Makna Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Manusia. (Konsep Kausalitas dalam Islam)
By. Idrus Abidin.
Sebelumnya
telah disinggung posisi tengah Ahlu Sunnah, khususnya kalangan
Atsariyah dalam tema qadha dan qadar ini. Namun, secara singkat, setelah
memahami asma wa sifat versi Atsariyah, ditemukan tahapan takdir
berikut :
1. Keyakinan
penuh bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum berwujud secara real
di dunia nyata. Inilah konsekwensi nama Allah al-Aliim (maha
mengetahui). Pengetahuan yang mencakup semua masa; lalu, sekarang dan yg
akan datang. Juga mencakup semua tempat dan semua makhluk. Bahkan,
pengetahuan itu diwujudkan dalam sebuah progres 50.000 tahun sebelum
kejadian.
2. Pencatatan
semua perencanaan kejadian di papan khusus yang terjaga (Lauh Mahfudz)
dengan baik di sisiNya. Hal ini berdasarkan firman Allah di QS al-An'am
ayat 38, Yasin ayat12, az-Zukhruf ayat 4, al-Buruj ayat 22 dll.
3.
Kehendak Allah yang pasti terjadi, tanpa batasan apapun. Semua
kehendakNya pasti terjadi. Semua yang tidak diinginkan pasti tak
terjadi. Kejadian dan semua peristiwa di semesta ini takkan bisa terjadi
tanpa izinNya. Inilah yang ditolak para pengingkar taqdir dari kalangan
Qadariah.
4. Penciptaan
segala sesuatu dengan penetapan sejumlah ketetapan (taqdir). Ini
ditentang pula oleh Qadariah. Argumentasi mereka, perbuatan makhluk yang
bersifat pilihan ditentukan sendiri oleh mereka; bukan ketentuan Allah.
Ahlu Sunnah meyakini, manusia dan potensi perbuatan mereka diciptakan
oleh Allah. Sedang pemberdayaan potensi perbuatan tersebut tetap
perbuatan manusia sendiri sesuai izin dan perkenaan Allah Ta'ala. Jadi,
muslim menjadi muslim karena izin dan Taufik dari Allah setelah mereka
berusaha untuk itu sesuai dengan perintah Allah. Karena ini perintah
Allah yg dilakukan dengan ikhlas; Allah pun ridha dengan
perbuatan-perbuatan tersebut. Sedang kafir menjadi kafir karena izin
Allah tanpa taufikNya. Karena kekafiran dilarang dan dibenci oleh Allah.
Makanya, diizinkan sekaligus dibenci Allah. Diizinkan sebagai bentuk
pemberian kebebasan terbatas sekaligus sebagai ujian yang akan
membuktikan keaslian dan Trac record manusia; apakah mereka memilih
kebaikan atau dengan sadar memilih keburukan.
Terkait masalah ketetapan takdir, terdapat beberapa bentuk :
A. Hidayah yang bersifat umum untuk semua Mukallaf berupa akal, kecerdasan, pengetahuan mendasar (fitrah).
B. Hidayah berupa petunjuk umum yang dianjurkan oleh para nabi dengan berbekal kitab suci.
C. Hidayah Taufik yang bersifat spesifik untuk kalangan beriman. Inilah tangga awal hidayah pribadi.
D. Hidayah akhirat berupa surga Allah taala.
Tingkatan
hidayah ini berurutan sedemikian rupa. Jika yang pertama bermasalah,
tentu susah untuk berlanjut ke tahap berikutnya. Hidayah berupa taupik
hingga masuk surga bukanlah otoritas manusia. Mereka, hanya bisa
berusaha dan berdoa tanpa punya kemampuan menjamin terjadinya hidayah
Taufiq, karena hal itu murni di bawah otoritas mutlak Allah Ta'ala. Di
sini, kelompok Qadariah merasa, manusialah yang memilih sendiri semua
itu, termasuk hidayah Taufiq dan hidayah masuk surga. Naudzubillah dari
gagal paham seperti ini.
Ahlu Sunnah tetap meyakini perlunya melakukan usaha maksimal sekalipun mereka meyakini ketetapan takdirNya.
5.
Adanya kemudahan dari Allah sesuai pilihan manusia. Jika memilih
petunjuk, Allah akan memudahkan mereka melaksanakan perintah yang
potensial menyampaikan mereka ke surga. Bagi yang memilih penyimpangan,
hal itu akan memudahkan mereka menuju neraka. Semua dimudahkan sesuai
pilihan mereka masing-masing. Bahkan, karena pengetahuan Allah
menyeluruh, Allah pun sudah mengetahui siapa penduduk surga dan penduduk
neraka; sebelum manusia tercipta. Tapi pengetahuan Allah tersebut tidak
menghilangkan kebebasan manusia. Seperti langit dan bumi yang mengitari
manusia dan mereka tidak mungkin bisa keluar darinya. Tapi, bumi dan
langit sendiri tidak pernah memaksa manusia berdosa atau taat kepada
Allah. Manusia tetap berada pada frekwensi kebebasan dan pilihan mereka
masing-masing.
Dilema Kelompok Menyimpang.
1. Qadariyah.
Mereka
menolak ketetapan taqdir. Bahkan sebagian mereka menafikan pengetahuan
Allah yang bersifat azali. Tidak menerima Lauh Mahfudz yang memuat
ketetapan takdir sebelum terciptanya langit dan bumi 50.000 sebelumnya.
Mereka menyangka manusia bebas secara mutlak dengan kemampuan menentukan
sendiri hidayah Taufiq dan masuk surga untuk dirinya sambil berkata,
kebaikan dari Allah sedang keburukan dari pihak lain (selain Allah).
Dengan ini mereka seperti Majusi yang menyakini adanya 2 otoritas
ketuhanan; tuhan cahaya dan tuhan kegelapan. Mereka juga menafikan
hidayah khusus Allah kepada orang beriman dengan meyakini bahwa hidayah
itu sama saja bagi mukmin maupun kafir. Mereka juga berkata, Allah tidak
mampu memberi hidayah kepada orang-orang tersesat, tidak bisa
menyesatkan orang-orang yang sudah beriman. Naudzubillah.
Pendapat
Qadariyah inilah yang diadopsi oleh beberapa UIN di Indonesia melalui
tokoh-tokoh Muktazilah plus seperti Harun Nasution dan jaringannya. Ulil
Abshar dan semua pengasong liberalisme Islam. Termasuk Abdul Aziz,
penulis Disertasi seputar hubungan seksual halal di luar jalur
pernikahan. Dikemas dengan penelitian akademik, bahasa ilmiah santun
hingga mengecoh umumnya Ahlu Sunnah di Indonesia. Mereka
termuktazilahkan tanpa sadar karena terkesima oleh istilah mentereng
rasionalitas, ilmiah, progresif, dll. Padahal, itu semua penyimpangan
yang berbaju akademik. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, kekafiran
yang dipakaikan istilah-istilah Islam. Untunglah, lewat lembaga studi
pemikiran Insist, penyimpangan tersebut dikritisi secara ilmiah dan
dikembalikan kepada rel yang benar. Walillahilhamd.
Catatan :
Sebuah
pelajaran penting yang perlu dikembangkan dalam dunia dakwah adalah,
kebenaran bisa tertolak karena kesalahan cara dan metode penyampaian.
Sementara keburukan bisa digandrungi karena metode yang tepat. Syi'ah
termasuk memanfaatkan hal ini dengan taqiyah. Sementara ahli Sunnah
Atsariyah sudah tepat secara pemikiran, hanya saja dikotori oleh sikap
melampaui batas (ghuluw). Ujungnya merasa paling benar dan seolah
mengkapling surga. Label bid'ah disebar secara serampangan. Akibatnya,
kebenaran tertutupi oleh egoisme. Tidak siap menerima kebenaran dari
kelompok lain; bahkan sekalipun sesama Ahlu Sunnah. Alhamdulillah,
kelompok demikian tidak dominan. Walaupun suara mereka nyaring,
senyaring toko liberal seperti Ulil Abshar dan Ade Armando. Masih
dominan kelompok ahli Sunnah Atsariyah yang tetap santun seperti umumnya
kalangan Al-Irsyad, Wahdah Islamiah, dll. Sikap over kepedean tentu
tercela di manapun kelompok mereka berafiliasi. Karenanya Rasulullah
mengarahkan potensi penyimpangan seperti demikian dari anak muda yang
qiyamullail tanpa waktu tidur. Ibadah tanpa mau menikah. Puasa tanpa mau
berbuka. Karena semua itu ketidakseimbangan yang menyalahi sikap
moderat Islam.
2. Jabariyah.
Adalah
kelompok yang menyatakan manusia tidak punya pilihan. Semuanya telah
ditetapkan oleh takdir Allah; dosa maupun taat. Tidak dibedakan antara
wilayah pilihan manusia atau hal yang memaksa. Mereka itulah pengikut
Jahmiah (Jaham bin Safwan).
Posisi Tengah Ahlu Sunnah.
Ahlu
Sunnah berposisi moderat dengan membatasi kebebasan manusia pada
wilayah usaha. Sementara masalah seputar hidayah taufik dan hidayah
surga diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Manusia hanya bisa berdo'a
setelah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti perintah Allah dan
menjauhi laranganNya dengan modal keikhlasan.
Faktor Utama Penyimpangan.
Dalam
masalah takdir ini, yang menjadi pemicu utama kesalahan adalah
ketidakmampuan kelompok Qadariah dan Jabariah membedakan kehendak Allah
terhadap alam (iradah kauniyah) dan kehendak Allah yang bersifat
ketetapan syari'at (iradah syar'iyyah). Mereka menyamakan antara
kehendak mutlak Allah (iradah) dengan kecintaanNya (mahabbah). Atau
dengan kata lain, mereka menyamakan kehendak (masyi'ah) dengan keridhaan
Allah (ridha). Mereka pun mengira Allah tidak menghendaki kekafiran dan
kemaksiatan dan sekaligus tidak senang padanya. Bagaimana mungkin, kata
mereka, Allah menciptakan perbuatan manusia yang mengandung kekufuran
dan kemaksiatan. Mereka meyakini, sikap tersebut sebagai upaya
memahasucikan Allah dari kezhaliman. Padahal, sikap mereka itulah yang
zhalim dalam memahami Allah.
Sementara
itu, kalangan Jabariah mengira Allah sang pencipta segala sesuatu
sekaligus mencintai dan meridhai semua perbuatan; maksiat maupun taat.
Ini juga akibat dari kegagalan memahami fakta sebenarnya dari al-Qur'an
dan as-Sunnah.
Catatan :
Setiap
kelompok teologis merasa sedang memahasucikan Allah dengan sikap mereka
masing-masing. Tapi, yang benar hanya yang sesuai dengan generasi
terbaik; Rasulullah, sahabat dan kalangan tabi'iin.
Dua Bentuk Kehendak Allah.
1. KehendakNya terhadap alam semesta (iradah kauniyah).
Yaitu
kehendak mutlak Allah terhadap alam semesta tanpa ada pilihan bagi
mereka untuk menolak. Di sini, tidak ada istilah taat dan maksiat. Tidak
ada pula kaitannya dengan keridhaan dan kecintaanNya. Di sini yang
penting adalah KehendakNya berupa masyi'ah. Karena Alam ini hanya
perangkat yang tidak sedang dalam masa ujian keimanan, layaknya manusia
dan jin. Inilah makna keimanan kita kepada qadha dan Qadar; yang baik
maupun yang buruk. Itulah yang Allah kehendaki kepada kita. Kita hanya
mengimaninya dan bersyukur jika baik serta bersabar jika buruk.
2. KehendakNya berupa aturan syariat (agama).
Inilah
ketetapan agama yang mengatur perintah dan larangan. Disinilah Kehendak
Allah terkait dengan kecintaan (mahabbah) atau kemarahan (ghadab).
Sekalipun Allah tidak menyukai kekafiran beserta semua turunannya, tidak
berarti Allah tidak membiarkannya terjadi. Itu juga tidak berarti,
pembiaran Allah terhadap kemaksiatan berarti ada sesuatu yang
menghalangi KehendakNya. Tidak, Allah membiarkan maksiat terjadi
sekalipun Dia tidak ridha, hanya sebatas pemberian kebebasan sementara
dan terbatas selama manusia berada dalam lingkup ujian (dunia). Karena
kalau tidak demikian, ibadah dengan sejumlah syaratnya tidak akan
terwujud secara sempurna. Seperti, harapan dan rasa takut kepada Allah
yang disertai kecintaan kepadaNya. Jika Allah tidak biarkan maksiat
terjadi, maka dunia ini jadi surga; bukan lagi tempat ujian. Jika Allah
mengadili ahli maksiat secara langsung tanpa jeda seperti sekarang;
misalnya, bagi yang berdosa langsung tuli atau buta. Maka, manusia
ibadah bukan lagi karena cinta, tapi murni karena rasa takut. Hilanglah
keikhlasan yang menjadi substansi utama ibadah. Dengan hikmahNya, Allah
biarkan maksiat terjadi sekalipun tidak senang agar Trac record keaslian
manusia terlihat dengan jelas; mana yang taat dan siapa yang maksiat;
dalam kebebasan mereka masing-masing. Sehingga neraka bagi yang
menyimpang; pantas mereka peroleh. Sedang surga bagi yang taat; berhak
mereka miliki.
Kehendak
inilah yang diinginkan Allah dari kita, sehingga kita harus taat
melaksanakan perintah dan sabar menghindari larangan. Itulah tujuan
dasar keberadaan manusia di bumi ini.
Efektivitas Iman Terhadap Qadha' dan Qadar.
Dengan
konsep keimanan seperti ini wujudlah sikap ketaatan penuh kepada Allah
Ta'ala. Manusia menerima dg ikhlas semua perintah. Menghindari semua
larangan dengan perasaan lapang dada. Mengesakan Allah dengan sejumlah
nama dan sifatNya. Semua itu mewujudkan kebaikan ummat dan berpotensi
menyatukan mereka dalam shaf kebenaran. Sekaligus menyelamatkan pribadi
muslim dari jalur penyimpangan.
Keimanan
terhadap qadha' dan Qadar ini tampak sangat jelas pada diri manusia
dalam hal tawakkal dan permohonan bantuan kepada Allah (isti'anah). Dan,
sikap mereka yang sangat fokus demi meminta pertolonganNya
(istigasah/isti'anah). Tatkala manusia menyadari bahwa semua kejadian di
alam ini telah ditetapkan. Ajal sudah dibatasi, rezeki sudah terbagi.
Dan bahwa mereka harus segera memenuhi pengarahan syari'at ilahi dalam
melaksanakan perintah dan menjauhi semua bentuk larangan. Dunia yang
serba sementara ini tidak lagi menipunya. Dia pun bersungguh sungguh
melewati jalan jihad tanpa ragu. Dengan ucapan, syahid atau menang;
Karena keduanya dambaan mukmin sejati. Modal keyakinan seperti inilah
yang menggerakkan kaum muslimin melawan imperium Persia dan Romawi.
Shaf-shaf jihad mereka tembus dan berkata kepada lawan, cinta kami
kepada syahid melampaui cinta kalian kepada kehidupan. Ketika Ibnu
Taimiyah mengomentari QS al-Insan ayat 30, beliau menegaskan, "Allah
menegaskan 2 kehendak sekaligus; KehendakNya dan kehendak hamba. Allah
juga menegaskan bahwa Kehendak hamba tetap berada dalam kendali Allah."
Beliau juga menerangkan, "Mengandalkan usaha (sebab) termasuk syirik
yang menciderai tauhid. Sedang tidak menganggap dan tidak mengakui
fungsi usaha (sebab) termasuk kerancuan dan kesalahan rasio.
Meninggalkan usaha (sebab) yang dianggap dan diperintahkan syar'iat juga
menciderai syari'at itu sendiri. Karenanya, hati hamba harus selalu
mengandalkan Allah; bukan terpesona terhadap fungsi usaha. Allah akan
mengatur fungsi usaha yang berefek pada perbaikan dunia dan akhirat.
Jika usaha tersebut telah diatur dan memang diperintahkan oleh Allah,
dia melaksanakannya dengan penuh tawakkal; ketika kewajiban itu
dilaksanakan. Tatkala sedang menghadapi musuh, menenteng senjata,
memakai pakaian perang; tidak cukup dengan tawakkal tanpa melakukan
hal-hal yang dianjurkan agar bisa memenangkan jihad. Siapa pun tidak
berusaha sesuai dengan perintah maka dia tergolong orang lemah, tercela
dan lalai."
Sikap Mukmin Terhadap Takdir.
Ibnu
Taimiyah menulis, "Hamba memiliki 2 kondisi terhadap ketetapan alam
(iradah kauniyah). Kondisi dan sikap sebelum terjadinya ketentuan takdir
dan sikap setelah terjadinya. Sebelum terjadinya takdir dan kajadian
alam hendaknya ia terus memohon bantuan Allah dan tawakkal kepadaNya
sambil banyak berdoa. Jika takdir alam terjadi di luar kendalinya maka
hendaknya ia bersabar atau menerima dengan lapang dada. jika termasuk
dalam kategori usahanya; dan itu baik maka dia bersyukur dan memuji
Allah. Jika itu terhitung dosa maka harusnya ia Istighfar. Dalam hal
aturan dan perintah syari'at (iradah syar'iyyah) juga terdapat dua
kondisi. Saat sebelum terjadi dia harus berazam untuk melaksanakan
perintah tersebut disertai permohonan kemudahan dari Allah (isti'anah).
Dan masa setelah kejadian berupa Istighfar atas segala kekurangan dan
bersyukur atas nikmat kebaikan yang diberikan padanya."
Berargumen dengan Takdir dalam Maksiat.
Qadariyah
dengan kesimpulannya menyerupai Majusi karena menegaskan adanya pihak
lain yang mengadakan keburukan di luar Kehendak, kekuasaan dan
penciptaan Allah. Sedang Jabariah mirip dengan kaum pagan yang berkata,
kalau Allah mau, tentu kami tidak melakukan kesyirikan bersama nenek
moyang kami". Mereka inilah yang beralasan dengan takdir dalam
melagalisasi maksiat. Bahkan mereka juga menghapus tugas kehambaan
(taklif) dengan alasan takdir; persis seperti kalangan kaum kafir.
Mereka menolak pengarahan nabi yang datang untuk menyampaikan perintah
dan larangan Allah.
Intinya,
keimanan kepada masalah takdir berarti kesiapan melaksanakan perintah,
menghindari larangan dan sikap lapang dada terhadap ketentuan alam
semesta yang terjadi (sabar).
Takdir Tertutup dan Takdir Terbuka.
Takdir
yang masih bersifat rahasia (tertutup) adalah ketetapan alam yang
Allah takdirkan terjadi pada diri kita yang harus diimani dalam konsep
kepercayaan kepada qadha dan Qadar; yang baik maupun yang buruk. Di
sini, rasio kita menyerah tanpa mampu mengerti rahasia ini. Cukuplah
sikap menerima dg penuh kesabaran.
Sedang
takdir yang sudah dibukakan rahasianya oleh Allah kita jadikan bukti
penguat akan kehebatan Allah yang luar biasa. Akhirnya, tiada kata yang
pantas kita sebutkan Kecuali, tiada apapun yang Engkau ciptakan yan
tidak berhikmah yaa Allah. Didiklah hamba menuju cinta dan ridhaMu.
Kerena itulah kenikmatan terbesar di dunia akhirat. Aamiin.
Turki, 10 November 2019.
Diolah dari kitab an-Naz'ah al-Maddiyah fi al-Alam al-islami, karya Adil at-Tall.
0 komentar:
إرسال تعليق