Syubhat Rasional Seputar Ketinggian Zat Allah dan Jawabannya.
By. Idrus Abidin.
Sebelum
menjawab syubhat rasional yang menjadi basis penolakan terhadap
keyakinan bahwa Allah bersemayam secara zat di atas Arasy, perlu
ditegaskan bahwa kaum muslimin berkonsensus bahwa Allah menyandang
atribut kesempurnaan sehingga pantas dipuji (tahmid) dan bebas dari
indikasi/unsur kelemahan serta kekurangan (tasbih). Makanya Allah
harus disucikan dan dipuji sekaligus. Hanya saja, terjadi perbedaan
perspektif terhadap ketinggian Allah secara zat ini.
Bagi
kalangan Salaf, menegaskan (itsbat) makna tekstual ketinggian Allah
secara zat tidak berpretensi buruk dan tidak menimbulkan konsekwensi
tasybih dan tajsim, seperti banyak dituduhkan pihak-pihak tertentu.
Makanya, mereka menegaskan ketinggian Allah secara zat, selain
ketinggian Allah secara posisi, martabat, keagungan dll. Namun, grup
studi teologis lainnya menafikan makna ketinggian zat tersebut dan hanya
mengakui ketinggian posisi (uluwul manzilah), martabat (uluwul makanah
wal martabah) dan kedudukan Allah ta'alaa (uluwul asy-Sya'n). Mereka
menganggap, menegaskan ketinggian Zat bagi Allah menimbulkan aroma
kemiripan dengan atribut makhluk (tasybih). Belum lagi konsekwensi
logis bernuansa buruk (lawazim aqliyah mazmumah) seperti menganggap
Allah berfisik (jism), bertempat (tahayyuz), menyandang arah tertentu
(jihah) dan berkonotasi pembatasan terhadap keagunganNya (mahdud). Tentu
Allah maha suci dari atribut demikian. Karena kalau Dia berfisik
berarti Allah terdiri dari beragam unsur dan beberapa bagian (tarkib).
Jika terbagi dan berunsur berarti saling membutuhkan. Jika Allah
bertempat berarti Allah terbatas. Bila Allah bersemayam berarti Dia
bertempat. Jika bertempat berarti Dia butuh kepada tempat. Sejak dulu
Allah ada tanpa tempat, maka pastinya Dia kondisiNya sekarang seperti
dulu yang tak bertempat itu.
Jawaban untuk syubhat rasional beraroma filosofis dan dialektik ini adalah :
Bahwa
kita sepakat kalau Allah harus disucikan dari segala bentuk kekurangan
dan semua indikasi kelemahan (tanzih). Termasuk memahasucikan Allah dari
kemiripan dengan makhluk (tasybih). Kita hanya berbeda sikap pada
cakupan dan batasan dari prinsip tanzih ini. Menurut kami, dalam hal ini
minimal terdapat 3 kecenderungan. 2 terhitung ekstrim dan hanya 1
kelompok yang moderat (washatiyah).
A.
Kelompok ekstrim yang menolak secara total atau sebagian besar
identitas dan atribut (sifat) ketuhanan Allah dg menggunakan konsep
tanzih ini hingga tarap maksimal. Bahkan, mereka menolak keras agar
Allah jangan pernah diidentifikasi berdasarkan karakteristik keberadaan
(wujud) atau kehidupan (hayat). Ketika ditanya seputar karakteristik
Allah, mereka menggunakan terminologi penafian/peniadaan secara total
dalam jawabannya. Mereka akan berkata, "Allah tidak perlu diidentifikasi
ada atau tiada. Dia bukanlah sifat ('ardh) dan bukan pula perangkat
(Jauhar), tidak hidup dan tidak mati." Dengan jawaban tersebut, kelompok
ekstrim ini menganggap dirinya terhindar dari sikap menyerupakan Allah
dengan makhluk (tasybih). Padahal, sadar atau tidak, mereka terjatuh
dalam sikap yang jauh lebih buruk; mengeliminasi teks-teks syari'at
(muatthhilah) dari makna dasarnya. Bahkan sebelum itu juga, mereka
terperosok dalam kubangan ahli tasybih (musyabbihah); karena
mengkategorikan Allah sebagai zat yang tidak jelas keberadaanNya
(mumtana'at), tak ada eksistensiNya (ma'dumat) dan mustahil wujudNya
(muhalat)
B. Kelompok
ekstrim lain yang menghapus prinsip kesucian Allah (tanzih) dari
berbagai kekurangan. Sehingga, mereka menyerupakan Allah dengan makhluk
secara total atau pada bagian-bagian tertentu. Mereka berani mengatakan,
"Tangan Allah seperti tanganku dll."
Kelihatannya,
kelompok inilah yang pantas disebut mujassimah (menganggap Allah
berfisik seperti makhluk) juga musyabbihah (menyerupai makhluk). Bahkan,
kalangan ahlul Sunnah Atsariyah menganggap kelompok ini sebagai
mujassimah dan musyabbihah sekaligus.
C.
Kelompok Moderat. Inilah kecenderungan umum ulama Ahlu Sunnah
Atsariyah. Mereka menegaskan dan menetapkan karakteristik/atribut bagi
Allah dengan tetap menafikan keserupaan dengan makhluk (tasybih). Sikap
inilah yang ditegaskan oleh ayat yang mensucikan Allah dari beragam
kekurangan secara umum yang berbunyi ; Laisa kamitslihi syai (tidak ada
yang serupa dengan Allah), sekaligus menegaskan penetapan atribut Allah
secara spesifik dengan firmanNya : wahuwa as-Sami' al-'Alim (Dialah yang
maha mendengar dan maha melihat). Kelompok Moderat ini mengamalkan ayat
tersebut secara sempurna. Adapun kedua kelompok ekstrim sebelumnya,
mereka hanya mengamalkan separuh ayat. Yang pertama menafikan identitas
dan atribut Allah secara total atau sebagian, sebagaimana bagian awal
ayat. Lalu lalai dari penetapan sifat-sifat Allah secara detail, sebagai
mana yang ada di akhir ayat. Sedang kelompok kedua, menegaskan
identitas dan atribut Allah secara total (sebagai mana yang ada di ujung
ayat) tanpa mengindahkan ayat pensucian (tanzih) yang ada di awal
ayat.
Sebagai
konsekwensi dari jalur moderat yang dipilih Ahlu Sunnah Atsariyah,
mereka kemudian menetapkan batasan penafian (tanzih) dan penegasan
(itsbat) secara proporsional (moderat). Atribut dan karakteristik
(sifat) ketuhanan Allah tetap ditegaskan sebagaimana yang Allah dan
rasulNya informasikan. Namun, indikasi keserupaan dengan makhluk tetap
dinafikan sedemikian rupa. Seperti menegaskan bahwa Allah bersemayam
tapi tidak seperti layaknya manusia. Allah juga memiliki pendengaran
namun tidak seperti pendengaran makhlukNya. Allah juga mengetahui tapi
tidak seperti pengetahuan makhluk. Demikianlah prinsip akidah yang
diimani oleh para sahabat, tabi'in dan kalangan berikutnya. Imam Ishaq
bin Rahaweh (Rahuyah) menegaskan, "Tasybih itu terjadi jika ada yang
mengatakan ; tangan Allah seperti tanganku. Atau telingaNya seperti
telingaku. Itulah tasybih sepenuhnya.
Adapun jika
dia mengatakan, tangan, pendengaran dan pandangan tanpa menunjukkan
unsur kaifiah dan tanpa menyebut kata-kata seperti, tentu hal demikian
bukan tasybih."
Nuaim bin
Hammad al-Khuzai selaku guru senior imam Bukhari rahimahumullah
menjelaskan metode moderat ini dengan berkata, "Siapapun menyerupakan
Allah dengan makhlukNya tentu sudah kafir. Namun, siapa pun
menafikan/mengingkari karakteristik/atribut yang Allah sandangkan untuk
diriNya juga sudah termasuk kalangan kafir. Sedangkan atribut dan
identitas yang Allah sandangkan untuk diriNya, demikian pula rasulNya;
bukanlah tasybih". Karenanya, bukanlah tasybih jika ada yang menegaskan
ilmu Allah selama ilmu yang dimaksud sesuai dengan kemuliaanNya.
Kemampuan yang setara dengan keagunganNya. Kehendak yang sepadan dengan
kehebatanNya. Bersemayam setarap dengan kebesaranNya. Tasybih itu
terjadi jika ada yang berkata, ilmuNya seperti pengetahuan kita.
KemampuanNya serupa dengan kemampuan kita. Adapun jika sifat ketuhanan
Allah ditegaskan sebagaimana Allah dan rasulNya sendiri menegaskannya
dengan tetap menafikan kemiripan atau menegaskan sisi perbedaan antara
keduanya; tentu itu bukanlah tasybih sama sekali.
Konsekwensi Logis-Rasional Beraroma Buruk dan Jawabannya.
Adapun
tuduhan bahwa menegaskan makna lahiriah teks-teks Qur'an dan Sunnah,
termasuk Allah bersemayam di atas Arasy akan berefek pada indikasi Allah
berfisik (jism), bertempat (tahayyuz) dan berarah (jihah) dll, maka hal
seperti ini bisa dijawab secara global dan secara komprehensif
(total/terperinci) seperti berikut :
1. Jawaban global.
Yang
jelas Allah menggambarkan bahwa diriNya bersemayam di atas Arasy;
sangat tinggi dan terpisah dari seluruh makhluk. Tentu kami sangat
menerima dg penuh kepercayaan dan keimanan terhadap informasi tersebut.
Namun kami diam terkait konsekwensi logis-rasional yang dipertimbangkan
kelompok teologis lain. Konsekwensi logis-rasional tersebut tidak
menjadi pembahasan dan pertimbangan kami karena hal demikian tidak
disinggung oleh syariat sama sekali. Bahkan, syariat diam dan tidak
membahasnya sedikit pun. Dalam syari'at, kita tidak menemukan penegasan
(itsbat) atau penafian (nafy) terhadap istilah fisik, arah, tempat,
keterbatasan dll terkait dengan atribut dan karakteristik Allah. Tentu
mendiamkan hal-hal yang didiamkan dan tidak dipertimbangkan oleh syariat
jauh membawa keselamatan dan kemaslahatan akidah dan ibadah; terutama
pemikiran dan peradaban serta persatuan kaum muslimin.
2. Jawaban Komprehensif.
Jawaban
model komprehensif ini merinci secara total konsekwensi rasional buruk
yang dituduhkan. Seperti, jika fisik yang Anda maksud adalah zat yang
bangkit dengan sendiriNya dan sangat mandiri serta tidak butuh pada
makhlukNya maka tanpa ragu kami katakan, itulah yang kami tegaskan dan
kami dukung. Bahkan pendapat seperti itu kami promosikan dalam setiap
tulisan, propaganda dan keyakinan kami. Kami hanya tidak menggunakan
istilah fisik. Karena istilah itu tidak kami temukan dalam penuturan
syari'at. Namun jika yang dimaksud fisik adalah bagian-bagian tertentu
yang saling membutuhkan maka makna seperti itulah yang kami tidak bisa
terima dan kami nafikan secara maksimal. Hanya saja, kami tetap meyakini
bahwa menafikan makna fisik seperti itu tidak harus menafikan
identitas ketinggian Allah secara zat. Bahkan kami memandang pendapat
antum bahwa meyakini Allah berada secara zat di atas Arasy menimbulkan
konsekwensi rasional buruk berupa indikasi fisik, tempat, arah dan
keterbatasan; itu semua berawal dari sikap kalian sendiri yang
menganggap keyakinan seperti itu sebagai bentuk menyerupakan Allah
dengan makhlukNya (tasybih). Artinya, bersemayamNya Allah di atas Arasy
kalian tuduh sebagai sama dengan perilaku makhluk. Lalu antum simpulkan,
semua yang bersemayam pasti berfisik, sedang Allah tidak berfisik; jika
demikian, Allah berarti bukan fisik dan tidak berfisik. Menurut kami,
dasar berpikir demikian tidak tepat karenanya hasilnya pun menurut kami
salah. Allah kan zat unik yang tidak mungkin ada makhluk apa pun yang
setaraf dengan diriNya. Karenanya, bersemayamNya tidak akan mungkin
pernah mirip apalagi serupa dengan makhluk.
Selanjutnya,
pendapat yang mengatakan bahwa menetapkan makna istiwa berarti
menetapkan arah (jihah) dan karenanya membatasi keagungan Allah pada
arah tertentu. Maka, kami menegaskan bahwa istilah arah (jihah) juga
tidak dianggap dan tidak disebut serta tidak dipertimbangkan oleh Qur'an
dan Sunnah sedikit pun. Karenanya, istilah seperti itu kami harus
eksplorasi maksudnya. Jika makna jihah di sini adalah tempat keberadaan
yang berkategori makhluk, tentu Allah harus disucikan hal demikian.
Allah jelas-jelas tidak mungkin bereinkarnasi (hulul) dengan makhluk apa
pun sehingga berujung pada keyakinan wahdatul wujud. Kemudian, jika
yang dimaksud arah di sini adalah sekedar identifikasi tempat yang tidak
berkonsekuensi pembatasan; tentu makna demikian didukung dan diterima
oleh kami, Ahlu Sunnah Atsariyah. Namun, dg keyakinan demikian kami
tidak merasa melanggar dan menyelisihi kebenaran paten yang sudah kokoh
sebelumnya dan juga meyakini tidak ada konsekwensi buruk berupa
pembatasan terhadap keagunganNya. Bahkan, menegaskan makna seperti ini
termasuk konsekuensi logis rasional positif, seperti yang kami jelaskan
pada status FB ini sebelumnya.
Istilah
pembatasan (had) pun tidak kami temukan dalam teks induk syariat.
Penegasan dan penafiannya sama sekali tak disinggung oleh Allah dan
rasulNya. Jadinya, kami harus mempertanyakan dulu maksud si pembuat
istilah ini. Jika maksud dari menafikan arah adalah bahwa Allah tak
terbatasi oleh makhluk dan tidak bereinkarnasi padanya, tentu makna
demikian tak bermasalah. Itu adalah istilah netral yang tak perlu
didebat dan dipersoalkan. Jika makna yang dimaksud adalah bahwa manusia
terbatas dan tidak mungkin mengenal Allah secara total, tentu ini juga
pemaknaan yang tepat. Namun jika yang dimaksud dengan menafikan batasan
di sini adalah bahwa Allah tidak berpisah dari makhluk dan tidak
independen darinya; tidak di dalam atau di luar alam, maka kami anggap
ini pernyataan orang yang sedang mengigau (hadzayan), ngawur dan rada
miring (gila). Tentu makna seperti ini kami tolak mentah-mentah. Bahkan,
pernyataan demikian sangat menafikan keberadaan dan zat Allah
sekaligus. Makanya, pernyataan demikian mengidentifikasi Allah dengan
atribut ketiadaan; sama sekali tidak mengindikasikan dan menyisakan
ruang bagi keberadaan Allah. Abdullah bin Mubarak rahimahullah pernah
ditanya, dengan cara apa kami bisa mengenal Allah ?, Maka beliau
menjawab, "Bahwa Allah bersemayam di atas Arasy dan terpisah dari
makhlukNya." Setelah itu, masih ada yang minta penjelasan tambahan,
dengan berkata; 'dengan pembatasan tertentu (bihadd) ? Maka, beliau
menjawab, "Ia. Tentunya dengan pembatasan yang hanya diketahui oleh
Allah sendiri. Dan, seperti dimaklumi bersama bahwa tidak ada siapa pun
yang mampu mengetahui ilmu Allah secara komprehensif (total)."
Dengan
penjelasan ini, kami berharap tuduhan musyabbihah dan mujassimah yang
sering dituduhkan ke Ahlu Sunnah Atsariyah bisa berkurang. Bahkan klo
perlu, bisa diminimalisir sedemikian rupa agar terjadi rekonsiliasi
antar Mazhab teologis Ahlu Sunnah di Indonesia, terutama antara
Asy'ariyah dan Atsariyah. Harapannya, energi kita tidak habis oleh
sesuatu yang bersifat ijtihad; mana yang paling mewakili persfektif
utama referensi Islam (orisinil) dan mana yang terpolusi oleh pemikiran
luar (dakhil/syubhat). Minimal penjelasan kami ini bisa menetralisir
kesalahpahaman dan optimis bisa membangun jembatan kolaborasi untuk
saling memahami dan bersama-sama bergandengan tangan memajukan bangunan
peradaban Islam. Sekali pun sadar sepenuhnya, jurang perbedaan
senantiasa ada. Namun tak perlu diperluas dan diperdalam. Pluralisme
agama: No. Pluralisme Kelompok internal Islam: Yes. Wallahu a'lam.
Depok, senin, 24 Februari 2020.
0 komentar:
إرسال تعليق