Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal
بِسْمِ الله
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Syaikh
Imam Abu Al-Muzhaffar Abdul Malik bin Ali bin Muhammad Al-Hamdani[1] berkata, “Telah menceritakan kepada kami
Syaikh Abu Abdillah Yahya bin Abu Al-Hasan bin Al-Banna,[2] ia
berkata, ‘Bapakku Abu Ali Al-Hasan bin Ahmad (bin Abdillah) bin Al-Banna[3] mengkhabarkan
kepada kami, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Al-Husain Ali bin
Muhammad bin Abdillah bin Bisyran Al-Mua`addal,[4] ia berkata,
‘Utsman binAhmad bin As-Sammak[5] berkata,
‘Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdul Wahhab (bin)[6] Abu
Al-`Anbar[7] dengan
membacakan kepadanya dari kitabnya pada bulan Rabiul Awwal tahun 293 H. ia
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja`far Muhammad bin Sulaiman Al-Mingkari
Al-Bashri[8] di
Tinnis[9] ia berkata,
‘Telah menceritakan kepadaku Abduus bin Malik Al-AThthar[10] ia
berkata, ‘Saya mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal -Radhiyallahu
Anhu- ia berkata, ‘Ushul As-Sunnah pada kami ialah:
- Berpegang teguh kepada manhaj yang diamalkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
- Mengikuti dan meneladani mereka.[11]
- Meninggalkan bid`ah.[12]
4. Setiap perbuatan bid`ah adalah kesesatan.[13]
5. Meninggalkan perselisihan dan permusuhan (dan tidak
duduk bersama orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu).[14]
Bersambung ke Bag. 2 pada link berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/03/prinsip-prinsip-akidah-ahlu-sunnah-bag2.html
[1] Tambahan
dari Syaikh Al-Albani yang didapat dari mendengar secara akurat dari bagian
akhir risalah, dan biografinya akan disebutkan pada akhir risalah, Insya Allah Ta`ala.
[2] Yahya
bin Hasan bin Ahmad bin Al-Banna, orang Baghdad pengikut Madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal. Dia adalah seorang yang shalih lagi memiliki ilmu yang luas. Dia
meriwayatkan dari jamaah orang-orang yang berilmu, di antaranya dari bapaknya sendiri,
dan jamaah para Huffazh meriwayatkan darinya. Di antara mereka adalah Al-Hafizh
Ibnu Asakir dan Ibnu As-Sam`ani dengan melalui Ijazah (mendapat izin dan
pengakuan darinya). Ibnu As-Sam`ani berkomentar tentang Yahya bin Al-Hasan,
“Dia adalah Syaikh yang shalih, berbudi pekerti luhur, riwayatnya banyak,
akhlaknya mulia, penuh kasih sayang, tawadhu, penyantun terhadap murid-muridnya
dan sangat mencintai mereka.’” (M 353 : T 531) [Syadzaraat Adz-Dzahab
: 4/98].
[3] Abu Ali
Al-Hasan bin Ahmad bin Abdullah, pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, orang
Baghdad. Dia adalah ulama hadits, ahli qiraah, dan ahli fiqh. Orangnya sangat
zuhud, suka memberi nasehat, dan banyak menulis kitab. Dia mendengar
(mendapatkan) hadits dari jamaah di antaranya, Al-Qadhi Abu Ya`la Al-Hanbali
yang merupakan salah satu shahabat lamanya, dan banyak orang yang mengambil
(mendapatkan) hadits darinya. Adz-Dzahabi
berkomentar tentang Abu Ali Al-Hasan, “Dia adalah seorang yang alim, mufti, dan
ahli hadits.” Ibnu Syafi`I berkata, “Akhlaknya sangat mulia, wajahnya bersih,
mencintai dan menghormati ahlul ilmi, dan ia adalah seorang satrawan yang
sangat keras terhadap kelompok yang hanya mengikuti hawa nafsu saja.” [M 396 :T
481]. (Syadzaraat Adz-Dzahab 3/338) (Thabaqaat Al-Hanabilah
2/243) Siyar A~lam An-Nubala (18/380), dan lihat biografinya dalam
mukaddimah kitabnya, Al-Mukhtar Fi Ushul As-Sunnah” Tahqiq Syaikh Abdur
Razazaq bin Al-Muhsin Al-`Abbad –semoga Allah membelasnya dengan kebaikan yang
berlimpah-.
[4] Abu Al-Husain Ali bin Muhammad bin
Abdullah bin Bisyran bin Muhammad Al-Umawi Al-Baghdadi Al-Muaddal. Al-Khatib
berkomentar tentang dirinya, “Dia adalah orang jujur dan terpercaya, memiliki
jiwa kesatriaan, dan memegang kokoh agama.” [M 328 : T 415] (Tarikh Baghdad
12/98) (Syadzaraat Adz-Dzahai, Ibnu Al-Imad 3/203).
[5] Abu Amru Utsman bin Ahmad bin Abdullah bin
Yazid Ad-Daqqaq yang dikenal dengan nama Ibnu As-Sammak Al-Baghdadi. Ia
mendengar dari jamaah, di antaranya Ismail bin Ishaq Al-Qadhi, dan
Ad-Daraquthni, Ibnu Syahin, Ibnu Al-Mundzir, dan Thabaqaat (jalur periwayatan)
mereka meriwayatkan darinya. Al-Khatib berkomentar tentang dirinya, “Dia orang
yang tsiqah, shalih, dan jujur.” [T 344]. Jenazahnya diantar ke pekuburan oleh
50 ribu orang pada hari Jumat (Tarikh Baghdad 11/302) (Syadzaraat
Adz-Dzahab : 2/366).
[6] Tambahan dari naskah Syaikh Al-Albani.
[7] Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdil Wahhab
bin Abi Al-Anbar Al-Baghdadi. Ia meriwayatkan dari jamaah, di antaranya adalah
Muhammad bin Sulaiman Al-Minqari Al-Bashri, dan Abu Umar bin As-Sammak
meriwayatkan darinya. Al-Kahatib berkomentar tentang dirinya, “Ia adalah orang
yang tsiqah agamanya dan terkenal dengan kebaikan dan penguasaan haditsnya.” [T
296] (Tarikh Baghdad : 7/339).
[8] Muhammad bin Sulaiman bin Dawud Abu
Ja`far Al-Minqari, Ibnu Asakir menulis biografinya dengan riwayat jamaah yang
tsiqah darinya. (Tarikh Dimasyq : 15/385).
[9] Tinnis adalah Jazirah pada laut Mesir
dekat dari daratan antara Al-Farama dan Dimyath, dan Al-Farama berada di
sebelah Timurnya. (Mu`jam Al-Buldan 2/60 – cetakan Daar Al-Kutub
Al-Ilmiyah).
[10] Abu Muhammad Abduus bin Malik Al-Aththar.
Abu Bakar Al-Khallal berkata, “Ia mempunyai kedudukan di sisi Abu Abdullah
–yakni Imam Ahmad-. Ia memiliki kedekatan yang sangat akrab dengannya dan ia
lebih mengutamakannya. Ia mempunyai khabar yang disyarahnya
dengan panjang lebar.” Abu Ya`la berkata, “Ia meriwayatkan dari Abu Abdillah
beberapa masalah yang tidak ada yang meriwayatkannya selain dirinya.
Masalah-masalah yang tidak kami dapati semuanya kecuali sebahagian kecil pada
keseluruhan bab-bab Sunnah, yang sekiranya seseorang bepergian ke Cina untuk
mencarinya maka sungguh upayanya tesebut belum ada apa-apanya, Abu Abdullah
mengeluarkannya dan memberikannya kepadanya.” Disadur secara ringkas. (Thabaqaat Al-Hanabilah : 1/241).
[11] Dalilnya adalah firman Allah Ta`ala,
(QS. An-Nisaa : 115), dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
إِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيِرِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ
وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya
jika ada salah seorang di antara kalian yang panjang usianya, sungguh ia akan
melihat munculnya perbedaan-perbedaan yang sangat banyak. Oleh karena itu,
hendaklah kalian berpegang teguh kepada
Sunnahku dan manhaj Khulafaurrasyidin, peganglah dengan sekuat-kuatnya”,
dari hadits Al-Irbadh bin Sariah yang terkenal tersebut. (Shahih Abu Dawud
: 3851).
Begitu pula dengan sabda Rasulullah ketika
mensifati Firqah Najiah (kelompok yang selamat),
هِيَ مَا أَنَا
عَلَيْهِ اليَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“Mereka adalah yang mengikuti Sunnahku
saat ini dan para shahabatku.” Hadits hasan atau Shahih lighairihi (karena selainnya). (Lihat: Takhrijku
pada kitab Asy-Syariah, hal. 16 cetakan terbaru). Al-Iraqi –Rahimahullah-
berkata dari riwayat-riwayatnya dalam Takhrij Al-Ihya : 4/1819,
“Isnad-isnadnya baik.” Dan dikuatkan oleh Syaikh kita Al-Albani –Hafizhahullah-.
Rujuk : As-Silsilah Ash-Shahihah : 1/361, dan lihat risalah “Menghilangkan
keraguan terhadap hadits : “Sunnahku saat ini dan para shahabatku”,
karya saudara kita yang mulia Salim Al-Hilali –Hafizhahullah-.
Ibnu Mas`ud -Radhiyalklahu Anhu- berkata, “Barangsiapa
di antara kalian yang mencari panutan, maka hendaklah ia menjadikan
shahabat-shahabat Rasulullah sebagai panutan, karena merekalah yang paling baik
hatinya dari umat ini, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuk yang
didapatinya, dan paling baik kondisinya. Mereka adalah kaum yang dipilih khusus
oleh Allah untuk menyertai dan menemani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Oleh karena
itu, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka karena sesungguhnya
mereka berada dalam naungan hidayah yang lurus”, La Ba’sa bihi (tidak
ada masalah padanya). Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami`
Bayan Al-Ilmi :1810).
Ibnu `Aun berkata, “Allah
merahmati seseorang yang konsisten mengikuti atsar (jejak para Salaf)
dan ridha dengannya, walaupun hal tersebut memberatkan dan membuat mereka
susah.” (HR. Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah : 291, dan shahih sesuai
syarat dua Syaikh, Al-Bukhari dan Muslim).
Ibrahim An-Nakha`I
berkata, “Sekiranya para shahabat Rasulullah membasuh di atas kuku, saya tidak
akan mencucinya, demi mengharap dan mendapatkan keutamaan dalam mengikuti
mereka.” (HR. Ibnu Baththah 254, Ad-Darimy dan selainnya, dan ia hadits
shahih).
Umar bin Abdul Aziz
mewasiatkan kepada sebagian pegawainya seraya berkata, “Saya berwasiat kepada
kalian untuk bertaqwa kepada Allah, tidak berlebih-lebihan dalam ibadah, mengikuti
Sunnah Rasul-Nya, meninggalkan apa yang diada-adakan oleh ahli bid`ah
sepeninggalan beliau yang bertentangan dengan Sunnahnya, menghindarlah dari kesusahan
bid`ah, dan ketahuilah bahwa tidaklah seseorang melakukan perbuatan bid`ah
kecuali bahwa Rasulullah telah memberikan penjelasan akan hukum dan
kedudukannya, serta memberikan komentar tentang bahayanya. Oleh karena itu,
kamu harus mengikuti Sunnah karena sesungguhnya ia bagimu adalah pelindung dengan
izin Allah, dan ketahuilah bahwa orang yang menetapkan Sunnah, sungguh
sebelumnya telah mengetahui kebalikan dari Sunnah tersebut berupa kesalahan,
kebodohan, kepandiran, dan ketergelinciran. Sesungguhnya orang-orang terdahulu
(Salaf) senantiasa bersandar pada ilmu (dalil) dan mereka menahan diri dari
mengambil pendapat sendiri, padahal mereka sangat kuat dan antusias dalam
mencari dan meneliti kebenaran. (Shahih Sunan Abu Dawud : 4612) dan
lihat : Takhrij “Asy-Syariah” (Atsar : 292).
Imam Al-Barbahari berkata,
“Ketahuilah, semoga Allah memberkahimu, bahwa sesungguhnya keislaman seorang
hamba tidak sempurna sampai ia menjadi orang yang mengikuti (sunnah nabi),
mempercayainya, dan menerimanya. Barangsiapa yang mengklaim bahwa ada yang
tertinggal dari urusan agama yang belum dijamah oleh para shahabat Rasulullah,
sungguh ia telah mendustakan mereka. Cukuplah ia dianggap telah menjelek-jelekkan
mereka. Ia adalah seorang ahli bid`ah lagi sesat, ia adalah orang yang
mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama Islam yang sebenarnya tidak ada
dalam Islam.” (Syarah As-Sunnah, hal. 70). Beliau juga berkata (pada
halaman 20), “Hendaklah kamu berpegang teguh pada atsar-atsar, ahlu atsar,
kepada merekalah kamu harus bertanya dan merujuk, duduklah di dalam
majelis-majelis mereka, dan tuntutlah ilmu dari mereka.” Barangsiapa yang ingin
mendapatkan penjelasan lebih rinci dan panjang, silahkan merujuk ke kitab “Al-I`tisham”
karya Asy-Syathibi –Rahimahullah-. Kitab ini sangat bagus, banyak
memberi manfaat dan faedah, dan belum pernah ada kitab yang dibuat sebagus
kitab tersebut. Begitu pula kitab Ta`liq Ala Ath-Thahawiah karya Syaikh
Al-Albani, hal. 48.
[12] Sesuai dengan firman Allah Subhanahu
wa Ta`ala, (QS. Al-A`raf : 3). Juga sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Hendaklah
kalian menjauhi perkara-perkara baru (dalam agama) karena setiap perkara baru
(dalam agama) adalah bid`ah.” Hadits ini sebelumnya telah ditakhrij pada
hadits Al-`Irbadh bin Sariyah –Radhiyallahu Anhu-.
Sabda Rasulullah yang lain,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang bukan berasal
darinya, sungguh ia tertolak.” (HR.
Al-Bukhari : 2697, dan Muslim 1718) dari hadits Aisyah –Radhiyallahu Anha.
Ibnu Mas`ud -Radhiyallahu Anhu- berkata, “Hendaklah kalian menghindar
dari perbuatan bid`ah, menyeleweng, dan berlebih-lebihan,. Tetapi hendaklah
kalian berpegang teguh kepada agama.” (HR. Ad-Darimy : 1/54 dan Ibnu Baththah
dengan sanad yang shahih).
Diriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyib bahwa ia
melihat seorang laki-laki melakukan shalat lebih dari dua rakaat setelah
terbitnya fajar dengan ruku` yang banyak pada keduanya, lalu ia pun
melarangnya. Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah
akan mengadzabku karena shalat?” Ia menjawab,
“Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu karena penyimpanganmu dari
sunnah Rasulullah.” (HR. Al-Baihaqi, dan ustadz kita Al-Albani menshahihkan
sanadnya di dalam kitab Al-Irwa’ : 2/236).
Imam Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari (T :
236) berkata, “Berhati-hatilah terhadap sesuatu yang baru yang kelihatannya
sepele, karena sesungguhnya perbuatan bid`ah-bid`ah yang sifatnya kecil dan
sepele yang selalu diulang-ulang dan dibiasakan akan menjadi besar. Begitulah
yang terjadi pada umat ini, bid`ah yang banyak tersebar di tengah-tengah umat
pada awalnya adalah merupakan hal-hal sepele yang nampak seperti suatu
kebenaran, dan orang-orang yang melakukannya akan tertipu dengannya karena
menganggapnya suatu kebenaran, kemudian ia tidak dapat terlepas darinya hingga
hal tersebut menjadi agama yang diyakini adanya. Orang tersebutpun akhirnya
menyimpang dari jalan yang benar hingga membuatnya keluar dari Islam.
Perhatikanlah wahai saudaraku, –semoga
engkau dirahmati oleh Allah-, siapa saja yang kamu dengar perkataannya
khususnya orang-orang yang hidup di zamanmu, jangnlah kamu tergesa-gesa
membenarkannya, janganlah kamu mengikutinya sedikitpun sampai engkau bertanya
kepada orang yang memiliki ilmu (ulama) dan kamu merujuk kepada kitab-kitab yang shahih. Adakah salah
seorang dari shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau salah
seorang ulama yang berkata dan berkomentar berkenaan dengan perkataan orang
tersebut. Apabila kamu mendapati ada atsar (penjelasan) tentang hal tersebut
dari mereka, maka hendaklah kamu berpegang teguh kepadanya dan janganlah
melampaui batas padanya serta menyimpang darinya karena pasti engkau akan
terprosok ke dalam jurang neraka.” (Syarah As-Sunnah,
Al-Barbahari, hal. 68)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidak ada
alasan apapun yang dapat dibenarkan bagi siapapun untuk melakukan kesesatan
setelah datangnya sunnah Rasulullah, dimana ia meyakininya sebagai petunjuk.” (As-Sunnah,
Al-Marazi, hal 95)
Ibnu Wadhahah meriwayatkan dengan sanad rijal-rijal yang
tsiqah dari Abu Usman An-Nahdy, ia berkata, ”Seorang pegawai menulis surat
kepada Umar bin Khattab yang isinya menjelaskan bahwa disana ada sebuah kaum
yang berkumpul melakukan bid`ah bersama amir mereka”, Umar pun membalas
suratnya dan berkata kepadanya, ”Hadapkanlah mereka kepadaku bersamamu”,
kemudian beliau menyuruh penjaga pintu untuk menyiapkan cambuk. Ketika mereka
datang menghadap Umar, beliau pun menghukum amir mereka dengan cambuk.”
(Al-Bid’u wa An-Nahyu, hal. 26).
Inilah Imam Daar Al-Hijrah, Imam Malik,
beliau berkata, ”Barangsiapa dari umat ini mengada-adakan sesuatu yang tidak
ada pada masa Salaf, maka sungguh orang tersebut telah menuduh Rasulullah bahwa
beliau telah mengkhianati Risalah Ilahi, sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta`ala berfirman, (QS. Al Maidah: 6), sehingga perbuatan
apapun yang bukan termasuk (ajaran) agama pada saat itu maka perbuatan tersebut
juga tidak bisa dijadikan agama pada saat ini, dan umat terakhir ini tidak akan
baik kecuali berpegang teguh dengan apa yang dahulu dipegang teguh oleh para
generasi awal, generasi Salaf.”
Imam Ahmad –Rahimahullah- pernah
ditanya oleh seseorang, sembari berkata, ”Wahai Abu Abdullah, dari manakah
seharusnya aku ihram?” Beliau menjawab, ”Dari Dzul Hulaifah, dari tempat dimana
Rasulullah memulai ihram.” Orang itu kembali berkata, ”Saya ingin berihram
mulai dari Masjidil Haram dekat dengan kuburan.” Beliau berkata, ”Jangan kamu
lakukan hal tersebut karena saya khawatir kamu akan terkena fitnah.” Ia
berkata, ”Fitnah apakah yang ada pada masalah seperti ini? Sebab ini hanyalah
beberapa mil saja yang saya tambahkan.” Beliau menjawab, ”Fitnah apakah yang
lebih dahsyat dari perbuatanmu yang mencoba melebihkan sesuatu yang Rasulullah
sendiri tidak melakukannya?! Sungguh saya telah mendengar firman Allah Subhanahu
wa Ta`ala, (QS. An-Nur 63). (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr di
dalam kitab Jami’ Bayan Al-Ilmi, dan Ibnu Baththah didalam kitab Al-Ibanah
Al-Kubra : 1/261 dengan sanad yang La ba’sa bih (Tidak ada apa-apa
dengannya).
Al-Hafizh Al-Ismaily –Rahimahullah-
(T381) berkata, ”Para imam hadits berpendapat untuk menghindari bid’ah dan
dosa-dosa, mencegah terjadinya gangguan dan meninggalkan ghibah, kecuali
memperbincangkan orang yang melakukan bid`ah dan orang yang mengajak kepada
perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu, maka perbincangan tersebut bukan
termasuk ghibah menurut mereka.” (I`tiqad Aimmah Al-Hadits, hal. 78).
[13] Hadits shahih
dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduannya. Lihat : Al-Irwaa, 2455.
[14] Berdasrkan firman Allah Subhanahu wa
Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 140). Syaikh Rasyid Ridha –Rahimahullah-
berkata di dalam kitab Al-Manar : 5/463, “Termasuk pula yang dimaksud
dalam ayat di atas adalah setiap orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru
dalam agama dan setiap ahli bid`ah.” (Lihat : Tanbih Uli Al-Abshar, hal.
76).
Di
dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنَاْ عَنْهُ مَا اسْتَطَاعَ
فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَمَا يَزَالُ بِهِ حَتَّى يَتَّبِعُهُ
لِمَا يَرَى مَعَهُ مِنَ الشُبْهَاتِ
“Barangsiapa
yang mendengar tentang Dajjal maka hendaklah
ia menghindar sejauh mungkin, karena seseorang yang mendatanginya akan
menyangka bahwa ia adalah seorang mukmin, dan ia masih bersamanya sampai ia
mengikutinya karena melihat apa yang ia lakukan dari perkara-perkara syubhat.”
(HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. Lihat : Shahih Al-Jami`
: 6301).
Syaikh Ibnu Baththah –Rahimahullah- mengomentari
hadits di atas seraya berkata, “Ini adalah sabda Rasulullah, demi Allah, wahai
kaum Muslimin, janganlah seseorang di antara kalian yang terdorong karena
prasangka baiknya dan keyakinannya akan kebenaran madzhab/kelompoknya, untuk
menjerumuskan agamanya ke dalam bahaya dengan duduk bergabung bersama orang-orang
Ahlul hawa dengan beralasan bahwa, “saya bergabung dengan mereka untuk
berdiskusi dengan mereka” atau “saya akan berusaha mengeluarkan mereka dari
kelompoknya.” Ketahuilah, sungguh mereka jauh lebih berbahaya membawa fitnah
dibandingkan Dajjal! Perkataan mereka lebih kuat menghunjam dari pada kudis yang
menempel di kulit dan lebih dahsyat daya bakarnya terhadap hati dibanding api.
Sungguh saya pernah melihat sebuah jamaah melaknat dan menghina mereka di dalam
sebuah forum bersama mereka dalam rangka mengingkari dan menolak madzhab
mereka, namun mereka masih saja berlemah lembut kepada mereka, toleransi, dan tidak
mengkafirkan secara tegas, hingga mereka condong kepada mereka” (Al Ibanah
: 3/470)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa ia didatangi oleh seseorang dan
berkata kepadanya, ”Wahai Abu Hamzah, saya bertemu suatu kaum yang mendustakan
dan tidak mempercayai adanya syafaat dan adzab kubur.” Anas pun
berkata, ”Mereka adalah para pendusta, janganlah kamu duduk bersama mereka.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah : 2/448 dan sanadnya tidak ada apa-apa
dengannya).
Dari Ibnu Abbas -Radhiyallahu Anhuma-
ia berkata, ”Janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang megikuti hawa nafsu,
karena duduk bersama mereka akan membuat
hati sakit dan rusak.” (Isnadnya Shahih, (Asy-Syariah, hadits 55) dan
dikeluarkan oleh Ibnu Baththah : 619 dari jalur Al Ajiriy).
Abu Al-Jauza’ –salah seorang tokoh
senior Tabi`in- berkata, ”Sungguh saya lebih suka ditemani oleh monyet-monyet
dan babi-babi dari pada aku ditemani oleh salah seorang di antara mereka –yaitu
orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu-“ (Al-Laalikay :231, dengan sanad
yang tidak apa-apa dengannya).
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, ”Janganlah
kamu duduk bersama ahli bid’ah, karena saya khawatir kamu akan tertimpa
laknat.”
Ada dua orang dari golongan orang-orang
yang memperturutkan hawa nafsu datang kepada Muhammad bin Sirin. Lalu berkata,
”Wahai Abu Bakar, apakah kamu mau kami bacakan suatu hadits?” Ia menjawab,
”Tidak.” keduanya kembali menawarkan, ”Atau kami bacakan untukmu satu ayat dari
kitab Allah.” Ia menjawab, ”Tidak, sekarang kalian yang pergi dariku atau aku
yang pergi dari kalian.” Mereka pun keluar dan meninggalkannya. Ada beberapa
orang yang bertanya kepada Ibnu Sirin, ”Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak
mau dibacakan ayat dari kitabullah Ta’ala?” Ia menjawab, ”Saya khawatir
mereka membacakan kepadaku satu ayat yang keduanya telah merubahnya dan itu
yang tertanam dalam hatiku.” (Dikeluarkan oleh Ad Darimi : 397, dan Al-Laalikai
dengan sanad shahih).
Dari Abdur Razzaq ia berkata, “Ibrahim Ibnu Abi
Yahya berkata kepadaku, ‘Saya melihat kelompok Mu`tazilah sangat banyak pada
kalian.’ Saya menjawab, ‘Betul, dan mereka mengklaim bahwa kamu termasuk dalam
kelompok mereka.’ Ia berkata, ‘Tidakkah kamu mau masuk ke dalam kedai ini
bersamaku agar aku dapat berbicara denganmu?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Ia
berkata, ‘Mengapa kamu tidak mau?’ Saya menjawab, ‘Sesungguhnya hati itu sangat
lemah dan agama bukanlah bagi orang menang (berdebat).’” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Baththah : 401, dan Al-Laalikai : 249 dengan sanad yang shahih).
Dari Mubasysyir bin Ismail Al-Halaby ia berkata,
“Dikatakan kepada Al-Auzai, ‘Ada seorang lak-laki berkata, ‘Saya duduk bersama
ahlu sunnah dan juga ahli bid`ah.’ Al-Auzai berkata, ‘Laki-laki ini ingin
menyamakan antara Al-Haq (kebenaran) dengan kebatilan.’” (Al-Ibanah :
2/456).
Ahli bid`ah dan ahlu hawa mempunyai ciri-ciri yang dapat dikenal, di
antaranya :
1.
Suka memfitnah ahlu atsar (ahlu hadits).
Abu
Hatim Ar-Razi –Rahimahullah- berkata, “Tanda atau cirri khas ahli bid`ah
adalah selalu memfitnah dan menentang ahli hadits.” (Aqidah Abi Hatim
Ar-Razi, hal. 69).
2.
Sangat keras permusuhannya terhadap ahlu hadits dan membiarkan ahlu batil
dengan segala penyimpangannya.
Rasulullah
menjelaskan sifat mereka di dalam sabdanya,
يَقْتُلُوْنَ
أَهْلَ الإِسْلاَمَ, وَيَدْعُوْنَ أَهْلَ الأَوْثَان.
“Mereka
memerangi orang-orang Islam dan membela penyembah berhala.” (HR. Al-Bukhari
: 13/416 dalam Al-Fath, dan Muslim : hadits no. 1064).
Abu Utsman Ash-Shabuni (T.
449) berkata, “Ciri-ciri ahli bid`ah sangat jelas dan nampak, dan di antara ciri
mereka yang paling khas adalah permusuhan mereka terhadap pengusung/penolong
hadits-hadits Rasulullah, penghinaan mereka, penamaan mereka kepada mereka dengan
istilah orang bodoh, ngawur, pragmatis, dan orang yang suka tasybih. Mereka
lakukan hal tersebut karena keyakinan mereka bahwa hadits-hadits Rasulullah
sangat jauh dari ilmu pengetahuan. Sementara ilmu yang mereka dapatkan dari
setan adalah hasil dari akal mereka yang rusak, bisikan-bisikan jiwa mereka
yang gelap, panggilan hati mereka yang kosong dari kebenaran, dan hujjah-hujjah
mereka yang tidak berdasar. Mereka inilah yang akan dilaknat oleh Allah.”
(Ringkasan dari Aqidah Ashab Al-Hadits, hal. 102).
Al-Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ahmad bin
Sinan Al-Qaththan, ia berkata, ”Tidak ada seorang pun ahlu bid’ah di dunia ini
kecuali ia pasti membenci ahlu hadits. Apabila seseorang melakukan bid’ah,
sungguh ia tidak akan pernah merasakan lagi manisnya hadits di dalam hatinya.”
(ibid, hal. 103)
Abu Nahir Al-Faqih berkata, “Tidak ada yang lebih berat dan
paling dibenci oleh ahlu ilhad (para atheis/ahlu kufur) selain
mendengarkan hadits dan riwayatnya disertai dengan sanadnya.” (Ibid, hal. 104).
Abu Utsman Ash-Shabuni juga berkata, “Saya melihat ahli
bid`ah dalam memberikan gelar kepada ahlu sunnah, mereka mengikuti cara-cara
orang musyrik dalam memberikan nama dan gelar kepada Rasulullah. Ada yang
memberi gelar kepada Rasulullah sebagai tukang sihir, tukang ramal, penyair,
orang gila, orang stress, pendusta, dan ada pula yang mengatakan bahwa beliau
adalah orang yang mengada-ada. Padahal, beliau sangat jauh dan suci dari semua
aib dan tuduhan yang mereka alamatkan kepada beliau. Beliau tidak lain adalah
seorang utusan yang terpilih sebagai nabi, Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman,
(QS. Al-Israa : 48).
Demikian pula para ahli bid`ah –semoga Allah menghinakan
mereka- membuat dan menyematkan gelar-gelar kepada pendukung dan pembela Sunnah
Rasulullah, para perawi hadits, para penukil hadits yang mengikuti beliau dan
menjadikan Sunnahnya sebagai petunjuk, dengan nama-nama buruk, seperti, ada
yang memberikan gelar orang pandir, orang yang tasybih, dan lain-lain
sebagainya. Padahal, ahlu hadits sangat suci dari semua aib tersebut, mereka
bersih tanpa noda. Mereka tidak lain kecuali ahlu Sunnah yang bersinar, ahli
sejarah yang diridhai, jalan yang lurus, hujjah-hujjah yang kuat dan mendasar.
Sungguh Allah telah menganugerahkan Taufiq-Nya kepada mereka untuk dapat
mengikuti Kitab, wahyu, dan Khitab-Nya, serta dapat meneladani Rasulullah dalam
Sunnah-sunnahnya, dan menolong mereka untuk dapat berpegang teguh pada sirahnya
dan mendapat petunjuk dengan senantiasa mengikuti Sunnahnya. Di samping itu,
Allah melapangkan dada mereka untuk mencintai Rasulullah dan mencintai
Imam-imam penolong syariat-Nya, dan ulama-ulama umatnya. Siapa yang
mencintai suatu kaum ia akan bersama mereka pada hari kiamat nanti. (Disadur secara ringkas dari Aqidah
Ashab Al-Hadits, hal. 105).
3. Meminta
bantuan kepada penguasa dan pemerintah.
Karena lemahnya hujjah dan madzhab ahli bid`ah, serta
sedikitnya tipu daya mereka hingga membuat mereka meminta bantuan dalam
memenangkan ajaran mereka kepada penguasa dan pemerintah, karena di sana ada
unsur pemaksaan dan ketakutan kepada penguasa, sebab siapa yang menentang ia
akan dipenjara, dipukul, atau dibunuh. Sebagaimana yang terjadi pada Bisyr
Al-Marisy pada masa Al-Makmun dan Ahmad bin Abu Dawud pada masa Khilafah
Al-Watsiq. Mereka membuat madzhab-madzhab untuk masyarakat yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan syariat dan mereka menggiring mereka secara suka
rela atau memaksa, hingga efek negative/bahayanya menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat dan melekat dalam kurun waktu yang lama.
Jika ahli bid`ah tidak berhasil dengan ajakan dan seruannya,
mereka akan berusaha bangkit dengan bantuan pemerintah, agar peluang untuk
diterima ajarannya oleh masyarakat terbuka lebar. Itulah sebabnya banyak yang
akhirnya masuk ke dalam jalan dakwah sesat ini karena lemahnya iman sebagian
besar masyarakat muslim. (Lihat : Al-I`tisham, Asy-Syatibi : 1/220).
Bukanlah sesuatu yang aneh bagi kita apa yang diabadikan oleh
sejarah tentang malapetaka dan cobaan yang menimpa Imam Ahlu Sunnah Ahmad bin
Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan
ahlul Haq seluruhnya pada setiap zaman dan tempat.
Imam Asy-Syatibi –Rahimahullah- berkata, “Tidakkah
kamu melihat kondisi ahli bid`ah pada masa Tabi`in dan setelah masa tersebut? Sungguh
mereka berkolaborasi dengan para penguasa dan berlindung dibalik
penjilat-penjilat dunia. Adapun yang tidak mampu melakukan hal seperti itu, ia
akan bersembunyi dengan bid`ahnya dan kabur dengannya dari bermuamalah dengan
khalayak ramai, dan melakukan peruatan-perbuatan bid`ah dengan sembunyi-sembunyi.
(Al-I`tisham : 1/167).
4. Bersungguh-sungguh dan berlebih-lebihan dalam masalah
ibadah.
Ahli bid`ah menambah semangatnya dalam
bidang ibadah untuk mendapatkan penghormatan, wibawa, harta, pengaruh, dan
tujuan-tujuan lainnya yang bersifat kenikmatan duniawi dan syahwat, bahkan
untuk mendapatkan penghormatan terhadap syahwat dunia.
Tidakkah kalian memperhatikan bagaimana
para rahib di tempat-tempat ibadah mereka mengaingkan diri dari segala macam
kenikmatan-kenikamatan duniawi dan kesabaran mereka dalam beribadah, serta
kerelaan mereka menahan syahwatnya, namun walaupun demikian mereka akan tetap
kkal di neraka Jahannam. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS.
Al-Ghasyiah : -3). Pada ayat lain Allah berfirman, (QS. Al-Kahfi :
103-104). Semua itu tidak lain hanyalah kamuflase yang mereka dapatkan dari
kesungguhan dan kedisiplinan yang mereka terapkan. Mereka menganggap mudah
semua yang sulit karena disebabkan oleh hawa nafsu yang mencampuri hati mereka.
Apabila telah nampak bagi ahli bid`ah apa yang diinginkannya, ia melihatnya
sebagai sesuatu yang disukainya, lalu apakah yang menghalanginya untuk
berpegang teguh dan menambah padanya?!, sedang ia melihat dan menganggap
amal-amalnya lebih baik dari amal-amal orang lain dan keyakinannya lebih tinggi
dan lebih sempurna. (QS.
Al-Muddatstsir : 31). Disadur seara ringkas dari Al-I`tisham :
1/165.
Peringatan
!! Sungguh sebagian orang tergila-gila/terkagum-kagum dengan para ahli bid`ah
karena melihat pada mereka kezuhudan, kekhusyu`an, atau tangisan akibat
banyaknya beribadah. Sungguh hal itu bukanlah tolok ukur yang benar untuk
mengetahui yang haq. Rasulullah menjelaskan kepada shahabat-shahabatnya tentang
sifat ahli bid`ah, beliau bersabda,
يَحْقِرُ
أَحَدَكُمْ صَلاَتَهُ فِيْ صَلاَتِهِ, وَصِيَامَهُ فِيْ صِيَامِهِ
“Ia akan mengejek shalat salah seorang
di antara kalian dengan shalatnya, dan puasanya dengan puasanya…” Haditsnya telah ditakhrij
sebelumnya.
Diriwayatkan dari Al-Auzai ia berkata, “Telah sampai kepadaku
bahwa barangsiapa yang melakukan bid`ah kesesatan, setan akan membuatnya
terbiasa (suka beribadah), atau membuatnya menangis atau terlehat khusyu` agar
ia terperangkap di dalam melakukan bid`ah terus.”
*
Ciri-ciri yang paling jelas pada diri ahlu sunnah :
Yaitu apa yang dikatakan Abu Utsman Ash-Shabuni, “Salah satu
ciri dan tanda ahlussunnah adalah kecintaan mereka kepada Imam-imam ahlussunnah,
para ulama, dan penolong-penolongnya, serta kebencian mereka kepada imam-imam
ahli bid`ah, yaitu mereka yang mengajak kepada neraka Jahannam. Sungguh Allah
telah menghiasi hati orang-orang ahlussunnah dan menyinarinya dengan kecintaan
kepada para ulama sunnah sebagai suatu keutamaan dari Allah Jalla Jalaluh.”
(Ibid, hal. 107).
Dikatakan kepada Abu Bakar bin `Iyasy, “Wahai Abu Bakar,
siapakah yang dimaksud dengan sunni (pengikut sunnah)?” Ia menjawab, “Orang
yang apabila disebut hawa nafsu, ia sama sekali tidak marah dengannya.”
(Al-I`tisham : 1/114).
0 komentar:
إرسال تعليق