MUSLIM
UTUH TANPA TAHUN BARU
Oleh
: Ust. Idrus Abidin, Lc.. M.A
Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah al-Manar (STIS) Jakarta
Pendahuluan.
Kehidupan manusia di bumi ini bermula dari otoritas tauhid dan
hidayah yang dikembangkan oleh Nabiyullah Adam a.s. beserta istrinya, Hawwa.
Seiring dengan gerak zaman, mulai terjadi penyimpangan sehingga datanglah era
mitos dan zaman kegelapan. Lalu Allah mengutus kembali seorang nabi atau pun
rasul untuk mengembalikan manusia kepada agama. Demikianlah Islam memandang sejarah
kehidupan. Awalnya adalah fase agama lalu disusul oleh masa-masa mitos, di mana
masyarakat menjauh dari agama. Mereka terkungkung dalam segala bentuk tradisi,
keyakinan, dan budaya yang menyimpang.
Termasuk produk budaya sekuler yang hari ini menjadi bagian dari
komsumsi masyarakat dunia tanpa terbatasi lagi oleh sekat-sekat agama, budaya
dan keyakinan adalah perayaan momen-memen tahun baru. Masyarakat keluar ke
pantai-pantai, tempat pelesiran, hingga ke kampung-kampung dengan perasaan
bahagia dan ceria, disertai dengan kemeriahan bunyi terompet dan kilauan
kembang api. Bahkan disertai pula dengan hingar bingar konser dan alunan musik. Lalu bagaimana Islam
memandang perayaan tersebut ?
Islam, Puncak Hidayah.
Islam adalah agama yang menjadi standar kebenaran normatif.
Direkomendasikan oleh Pemiliki Alam semesta ini sebagai agama resmi di dunia dan
di akhirat. Dari sejak Adam hingga era masing-masing- nabi dan Rasul, Islamlah
yang menjadi tugas kenabian dan kerasulan mereka. Bahkan, ketika berhadapan
dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), yang juga merupakan ajaran Allah di
zamannya, tetap saja Islam yang didukung secara total dalam beragam ayat-ayat
al-Qur’an. Lihatlah surat al-Baqarah ayat 41 tentang perintah agar bani Israel
mengimani al-Qur’an dengan ikut serta melaksanakan shalat dan membayar zakat.
Juga perhatikan betapa Allah mengeritisi klaim sepihak Yahudi yang merasa tidak
akan masuk neraka kecuali beberapa hari (al-Baqarah ayat 80). Intinya, baru
sebatas surat al-Baqarah saja, Allah sudah menjelaskan sejarah penyimpangan, sikap
keras kepala dan kebobrokan ahlak Yahudi dan kaum Nasrani; baik pada zaman nabi Musa hingga yang sezaman dengan
Rasulullah Saw.
Bahkan, Rasulullah sendiri sebagai pemimpin agama terakhir ini,
dilarang keras mengikuti hawa nafsu jelek Yahudi dan Nasrani, apalagi agama
yang bukan dari kalangan ahli kitab. Jika langkah-langkah Yahudi dan Nasrani
ini dikuti oleh Rasulullah, padahal sudah jelas pengarahan Allah kepadanya,
Allah mengancam tidak akan lagi menjadi pengarah, penunjuk, penasihat (wali)
dan penolong (nashir) bagi Rasulullah. Sebuah bahasa keras yang bernada
ancaman. Pantaslah Allah senantiasa menegaskan, “Masuklah ke dalam Islam
secara total dan jangan sekali-kali mengikuti langkah-langkah syetan. Karena
setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah: 208)
Artinya, sebagai muslim yang benar kita harus merasa puas dan
merasa cukup dengan aturan dan pengarahan Islam. Kita tidak boleh merasa rendah
diri dengan tradisi dan budaya yang telah diajarkan secara langsung oleh Allah
dan rasul-Nya. Bahkan, seharusnya kita merasa bangga dengan status keislaman
dan semua ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Larangan Menyerupai Agama dan Budaya Lain
Karena Islam merupakan standar mutlak kebenaran, muslim dilarang
menyerupai tradisi yang ada di luar Islam. Karena sikap meniru budaya dan
tradisi agama lain akan mengakibatkan lahirnya rasa kasihsayang dan kecintaan
kepada sang pemilik kebudayaan tersebut. Padahal, Islam melarang kita
berkasihsayang dengan pihak-pihak yang memusuhi Islam. (Lihat QS al-Mujadilah
ayat 22). Terkait tahun baru, minimal ada beberapa alasan yang bisa dijadikan
dasar penolakan, misalnya :
·
Perayaan tahun
baru menjadi sarana mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil.
·
Mengandung
propaganda yang mengarahkan kepada kekufuran, kesesatan dan fermisivisme.
·
Merayakan tahun
baru berarti meniru tradisi dan budaya non muslim. Padahal, Rasulullah telah melarang kita meniru tradisi non Muslim.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud. Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil
no. 1269)
·
Bahkan
dari sejak awal Rasulullah menegaskan keharusan berislam dan mewanti-wanti akan
adanya generasi yang merasa rendah diri sehingga mudah mengikuti tradisi agama
lain tanpa sikap kritis. Beliau pernah menginformasikan, “Kiamat tidak akan
terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah,
“Apakah mereka itu mengikuti tardisi Persia dan Romawi?” Beliau
menjawab, “Kalau bukan mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
·
Melakukan
amalan tanpa ada tuntunan dan petunjuk dari Islam. Padahal Rasulullah
menegaskan, “Barang siapa yang mengada-adakan
amal dalam agama ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
·
Terjerumus
dalam perzinahan. Betapa malam tahun baru seringkali dimanfaatkan oleh muda
mudi, bahkan orang-orang yang sudah berkeluarga sebagai peluang untuk
berhubungan seks dengan pasangan yang tidak halal. Padahal, peluang perzinahan
ini senantiasa terbuka sekali pun manusia tidak terlibat dalam percampuradukan
antara lelaki dan perempuan (ikhtilat). Rasulullan bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina
dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah
dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan
berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah
dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu
kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR.
Muslim no. 6925)
·
Mengganggu
ketertiban umum. Dalam Islam, wilayah publik adalah ruang yang tidak boleh
begitu saja digunakan tanpa izin dari masyarakat umum. Makanya, Rasulullah
melarang ummatnya sering nongkrong di pinggir jalan. Apalagi, pada malam tahun
baru, suara-suara keras terompet hingga suara bising petasan begitu menggema. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang
sebagaimana sabda Rasulullah, “Seorang muslim adalah mereka yang lisan dan
tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no.
41)
·
Melakukan pemborosan. Padahal Allah Swt.
telah berfirman, “Dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros
itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. al-Israa’: 26-27)
·
Merayakan tahun
baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangat dibutuhkan untuk hal
yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi telah memberi nasehat
mengenai mutu dan kualitas keislaman seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang
adalah kemampuannya meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR.
Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan Tirmidzi). Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu
yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun
baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah
kepada Allah. Itulah hakikat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang
menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela dalam firman-Nya,“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu
dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah
tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir : 37).
Reformasi Budaya
Pada saat Rasulullah memimpin peradaban Islam di Madinah, beliau
melakukan langkah-langkah reformasi di segala bidang. Termasuk di antaranya
penegasan status amalan islami tanpa ada unsur keserupaan dengan budaya dan
kebiasaan non muslim. Hal ini bisa dilihat pada bebarapa kasus berikut :
·
Disyari’atkannya
makan sahur. Kalangan ahli kitab juga diwajibkan pada zamannya untuk puasa.
Namun puasa mereka tidak disertai dengan anjuran makan sahur. Makan sahur
sebelum puasa murni sebagai ciri khas ajaran Islam sebagai upaya membedakannya
dengan tradisi Yahudi dan Nasrani. Rasulullah bersabda, “Pembeda antara
puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah dalam hal makan sahur.” (HR.
Muslim no. 1096)
·
Dianjurkannya
mencukur kumis dan memelihara jenggot agar bisa menyelisihi tradisi kaum
musyrikin. Sabda Rasulullah, “Selisihilah orang-orang musyrikin: cukurlah kumis dan
peliharalah jenggot”. (HR. al-Bukhari, no. 5553 dan Muslim, no. 259)
·
Larangan menjadikan
kuburan para pembesar sebagai tempat ibadah (masjid). Sabda Rasulullah, “Ketahuilah,
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para nabi dan
orang-orang Saleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian
menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya saya melarang kalian
dari hal tersebut”. (HR. Muslim no. 532)
·
Peralihan
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.
·
Penetapan idul
fitri dan idul Adha sebagai hari raya resmi kaum muslimin dan pelarangan terhadap
perayaan lain seperti perayaan tahun baru. Anas bin Malik bercerita, “Ketika Rasulullah
Saw. tiba di kota Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka rayakan tiap
tahun dengan beragam perlombaan, maka Rasulullah Saw. bertanya “Dua hari apakah
ini?”, mereka menjawab: “Kami dahulu sering mengadakan perlombaan pada kedua hari itu di masa jahiliah. Beliau
bersabda, “Sungguh Allah Swt. telah menggantikan hari raya kalian itu dengan
dua hari raya yang jauh lebih baik, yaitu hari raya idul fitri dan hari raya
idul adha.” (HR. Ahmad)
Dengan beberapa contoh tersebut, makin jelas bagi kita urgensi
mengenal dan komitmen dengan produk budaya kita sendiri. Selain beberapa bentuk
reformasi sistem ibadah tersebut di atas, juga perlu adanya pemahaman seputar
penanggalan dan penetapan waktu dalam tradisi Islam. Jika non muslim menetapkan
standar penanggalan berdasarkan perputaran matahari maka Islam menjadikan siklus
bulan sebagai standar penanggalan. Bedanya, bulan memiliki perbedaan besar kecil
setiap malam sehingga mudah ditebak tanpa harus melihat kalender. Bedanya lagi,
jika pada sistem matahari, jam 00.00 ditetapkan pada pukul 24.00, maka
peralihan tanggal dan istilah pagi mulai dari tengah malam. Pantas kalau jam 1
malam disebut sebagai awal jam pertama. Semantara dalam Islam, awal pergantian
tanggal dimulai dari waktu magrib. Sehingga jam 00.00 Islam adalah pas pukul 18.00.
Seharusnya, berdasarkan aturan Islam, pukul 19.00 baru jam 1 dalam perhitungan
waktu keislaman. Belum lagi ditambah dengan kalender hijriah dan pemahaman
makna hari dalam Islam. Dalam Islam, hari ahad adalah hari pertama. Bukan akhir
pekan seperti yang dipahami masyarakat hari ini. Semua itu perlu reformasi
pemahaman dan sikap dari kita kaum muslimin. Sehingga keislaman kita menjadi
utuh tanpa tercampur budaya lain yang jelas-jelas menyelisihi budaya asli
Islam. Wallahu a’lam.
0 komentar:
إرسال تعليق