Sumber : Syarah Riyadhusshalihin
Syekh Shaleh al-'Utsaimin
Alih Bahasa : Idrus Abidin
Yaitu berharap agar nikmat yang didapatkan seseorang hilang
darinya, baik itu nikmat dunia atau pun nikmat agama.
Allah ta'ala berfirman (QS.An-Nisaa' : 54).
Di sini juga terdapat hadis Anas yang dibahas pada bab sebelumnya.§
(1577)[1]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ اْلحَسَدَ
يَأْكُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَاتَأْكُلُ النَّارُا
ْلحَطَبَ-أَوْقَالَ-الحَشَبَ". رواه أبودود.
1577. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, "hati-hatilah kalian dengan hasad karena
hasad menghancurkan kebaikan sebagaimana api menghancurkan kayu bakar -atau
beliau mengatakan- rerumputan" (HR.Abu Daud).
PENJELASAN.
Imam
Nawawi mengatakan dalam kitabnya Riyadhusshsholihin, bab diharamkannya
Hasad. Hasad adalah kebencian seseorang terhadap nikmat yang diberikan oleh
Allah ta'ala kepada orang lain, baik berupa ilmu atau harta atau keluarga atau
kedudukan atau yang lainnya. Hasad termasuk dosa besar dan termasuk karakter
orang-orang yahudi -Naudzu Billah- sebagaimana firman Allah ta'ala
tentang mereka (QS.Al-Baqarah : 109), Allah ta'ala juga berfirman {Ataukah
mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah Telah
berikan kepadanya?} artinya, apa-apa yang diberikan oleh Allah ta'ala
berupa karunia. {Sesungguhnya kami Telah memberikan Kitab dan hikmah kepada
keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar}(QS.An-Nisaa'
: 54). Rasulullah mengingatkan kita tentang hasad dan menjelaskan bahwa ia bisa
menghancurkan kebaikan sebagaimana api menghancurkan rerumputan -atau beliau
mengatakan- kayu bakar.
Kemudian
hasad memiliki unsur penentangan terhadap takdir Allah ta'ala, karena orang
yang dengki tidak rela dengan qadha' dan qadar Allah ta'ala. Maksudnya,
ia tidak rela Allah ta'ala memberikan orang tersebut harta atau memeberinya
keluarga atau memberinya ilmu. Makanya ditemukan padanya unsur penentangan
terhadap Qadha' dan Qadar Allah ta'ala. juga rasa dengki menjadi
bara dalam hati seseorang –Wal'iyadzu Billah-. setiap kali Allah
ta'ala memberikan nikmat kepada hambanya maka hati pun ikut terbakar -Wal
Iyadzu Billah-., di mana jika Allah ta'ala memeberikan nikmat
kepada hamba-Nya maka ia akan tampak selalu bingung dan cemberut. Hasad
bisa saja menghasilkan penentangan dan permusuhan terhadap orang yang
mendapatkan nikmat Allah ta'ala. Bahkan bisa jadi ia menebarkan kesan jelek
tentang yang bersangkutan dan mengatakan dia begini dan begitu. Bisa saja ia
salah atau benar, tetapi tujuan utamanya adalah mendengki orang tersebut akibat
nikmat yan diperolehnya. Bisa jadi permusuhan itu bentul-betul terjadi
darinya kepada saudaranya sesama muslim. Kemudian hasad tidaklah bisa menolak
nikmat Allah ta'ala terhadap hamba-Nya. Betapa pun Anda dengki dan menentang,
maka Anda tidak dapat menghalangi takdir Allah ta'ala terahadap hamba-Nya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu
Anhu, "Ketahuilah jika manusia bersatu untuk mencelakaimu maka mereka
tidak akan bisa mencelakaimu kecuali denganssuatu yang telah Allah ta'ala
tetapkan untukmu". Kalau tidak ada ketetapan dari Allah ta'ala maka mereka
tidak bisa membahayakan engkau. Seharusnya bagi orang yang menemukan rasa
dengki dalam dirinya terhadap seseorang maka hendaknya ia mempertebal
ketakwaannya kepada Allah ta'ala sambil menghina dirinya dengan mengatakan,
"Bagaimana engkau dengki terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah ta'ala
kepada orang lain?. Bagaimana engkau membenci nikmat yang dikaruniakan oleh
Allah ta'ala kepada hamba-Nya?. Ia berkata (dalam hati), "Bagaimana jika
nikmat itu diberikan kepadanya maka apa ia suka jika ada orang lain yang
mendengkinya dan menghinanya?" sambil menghina jiwanya sendiri. Juga ia
seharusnya mengatakan kepada jiwanya, "Jika engkau mendengki dan membenci
apa-apa yang dikaruniakan Allah ta'ala, maka itu tidaklah menyakiti orang yang
engkau hasad kepadanya, tetapi itu hanyalah menyakiti orang yang dengki
tersebut". Dengan hal demikianlah seharusnya ia menghina dirinya sendiri
hingga ia mampu menghilangkan hasad dari dirinya. Ketika itulah ia bisa merasa
tentram, tenang, tidak lagi cemberut, dan tidak lagi merasa dongkol. "Ya
Allah! Tunjukkanlah akhlak dan sikap yang baik kepada kami, yang tidak ada yang
mampu menunjuki kami kepadanya melainkan Engkau. Jauhkanlah sikap buruk dari
kami, sikap yang tidak ada yang saggup menjauhkannya dari kami kecuali
Engkau".
LARANGAN MEMATA-MATAI DAN MENCURI
DENGAR ORANG-ORANG YANG TIDAK SUKA JIKA DIDENGARKAN KATA-KATANYA.
Alla ta'la berfirman (QS.Sl-Hujurat : 12) juga firman
Allah ta'ala (QS.Al-Ahzab : 58).
(1578) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّْمَ قَالَ
: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ
الظَّنَّ أَكْذَ بُ اْلحَدِيْثِ، وَلَاتَحَسَّسُوْا، وَلَاتَجَسَّسُوْا،
وَلَاتَنَافََسُوا، وَلَاتَحَاسَدُوا، وَلَاتَبَاغَضُوا، وَلَاتَدَابَرُوا،
وَكُونُواعِبَادَاللهِ إِخْوَانًا كَمَاأَمَرَكُمْ اللهُ، اَلمُسْلِمُ أَخُو
اْلمُسْلِمِ، لَايَظْلِمُهُ، وَِلَايَخْذُلُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى
هَهُنَا،اَلتَّقْوَى هَهُنَا-وَيُشِيُر إِلََى صَدْرِهِ-بِحَسَبِ امْرِإٍ مِنَ
الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اْلُمْسلِمَ، كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلََى
اْلمُسْلِمِ حَرَامً : دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لَايَنْظُرُ
إِلَى أَجْسَادَكُمْ وَلَاإِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ
(وَأَعْمَالِكُمْ)" وفي رواية :
"لَاتَقَاطَعُواوَلَاتَدَابَرُواوَلَاتَبَاغَضُوا، وَلَاتَجَسَّسثوا
ولَاتَحَسَّسُوا، وَكُونُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا". وفي رواية : "لَاتَهَاجَرُواوَلاَيَبِعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ". رواه مسلم بكل هذه الروايات، وروي البخاري أكثرها.
1578.[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, "Tinggalkanlah sikap mengira-ngira karena
mengira-ngira adalah kebohongan yang nyata. Janganlah saling memata-matai,
jangan saling mencari kelemahan,, jangan saling melombai, jangan saling
mendengki, jangan saling membenci dan jangan saling memutuskan silaturahmi.
Jadilah kalian hamba Allah ta'ala yang bersaudara sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah kepada kalian.
Muslim adalah saudara bagi sesama muslim. Ia tidak menzhaliminya, tidak
menhinanya, dan tidak memAndang enteng kepadanya. Ketakwaan itu berada di sini.
Ketakwaan itu berada di sini (beliau menunjuk dadanya). Cukuplah seseorang dianggap
berbuat jelek jika memAndang hina sesamanya. Seorang muslim terhadap muslim
lainnya diharamkan : darahnya, kehormatannya, dan hartanya. Sungguh Allah
ta'ala tidak memAndang keeolokan jasmani dan penampilan kalian, tetapi Ia
melihat hati dan perilaku kalian".
Pada riwayat lain disebutkan, "Jaganlah kalian
saling membenci, saling mendengki, saling menghindari, dan saling memutuskan
silaturahmi. Jadilah kalian hamba Allah ta'ala yang bersaudara".
Pada riwayat lain disebutkan pula, "Jangan saling
berdiam dan janganlah sebagian kalian menawar barang yang sedang ditawar oleh
orang lain". Muslim meriwayatkan semua riwayat di atas. Tetapi Bukhari
meriwayatkan mayoritas hadits-hadits tersebut.
PENJELASAN.
Penulis berkata dalam kitabnya (Riyadhussholihin)
"Bab haramnya memata-matai sesama". Tajassus adalah seseorang
memata-matai saudaranya sesama muslim agar dapat menemukan aibnya, baik dengan
cara langsung dengan melibatkan diri secara langsung dalam rangka memata-matai,
dengan harapan dapat memperoleh aib maupun kelemahan, atau dengan menggunakan
alat yang dapat merekam suara, atau dengan melalui telepon. Segala sesuatu yang
membuat seseorang dapat memperoleh aib dan kelemahan saudaranya, maka semuanya
termasuk prilaku tajassus. Prilaku itu diharamkan, karena Allah ta'ala
berfirman (QS.Al-Hujurat : 12) di sini Allah ta'ala melarang tajassus.
Ketika tajassus menyakiti muslim sesamamu, maka penulis Rahimahullah
melanjutkan hujjahnya dengan ayat yang sama, yaitu firman-Nya (QS.Al-Ahzab :
58) karena prilaku Tajassus memiliki efek menyakitkan. Orang yang
dimata-matai merasakan efek itu, bahkan mengakibatkan permusuhan dan
kebenciaan, dan juga menjadikan seseorang membebani dirinya dengan sesuatu yang
tidak seharusnya ia lakukan. Anda akan menemukan orang yang suka memata-matai
orang lain –naudzu billah- kadang berada di sini dan kadang di sana. kadang melihat ke
sini dan kadang melihat ke sana.
Ia telah menyiksa dirinya demi menyakiti orang lain. Kita memohon kepada Allah
ta'ala agar menjauhkan kita dari sikap demikian. Termasuk dalam kategori ini
adalah orang yang suka memata-matai rumah orang lain. Maksudnya termasuk
kategori tajassus adalah perbuatan suka memata-matai rumah orang lain.
Ia berdiri di depan pintu untuk menguping pembicaraan orang lain kemudian
mengembangkan prasangka buruk dan tuduhan yang tidak memiliki sumber yang
jelas. Kemudian penulis mengangkat hadits Abu Hurairah radiyallahu Anhu dengan
berbagai jenis periwayatannya yang mayoritas telah kita lewati. Tetapi di
antara yang paling penting adalah "Jauhilah kalian prasangka, karena
prasangka adalah seburuk-buruknya pembicaraan". Pernyataan ini sejalan
dengan firman Allah ta'ala yang berbunyi, "Wahai orang-orang yang
beriman ! jauhilah kalian banyak dari prasangka" tetapi pada ayat ini,
Allah ta'ala hanya mengatakan, "Jauhilah
kalian banyak dari prasangka" dan tidak mengatakan "Seluruh
perasangka" karena perasangka yang dibangun di atas hal-hal yang tidak bermasalah
merupakan tabiat manusia. Jika mereka menemukan indikasi kuat yang dapat
memunculkan prasangka baik atau tidak baik maka tentu manusia akan menerima
indikasi tersebut. Dan itu tidaklah bermasalah. Tetapi prasangka yang
tidak-tidaklah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Dan beliau menjelaskan bahwa itu adalah perkataan yang paling banyak mengandung
kebohongan. Di dalamnya juga terdapat permasalahan yang belum disinggung oleh
Nabi, yaitu sabda beliau yang berbunyi, "Jadilah kalian hamba Allah
ta'ala yang bersaudara sebagaimana yangdiperintahkan kepada kalian". Maksudnya
bahwa manusia harus menjadi saudara yang benar bagi saudaranya, dengan makna
yang benar-benar sejalan dengan ukhuwwah. Ia tidak menjadi musuh baginya.
karena sebagian orang, jika terdapat interaksi dengan sesama saudaranya, lalu
timbul prasangka antara mereka berdua dalam muamalah itu maka ia memAndangnya
sebagai musuh. Ini tidak boleh. Seharusnya manusia menjadi saudara bagi
sesamanya dalam rangka berkasih sayang, saling akur, tidak menyakitinya,
berusaha membela kehormatannya dan tindakan lain yang merupakan tuntunan
persaudaraan. "Seorang muslim adalah saudara bagi sesamanya kaum
muslim. Ia tidak menzhaliminya, tidak memAndang enteng dan tidak
mendustakannya".[3]
Hadits ini juga telah kita bahas sebelumnya. Beliau berkata,"Ketakwaan
tempatnya di sini, sedang beliau menunjuk dadanya"[4]
maksudnya hati. Jika hati diliputi dengan ketakwaan, maka jasmani pun diliputi
dengan nuansa ketakwaan. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda, "Jika hati benar maka semua jasmani menjadi baik".
Sebagian orang yang Anda larang melakukan suatu perbuataan, misalnya Anda
mengatakan memotong jenggot adalah haram, maka ia mengatakan kepada Anda,
"ketakawaan tempatnya di sini". Mana ketakwaan itu ? jika hati
bertakwa maka pasti jasmani juga ikut menampakkan ketakwaan. Maksudnya, seAndainya
hati telah merasakan ketakwaan maka jasmani pun ikut menampakkan ketakwaan.
Sebagian orang Anda nasehati karena begitu panjangnya celanannya. Anda
menemukan pakaiaanya melebihi mata kaki, lalu Anda nasehati, maka ia akan
mengatakan kepada Anda, "ketakwaan tempatnya di sini". lalu mana
ketakwan itu ? jika Anda memiliki ketakwaan dalam hati Anda maka tentu Anda
menampakkan efek ketakwaan itu pada perkataan dan prilaku Anda. Karena jika hati
telah baik maka anggota tubuh pun ikut menjadi baik. Hanya saja sebagian
manusia –Naudzu billah- suka mendebat dengan cara yang bathil layaknya
orang-orang kafir. Mereka berdebat dengan kebatilan dengan maksud menghancurkan
kebenaran. Namun demikian perdebatannya yang batil itu tidaklah tersembunyi
bagi orang yang memiliki bashirah. Ia mengetahui bahwa perdebatan yang dilAndasi
kebathilan itu tidaklah memiliki dasar, bahkan ia merupakan kebathilan. Hadits
yang disebutkan oleh penulis dengan lafazhnya ini pantas dijadikan panduan
baginya dan dijadikan pedoman yang mengarahkan langkahnya serta menjadi lAndasan
yang layak untuk membangun hidup di atasnya. Karena hadits di atas mencakup
banyak prilaku yang jika manusia dapat menghindarinya maka ia akan mendapatkan
kebaikan yang begitu banyak. Hanya Allahlah yang dapat memberi kita Taufiq-Nya.
(1579) وعن معاوية رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول : إنك إناتتبعت عورات المسلمين أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم".
حديث صحيح رواه أبوداود بإسناد صحيح.
(1579)[5]
Dari Muawiyah Radhiyallahu Anhu ia berkata, "Saya pernah
menengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, "Jika Anda
selalu memata-matai kelemahan orang-orang muslim maka Anda akan merusak mereka
atau hampir saja Anda merusak mereka". Hadits Shahih, diriwayatkan oleh
Abu Daud dengan sanad yang shahih.
(1580) [6] وَعَنْ ابنِِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّهُ أُوْتِيَ بِرَجُلٍ فَقِيْلَ لَهُ : هَذَا فُلَانٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ
خَمْرًا، فَقَالَ : إِنَّا قَدْ نُهِيْنَا عَنِ التَّجَسُّسِ، وَلَكِنْ إِنْ
يَظْهَرْ لَنَا شَيْءٌ، نَأْخُذْ بِهِ. حديث حسن صحيح، رواه أبو داودبإسناد على
شرط البخاري و مسلم.
(1580) Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu
Anhu bahwa dihadapkan kepadanya seseorang, tiba-tiba ada yang
berkomentar, "Ini adalah si fulan yang jenggotnya berlumuran dengan
Khamer". Ibnu Mas'ud berkata, "Kita dilarang untuk memata-matai orang
lain, tetapi jika ada yang tampak kepada kita maka tentu kita
mempertimbangkannya". Hadits ini hasan dan shahih. Diriwayatkan oleh Abu
Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.
[1] Dhaif : Dhaiful Jami'
(2197) Dan Silsilah Ad-Dhaifah (1902) dan Dhaif Abu Daud karya Al-Albani
rahimahullah (1048)
[2] Shahih Bukhari (6064),
Shahih Muslim (2563,2564).
[3] Telah ditkhrij pada
pembahasan sebelumnya.
[4] Shahih Muslim (2564) dari
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.
[5] Shahih Al-Jami' (2295)
dan Shahih Abu Daud karya Al-Albani Rahimahullah (4088).
[6] Shahih Abu Daud karya
Al-Albani Rahimahullah (4090).
0 komentar:
إرسال تعليق