Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal
7. As-Sunnah
menurut kami adalah hadits-hadits dan atsar-atsar Rasulullah Shallahu Alaihi
wa Sallam.
8. As-Sunnah
adalah tafsir (penjelas) bagi Al-Qur’an, dan ia adalah dalil (penguat) bagi Al-Qur’an.[2]
9. Tidak ada qiyas di dalam As-Sunnah.[3]
10. Tidak dapat dijadikan baginya perumpamaan.[4] Ia tidak
dapat dijangkau oleh akal dan hawa nafsu, ia hanyalah untuk diikuti dan sama
sekali tidak boleh melibatkan hawa nafsu.[5]
11. Di antara Sunnah yang pasti adalah barangsiapa yang
meninggalkan satu sifat darinya, ia tidak menerimanya dan tidak mengimaninya,
ia bukanlah termasuk ahlussunnah.
12. Beriman kepada Qadha dan Qadhar yang baik maupun yang
buruk, mempercayai hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut, dan
beriman kepadanya. Tidak boleh mengatakan, “Kenapa”, atau “Bagaimana”, tetapi
harus diyakini dan dipercayai. Barangsiapa yang tidak mengetahui tafsir (penjelasan)
hadits, namun akalnya telah sampai pada keyakinan tersebut maka sudah cukup
baginya, dan hendaklah ia beriman kepadanya dan menerima sepenuhnya, seperti
hadits :
Dan seperti apa
yang serupa dengan masalah Qadhar,[7] seperti semua hadits-hadits tentang
ru’yah (melihat Allah), walaupun asing bagi pendengaran,[8] dan ditinggalkan oleh para pendengar.
Hendaklah ia
mengimani hadits-hadits tersebut dan janganlah ia menolak sedikitpun darinya. Begitupula
hadits-hadits ma’tsur lainnya yang berasal dari orang-orang yang tsiqah
(terpercaya). Janganlah ia berselisih dengan orang lain, jangan mengajaknya
berdebat, dan janganlah belajar berbantah-bantahan, karena pembicaraan tentang
Qadhar, ru’yah, dan selainnya dari sunnah-sunnah[9] adalah
makruh[10]
hukumnya dan dilarang. Orang yang melakukannya, walaupun perkataannya benar
sesuai sunnah,[11]
tidaklah termasuk ahlussunnah sampai ia meninggalkan perbedebatan, menerima,
dan mengimani hadits-hadits tersebut.[12]
Bersambung Ke Bgian 3 pada Link Berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/03/prinsip-prinsip-akidah-ahlu-sunnah-bag3.html
[1]
Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. Ar-Rum : 31-32), dan
firman-Nya Azza wa Jalla, (QS. Ghafir : 4), dan
firman-Nya, (QS. Az-Zukhruf : 58).
Di
dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
مَا ضَلَّ قَوْمٌ
بَعْدَ هُدىً كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوْا الجَدَلَ
“Tidaklah
suatu kaum tersesat setelah mereka berada di dalam petunjuk kecuali karena
mereka melakukan perselisihan”, kemudian beliau membaca ayat ini. (Hadits
hasan, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad, Shahih At-Targhib : 137).
Di
dalam sebuah hadits dijelaskan :
أَبْغَضُ
الرِّجَالِ إِلَى الله الأَلَدُّ الخَصِمِ
“Laki-laki yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang
paling keras permusuhannya dan pertentangannya.” (HR. Al-Bukhari : 3523,
dan Muslim : 2668).
Umar
bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa yang menjadikan agama sebagai objek/tujuan
untuk bermusuhan, ia akan banyak berdebat.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimy : 304
dan Al-Ajiry (Tsa : 39) dengan sanad yag shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari
dan Muslim).
Al-Hasan
berkata kepada orang yang ingin mengajaknya berdebat, “Sungguh saya telah tercerahkan
dengan agamaku, apabila kamu hendak mensesatkan agamamu, maka itu adalah
urusanmu sendiri.” (HAsan Li Ghairihi : -Asy-Syariah (Atsar : 241)).
Dari
Ahmad bin Abi Al-Hawari, ia berkata, “Abdullah bin Al-Bisri –Orang yang
termasuk orang-orang yang khusyu`- berkata kepada saya, ‘Bukanlah sunnah menurut
kami bahwa kamu membantah orang-orang ahlu hawa, akan tetapi sunnah menurut
kami adalah bahwa kamu tidak mengajak berbicara salah seorang pun dari mereka.”
(Al-Ibanah : 2/ 471).
Dari Hanbal bin Ishaq ia berkata, “Seseorang menulis surat
kepada Abu Abdullah –yakni Ahmad bin Hanbal- di aman ia meminta izin kepadanya
untuk membuat kitab guna menjelaskan jawaban dan penolakan kepada ahli bid`ah,
dan juga untuk menghadiri pertemuan dengan ahlu Kalam Untuk mendebat mereka dan
memberkan hujjah yang kuat kepada mereka. Maka Abu Abdullah membalas suratnya
dengan menuliskan, “Bismillahirrahmanirrahim, semoga Allah memberikan
hasil yang baik bagimu dan menghindarkan kamu dari setiap kejelekan dan bahaya.
Yang kami dengar dan kami ketahui dari ahlul ilmi, bahwa mereka membenci duduk
dan berbicara panjang lebar dengan orang-orang yang menyeleweng dan menyimpang.
Namun, hendaklah urusannya dikembalikan kepada Kitabullah dan tidak melewatinya
dan orang-orang masih membenci setiap hal baru, atau duduk bersama ahlu bid`ah
karena akan mendatangkan hal-hal yang dapat mencampur adukkan dengan agama.
Yang paling selamat -Insya Allah- adalah menghindar dan tidak duduk bersama
mereka, berbicara panjang lebar bersama mereka membahas bid`ah dan kesesatan
mereka. Hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah dan melakukan apa yang dapat
mendatangkan manfaat baginya untuk hari esoknya berupa amal shalih yang ia
persembahkan untuk dirinya, dan janganlah menjadi orang-orang yang mengada-adakan
sesuatu yang baru. Apabila ia keluar darinya dengan maksud untuk memberikan
hujjah kepadanya, namun ternyata ia tidak berhasil. Lalu ia mencari hujjah lain
yang tidak lagi memperhatikan apakah sesuai dengan kebenaran atau justeru
batil, hingga akhirnya ia justeru semakin menguatkan bid`ah lawannya. Yang
lebih berbahaya lagi jika membuat hal-hal baru atas nama Kitab. Kita bermohon
kepada Allah, semoga kami, kalian dan seluruh kaum muslimin dianugerahi
Taufiq-Nya. (Al-Ibanah : 2/338)
Saya katakan, “Ini adalah bentuk mubalaghah
(hiperbola) dalam mengingkari hal-hal yang baru (bid`ah) dari Imam yang
mulia Ahmad bin Hanbal –Rahimahullah- yang sebenarnya dan yang diakui
oleh setiap ulama Islam setelahnya –menurut sepengetahuan saya- adalah bolehnya
mencetak kitab-kitab, bahkan hukumnya wajib mencetak/membuat sebagian
kitab-kitab ditinjau dari sisi maslahat
dan manfaatnya untuk menjaga lima prinsip dasar, yang pertama adalah
agama.” Muhammad `Ied Al-Abbasy.
[2] Dalilnya,
firman Allah Ta`ala, (QS. An-Nahl : 44).
Makhul dari Syam berkata,
“Al-Qur’an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada kebutuhan As-Sunnah kepada
Al-Qur’an.” (Jami` Al-Bayan Al-Ilmi, Ibnu Abdil Barr, hadits 2352, dan
isnadnya shahih).
[3]
Pernyataannya bahwa tidak ada qiyas dalam As-Sunnah, maksudnya tidak ada qiyas
di dalam masalah akidah. Nash-nash yang berbicara tentang akidah sudah final
dan tidak dapat diganggu gugat lagi karena ia tidak dapat dicapai oleh akal
semata.
[4] Di dalam
sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa ia meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam sebuah hadits “Berwudhu dengan mengenai bagian
yang terkena api”, lalu salah seorang shahabat berkata kepadanya, “Tidakkah
kamu perintahkan mereka untuk berwudhu dengan air panas?” Ia menjawab, “Wahai
saudaraku, jika saya menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah kepadamu,
janganlah kamu membuat perumpamaan padanya.” Isnadanya hasan, sesuai dengan
syarat Muslim. (HR. At-Tirmidzi : 79) dan dihasankan oleh Syaikh kami di dalam Shahih
At-Tirmidzi : 68.
Di dalam hadits Abu
Hurairah ia berkata, “Ada dua orang wanita dari daerah Hudzail yang sedang
bertengkar, lalu salah satu dari keduanya melempar yang lain hingga membuatnya
meninggal berikut apa yang ada di dalam perutnya. Lalu Rasulullah memutuskan
hukuman bagi wanita tersebut, yaitu bahwa diyat janin wanita itu adalah seorang
budak laki-laki atau perempuan, dan beliau juga menetapkan diyat untuk
perempuan terbunuh itu, dan anaknya
bersama yang lainnya mewarisinya. Kemudian Hamal bin An-Nabighah Al-Hudzaili
berkata, Wahai Rasulullah, bagaimana membayar orang yang tidak minum, tidak
makan, tidak berbicara, dan tidak menghunus (pedang), maka seperti ini ditiadakan?”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya
perkataan ini adalah perkataan saudara tukang sihir”, agar supaya bersajak
orang yang mempunyai sajak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta selain keduanya.
Lihat Takhrijnya di dalam kitab Irwaa Al-Ghalil : 2205).
Saya berkata, “Tidaklah
Rasulullah mengecamnya kecuali karena orang itu memprotes keputusan Rasulullah
dengan pendapat dan perkataannya yang mirip dengan perkataan dan sajak para
tukang sihir.”
Abu Muawiyah berbicara
tentang hadits Abu Hurairah yang berbunyi: “Adam dan Musa berhujjah” di
dalam majelis Harun Al-Rasyid. Lalu Isa bin Ja`far berkata, “Bagaimana ini, apa
di antara Adam dan Musa tidak ada perantara di antara keduanya?” Tiba-tiba
Harun lompat dan berkata, “Dia sedang membacakan kepadaku satu hadits
Rasulullah, lalu kamu memprotesnya dengan pertanyaan “Bagaimana”?!!”
Imam Abu Utsman
Ash-Shabuni berkata ketika mengomentari sikap Harun Ar-Rasyid –Rahimahullah-,
“Demikianlah seharusnya seseorang bersikap seperti itu dalam rangka
mengagungkan khabar-khabar Rasulullah. Hendaklah ia menerimanya dengan sepenuh
hati dan membenarkannya, dan hendaklah ia mengingkari dengan keras orang yang
bersikap sebaliknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Harun Ar-Rasyid –Rahimahullah-
terhadap orang yang memprotes khabar shahih yang didengarnya dengan kata
“Bagaimana” dengan maksud mengingkarinya, menjauh darinya, dan tidak
menerimanya. Sebaliknya, wajib menerima semua apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam.” (Aqidah Ashab Al-Hadits, hal. 12).
[5] Ali bin
Abi Thalib berkata di dalam sebuah hadits shahih, “Sekiranya agama itu
menggunakan akal (logika), maka membasuh bagian bawah sepatu lebih utama dari
pada membasuh bagian atasnya (saat berwudhu dalam kondisi safar).” (HR. Abu
Dawud dan selainnya. Ibnu Hazm menshahihkan sanadnya, dan Al-Hafizh
menghasankan sanadnya di dalam kitab Bulughul Maram, dan syaikh kami
menshahihkannya di dalam Al-Irwaa : 103).
Umar –Radhiyallahu Anhu-
berkata, “Para ahli ra’yu (kaum rasionalis) telah menjadi musuh Sunnah, mereka
kewalahan memahami hadits-hadits untuk mneguasainya, tetapi mereka ingin
meriwayatkannya hingga akhirnya mereka mendahulukan akalnya.” (Jami` Bayan
Al-Ilmi, dan dishahihkan oleh pentahqiqnya, hadits : 2001). Lihat : Bab
Perbedaan Antara TAqlid dan Ittiba`, dari kitab Jami` Bayan Al-Ilmi, Ibnu
Abdil Barash : 975, dan Lihat : Kitab Bid`ah At-Ta`ashshub Al-Madzhaby, Syaikh Muhammad `Ied Al-Abbasy –Hafizhahullah-.
[6] Saya
katakan, “Mungkin yang dimaksud adalah hadits Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu
`Anhu- ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
benar dan dibenarkan telah menceritakan kepada kami,
إِنَّ أَحَدَكُمْ
يُجْمَعُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً
‘Sesungguhnya
salah seorang di antara kalian berada di dalam perut ibunya selama 40 hari
sebagai nuthfah…’” (HR. Al-Bukhari : 3332, dan Muslim : 2643)
Adapun tentang beriman
kepada Qadha dan Qadhar, Allah Subhanahu wa Ta`ala telah menjelaskan
dalam firman-Nya, (QS. At-Taghabun : 2), pada ayat lain, (QS.
At-Takwiir : 28-29), juga Dia berfirman pada ayat lain, (QS. Al-Qamar :
49). Adapun di dalam hadits dijelaskan:
اِعْمَلُوْا
فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Hendaklah
kalian beramal karena setiap sesuatu dimudahkan sesuai penciptaannya.” (HR. Al-Bukhari : 4945 dari hadits Ali, dan Muslim : 2649 dari hadits
`Imran bin Hushain).
Dari Yahya bin Ya`mar ia berkata, “Orang
yang pertama kali membicarakan dan mempersoalkan masalah Qadha dan Qadhar di
Bashrah adalah Ma`bad Al-Jahni. Lalu saya dan Hamid bin Abdur Rahman Al-Humairi
berangkat hendak menunaikan ibadah haji atau umrah, dan kami berkata, “Jika
kami bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, kami akan bertanya kepadanya tentang apa yang mereka katakan
tentang Qadha dan Qadhar. Ternyata kami bertemu dengan Abdullah bin Umar bin
Al-Khattab di dalam Masjidil Haram, lalu kami mengelilingi beliau, satu di sisi
kanan dan yang lain di sisi kiri. Saya yakin shahabatku mempercayakan kepadaku
untuk berbicara, maka saya pun berkata, “Wahai Abu Abdirrahman ! telah nampak
sebelum kami orang-orang yang membaca Al-Qur’an, banyak menuntut ilmu, dan
keutamaan-keutamaan lain pada mereka, namun mereka berkeyakinan bahwa tidak ada
Qadha dan Qadhar dan bahwa perkara itu adalah masalah sepele.” Beliau berkata,
“Jika kamu bertemu dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa saya
berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku”, dan adapun sumpah
Abdullah bin Umar adalah : “Sekiranya salah seorang di antara mereka mempunyai
emas sebanyak gunung Uhud lalu ia infakkan, sungguh Allah tidak akan
menerimanya sampai ia beriman kepada Qadha dan Qadhar..” Kemudian beliau
menyebutkan hadits Umar bin Al-Khattab yang di dalamnya disebutkan bahwa Jibril bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang iman, lalu Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menjawab,
أَنْ
تُؤْمِنَ بِالله وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Bahwa kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhirat, dan bahwa kamu beriman
kepada Qadhar yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim : 8, dan
diriwayatkan oleh Ashab As-Sunan, serta dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam bab
“Perbuatan hamba-hamba diciptakan”, hal. 76 dengan redaksi seperti ini.
[7] Abu
Bakar Al-Ajurri –Rahimahullah- berkata, “Ada seseorang yang bertanya
tentang masalah Qadha dan Qadhar menurut madzhab kami, maka jawabannya sebelum
memberitahukan pandangan madzhab kami adalah bahwa kami nasehatkan kepada si
penanya dan mengajarinya, bahwa orang-orang muslim sebaiknya mencari tahu dan
meneliti tentang Qadha dan Qadhar, sebab masalah Qadha dan Qadhar adalah
sesuatu yang dirahasiakan oleh Allah Azza wa Jalla, bahkan wajib bagi
hamba-hamba Allah untuk mengimani apa yang telah ditetapkan di dalam Qadha dan
Qadhar yang baik maupun yang buruk. Kemudian seorang hamba tidak akan aman jika
ia mencari tahu dan menyelidiki tentang Qadha dan Qadhar lalu mendustakan
ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya, sehingga akhirnya ia
tersesat dari jalan yang benar.
Muhammad bin Al-Husain
Al-Ajurri –Rahimahullah- berkata, “Sekiranya bukan karena shahabat Radhiyallahu
`Anhum tidaklah sampai kepada mereka berita tentang kaum tersesat yang
berpaling dari jalan kebenaran, mereka mendustakan Qadha dan Qadhar, maka para
shahabat pun membantah perkataan mereka dan mengkafirkan mereka. Demikian pula
para Tabi`in yang memiliki keutamaan, mereka mencela orang yang
berbicara/membahas tentang Qadha dan Qadhar lalu mendustakannya. Mereka melaknat orang-orang tersebut dan melarang
duduk bersama dengan mereka. Begitupula para Imam kaum Muslimin, mereka
melarang duduk bermusyawarah dan bertukar pikiran dengan kelompok Qadariyah,
dan mereka menjelaskan kepada kaum Muslimin akan keburukan madzhab mereka.
Apabila mereka saja sudah menolak paham Qadariyah,
maka tidak pantas lagi orang-orang setelah mereka mempersoalkan masalah Qadha
dan Qadhar, tetapi seharusnya mereka beriman kepada Qadha dan Qadhar yang baik
maupun yang buruk. Apa yang telah ditakdirkan pasti akan terjadi, dan apa yang
belum atau tidak ditakdirkan pasti tidak akan terjadi.
Apabila seorang hamba melakukan amal ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla, dan ia mengetahui bahwa amal itu ditakdirkan
untuknya oleh Allah, ia bersyukur kepada-Nya. Sebaliknya, jika ia melakukan
sebuah kemaksiatan terhadap Allah, ia menyesal akan hal tersebut dan ia mengetahui
bahwa perbuatan dosa tersebut telah ditakdirkan untuknya oleh Allah, ia pun
mencela dirinya dan memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla. Inilah
madzhab orang-orang muslim, dan tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah
kepada Allah, akan tetapi hanya Allah yang akan berhujjah atas hamba-hamba-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-An`am ;149).
Kemudian, ketahuilah
–semoga kami dan kalian dirahmati oleh Allah- bahwa madzhab kami tentang Qadha
dan Qadhar adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta`ala telah menciptakan
surga dan neraka, dan tiap-tiap dari keduanya akan ada penghuninya. Allah Subhanahu
wa Ta`ala telah bersumpah akan memenuhi neraka Jahannam dari kalangan jin
dan manusia seluruhnya, kemudian Dia menciptakan Adam Alaihissalam dan
mengeluarkan darinya semua keturunannya sampai hari kiamat datang, lalu Dia
membagi mereka ke dalam dua golongan; golongan yang akan masuk ke dalam surga
dan golongan yang akan menghuni neraka. Allah Subhanahu wa Ta`ala menciptakan
Iblis dan memerintahkannya untuk sujud kepada Adam Alaihissalam, dan Dia
sudah mengetahui sebelumnya bahwa Iblis ditakdirkan untuk tidak sujud karena ia
termasuk golongan yang celaka, dan hal itu telah ditetapkan dalam ilmu Allah Subhanahu
wa Ta`ala. Tidak seorang makhluk pun yang dapat menentang keputusan-Nya dan
Dia Mahakuasa melakukan apa pun terhadap ciptaan-Nya. Rabb kita sangat adil
dalam menentukan Qadha dan Qadhar.
Allah Subhanahu wa
Ta`ala menciptakan Adam dan Hawwa Alaihimassalam, dan keduanya
diciptakan untuk menghuni bumi kelak. Lalu keduanya ditempatkan di dalam surga
dan dipersilahkan untuk memakan seluruh jenis makanan sesuka hatinya, kecuali
bahwa mereka dilarang untuk mendekati satu pohon. Namun, keduanya telah
ditakdirkan untuk durhaka dengan memakan buah pohon yang dilarang tersebut. Dia
Tabaraka wa Ta`ala secara zhahir melarang keduanya, dan secara batin
sesuai dengan Ilmu-Nya telah menakdirkan keduanya untuk memakan buah dari pohon
tersebut, (QS. Al-Anbiyaa: 23). Bukanlah bagi keduanya memakan buah tersebut
sebagai sebab kemaksiatan mereka dan bukan pula sebagai penyebab dikeluarkannya
mereka dari surga, karena keduanya memang diciptakan untuk menghuni bumi, dan
keduanya akan diampuni setelah melakukan kedurhakan tersebut. Semua itu telah
ditetapkan sebelumnya dalam Ilmu-Nya, dan tidak boleh terjadi peristiwa apa pun
pada semua makhluk-Nya kecuali telah ditakdirkan sebelumnya. Ilmu-Nya meliputi
segala sesuatu sebelum terjadi bahwa ia akan terjadi. Allah mencipta, sesuai kehendak-Nya dan untuk yang
Dia kehendaki. Dia menjadikan manusia ada yang bahagia dan ada yang celaka,
sebelum mereka dikeluarkan ke dunia. Ketika mereka masih berada di dalam perut
ibu-ibu mereka telah ditetapkan ajal mereka, ditulis rezeki mereka, dan
ditentukan amal-amal mereka, kemudian mereka dikeluarkan ke dunia. Setiap
manusia berusaha dan beraktifitas sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan
untuknya, kemudian diutuslah rasul-rasul, diturunkanlah wahyu-Nya, dan Dia
memerintahkan kepada mereka untuk menyampaikan risalah wahyu tersebut kepada
semua makhluk-Nya. Para rasul pun menyampaikan risalah-risalah Rabb mereka dan
menasehati kaum mereka. Barangsiapa yang di dalam takdir Allah akan beriman, ia
pasti beriman. Dan barangsiapa yang di dalam takdir Allah akan menjadi kafir,
ia pasti menjadi orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS.
At-Taghabun : 2).
Dia mencintai dari hamba-hamba-Nya yang Dia
kehendaki, lalu Dia lapangkan dadanya untuk menerima iman dan Islam.
Sebaliknya, Dia murka kepada yang lain, lalu Dia mengunci hati, pendengaran,
dan penglihatan mereka, hingga mereka tidak akan pernah mendapat hidayah. Dia
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberikan hidayah kepada siapa yang
Dia kehendaki. (QS. Al-Anbiyaa: 23). Semua makhluk adalah milik-Nya, Dia
Maha berbuat kepada makhluk-Nya sesuai kehendak-Nya tanpa berlaku zhalim kepada
mereka, Rabb kita Mahatinggi dari sifat zhalim. Milik Allah segala sesuatu yang
ada di langit dan yang ada di bumi, serta apa yang ada di antara keduanya dan
apa yang ada di bawah. Bagi-Nya lah apa yang ada di dunia dan di akhirat,
Mahamulia dan Mahasuci Asma’-Nya. Dia mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya
dan memerintahkan untuk melakukannya, maka berlakulah ketaatan tersebut bagi
siapa yang diberi Taufiq-Nya. Sebaliknya, Allah melarang kemaksiatan, Dia
berkehendak akan keberadaannya tetapi tidak menyukainya dan tidak
memerintahkannya untuk dilakukan. Sungguh Mahatinggi Allah Subhanahu wa
Ta`ala untuk menyuruh berbuat keji dan maksiat, atau mencintainya. Sungguh
Mahamulia dan Mahaperkasa Rabb kita bahwa terjadi sesuatu dalam Kerajaan-Nya
tanpa kehendak-Nya untuk terjadi, atau sesuatu yang luput dari Ilmu-Nya sebelum
terjadi. Sungguh Dia Maha mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk
sebelum diciptakan dan sesudah diciptakan, sebelum mereka beramal menurut Qadha
dan Qadhar. Pena telah menulis di Lauh Mahfuzh dengan perintah-Nya apa
yang akan terjadi, baik kebaikan maupun keburukan. Dia memuji hamba yang
melakukan ketaatan dan menambahkan amal tersebut padanya, serta menjanjikan
baginya pahala yang besar. Sekiranya bukan karena Taufiq-Nya, mereka pasti
tidak akan bisa melakukan amal yang membuatnya berhak mendapatkan pahala. (QS.
Al-Hadid : 21). Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta`ala mencela kaum
yang melakukan maksiat dan mengancam mereka atas perbuatan mereka tersebut,
serta menambahkan perbuatan tersebut kepada mereka. Demikianlah takdir dan
ketentuan yang berlaku atas mereka, Allah Subhanahu wa Ta`ala
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Dia
kehendaki.
Muhammad bin Al-Husain –Rahimahullahu Ta`ala-
berkata, “Inilah madzhab kami tentang masalah Qadha dan Qadhar yang ditanyakan
oleh penanya.” Disarikan dengan sangat ringkas dari kitab Asy-Syari`ah,
hal 149 dan setelahnya, dan kitab As-Sunnah karya Al-Lalikai 2/624 dan
setelahnya. Di dalam kedua kitab tersebut terdapat nash-nash yang sangat banyak
yang berkaitan dengan masalah ini, dan sebagiannya akan dikutip di sini.
[8] Hadits-haditsnya shahih, disepakati
keshahihannya. Lihat: Takhrij Asy-Syari`ah, Al-Ajurri, 25, dan Ta`liq
Ala kitab Ath-Thahawiah, hal. 26-27. Sebentar lagi akan disebutkan sebagian
darinya.
[9] Yang dimaksud sunnah-sunnah di sini
adalah masalah akidah dan apa yang berkaitan dengan masalah tauhid dan manhaj.
Orang-orang Salaf dahulu menamakan akidah dengan As-Sunnah, itulah sebabnya
ketika mereka menulis kitab-kitab mereka menamakannya dengan “As-Sunnah”,
seperti kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi `Ashim, kitab As-Sunnah
karya Abdullah bin Ahmad, kitab As-Sunnah karya Al-Maruzi, kitab As-Sunnah
karya Ibnu Syahin, dan kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
[10] Perkataannya, “Pembicaraan tentang
Qadhar……..dilarang”, yaitu berdebat pada masalah tersebut dan membahas panjang
lebar tentang tata caranya. Jika tidak, maka benarlah apa yang datang dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan shahabat-shahabatnya untuk
beriman kepadanya seluruhnya dan perkataan untuk menguatkannya. Adapun dalil
pelarangannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-Isra :
36), dan di dalam hadits shahih disebutkan:
إِذَا ذُكِرَ
القَدَرُ فَاَمْسِكُوْا
“Apabila disebut masalah
Qadhar, hendaklah kalian diam menahan diri (dari membicarakannya).” (Ash-Shahihah
: 34)
[11] Maknanya, bahwa wasilah yang digunakan
harus sesuai dengan syari`ah, yaitu menerima sepenuhnya Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dan bukan penelitian secara akal semata, sebagaimana manhaj yang
digunakan oleh Madrasah Aqliyah.
[12] Di
dalam hadits : مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى
كَانُوْا عَلَيْهِ, إِلاَّ أُوْتُوا الجَدَلِ “Tidaklah satu kaum tersesat setelah
berada di dalam petunjuk kecuali karena mereka melakukan perdebatan.”
(Hadits Hasan dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan selainnya – Shahih
Al-Jami` 5633), telah dijelaskan sebelumnya.
0 komentar:
إرسال تعليق