَّةً, لاَ تَدْرِيْ أَيُّهُمَا تَتَّبِعُ
“Perumpaan orang
munafik adalah bagaikan kambing yang kebingungan antara dua kambing lainnya.
Sekali ia mengarah ke sana dan sekali juga mengarah ke kambing lainnya. Ia
tidak tahu harus mengikuti siapa.” [HR. Muslim : 2784]. Barangsiapa yang
ingin mendapatkan pembahasan tambahan dalam hal ini dan ingin mengetahui
jawaban terhadap syubhat-syubhat mereka, maka silahkan rujuk kitab Mas'alah
Al-Taqrib Baina Ahlussunnah wa Asy-Syi'ah karya DR. Nasir Al-Qufari.
Buku tersebut sangat bermanfaat dalam bidangnya.
[8] Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta`ala, (QS. An-Nisaa' : 145). Hal ini terkait dengan nifak dalam
masalah keyakian (akidah). Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala
, (QS. Ali Imran : 154).
[9] Shahih. Termasuk dalam
hadits riwayat Abu Hurairah dengan redaksi, “Tanda-tanda orang munafik ada
tiga.....” [HR. Al-Bukhari : 33, dan Muslim : 59]. Keduanya juga meriwayatkannya
dengan redaksi,
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا, وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خُلَّةٌ
مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ خُلَّةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Empat hal jika terdapat
pada diri seseorang maka ia termasuk orang munafik tulen. Jika ada satu unsur
pun darinya terdapat pada diri seseorang maka ia memiliki kadar kemunafikan
sebesar itu... ” [HR. Al-Bukhari : 34 dan Muslim : 58], berasal dari hadits
Abdullah bin Amr -Radhiyallahu Anhuma-. Juga diriwayatkan oleh Ahmad
(2/536), Muslim (1/79) dari riwayat Hammad bin Salamah dari Ibnu Abi Hind. Ia
diperdebatkan sebagaimana terdapat dalam “Al-Ilal” dan Syarahnya
karya Ibnu Rajab, hal. 783). Karena itulah Imam Muslim meriwayatkannya dengan
mengikutkannya dengan hadits Abu Hurairah -Radhiyallahu Anhu-. Hal ini masuk
dalam kategori nifak amaliah.
[10] HR. Al-Bukhari : 121, 4405, 6869, tanpa adanya
kata “Tersesat”, tetapi pada Shahih Al-Bukhari : 5550, Muslim :
1679, dan Ahmad : 5/37, semuanya berasal dari hadits Abu Bakrah -Radhiyallahu
Anhu-. Di dalamnya terdapat kata “Tersesat”sebagai ganti dari kata “Kafir”.
Dan di dalam Shahih Muslim menggunakan redaksi yang mengandung keraguan “Tersesat
atau Kafir”, demikian pula dalam Musnad Ahmad (4/76) dari hadits Abul Gadiyah
-Radhiyallahu Anhu-.
[12] [HR. Al-Bukhari : 5935, dan Muslim : 64].
Keduanya berasal dari hadits Ibnu Mas'ud -Radhiyallahu Anhu-. Abul Izz
Al-Hanafi mengatakan dalam Syarah At-Thahawiyah, hal. 321, “Ahlussunnah
sepakat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir dan keluar dari Islam
secara mutlak, sebagaimana pendapat Khawarij. Karena jika kafir dan keluar dari
Islam maka berarti ia telah murtad dan harus dibunuh, bagaimana pun kondisinya.
Pemaafan dari pihak yang berhak menuntut Qishas tidaklah bisa diterima dan
tidaklah berlaku Hudud dalam zina, pencurian, dan minum khamer!! Pendapat ini
telah kita ketahui bersama kebatilannya dan keburukannya dari agama Islam.
Karena Allah Subhanahu wa Ta`ala menjadikan pelaku dosa besar termasuk
bagian dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta`ala berifirman, (QS.
Al-Baqarah : 178). Allah berfirman (QS. Al-Hujurat : 7).
Nash-nash dari Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' menunjukkan bahwa pezina, pencuri,
orang yag menuduh orang lain berzina tidaklah dibunuh. Tetapi mereka dikenakan
hukuman had. Ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah murtad. Ahlussunnah
juga sepakat bahwa mereka mendapatkan ancaman karena dosanya, sebagaiamana yang
terdapat dalam berbagai Nash. Tidak seperti yang dikatakan oleh Murji'ah bahwa
keimanan tidaklah terpengaruh dengan adanya dosa dan keimanan tidaklah bertambah
karena faktor ketaatan. Jika terkumpul nash-nash ancaman yang dijadikan hujjah
oleh kalangan Murji'ah dengan nash-nash ancaman yang menjadi hujjah Khawarij
dan Mu'tazilah, maka jelaslah bagi Anda kerancuan kedua pendapat itu. ”
[13] Dikeluarkan oleh Ahmad : 2/112, demikian pula
Imam Al-Bukhari juga meriwayatkannya : 6104, dan Muslim : 60 dari hadits Ibnu
Umar -Radhiyallahu Anhuma-.
81
Dikeluarkan oleh Ahmad (2/215), Ad-Darimi, dan selainnya. As-Suyuthi
mengindikasikan ke-hasanan-nya [Faid Al-Qadir: 5/7 -hadits no.
6261] Al-Manawi –Rahimahullah- sepakat dengannya. Al-Albani
menghasankannya dalam kitab Shahih Al-Jami' : 4485.
[15] Lihat : Ta`liq `Ala
At-Tahawiyah, hal. 40. Hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta`ala orang-orang yang sibuk menghukumi orang lain dengan kekafiran.
Padahal mereka yang dihukumi kekafiran itu tidaklah demikian. Mereka yang
menghukumi tidak bisa membedakan antara kafir amali, kafir qauli,
dan kafir i'tiqadi. Mereka tidak bisa pula membedakan antara kufur
Al-ain dan kufur An-Nau'. Mereka mengira dirinya telah memiliki
posisi dalam dunia keilmuan, padahal langkah mereka itu hanyalah bagian dari
syubhat, seperti syubhat pendahulu mereka dari kalangan Khawarij, yang sering
mengkafirkan kaum Muslimin karena dosa dan kesalahan mereka. Mereka tidak
mempelajari ilmu dari ahlinya dan tidak mendatangi sebuah rumah dengan melewati
pintunya. Mereka berpegang teguh dengan fatamorgana yang mereka kira sebagai
dalil. Jika mereka memperjelasnya, maka mereka tidak memperoleh sesuatu yang
dapat dijadikan hujjah menurut ukuran ahli ilmu.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman, (QS.
Al-Kahfi : 104). Karena itulah, kami menasehati saudara-saudara kita agar
membaca kitab Ushul wa Dhawabit Fii At-Takfir karya Syaikh Al-Allamah
Abdul Latif Alussyaikh –Rahimahullah-
dan kitab Al-Uzru bi Al-Jahli karya saudara kita Ahmad Farid –Hafizhahullah-.
(Judul tentang Fitnah At-Takfir terdapat pada Volume pertama
majalah Al-Salafiyah karya guru kita Al-Albani –Hafizhahullah-.
[16] Di antaranya adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tentang surga, (QS. Ali Imran : 33). Dan firman-Nya tetang neraka, (QS. Ali Imran
: 131). Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. An-Najm: 13-15).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
telah menyaksikan Sidratul Muntaha dan melihat di sisinya surga Ma'wa,
sebagaimana terdapat dalam Kitab Shahihaini dari kumpulan hadits Anas -Radhiyallahu
Anhu- dalam kisah Isra', pada akhirnya berbunyi,
ثُمَّ انْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى أتَى سِدْرَةَ
المُنْتَهَى, فَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لاَ أَدْرِيْ مَا هِيَ, قَالَ : ثُمَّ
دَخَلْتُ الجَنَّةَ, فَإِذَا هِيَ جَنَابِذٌ اللُؤْلُؤ, وَإِذَا تُرَابهَا
المِسْك.
“Kemudian Jibril
mengantarku hingga tiba ke Sidratul Muntaha. Ternyata ia diliputi oleh warna yang aku
sendiri tdak mengetahui warna apa sesungguhnya. Ia mengatakan, “Kemudian saya
masuk ke sorga dan ternyata ia berisi tumpukan permata dan ternyata lantainya
adalah minyak misk. ”
Dalam kitab Shahih Muslim sebuah hadits
dari Anas secara marfu' berbunyi:
وَأَيْمُ الذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لَوْ رَأَيْتُمْ مَ رَأَيْتُ
لَضَحَكْتُمْ قَلِيْلاً وَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
“Demi Dzat yang
jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika kalian melihat apa yang aku lihat maka
kalian akan banyak tertawa dan sedikit bersedih.” Shahabat bertanya, “Apa yang engkau lihat
wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, “Surga dan neraka.”
Barangsiapa yang ingin penjelasan
tambahan, maka silahkan rujuk At-Ta`liq `Ala At-Tahawiyah, hal. 51 dan Syarahnya,
hal. 420.
[17] Berdasarkan
pada firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Hasyr : 10). Juga
karena kita dilarang untuk memintakan ampunan dan menshalati orang yang
meninggal dunia tidak dalam keadaan bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta`ala
berfirman, (QS. At-Taubat : 84) Juga firman Allah Subhanahu wa
Ta`ala, (QS. At-Taubah : 113).
Imam Ahmad –Rahimahullah-
menjelaskan bahwa hal ini ditujukan kepada orang yang melakukan dosa besar atau
dosa kecil, sedang dia tetap bertauhid dan termasuk ahlul Qiblat. Pembatasan
ini penting untuk menjelaskan dua hal :
Pertama :
Bahwa syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, walaupun termasuk dosa
besar, bahkan dosa paling besar, hanya saja ia dikecualikan dari hal ini.
Barangsiapa yang melakukan dosa besar berupa kesyirikan, maka kebaikan dalam
ayat ini tidaklah mencakup dirinya, seperti menshalati dan memintakan ampunan
untuknya.
Kedua : Bisa
jadi ia melakukan dosa kecil secara sembunyi-sembunyi dan dilakukan terus
menerus dengan menganggapnya halal dilakukan. Dengan demikian, ia keluar dari
Islam dan tidak lagi dikatakan sebagai orang bertauhid ketika itu, tetapi ia
menjadi kafir sekaligus sebagai musyrik. Dan jangan ada seorang pun yang
mengira bahwa kami menghukumi orang-orang tertentu dengan kekafiran, karena
hukum kekafiran terhadap perbuatan tidaklah dengan sendirinya menghukumi
pelakuanya sebagai orang kafir.
Pada kesempatan ini, perlu
adanya penjelasan sikap yang penting : Bahwa masalah mengkafirkan orang-orang
tertentu bukanlah masalah ringan, tetapi itu adalah masalah yang besar sekali.
Bahkan termasuk permasalahan yang perlu dihindari, karena konsekwensinya
berpengaruh terhadap masalah dunia dan akhirat. Banyak kalangan pemuda yang menganggap enteng permasalahan ini sehingga
mereka tergelincir dan melenceng jauh. Di sini terdapat aturan yang
perlu diperhatikan dan dipahami pada permasalahan ini, di antaranya :
1. Perbedaaan antara kafir
amali, kafir Qauli, dan kafir al-I’tiqadi. Hendaknya merujuk kitab “As-Shalat”
karya Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah-.
2. Keyakinan berupa
Islam tidaklah hilang dari seseorang kecuali dengan keyakinan serupa. Karena
itulah harus muncul darinya kekafiran secara mutlak dan kesyirikan yang nyata
yang tidak mengandung keraguan dan kebimbangan. Dalam masalah ini, rujuk kitab “As-Sailul
Jarrar” karya Imam Al-Syaukani.
3. Jika terbukti bahwa
syiriknya adalah syirik yang nyata, maka ia herus melihat pelakunya, apakah
syarat-syarat kekafiran telah terpenuhi pada dirinya dan tidak ada lagi yang
dapat menghalangi, seperti kejahilan atau ia melakukan ta’wil atau ia terpaksa
atau lain-lain sebagainya.
4. Kemudian menghukumi
seseorang dengan kekafiran juga membutuhkan kejujuran sikap dari orang yang
menghukumi, apakah dirinya pantas untuk mengeluarkan hukum seperti itu, ataukah
tidak. Jadi, ini merupakan permasalahah yang tidak bisa dibahas oleh orang sembarangan dari kalangan masyarakat, tetapi hanya bisa
dibahas oleh orang yang ahli dalam maslah hukum. Yaitu, orang yang disinyalir
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, إِذَا
حَكَمَ الحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ, وَإِنْ حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ “Jika seorang hakim
menetapkan hukum lalu ia benar maka ia
mendapatkan dua pahala, jika menetapkan hukum lalu ia salah, maka ia
mendapatkan satu pahala.” [HR. Al-Bukhari :7352, Muslim : 1716]. Ini
termasuk dalam masalah al-Qadha.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
telah bersabda,
القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ, اِثْنَان فِيْ
النَّار, وَوَاحِدٌ فِيْ الجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ الحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ
فِيْ الجَنَّةِ, وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِيْ النّاَرِ, وَ رَجُلٌ
عَرَفَ الحَقَّ فَجَارَ فِيْ الحُكْمِ فَهُوَ فِيْ النَّارِ
“Ada tiga orang hakim ;
dua orang di neraka dan satu orang di surga. Orang yang mengetahui kebenaran
dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran, maka ia berada di surga. Dan orang
yang menetapkan hukum terhadap seseorang dengan landasan kebodohan maka ia di
neraka. Dan orang yang mengetahui kebenaran tetapi ia bertindak zhalim dalam
menetapkan hukum maka ia masuk ke dalam neraka.” [Diriwayatkan oleh
para penulis kitab Sunan, haditsnya shahih, lihat Al-Irwaa” : 2614]
Walaupun sebenarnya kita
meyakini bahwa ada sebagian orang berhak untuk dihukumi sebagai orang kafir dan
dikenakan hukum murtad dari agama Islam dari orang-orang yang mengaku muslim
secara palsu, dan berasal dari orang yang berpakaian seperti pakaian kita dan
menggunakan nama seperti nama-nama kita. Hanya saja, tidaklah diperkenankan
untuk membahas permasalahan ini, kecuali orang yang memang ahli dibidang ini.
Saya kaget melihat
pemuda-pemuda yang terlalu bersemangat dan menceburkan diri dalam masalah yang
sangat berbahaya ini, sebelum ia belajar masalah-masalah kecil yang terkait
dengan bagaimana cara memperbaiki ibadah mereka kepada Allah Subhanahu wa
Ta`ala. Saya tidak melihat sikap demikian kecuali itu merupakan bentuk talbis
(pengaburan masalah) Iblis kepada mereka. Mereka masih jauh untuk membahas
masalah ini. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidaklah membebani mereka untuk
membahas masalah ini, sehingga mereka meninggalkan hal-hal yang justeru diperintahkan
kepada mereka untuk dipelajari dan diajarkan. Mereka meninggalkan hal-hal tersebut
dan beralih kepada masalah -yang paling minimal sekali bisa dikatakan padanya-
bahwa bahayanya lebih besar dibanding manfaatnya. Jika saja mereka mendapatkan hukum tersebut dari
ahli ilmu, maka ringanlah masalahnya. Tetapi mereka mendapatkan hukum tersebut
melalui cara mendengar langsung dari ayat-ayat Al-Qur’an atau membaca sebuah
hadits, atau mereka mendapatkan dari orang yang gila baca atau cendekiawan yang
sebenarnya mereka bukanlah ulama, walaupun mereka berpenampilan ulama.
Jika saja para pemuda itu mengikuti ahli ilmu
dengan berbagai kendaraan dan mendengar nasehat pendahulu mereka yang shalih,
“Berusahalah menjadi ulama atau menjadi penuntut ilmu dan jangan menjadi yang
ketiga sehingga engkau binasa.”
Juga perkataan Ali -Radhiyallahu Anhu-,
“Manusia terdiri dari tiga kelompok: Alim, pelajar yang berusaha mencari
keselamatan dan orang yang mengada-ada dan mengikuti setiap ocehan.”
Jika mereka memperhatikan dengan seksama nasehat
ini, maka pasti itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka. Hanya saja
sebagian mereka mempersingkat jalan dan mengikuti hawa nafsu dan berusaha
meninggalkan jama’ah, padahal mereka termasuk pembesar ulama. Benarlah sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang mereka,
سَيَخْرُجُ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ
أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ, سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ, يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ
البَرِيَّةِ, يَقْرَأُوْنَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرهُمْ, يَمْرَقُوْنَ
مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرَقُ السَهْمِ منَ الرَّميةِ
“Pada
akhir zaman, akan keluar sekelompok orang yang suka berbicara dan memiliki niat
jahat, mengucapkan perkataan orang terbaik (Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam), dan membaca Al-Qur’an. Hanya saja bacaannya itu
tidaklah melewati kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama Islam sebagaimana
terlepasnya anak panah dari busurnya.” [Shahih Al-Jami’ : 3654].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
سَيَكُوْنُ فِيْ أُمّتِيْ اخْتِلاَفٌ
وَفُرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُوْنَ القِيْل, وَيُسِيْئُوْنَ الفِعلَ, يَقْرَأُوْنَ
القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ ترَاقيْهِمْ
“Akan ada dalam kalangan
umatku pertengkaran dan perbedaan. Ada sekelompok orang yang menguasai
pembicaraan tetapi jelek perbuatannya. Mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidaklah
melampaui tenggorakan mereka…” [Shahih Al-Jami’ : 3668]. Juga sabda
beliau:
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ
خَدَّاعَات, يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ, وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ,
وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الخَائِنُ, وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ, وَيَنْطقُ
فِيْهَا الرُّوَيْبِضَة, قِيْلَ مَا الرُّوَيْبِضَة؟ قَالَ : الرَّجُلُ التَّافِهُ
يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ العَامَّةِ
“Akan datang tahun-tahun ketimpangan pada
manusia; pembohong dibenarkan ucapannya, orang jujur didustakan, pengkhianat
diberi amanah, orang amanah dianggap khianat, dan kaum Ruwaibidhah berbicara.
Ada yang bertanya, “Siapakah kaum Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang
bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak.”
Ya Allah, Tuhan kami, perlihatkanlah
kepada kami kebenaran itu adalah benar, dan karuniakanlah kami untuk dapat
mengikutinya. Dan perlihatkanlah kebatilan itu adalah batil dan karuniakanlah
kami untuk dapat menjauhinya. Tunjukilah kami
dari apa yng diperselisihkan akan kebenarannya, dengan izin-Mu.
Sesungguhnya Engkau memberi Hidayah kepada orang yang Engkau kehendaki ke jalan
yang lurus.