Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal
13. Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Tidaklah ia
menjadi lemah jika berkata, “Bukan makhluk.” Ia berkata, “Sesungguhnya Kalam
Allah tidaklah lebih jelas darinya, dan sedikitpun darinya bukan makhluk.
Janganlah kamu mendebat orang yang mengada-ngada padanya[1],
kelompok lafzhiyah[2]
dan selainnya, serta orang yang tidak bersikap pada masalah ini dengan
berkata, “Saya tidak tahu apakah ia makhluk atau bukan. Yang jelas ia adalah
Kalam Allah.” Ini adalah sikap ahlu bid`ah,[3] seperti
orang yang berkata, “Ia adalah makhluk.” Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah
Kalam Allah, dan bukan makhluk.[4]
14. Beriman kepada ru’yah (melihat Allah) pada hari
akhirat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dalam hadits-hadits yang shahih.[5]
15. Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah melihat Rabb-nya, dan berita ini ma’tsur dan shahih dari
Rasulullah. Diriwayatkan oleh Qatadah dari `Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan
pula oleh Al-Hakam bin Abaan[6]
dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Ali bin Zaid[7] meriwayatkannya juga dari Yusuf bin Mihran[8] dari Ibnu Abbas.[9] Kami memahami hadits ini secara zhahirnya, sebagaimana ia berasal dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan pembicaraan (perdebatan) dalam
masalah ini adalah bid`ah. Hendaklah kita beriman kepadanya sesuai dengan
zhahir haditsnya dan kita tidak memperdebatkannya lagi dengan siapa pun.
16. Beriman
kepada adanya Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits :
يُوْزَنُ العَبْدُ
يَوْمَ القِيَامَةِ فَلاَ يَزِنُ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ
“Pada har
kiamat nanti hamba akan ditimbang, dan beratnya tidak lebih dari berat sayap
nyamuk.”[10]
Pada hadits lain disebutkan :
تُوْزَنُ أَعْمَالُ العَبْدِ
“Amal-amal
para hamba akan ditimbang (nanti pada hari kiamat).”
Sebagaimana terdapat di dalam atsar,[11] dan
harus diimani dan dipercayainya.[12]
(3/12/1), serta berpaling dari orang yang membantah keberadaannya dan tidak
mengajaknya berdebat kusir.
17. Bahwa Allah Ta`ala akan berbicara dengan para
hamba-Nya pada hari kiamat nanti tanpa ada penerjemah antara Allah dengan
mereka, dan wajib mengimani dan mempercayainya.[13]
18. Beriman kepada Al-Haudh (telaga), dan bahwa
Rasulullah mempunyai telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh para
umatnya. Luasnya seperti perjalanan sepanjang satu bulan, bejana-bejananya
sebanyak jumlah bintang-bintang di langit, sesuai dengan hadits-hadits yang
shahih tanpa ada perbedaan.[14]
19. Mengimani
akan adanya adzab kubur.[15]
20. Bahwa umat
ini akan menemui fitnah kubur dan akan ditanya tentang iman dan Islam, siapa
Tuhannya? Siapa nabinya? Dan ia akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir
sesuai kehendak Allah Azza wa Jalla dan menurut yang Allah tetapkan. Dan
wajib beriman dan mempercayai peristiwa fitnah kubur tersebut.[16]
21. Beriman
terhadap adanya syafaat Rasululah, dan terhadap adanya kaum yang keluar
dari neraka setelah mereka dibakar dan telah menjadi arang, lalu mereka
diperintahkan menuju ke sungai yang terletak di pintu surga –sebagaimana
dijelaskan di dalam atsar- sesuai kehendak Allah dan menurut yang Dia telah
tetapkan. Tidak ada pilihan lain kecuali mengimani dan mempercayai hal
tersebut.[17]
22. Mengimani berita tentang Al-Masih Ad-Dajjal akan
keluar (ke bumi), dan di antara kedua matanya terdapat tulisan “Kafir”.[18]
Hadits-hadits yang menerangkan tentang masalah itu cukup banyak, dan wajib
mempercayai bahwa hal tersebut pasti akan terjadi.
23. Bahwa Isa putera Maryam Alaissalam akan turun
(ke bumi) dan membunuh Dajjal di pintu Ludd.[19]
24. Iman
meliputi ucapan dan perbuatan. Iman dapat bertambah dan berkurang[20] (13/12/3), sebagaimana dijelaskan di
dalam khabar :
أَكْمَلُ
المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang-orang
mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah mereka yang paling baik
akhlaknya.” [21]
25. (وَمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَقَدْ كَفَرَ) “Barangsiapa yang meninggalkan shalat sungguh ia telah
kafir.”[22]
Tidak ada satu amal pun yang jika
ditinggalkan akan membuat seseorang kafir selain shalat,[23] maka
barangsiapa yang meninggalkannya sungguh ia telah kafir dan Allah telah
menghalalkan untuk membunuhnya.
26. Sebaik-baik manusia dari umat ini setelah Rasulullah
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan.
Kami utamakan mereka bertiga karena demikianlah para shahabat Rasulullah
mengutamakan mereka bertiga, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka
tentang masalah ini. Kemudian setelah mereka yang tiga ini, peringkat
selanjutnya adalah para anggota syura yang lima; Ali bin Abi Thalib, Thalhah,[24]
Az-Zubair, Abdurrrahman bin Auf, dan Sa`ad. Semuanya layak menjadi khalifah dan
semuanya adalah imam. Kami akan menunjukkan sebuah hadits yang berkenaan dengan
masalah ini, yaitu hadits Ibnu Umar: “Dulu kami mengurutkan derajat tingkatan para
shahabat, padahal saat itu Rasulullah masih hidup. Peringkat urutan mereka
adalah : Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Utsman, kemudian kami diam”[25] lalu para anggota Syura, setelah itu ahlu
Badar dari kaum Muhajirin, kemudian ahlu Badar dari kaum Anshar dari para
shahabat Rasulullah, dengan berpatokan pada hijrah dan yang lebih dahulu masuk
Islam.[26]
Bersambung ke Bag 4 pada Link Berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/03/prinsip-prinsip-akidah-ahlu-sunnah-bag4.html
[1] Sesuai
dengan hadits : المِرَاءُ فِيْ القُرْآنِ كُفْرٌ “Berdebat
dalam masalah Al-Qur’an adalah kekafiran.” (HR. Abu Dawud dan selainnya.
Lihat : Shahih Al-Jami` 6687). Imam Ath-Thahawi berkata di dalam kitab Aqidah
nya, “Kami tidak pernah berpanjang lebar membahas masalah Allah, dan kami tidak
mengada-ada pada agama Allah.” Makruh yang disebutkan adalah makruh yang
diharamkan, sebagaimana yang kami sebutkan tadi.
[2]
Al-Lafzhiyah adalah orang-orang yang mengatakan bahwa lafazh Al-Qur’an adalah
makhluk. (Asy-Syari`ah, Al-Ajurri, hal. 89).
[3] Mereka
ini adalah yang disebut dengan kelompok Al-Waqifah (diam dan tidak
bersikap).
[4] Allah Subhanahu
wa Ta`ala berfirman, (QS. At-Taubah : 6), dalam ayat lain Allah Subhanahu
wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-A`raf : 54).
Ibnu `Uyaynah dan selainnya berkata,
“Al-Khalq : Makhluk Allah Tabaraka wa Ta`ala, dan Al-Amru : Al-Qur’an.”
Umar –Radhiyallahu Anhu- berkata, “Al-Qur’an adalah Kalam Allah,
janganlah kalian memalingkannya kepada pendapat-pendapat kalian.” (Hasan Li
Ghairihi- Asy-Syari`ah, (Tsa : 69).
Imam Malik berkata,
“Al-Qur’an adalah Kalam Allah Azza wa Jalla, sungguh sangat mengerikan
orang yang berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.” Orang seperti itu, menurut
Malik, haruslah dicambuk dan dipenjara sampai mati. (Diriwayatkan oleh Al-Ajuri
dengan sanad yang shahih, : 79).
Asy-Syafi`I berkata,
“Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakannya
sebagai makhluk, maka sungguh ia telah kafir.” (Ia riwayatkan di dalam Asy-Syari`ah,
90 dengan sanad shahih, dan Ibnu Baththah 2/ ق 577). Rujuk : At-Ta`liq Ala
Ath-Thahawiah, hal. 24, 38, 39, dan Al-Wasithiyyah 46 : 50.
[5] Dengan
dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya firman Allah Subhanahu wa
Ta`ala, (QS. Yunus : 26). Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menafsirkan kata الزيادة yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah
bahwa orang-orang mukmin melihat Tuhan mereka pada hari kiamat. Sebagaimana
yang terdapat di dalam hadits Shuhaib -Radhiyallahu Anhu-. (HR. Muslim,
181), dan lihat takrijnya di dalam Asy-Syari`ah, 393.
Juga
firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Qiyamah : 22-23),
dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam :
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ لاَ تُضَامُوْنَ
فِيْ رُؤْيَتِهِ
“Kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari kiamat nanti
seperti kalian bulan ini, kalian tidak terhalangi oleh apa pun dalam
melihat-Nya.” (Muttafaq Alaihi). Yakni, penglihatan orang-orang
mukmin kepada Tuhan mereka pada hari kiamat. (Al-Wasithiyyah, hal. 51).
Hadits-haditsnya mutawatir sebagaimana disebutkan oleh sekelompok ulama,
seperti Al-Hafizh di dalam Al-Fath, 1/203.
[6] Al-Hakam bin Abaan : Al-Hafizh berkata
tentang dia di dalam At-Taqrib, “Dia orang jujur dan ahli ibadah. Ia
mempunyai waham (kebimbangan).”
[7] Ali bin Zaid, ia adalah Ibnu Jud`an :
Adz-Dzahabi berkata tentang dirinya, “Ia salah seorang hafizh, dan bukan orang
yang tsabit.” (Al-Kasyif : 2/85). Imam Ibnu Katsir berkata, “Ia
mempunyai hadits-hadits munkar.” (Tafsir Ibnu Katsir : 1/299). Pada
kesempatan lain Ibnu Katsir berkata, “Ia dhaif dan gharib dalam
periwayatannya.” (Tafsir Ibnu Katsir : 1/340). Al-Hafizh berkata tentang
derajatnya di dalam At-Taqrib, “Dhaif”, dan Syaikh kami Al-`Allamah
Al-Albani berkata tentang derajatnya, “Dhaif dari segi hapalannya, dan sebagian
menghasankan haditsnya.” (As-Silsilah Ash-Shahihah : 1/524). Al-Hafizh
berkata dalam At-Tahdzib (7/324), “Muslim meriwayatkan darinya bersama
dengan yang lainnya.”
[8] Yusuf bin Mihran Al-Bashri : Al-Hafizh
berkata di dalam At-Taqrib tentang dirinya, “Tidak ada yang meriwayatkan
darinya kecuali hanya Ibnu Jud`an, haditsnya layyin”, dan Syaikh kami
sependapat dengannya mengenai derajatnya, sebagaimana terdapat di dalam Ash-Shahihah
: 5/27.
[9] Hadits ini Shahih, dan darinya pula Radhiyallahu
Anhu riwayat shahih tentang kebalikannya, ia membaca (QS. An-Najm :
11-12), ia berkata, “Beliau Shallallahu Alaihi
wa Sallam telah melihat-Nya dua kali
dengan mata hatinya.” (Mukhtashar Muslim : 83). Tidak benar bahwa Ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhuma telah menyatakan dengan terang-terangan bahwa
beliau melihat dengan mata penglihatan biasa, akan tetapi terkadang ia
menyebutkan secara umum di dalam beberapa riwayat dengan ru`yah (melihat) saja
dan pada riwayat-riwayat yang lain ia menyebutkan seara khusus dengan
menyertakan kata Fuad (mata hati), sebagaimana yang terdapat pada atsar
terakhir disebutkan di sini.
Al-Hafizh Ibnu Hajar –Rahimahullah-
berkata, “Terdapat khabar-khabar dari Ibnu Abbas yang sifatnya umum dan khusus,
maka yang umum harus disandarkan kepada yang khusus.” Ia juga berkata, “Dalam
masalah Rasulullah melihat Allah, antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan
hal tersebut dengan pendapat Aisyah yang menafikan dan menolak, keduanya bisa
dipadukan dengan menjadikan penolakan Aisyah untuk penglihatan dengan mata
biasa dan penetapan Ibnu Abbas untuk penglihatan dengan mata hati. Kemudian
yang di maksud dengan mata hati adalah penglihatan dengan jiwa bukan sekedar
tercapainya pengetahuan, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
mengetahui Allah Subhanahu
wa Ta`ala selamanya. (Fath
Al-Bari 8/474).
Syaikh kami menta`liq hadits Ibnu Abbas dalam
masalah melihat dengan mata hati dengan berkata, “Saya katakan, ‘Walaupun
hadits ini mauquf, namun yang dimaksudkan adalah bahwa beliau tidak
melihat-Nya dengan mata biasanya sehingga tidak bertentangan dengan hadits
Aisyah yang dengan tegas menafikan adanya ru’yah, sebab yang ia maksudkan
adalah melihat dengan mata biasa. Hal tersebut seperti hadits Abu Dzar, ia
berkata, ‘Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, ‘Apakah engkau telah melihat Rabb-mu?’ Beliau menjawab, ‘Cahaya
yang saya lihat.’ (HR. Muslim). Hadits ini betul bertentangan dengan hadits
Aisyah dari sisi lain, di mana Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam tentang firman Allah Ta`ala, (QS. An-Najm : 12), beliau
menjawab,
(
إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَم ......) “Sesungguhnya itu adalah
Jibril Alaihissalam..” dan sesuatu yang
tidak diragukan lagi bahwa hadits marfu` lebih diutamakan dari pada hadits
mauquf. (Mukhtashar Muslim, hal. 29, dan Ta`liq Ala Ath-Thahawiah,
hal. 27).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata, “Terdapat hadits shahih dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau telah bersabda, (رَأَيْتُ رَبِّيْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى) “Saya telah melihat Rabb-ku Tabaraka
wa Ta`ala.” Namun peristiwa itu bukan pada saat peristiwa Isra, akan tetapi
terjadi di Madinah pada saat beliau dikepung, kemudian beliau mengkhabarkan
kepada mereka bahwa beliau telah melihat Allah
Tabaraka wa Ta`ala pada malam tersebut di dalam tidurnya. Dengan
landasan inilah Imam Ahmad –Rahimahullah- berpendapat demikian seraya
berkata, “Betul, beliau telah melihat-Nya, beliau telah melihat-Nya dengan
benar, karena mimpi para nabi pasti benar.” Akan tetapi, Imam Ahmad tidak
mengatakan bahwa Rasulullah melihat-Nya
dengan mata kepala dalam keadaan sadar. Barangsiapa yang meriwayatkan darinya
seperti itu maka ia telah membuat keraguan padanya. Namun, terkadang ia
berkata, “Beliau melihat-Nya”, dan pada lain waktu ia berkata, “Beliau melihat-Nya
dengan mata hatinya”, lalu diriwayatkanlah darinya dua versi riwayat,
dan ada riwayat ketiga yang berasal dari beberapa shahabat Imam Ahmad dengan
tambahan bahwa beliau (Rasulullah) melihat-Nya dengan mata kepalanya. Padahal
nash-nash riwayat Imam Ahmad masih ada lengkap dan tidak ada sama sekali
tambahan semacam itu. (Majmu` Al-Fatawa 6/509).
[10] Hadits
Shahih, Muttafaq Alaih. Lihat : Fath Al-Bari 8/279-4829, dan
Muslim 4/2147, dari hadits Abu Hurairah marfu` :
إِنَّهُ لَيَاْتِيْ
الرَّجُلُ العَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ القِيَامَةِ, لاَ يَزِنُ عِنْدَ الله
جُنَاحَ بَعُوْضَةٍ.
“Sesungguhnya akan datang pada hari kiamat
seseorang yang tubuhnya besar dan gemuk, namun beratnya tidak melebihi berat
sayap nyamuk di sisi Allah”, lalu beliau berkata, “Hendaklah kalian membaca,
(QS. Al-Kahfi : 15).
[11] Di
antaranya adalah hadits Al-Bithaqah (Ash-Shahihah : 135). Timbangan di
hari akhirat akan digunakan untuk menimbang tiga unsur; hamba, amal-amalnya,
dan shuhuf-shuhufnya (lembaran-lembaran amal).
[12]
Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. Al-Anbiyaa: 47), dan hadits :
مَا مِنْ شَيْئٍ
يُوْضَعُ فِيْ المِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حثسءنِ الخُلُقِ
“Tidak
ada satu pun yang diletakkan di atas Mizan yang paling berat kecuali akhlak
yang baik.” (Shahih Al-Jami` 5726 – Ash-Shahihah : 876).
Juga di dalam hadits :
كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ خَفِيْفَتَانِ
عَلَى اللِّسَانِ, ثَقِيْلَتَانِ فِيْ المِيْزَانِ : سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ,
سُبْحَانَ الله العَظِيْمِ
“Ada
dua kalimat yang paling dicintai oleh Allah, sangat ringan diucapkan oleh
lisan, tetapi sangat berat timbangannya di akhirat, yaitu: Subhanallah wa
Bihamdih (Mahasuci Allah dan segala pujian bagi-Nya) dan Subhanallah Al-Azhim (Mahasuci Allah lagi Mahaagung).”
Muttafaq Alaih dari hadits Abu Hurairah, Al-Bukhari :
7563, dan Muslim : 2694.
[13] Hadits
shahih, Muttafaq Alaih. Redaksi awal hadits tersebut adalah :
مَا مِنْكُمْ مِنْ
أَحَدٍ إِلاَّ وَسَيُكَلِّمُهُ الله يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهُ تَرْجُمَان
“Tidak
ada seorang pun dari kalian kecuali pasti akan berbicara dengan Allah pada hari
kiamat, dan tidak ada penerjemah di antara ia dan Allah.” (HR. Al-Bukhari :
6539, dan Muslim : 1016), keduanya dari hadits ‘Ady binHatim –Radhiyallahu
Anhu-.
[14] Allah Ta`ala berfirman, (QS.
Al-Kautsar : 1). Terdapat beberapahadits yang shahih dan mutawatir yang
berkenaan dengan masalah ini, di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
حَوْضِيْ مَسِيْرَةُ شَهْرٍ, وَزَوَايَاهُ سَوَاءٌ, وَمَاؤُهُ
أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ, وَرِيْحُهُ أَطْيَبُ مِنَ المِسْكِ, وَكِيْزَانُهُ
كَنُجُوْمِ السَّمَاءِ, مَنْ يَشْرَبُ مِنْهُ فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا
“Telagaku
(luasnya) sepanjang perjalanan selama sebulan, sudut-sudatnya sama, airnya
lebih putih dari pada susu, baunya lebih harum dari pada parfum,
bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang di langit. Barangsiapa yang meminum
air padanya, ia tidak akan pernah merasa haus lagi untuk selama-lamanya.” (HR. Al-Bukhari : 6579, dan Muslim : 292)
dari hadits Abdullah bin Amru –Radhiyallahu Anhuma-.
Di
dalam hadits Abu Dzar yang derajat haditsnya marfu` disebutkan bahwa Rasulullah
bersabda,
وَالذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لآنِيَتِهِ –أَي الحَوْض- أَكْثَرُ
مِنْ عَدَدِ نُجُوْمِ السَّمَاءِ, وَكَوَاكِبُهَا أَلاَ فِيْ اللَّيْلَةِ
المُظْلِمَةِ المصحة, آنِيَة ُ الجَنَّةِ, مَنْ شَرِبَ مِنْهَا لَمْ يَظْمَأْ
–آخِرُ مَا عَلَيْهِ- يَشْخَبُ فِيْهِ مِيْزَابَان مِنَ الجَنَّةِ, مَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ, عَرْضُهُ
مِثْلُ طُوْلِهِ, مَا بَيْنَ عَمَّان إِلَى أَيْلَة, مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا
مِنَ اللَّبَنِ, وَأَحْلَى مِنَ العَسَلِ
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh bejana-bejananya –yaitu
telaga- lebih banyak dari jumlah bintang-bintang di langit yang bercahaya pada
malam yang gelap gulita, sebagai bejana surga. Barangsiapa yang minum padanya, ia tidak akan
pernah merasa haus lagi. Lebarnya seperti panjangnya antara Oman dan Ailah”,
airnya lebih putih daripada susu, dan lebih manis dari madu.” (HR. Muslim : 30). Lihat : At-Ta`liq
`Ala Ath-Thahawiah, hal. 30, dan riwayat-riwayat para shahabat tentang
masalah Al-Haudh (telaga) dan Al-Kautsar (nikmat yang banyak)’
telah disebutkan hadits-hadits yang berasal dari sekelompok shahabat yang
jumlahnya lebih dari 60 shahabat seputar masalah tersebut, dan sekelompok
Imam-Imam telah mengakui kemutawatiran nash-nash tersebut, di antara mereka
Imam An-Nawawi, Ibnu Abdil Barr, Al-Qurthubi, Ibnu Hajar, dan selainnya yang
jumlahnya cukup banyak.
[15] Nash-nash tentang adzab dan nikmat di
dalam kubur mutawatir juga, di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
اسْتَجِيْرُوْا
بِالله مِنْ عَذَابِ القَبْرِ, فَإِنَ عَذَابَ القَبءرِ حَقٌّ
“Hendaklah
kalian meminta perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, karena sesungguhnya
adzab kubur itu benar-benar ada (haq).” (Ash-Shahihah : 1444, 1377).
Lihat : At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 50.
[16]
Dalilnya adalah hadits Al-Barra’ bin `Azib –Radhiyallahu Anhu- dan ia
adalah hadits shahih. (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selian keduanya.
Lihat : Ahkaam Al-Janaiz : 155).
Di dalam hadits yang Muttafaq Alaih
dijelaskan :
إِنَّهُ أُوْحِيَ
أَنَّكُمْ تُفْتَنُوْنَ فِيْ القُبُوْرِ
“Sesungguhya telah diwahyukan kepadaku bahwa
kalian akan mendapat fitnah kubur.” (HR. Al-Bukhari : 86, dan Muslim : 903) dari hadits Aisyah –Radhiyallahu
Anha-.
Juga
terdapat hadits yang berbunyi :
إِذَا قُبِرَ
المَيِّتُ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ, يُقَالُ لأَحَدِهِمَا
المُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيْرُ
“Apabila
seseorang mayit dikuur, ia akan didatangi oleh dua orang malaikat yang hitam
lagi biru. Salah satunya disebut Munkar dan yang lainnya disebut Nakir.”
(Hasan – Ash-Shahihah : 1391). Lihat : At-Ta`liq `Ala
Ath-Thahawiah, hal. 50.
[17] Hadits
yang memberikan isyarat kepadanya derajatnya Muttafaq Alaih dari hadits Abu
Said. (HR. Al-Bukhari : 6560, dan Muslim : 184).
Ibnu Abi Ashim –Rahimahullah-
berkata, “Akhbar (hadits-hadits) yang kami riwayatkan dari Nabi kita
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai keutamaan yang Allah
karuniakan kepada beliau berupa syafaat dan beliau dapat memberikan syafaat
kepada orang yang diizinkan oleh Allah untuk mendapat syafaat beliau, adalah
hadits-hadits yang tsabit dan wajib diketahui hakikatnya seputar apa yang kami
riwayatkan, dan orang yang menutup-nutupinya hadits-hadits Mutawatir yang wajib
diketahui oleh semua orang adalah hukumnya kafir. Semoga Allah menjadikan kita
dan setiap orang yang mengimani adanya syafaat tersebut termasuk orang-orang
yang mendapatkan syafaat tersebut.” (As-Sunnah, hal. 385). Semua
hadits-hadits yang menjelaskan tentang syafaat derajatnya Mutawatir. Lihat : At-Ta`liq
`Ala Ath-Thahawiah, hal. 30, dan Syarahnya, hal. 229, serta
kitab Asy-Syafa`ah karangan Syaikh Muqbil.
مَا بَعَثَ الله
مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ أَنْذَرَ قَوْمَهُ الأَعْوَرَ الكَذَّابَ, إِنَّهُ أَعْوَرٌ,
وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرٍ, مَكْتُوْبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ
“Tidaklah
Allah mengutus seorang nabi kecuali nabi tersebut akan memperingatkan kaumnya
tentang bahaya orang yang bermata satu lagi pembohong. Sungguh ia (Dajjal)
bermata satu dan Allah Mahasui dari sifat bermata satu. Di antara dua matanya tertulis “Kafir”. (HR. Al-Bukhari : 7131, 7408, dan
Muslim : 933). Syaikh kami Al-Albani –Hafizhahullah- berkata di dalam
kitab At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 59, “Hadits-hadits yang
menjelaskan tentang hal tersebut semuanya mutawatir, sebagaimana diakui oleh
kebanyakan para Huffazh cendikiawan, dan saya mempunyai risalah yang membahas
tersebut. saya beri judul buku tersebut dengan nama “Qishshah Al-MAsih
Ad-Dajjal wa Nuzul Isa Alahissalam, wa Qatluhu Iyyahu”. Saya
berharap semaoga Allah memudahkan saya menjelaskan bahaya Dajjal.”
[19] Di dalam hadits An-Nawwas bin Sam`an yang
marfu` disebutkan :
غَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُنِيْ عَلَيْكُمْ, إِنْ يَخْرُجْ
وَأَنَا فِيْكُمْ فَأَنَا حَجِيْجُهُ دُوْنَكُمْ, وَإِنْ يَخْرُجْ وَلَسْتُ
فِيْكُمْ فَامْرُؤٌ حَجِيْجُ نَفْسِهِ, والله خَلِيْفَتِيْ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ
“…selain
Dajjal, saya khawatirkan terhadap kalian. Apabila ia keluar dan saya ada
bersama kalian, sayalah yang akan mengalahkannya tanpa melibatkan kalian, akan
tetapi jika ia keluar sedang saya tidak lagi bersama kalian maka setiap orang
harus menghadapinya sendiri. Sungguh Allah adalah penggantiku (dalam menjaga)
setiap muslim.” (HR. Muslim : 2136 dan selainnya).
[20] Allah Ta`ala
berfirman, (QS. Al-Fath : 4). Pada ayat lain Allah Subhanahu wa
Ta`ala berfirman, (QS. Al-Ahzab : 22), dan firman-Nya, (QS. Ali
Imran : 173).
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari riwayat Abu Hurairah disebutkan :
الإِيْمَانُ بِضْعٌ
وَسِتُّوْنَ شُعْبَةٌ, وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ
“Iman mempunyai lebih dari 70
cabang, dan sifat malu adalah bagian dari iman.” (HR. Al-Bukhari : 9, dan Muslim : 35-1/63, serta
nash-nash lainnya. Al-Bukhari menjadikannya bab tersendiri dengan nama “Bab
Bertambah dan Berkurangnya Iman. (Al-Fath : 1/127), dan lihat juga awal
kitab Al-Iman : 1/60).
Al-Hafizh menyebutkan di dalam Al-Fath
(1/63) atsar Ibnu Mas`ud :
“Ya Allah, tambahkanlah untuk kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman.” (Sanadnya dishahihkan dan dinisbatkan
oleh Imam Ahmad dalam kitab Al-Iman).
Ditanyakan kepada Ibnu `Uyaynah, “Apakah iman
dapat bertambah dan berkurang?” Ia menjawab, “Tidakkah kalian membaca
Al-Qur’an?” (QS. Ali Imran : 173). Ditanyakan lagi kepadanya, “Apakah ia
berkurang?” Ia menjawab, “Tidak ada sesuatu apapun yang bertambah kecuali pasti
ia akan berkurang.” (Dikeluarkan oleh Al-Ajuri (Tsa 120) dan sanadnya shahih).
Inilah madzhab As-Salaf,
berbeda dengan Al-Hanafiyyah dan Al-Maturudiyah, dan inilah yang paling jelas
dinukil dari pengarang kitab Ath-Thahawiah. Lihat : Ta`liq Syaikh
kami terhadap kitab tersebut, hal. 42-43).
[21] Hadits
shahih dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. (Ash-Shahihah
: 284).
[22] Hadits
shahih dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. (Shahih
At-Targhib : 564).
[23]
Abdullah bin Syaqiq –Rahimahullah- berkata, “Para shahabat Rasulullah
tidak melihat suatu amal pun yang dapat menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan
selain shalat.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya (Shahih
At-Targhib : 227/1-562).
Saya berkata, “Terdapat
penjelasan lebih rinci dalam masalah ini bagi orang yang meninggalkan shalat
karena ingkar, dan barangsiapa yang meninggalkannya karena malas tetapi meyakini
bahwa itu adalah kewajiban, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
Salaf. Lihat : Risalah Hukmi Tariku Ash-Shalat, karangan Ustadz kami
Al-Albani.” (Al-Abbasy).
[24] Syaikh
kami berkata, “Pada asalnya tidak ada dan saya dapatkan di dalam Shahih
Al-Bukhari (54/7).”
[25] Penulis
–Rahimahullah- menyambungkan sanadnya (2/14), ia berkata, “Abu Mu`awiyah
telah menceritakan kepada kami, Suhail bin Abi Shaleh telah menceritakan kepada
kami dari bapaknya dari Ibnu Umar, ia berkata, ‘..lalu ia sebutkan matan
haditsnya.’ Syaikh kami menshahihkan sanadnya sesuai dengan syarat Muslim (As-Sunnah
:1195). Imam Ibnu Katsir menukil dalam kitab Tarikhnya (7/206) seperti
itu dari riwayat Al-Bazar, kemudian ia berkata, ‘…dan ini sanadnya shahih
menurut syarat Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan mereka tidak mengeluarkannya
(Thalhah)’” !! (HR. Al-Bukhari : 36655,
dan Ibnu `Ashim (hal. 552) dan selain mereka.
[26] Hadits Shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Secara zhahir, sesungguhnya Ibnu Umar menginginkan dari penafiaan ini
adalah bahwa mereka berijtihad dalam mengklasifikasikan tingkatan keutamaan
para shahabat, dan mereka mendapati secara jelas dan meyakinkan bahwa ketiga
shahabat tersebut paling utama dibandingkan yang lain, dan mereka menguatkan
ijtihad tersebut. Pada saat itu mereka tidak menyandarkan kepada suatu nash.”
-kemudaian ia berkata-, “Imam Ahmad melihat hadits Ibnu Umar ini sebagai
sesuatu yang berkaitan dengan motivasi dalam mengurut tingkatan keutamaan
shahabat, dan ia berhujjah dalam menjadikan Ali berada di peringkat keempat
(khalifah) dengan hadits Safinah yang marfu` :
وَالخِلاَفَةُ
ثَلاَثُوْنَ سَنَةٌ ثُمَّ تَصِيْرُ مَلَكًا
“….dan Khilafah akan
berlangsung selama 30 tahun, kemudian setelah itu menjadi kerajaan.” Lihat : Al-Fath : 7/17, 54,
58 (Ash-Shahihah : 460). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Barangsiapa yang mencela dan mencemarkan kehormatan Khilafah (kepemimpinan)
salah seorang di anatara para Imam tersebut, ia lebih buruk dari pada himar
keluarganya (kaumnya).” (Majmu` Al-Fatawa: 3/153). Untuk tambahan dalam
masalah ini, lihat Syarah Ath-Thahawiah, hal. 467, 489).
0 komentar:
إرسال تعليق