SEPUTAR RASIONALISME
Penulis : Prof.
Dr. Abdul Rahman Bin Zaid As-Zunaidi
Sumber : As-Salafiyah
Wa Qadhaya Al-Ashr (Salaf Dan Isu-Isu Kontemporer)
Alih Bahasa :
Idrus Abidin
Rasionalisme
merupakan fokus utama tema penelitian pada hari ini dari para pengagum dan
pengeritiknya, sebagai upaya untuk membesar-besarkan persoalan ini, sekaligus
menyeru kalangan intelektual kepadanya. Bahkan ada yang meratapinya –dari
penentangan yang tidak rasional dalam lingkup dunia Arab- dari sejak generasi
awal. Bahkan ada seorang pemikir yang mengusulkan agar rasionalitas menjadi
salah satu bagian dalam struktur Maqashid Syari’ah pada era kontemporer.[1]
Sementara pemikir lain ada yang minta meresmikannya sebagai pengganti dari
sekularisme yang telah usang dan menuai kegagalan, sehingga banyak pemikir dari
lingkup dunia Arab yang menjauhinya. [2]
Ada
gambaran ketiga terkait zaman sekarang yang sedang kita alami ini sebagai
“zaman predator” di mana “kaum rasionalis Arab menunjukkan ketidakmampuannya
untuk memberikan sebuah teori dalam lingkup pengetahuan ilmiah dan dalam merencanakan
penelitian yang bersifat metodologis, yang sarat dengan temuan-temuan baru”.[3]
Adapun
kelompok lain yang berseberangan dengan mereka, mereka berusaha mengarahkan
kritik pedas terhadap rasionalisme dan seluruh pengikutnya, sambil berusaha
memperlihatkan bahaya rasionalisme terhadap agama dan terhadap rasio yang
menisbatkan diri kepadanya serta ancamannya terhadap kehidupan ummat dan masa
depan mereka secara umum.
Rasionalisme
bukanlah produk zaman kita saja dan bukan pula hasil era sekarang. Sungguh
rasionalitas merupakan isme dan aliran lama yang terus ada secara berkesinambungan,
sekalipun bentuknya bermacam-macam dan kalangan yang menentangnya pun
beragam.
Pengertian.
Rasionalisme
berasal dari istilah Arab yang berbunyi al-Aqlaniyah, yang terdiri dari
kata al-Aql ditambah dengan huruf alif dan huruf nun.
Keduanya merupakan tambahan yang menunjukkan nuansa sangat (mubalagah).
Ditambah pula dengan huruf ya’ yang menunjukkan identifikasi (ya
an-Nisbah). Lalu ditambah lagi dengan huruf ta’ yang berkategori
feminim (ta’ ta’nits). Istilah ini merupakan sebuah karakteristik yang
dinisbatkan kepada akal. Petunjuk identifikasi ini -di sini- menunjukkan peran
utama karakteristik rasio ini; termasuk siapa pun yang memiliki karakteristik serupa
dalam aktivitasnya, terutama dalam lingkup ilmu pengetahuan.
Mari
kita lihat: kata al-Aql dalam bahasa Arab menunjukkan makna mencegah,
merintangi dan membatasi. Sementara, secara real diartikan layaknya unta
yang dikekang dengan alat kekang yang disebut iqal. Secara maknawi
diartikan seperti akal seorang siswa, berupa ilmu yang diperoleh dari gurunya. Akal yang ada pada diri seseorang ini sehingga
pantas dianggap sebagai orang waras (aqil) karena:
§ Dari sisi bahwa
akal ini mencegah pemiliknya terjatuh ke dalam tindakan yang tidak diterima
oleh akal itu sendiri.
§ Juga dari sisi lain sebagai alat yang digunakan untuk
menerima pengetahuan. [4]
Kekang unta akan mencegahnya agar tidak
terlepas dari daerah yang subur yang telah dipilih oleh pemiliknya atau
menghalanginya agar tidak menyakiti orang lain atau membuatnya hilang jejak.
Sementara akal manusia akan
mengamankannya dari hal-hal yang bisa menghancurkan atau merusaknya. Karena
itulah, fungsi pencegahan akal yang menjadi karakternya akan tampak dalam wujud
lain berupa perlindungan dan karakter positif lainnya; bukan saja sekedar
merangkum makna secara ilmiyah, yakni mengikat dan memahaminya, tetapi juga
mencegah manusia untuk melakukan perbuatan buruk sekaligus mendorongnya kepada
tindakan yang baik dan bagus. Karena mundur dari kebaikan merupakan sesuatu
yang dilarang oleh akal itu sendiri.
Karena itulah, terdapat penilaian
beberapa kalangan pemikir bahwa makna akal dalam aspek bahasa Arab yang
didukung oleh kalangan Salaf, yang ditunjukkan oleh makna kebahasaan bahwa ia
merupakan upaya pengekangan terhadap nalar, sekaligus membatasi kebebasan dan
aktivitasnya; hanya dibangun berdasarkan pada kerangka pemahaman kebahasaan
yang tampak terburu-buru.
Dalam al-Qur’an, kata akal dimaknai
dengan karakteristik seperti ini, yakni sifatnya berupa perbuatan
sebagaimana pada banyak firman Allah
yang berbunyi; afala ya’qilun, atau ta’qilun, setelah penyebutan
ayat-ayatnya atau ayat-ayat yang berbicara seputar alam semesta. Allah
berfirman :
كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal (QS
ar-Rum: 28)
firman Allah seputar ayat-ayat terkait
alam semesta
وَمِنْ
آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan
kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan
hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang mempergunakan akalnya. (QS ar-Rum: 24)
Allah berfirman seputar ayat-ayat yang
berbicara terkait kondisi sosial masyarakat manusia setelah menyebutkan kaum
Luth dan penyimpangan dan sanksi hukum terhadap mereka
وَإِنَّكُمْ لَتَمُرُّونَ عَلَيْهِمْ مُصْبِحِينَ
وَبِاللَّيْلِ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk
Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi, dan di waktu malam. Maka apakah kamu
tidak memikirkan? (QS ash-Shaffat: 137)
Juga
terdapat di dalam al-Qur’an ayat yang menunjukkan makna berupa keahlian yang
menjadi pencetus dari sebuah sikap pada firman Allah :
اللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا
تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُو
Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS
an-Nahl: 78)
Kata fu’ad di sini, yang maksudnya
adalah keterampilan, yang apabila diberdayakan dengan bantuan indra seperti
mata dan telinga dll, maka seseorang bisa mendapatkan pengetahuan yang
sebelumnya tidak dia pahami.
Keterampilan atau keahlian ini akan
tampak atau kesadaran internal pada diri manusia dengan semua prinsip-prinsip
umum yang kokoh pada diri semua manusia yang berakal yang akan menjadi pondasi
bagi sebuah bangunan pengetahuan perolehan setelah itu, seperti prinsip hakikat
(huwiyah), tidak adanya kontradiksi dan sebab akibat/kausalitas (illiyah).
Karena itulah, kita mendapatkan para
ahli peristilahan dari kalangan intelektual kaum muslimin memberikan pengertian
akal berupa sebuah garizah atau instink pada diri seseorang yang digunakan
untuk memahami fakta-fakta.[5]
Mereka juga mengartikannya sebagai pengetahuan yang bersifat mendasar yang
terjadi melampaui observasi dan bersifat menyeluruh bagi semua orang-orang yang
dianggap berakal. [6]
Akal dengan pengertian seperti inilah
yang membuat seseorang dianggap sebagai manusia yang layak dibebani dengan amanah,
di mana jika akal seperti ini tidak berfungsi maka seseorang dianggap keluar
dari wilayah manusia yang pantas dipercayakan sebuah tugas mulia (taklif).
Terkait inilah kita menemukan ada hadits yang berbicara seputar orang-orang
yang tidak dianggap layak mendapatkan beban tugas (taklif), yaitu 3
kategori, di antara mereka adalah “orang-orang yang gila hingga mereka sadar
kembali”. [7]
Dengan prinsip-prinsip seperti ini dan
dengan bantuan indera manusia terjadilah interaksi dengan lingkungan sekitarnya
untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu yang nantinya akan menjadi bagian dari
akal itu sendiri. Karena itulah, akal dibagi menjadi :
§ Garizah
§ Perolehan
Pembagian
demikian sangat terkenal dalam lingkup pemikiran Islam.[8]
Tentu
kedua jenis akal ini memiliki perbedaan signifikan, tanpa ada keraguan sedikit pun.
Karena prinsip akal pertama memiliki karakter benar secara mutlak, berlaku
menyeluruh dan bersifat umum untuk semua manusia –yang berakal- sekalipun
tingkat kejelasannya berbeda antara masing-masing orang di antara mereka.
Sedangkan akal kedua, baik ia berwujud pengetahuan partikular atau sebuah rumus
atau kaedah yang lahir dari penelitian mendalam, tetap saja nilai dan aspeknya
serba relatif, terutama bagi orang yang mengusainya secara khusus.
Di sini terjadi
pencampuradukan, di mana terkadang pemikiran tertentu menguasai akal seseorang
dan sangat kokoh dalam pemikirannya sehingga menganggap hal itu sebagai bagian
dari prinsip utama rasio. Lalu dia menafikan akal dari siapa pun yang
mengingkarinya. Karena ia menganggap orang yang dimaksud menolak prinsip utama
pengetahuan, yakni menolak rasio berpikirnya. Inilah yang dimaksud al-Farabi
ketika berbicara terkait kalangan teolog, ketika mereka berkata: ini merupakan
konsekwensi rasio atau ini dinafikan oleh akal atau ia tidak menerimanya dengan
maksud “yang masyhur pada awal pemikiran semua orang. Sungguh pemikiran awal
yang menjadi milik semua orang atau bagi kebanyak orang mereka sebut sebagai
rasional (akal).” [9]
Adapun
akal dalam filsafat modern, sekalipun beragam maknanya sesuai dengan tuntunan
filsafat dan aspek-aspek yang sedang dihadapi, hanya saja tidak bisa keluar
dari “Prinsip pengetahuan yang menyeluruh dan terstruktur”. Kemudian tambahan
yang diberikan kepadanya berupa pengetahuan perolehan sebagaimana menurut Andre
Lalande yang membagi akal menjadi akal “pembentuk” (mukawwin) dan akal
“bentukan” (mukawwan). Yang mana pembagian ini sama seperti sebelumnya,
yaitu akal fitrawi dan akal perolehan sebagaimana pandangan intelektual muslim.[10]
Prinsip pengetahuan yang menyeluruh dan terstruktur ini dianggap ......oleh
kalangan rasionalis, berbeda dengan kelompok observatif-empiris yang
menolak......dan menganggapnya sebagai hasil interaksi antara manusia dan
realitas. Inilah pandangan yang banyak diterima oleh pemikir modern. Ini
maksudnya adalah bahwa tidak ada hal yang paten dan pasti dalam rasio, tetapi
semuanya bisa berubah sesuai dengan gaya pemikiran baru. Sehingga akal bukanlah
suatu prinsip atau persfektif yang eksis dan kokoh, lalu pantas diberikan
status final (selesai), lengkap dan sempurna. Tetapi akal merupakan suatu fenomena atau sama seperti
fakta lainnya yang senantiasa berubah dan menyesuaikan diri dan juga terimbas
oleh faktor waktu (sejarah) dan perdebatan”. [11]
Hesmas
melihat bahawasanya akal bukanlah sebuah perangkat tetapi ia adalah sebuah
sifat atau karakter. Yakni, kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk
membahas hakikat inti daripada akal tetapi yang terpenting adalah kita
mengetahui mana yang rasional dan mana yang tidak rasional dalam perkataan dan
perbuatan. Itu tentu jauh lebih dekat kepada kita. [12]
Namun,
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kita bisa menghukumi suatu
pembicaraan atau sebuah perbuatan bahwa ia termasuk rasional atau tidak? Agar
kita bisa memberikan status hukum, kita harus memiliki persfektif tertentu
seputar akal sehingga kita bisa menimbang dan menghukumi suatu realitas, jika
ia sesuai dengan prinsip-prinsipnya maka disebutkan bahwa hal tersebut masuk
akal, kalau tidak tentu dianggap tidak masuk akal.
Sekarang
kita melangkah kepada rasionalisme sebagai sebuah nilai-nilai pengetahuan dan
peradaban.
Kita memulai
pembahasan dari sebuah pertanyaan,
apakah rasionalisme merupakan sebuah nilai yang bersifat mutlak yang terwujud
pada beberapa prinsip atau sebuah keunikan manusia secara umum, baik terkait
waktu dan tempat seperti halnya prinsip pertama dalam akal berdasarkan
pandangan kaum rasionalis ataukah ia terhitung relatif sehingga terhitung
banyak kategori rasional tergantung pemikiran yang mengitarinya dan tingkat
pengetahuan sains pada masanya.
Ada
unsur-unsur teoretis yang berlaku umum dalam internal kalangan rasionalis, yang
paling konprehensif adalah memberdayakan akal sebagai penentu pada semua hal
dengan keyakinan bahwa akal bisa menyingkap semua fakta pada semua jenis bidang
pengetahuan.[13]
Rasionalisme
adalah menyingkap rasionalitas suatu masalah dan keterkaitannya secara
internal, yakni rasionalitasnya secara zatnya.[14]
Karena itulah, kita menemukan bahwa rasionalisme kembali –jika kita lihat dalam
lingkup pemikiran Arab Islam- kepada kelompok Muktazilah yang sangat meyakini
kemampuan akal seperti ini dan bergerak dalam bingkai pemikiran yang sangat
jauh berdasarkan pada tingkat keyakinan ini. Karena itulah tokoh yang dianggap
sebagai pentolan rasionalis pada pemikiran Arab saat ini melihat bahwa
Muktazilah adalah “mereka yang tampil sebagai panglima rasionalitas dalam
peradaban Islam” Lalu akal seperti apakah yang apabila kita berdayakan maka
seseorang bisa dianggap rasional dan hasil pemikirannya dianggap rasional?
Sebenarnya
kalangan Muktazilah tidak memiliki tambahan atau temuan baru seputar pengertian
akal yang berbeda dengan kalangan intelektual muslim lainnya. al-Qadhi Abdul
Jabbar al-Hamadzani mengartikan akal sebagi kumpulan pengetahuan tertentu,
apabila dikuasai oleh seseorang maka ia dianggap layak melakukan penalaran dan
berargumentasi serta siap melakukan tugas yang diembannya (taklif).”[15]
Inilah pengetahuan mendasar yang disebutkan pada pengertian sebelumnya. Mereka
mengaitkan pengertian mereka dengan aspek kebahasaan, yaitu mencegah dan
membatasi karena adanya pengatahuan mendasar ini, ketika menyatu, akan mencegah
seseorang untuk melakukan keburukan.
Bahwasanya
akal mendasar ini –makna mendasarnya adalah bahwasanya akal tidak bisa terpisah
darinya di mana seorang yang berakal mendapati dirinya terpaksa untuk menerima
semua konsekwensinya- sekalipun tidak sesuai gayanya, ia mewujud pada akal yang
Allah ciptakan untuk manusia dan membuatnya sebagai dasar penugasan (taklif).
Juga menjadikannya sebagai jalan manusia menuju keimanan kepada-Nya dan
kepada kitab-kitab suci serta para
rasul. Karenanya, prinsip ini tidak mungkin mengandung kesalahan atau
kesesatan. Dengan demikian, ia merupakan kebenaran secara mutlak.
Jika
kondisi akal memang demikian adanya, maka seharusnya manusia menjadikan akal
tersebut sebagai standar penilaian pada semua hal sehingga pemikiran lurus bisa
terwujud. Demikian pula aspek praktis bisa lurus di mana mereka semua bersatu
dalam sebuah manhaj dan pergerakan karena adanya kesamaan semua manusia pada beragam
pengetahuan tersebut. [16]
Berdasarkan
pada prinsip ini, maka Muktazilah megarahkan wajahnya kepada setengah akal
untuk mendirikan bangunan pemikiran dan filsafat, terutama pada bidang agama.
Dengan
demikian, mereka dianggap sebagai kelompok rasionalis berdasarkan prinsip dan
penisbatan. Akan tetapi, sekalipun secara teoretis mudah untuk menjelaskan
persoalan pemikiran dan perkataan rasio/akal dengan kedua macam dan jenisnya,
baik jenis pertama yang bersifat mendasar maupun jenis kedua yang bersifat
relatif, tetapi sungguh sangat berat untuk menguasainya secara realitas, yakni
pada wilayah praktis. Karena seringkali makalah rasio mendasar dan rasio
perolehan saling tumpang tindih. Bahkan
bisa jadi rasio perolehan lebih dominan sehingga tampak seolah mendasar dan
menyeluruh dan menguasai pribadi orang yang memilikinya.
Inilah
yang terjadi dalam internal kalangan
teolog (mutakallimin) –termasuk Muktazilah sendiri- yang mana, jika ada
seseorang di antara mereka menyatakan hukum sesuatu sebagai konsekwensi akal
atau pun akal menafikannya atau tidak menerimanya, sungguh status hukum ini
dikeluarkan berdasarkan pada ucapan rasionya yang sedang eksis ketika itu, yang
memang menjadi fokus perhatian dan pemikirannya.[17]
Mereka
dalam kondisi demikian juga tetap dianggap rasional dalam aktivitas mereka,
tetapi tidak berdasarkan pada prinsip yang mereka bangun, yaitu “berhukum
berdasarkan pada prinsip akal yang bersifat mendasar, menyeluruh dan berlaku
umum”. Yang mereka lakukan adalah cara lain berupa berhukum dengan persfektif
akal yang berkategori perolehan yang bernuansa relatif dalam menunjukkan
fakta-fakta, yang juga sebenarnya berbeda antara masing-masing orang.
Karena
itulah, tidak aneh jika kalangan Muktazilah sampai kepada suatu tujuan yang
berbeda dari yang mereka harapkan sebelumnya, berupa pengungkapan fakta-fakta
kebenaran dan kesatuan pemikiran antara seluruh manusia. Yang mana, mereka
sampai kepada kesimpulan atau hasil yang bermasalah dalam aspek akidah, metode
bernalar dan persfektif metafisis dll. Sebagaimana mereka sampai ke sebuah
titik pertengkaran sengit yang terjadi di internal mereka sendiri yang
menyebabkan terjadinya pertikaian dan perpecahan kelompok yang saling
bermusuhan berdasarkan pada perbedaan
–rasionalitas tentunya- pada hal-hal yang sedang mereka bahas. Bahkan
permasalahan tidak berhenti pada perpecahan dan pertengkaran semata, akan
tetapi lebih dari itu sehingga mereka saling mengakfirkan karena pertimbangan
rasionalitas. Banyak tokoh-tokoh Muktazilah sendiri yang mengkafirkan
an-Nazzam. Ja’far bin Harb al-Mu’tazili mengkafirkan Abu al-Hudzail al-Allaf. Abu
Musa al-Mirdar yang dikenal sebagai pendetanya Muktazilah, al-Bagdadi menjelaskan
tentang pribadinya, “Dia mengkafirkan syeikhnya. Sementara syeikhnya juga
mengkafirkan dirinya. Kedua belah fihak memang pantas untuk saling
mengkafirkan”.[18]
Demikianlah,
kita mulai dari persfektif Muktazilah terkait rasionalitas yang tampak tidak
ada masalah. Namun kita sampai kepada persfektif lain, di mana akal di dalamnya
yang dimaksudkan adalah sekumpulan pemikiran yang dibawa oleh seseorang dan
diingatnya dengan jelas dan baik. Sementara rasional adalah memandang beragam
hal berdasarkan kaca mata pemikiran tersebut dan menundukkan semua pengetahuan
yang diperolehnya berdasarkan pada kaca mata dan persfektif tersebut.
Di sini
rasionalisme kehilangan nilanya sama sekali, karena semua manusia membawa
pemikiran dan pandangan khas mereka masing-masing. Yang mana, mereka melihat
sekitarnya berdasarkan pada persfektif mereka tersebut. Lalu di mana letak
keistimewaan orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai kalangan
rasionalis?! Tidak ada sedikitpun,
kecuali ucapan mereka yang berbunyi, pemikiran yang kami emban merupakan
referesentasi dari fakta-fakta kebenaran rasio, bukan pemikiran yang lain.
Tentu ini hanya klaim semata. Sementara
sudah terbukti bahwa itu –sebagaimana yang diungkapkan oleh realitas dan
sejarah pemikiran- salah. Itulah rasionalitas Muktazilah yang senantiasa dibanggakan
oleh sekelompok kaum rasionalisme Arab modern.
Mari
kita kembali kepada rasionalisme dalam persfektif pemikiran modern, di mana
kita menemukan adanya pihak yang mengajukan beberapa indikasi yang dianggap
sebagai unsur utama secara mutlak bagi rasionalitas. Seperti ucapan sebagian
mereka: itu masih bisa dikeritisi. Jadi, retorika rasionalitas adalah yang
senantiasa siap menerima keritikan dan diskusi. Sehingga semua retorika yang
anti keritik dan anti diskusi akan keluar dari wilayah rasionalitas. [19]
Contoh
serupa seperti, sikap adil dan proporsional dalam berpendapat, relatif dalam
menentukan hukum dan siap berdialog dengan kelompok lain[20]
dan hal semacamnya yang termasuk indikasi yang dihasilkan oleh kondisi
pemikiran yang sedang eksis yang menganggapnya sebagai standar umum bagi
rasionalitas.
Bagaimana
pun juga, sungguh rasionalitas berdasarkan pada praktek berpikir bukanlah
sebuah nilai yang berlaku mutlak, yang mengungguli semua perubahan sejarah,
tetapi ia merupakan rasionalitas yang sangat beragam dalam merespon realitas
manusia yang senantiasa berubah-ubah.
Ada
beragam rasionalitas sesuai dengan lawannya atau fungsinya:
§ Ada rasionalisme sebagai lawan dari empirisme dan
observasisme, yang memberikan akal peran utama sebelum peran dan fungsi indera
dalam mewujudkan pengetahuan.
§ Ada rasionalisme yang dipertentangkan dengan kelompok
yang disebut tekstualis. Umumnya hal ini ada dalam lingkup keagamaan. Di mana
pemikiran diberikan akses lebih luas dibanding teks dan memberikan peluang
takwil berdasarkan persfektifnya.
§ Ada juga rasionalisme-empirik yang dilakukan oleh
intelektual yang memadukan antara berpatokan pada efektivitas rasio,
keterbatasan dan harapan-harapannya dengan pelaksanaan pengamatan obserevatif
di laboratorium mereka.
§ Ada pula rasionalisme kritis yang berusaha menganalisa
pemikiran dan membuat keraguan atau menghilangkan hal-hal yang dianggap tidak
searah dengan akal demi menghadapi sikap taklid.[21]
Akan
tetapi, rasionalisme -apa pun bentuknya- harus tetap memiliki basis pemikiran
yang menjadi kiblatnya sebagai bentuk kebenaran faktual paling tinggi, minimal
pada zamannya masing-masing. Basis pemikiran tersebut adalah ilmu dengan
pengertiannya pada zaman modern. Yaitu pengetahuan alam dan matematika yang
dijadikan oleh akal sebagai pondasi dalam membentuk persfektifnya terhadap
wujud, yang dijadikan pijakan dalam aktivitas rasionalnya.
§ Filsafat Aristoteles dibangun berdasarkan basisnya pada
persfektif metafisik Aristoteles terhadap wujud. Dan inilah yang menjadi alasan
kenapa kaum muslimin banyak menolaknya.
§ Rasionalitas ulama ahli kalam (teolog) yang bingkai
penelitiannya di bidang akidah. Basisnya adalah apa yang mereka sebut sebagai
pembicaraan mendetail (daqiq al-Kalam), yaitu konsep atau teori perangkat
tunggal (nazhariyah al-jauhar al-Fard) dengan segala aspeknya yang
terkait dengan waktu dan tempat, gerak dan perbuatan. Di mana, mereka bertolak
darinya sebagai basis pemikiran yang kokoh –sebagaimana- mereka gambarkan untuk
membangun pendapat yang mulia (jalil al-Kalam) yaitu persfektif terkait
Allah dan sifat-sifat-Nya.[22]
§ Seperti itu pula Rene Descartes dalam (upayanya
mengalihkan ilmu alam dan ilmu metematika dari Aristoteles)[23]
untuk membangun metode dan rasionalitasnya berdasarkan pada konsep Galileo dan
dari persfektif mekanika yang sedang bekembang di zamannya dan dari pembahasan
matematisnya.
§ Imanuel Kant dalam rasionalitas kritisnya berpedoman pada
tahapan Newtonian dalam keilmuan....dan demikianlah seterusnya. [24]
Juga
karena ilmu observasi senantiasa berkembang secara berkelanjutan, karena itulah pandangannya
senantiasa terus berkembang terhadap segala hal. Rasionalitas yang hanya
terpaku padanya akan kehilangan nilainya. Karena apa yang dikembangkan oleh rasionalitas
dalam bidang pemikiran atau metodologi atau persfektif terhadap wujud dan
kehidupan, bisa terus terpaku sehingga akan tergilas oleh kemajuan ilmu. Dan,
ini merupakan indikasi kejahutannya sebagaimana yang terjadi pada teori
perangkat tunggal (nazhariyah al-jauhar al-fard) yakni bagian yang tak
terbagi lagi, sebuah basis yang menjadi pijakan ahlul kalam dalam menegaskan
keberadaan Allah. Lalu bagian ini terbagi lagi ke hal lain yang tidak bersifat
materil, sehingga kemudian hancurlah pondasi tersebut.
Persfektif
terhadap wujud, etika, metodologi, dan filsafat yang dibangun oleh akal yang
senantiasa dalam kondisi berubah di balik ilmu yang senantiasa berkembang, akan
kehilangan nilainya juga. Bahkan bisa menjadi sumber kesengsaraan bagi manusia
manakala nilai-nilai, persfektif terhadap wujud senantiasa beragam dan berubah
serta menjadi lahan keraguan serta tunduk untuk diberdayakan melalui
pemberdayaannya yang dilakukan oleh akal berpijak pada ilmu yang senantiasa
berkembang.[25] Siapa yang
menyadari titik ini, maka awal bertolak dari keritik keras terhadap rasionalitas
Barat dari banyak kalangan pemikir yang melihat bahwa rasionalitas yang membuka
peluang keragaman nilai-nilai dan persfektif serta orientasi hampir saja
membawa manusia kepada kematian dan kehancuran.[26]
Tetapi,
apakah keterkaitan antara rasionalitas dengan ilmu empiris pada zamannya, hanya
itu saja makna kesejarahannya? Tidak, sungguh rasionalisme memiliki wajah lain,
bahwa ia juga berbentuk wawasan budaya, yakni bahwa ia juga berbeda sesuai
dengan wawasan yang melingkupinya.
Tidak
diragukan lagi bahwa akal memiliki prinsip menyeluruh yang berlaku untuk
seluruh manusia. Tetapi rasionalisme -seperti yang telah kita jelaskan-
tidaklah berpatokan kepada prinsip tersebut melebihi patokannya kepada
pemikiran yang berstatus perolehan yang diyakini oleh para pemiliknya sebagai
yang paling dekat kepada prinsip akal yang benar (fitrawi). Padahal pemikiran
tersebut hanyalah perolehan dari wawasan tertentu.
Raionalisme
Barat, sebagaimana disampaikan oleh Burhan Galion, “Lahir di Eropa, secara
garis besarnya berdasarkan pada kaedah nilai-nilai, pemahaman, mimpi-mimpi,
tujuan dan tuntunan jiwa dan sosial yang diarahkan sebelumnya oleh budaya
Kristen Barat secara umum. Bahkan, beberapa analisis menganggap Filsafat Hegel
sebagai rumusan baru yang dirilis kembali olehnya dalam bentuk berbeda dan sekularistik untuk kalangan
Kristen. Ini berarti bahwa setiap wawasan budaya memiliki sejarah untuk setiap
masyarakat. Dan, suatu hal yang tidak mungkin adalah menghapus begitu saja
dengan penghapus pulpen atas nama rasionalisme alami analogis. [27]
Jika
kita mulai ini dengan penuh keanehan –terutama bagi rasionalisme Barat yang
sarat dengan semangat menjauhi agama- sungguh sang penulis menjelaskan dengan
menyertakan sebuah contoh yaitu sekularisme yang mewujud dalam bentuk paling
tampak dari beragam bentuk rasionalisme, bahwa ia merupakan hasil dari
pergolakan antara gereja dan masyarakat. Jika kita merenungi secara mendalam
tabiat sekularisme Barat, kita mendapati bahwa kemandirian dari kekuasaan
waktu, yakni pembebasannya dari dominasi gereja yang senantiasa berusaha untuk
menundukkannya tidak berarti mengganti nilai-nilai dan persfektif yang sedang
berkembang di tengah-tengah masyarakat Kristen dengan nilai-nilai dan pemahaman
serta kaedah-kaedah yang berbeda secara menyeluruh, bahkan bertentangan dengan
agama yang sedang berkembang. Ia telah menjadikan nilai-nilai yang berkembang
adalah nilai-nilai sekuler. Yakni, ia menariknya dari tangan dan wasiat gereja,
lalu menjadikannya sebagai nilai-nilai sosial perkotaan yang tunduk di bawah
kendali akal, diambil darinya lalu ditambahkan dengan nilai-nilai baru yang
diambil dari budaya Barat yang tidak bernuansa agama. Sehingga asas dari
kegiatan sekularisme ini tidaklah menafikan nilai-nilai dan menggantinya dengan
yang lain, tetapi hanya mengganti panduannya kepada akal sebagai pengalihan
dari agama, yakni pada realitas rasionalnya.[28]
Sungguh rasionalisme bukanlah model
berpikir murni yang bisa beredar pada beragam budaya. Sungguh ia, sebagaimana
yang tampak pada rasionalitas Barat hari ini, hanyalah merupakan beban khusus bagi
dunia Barat sendiri yang pantas dijadikan sebagai solusi permasalahan sosial
dan pengetahuan. Bahkan berpadu dengan kondisi yang ada sehingga dialah yang
menjadi sumber dari rasionalitas tersebut “jadilah semua yang rasional sebagai
realitas dan semua realitas sebagai yang rasional”.[29]
Yang dimaksud dengan realitas di sini adalah realitas dunia Barat atau yang
menyesuaikan diri berdasarkan pada laju dunia Barat yang senantiasa mendikte
akal dengan rasionalitasnya dan fungsi akal hanya melegalisasi realitas
tersebut kemudian menambahkan nuansa logis padanya. Inilah rasionalisme pragmatis
yang dianggap oleh sebagian kritikus rasionalisme Barat seperti Max Horkheimer
dan Odierno sebagai rasionalitas mengekang, yang memanfaatkan akal demi
kepentingan pribadi semata sehingga segala sesuatu dianggap sebagai dagangan,
termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual yang memiliki nilai
kemulian lebih.[30]
Ketika filsuf Jurgen Habermaz datang,
yang sekarang dianggap sebagai filosof Jerman terkemuka –sebagaimana pandangan
Hasyim Shaleh- demi menyelamatkan rasionalitas ini melalui apa yang ia sebut
sebagai rasionalitas penghubung, yang bersemangat agar rasionalitas Barat kembali
pulih melalui upayanya ini berdasarkan pada adanya dialog dan diskusi antara
masyarakat manusia secara bebas sesuai dengan tuntunan bahasa dan diarahkan
oleh logika penuh hikmah dan logika rasional agar biasa membuahkan rasionalitas
yang terpuji.
Seketika itu Habermaz menghadapi kritik
pedas dan dianggap berpikir sempit dan tidak realistis secara sosial karena
menggambarkan sesuatu yang tidak masuk akal! ia menganggap masayarakat
baik-baik saja dan bahwa makna kemanusiaan yang akan mengarahkan pandangan dan
sikap mereka. Inilah yang ditolak oleh rasionalisme modern dan menganggapnya
tidak rasional.[31]
Dia dituduh –di sini- sebagai orang yang suka milih-milih, dan suka
menunjukkan bentuk yang menunjukkan kerusakan rasionalisme Barat, lalu
membiarkan gambaran lain dari rasionalitas tercerahkan di mana akal di sana
berusaha mengarahkan realitas dan berusaha merencanakan gambaran ideal,
kemudian berusaha untuk mengarahkan realitas di atasnya secara keseluruhan atau
sebagian, sebelum berubah menjadi rasionalitas pembenaran bagi realitas, kemudian
lemah dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dari waktu ke waktu.
Saya katakan, betul. Rasionalitas rennaisan memang merupakan rasionalitas muda
pada banyak unsur pembedanya, seperti :
§ Indera material yang mendalam yang membuat mereka
memperhatikan materi dalam aspek ilmiah dan praktis.
§ Semangat keraguan, penelitian dan observasi.
§ Semangat untuk keragaman pemikiran.
§ Menolak otoritas eksternal, terutama otoritas agama dan
semisalnya.[32]
Tetapi
itu tidak merubah apa yang telah kami sampaikan, yaitu bahwa rasionalitas sangat
terkait dengan budaya. Yakni bahwa ia merupakan produk sosial yang lahir dari
berbagai syarat dan kondisi budaya dan sosial pada zamannya.
[1]
Lihat : Majallah al-Arabiyah,
terbitan Mei 1994,”Iqtirah Masyru Qira’aah Jadidah Li al-Maqashid
al-Kulliyah Li asy-Syari’ah al-Islamiyah“(Usulan Seputar Proyek Pembacaan
baru Terhadap Maqashid Umum Syari’ah), Hamid Abu Zaid.
[2]
Hiwar al-Masyriq wa al-Magrib (Dialog Timur dan Barat), Hasan Hanafi
dan Muhammad Abid al-Jabiri, cet. 1, Maktabah Madbuli, Kairo, hal. 46.
[3] Igtiyal al-Aql : Mihnah ats-Tsaqafah
al-Arabiyah Baina as-Salafiyah wa At-Tabaiyyah. (Memasung Nalar: Tribulasi Warisan Intelektual
antara Salafi dan kalangan Pentaqlid Buta), Burhan Galiyun, hal. 272.
[4] Ma’ajim al-Lugah.
[5] Kasyfu Istilahat al-Funun, hal. 1034
[6] Al-Hudud, karya Al-Baji, hal. 31.
[7] HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Ini merupakan
hadits shahih berdasarkan jalurnya. Lihat : Jami’ al-Ushul, jilid 3/611.
[8] Lihat : al-Mufradat, karya ar-Ragib
al-Asfahani, hal. 342.
[9] Risalah fii al-Aql, al Farabi, hal. 8
[10] Lihat : al-Aql wa al-Ma’ayir, Andre
Lalande, hal. 12.
[11] Al-Aqlaniyah al-Muashirah baina an-Naqd wa
al-Haqiqah, Salim Yafut,
cet. 2, th. 1989, dar ath-Thali’ah, Baerut, hal. 69.
[12] Qira’ah fi al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 36.
[13] Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Saliba, vol. 2, hal. 91
[14] Igtiyal al-Aql, hal. 250.
[15] Al-Mugni, karya Abdul Jabbar, vol. 11, hal. 318.
[16]
Muktazilah –dan bukan mereka saja –
mengatakan kesamaan akal pada semua manusia, berbeda dengan pendapat yang
menyatakan adanya perbedaan level kejelasan dan kehadiran prinsip ini di antara
kalangan manusia.
[17] Inilah akal menurut pandangan mutakallimin
(teolog), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farabi.
[18] Muktazilah Baina al-Qadim wa al-Hadits, Karya Muhammad al-‘Abdah dan Thariq bin
Abdul Halim, hal. 29.
[19] Lihat : Qira’aah fi al-Fikr al-Orobby
al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 36.
[20] Al-Mas’alah ats-Tsaqafiyah, Karya Abid al-Jabiri, hal. 123.
[21] Idem, hal. 284.
[22] Lihat : idem, hal. 284.
[23] Binyatu al-Aql al-Arabiy, Muhammad Abid al-Jabiry, hal. 183.
[24] Al-Aqlaniyah al-Mu’ashirah, Salim Yafut, hal. 63.
[25] Padahal sebenarnya bahwa
pemikiranlah yang harus memberdayakan ilmu empirik, membentuk filsafatnya dan
mengalihkannya berdasarkan pada persfektifnya. Karena itulah, kita mendapati
beragam filsafat yang saling kontradiktif –materialisme maupun idealisme- semuanya
mengklaim diri berpatokan pada ilmu empiris.
[26] Qira’ah fii al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 31
[27] Igtiyal al-Aql, Burhan Galiyon, hal. 226.
[28] Idem, hal. 227.
[29] Al-Aql, Jil Kaston, alih bahasa: Henri Zagib, hal. 20.
[30] Qira’ah fii al-Fikr al-Orobby al-Hadits, Hasyim Shaleh, hal. 37-42.
[31] Idem, hal. 40. Lihat : Muhammad
Waqidi, Binaa an-Nazhariyah al-Falsafiyah, hal. 14, di mana, beliau
menyebutkan beberapa isu masa depan di dunia hari ini, di mana Barat mengambil
sikap yang ditolak oleh prinsip rasional murni dan rasional manusiawi. Tetapi
Barat melegalisasinya sehingga dianggap rasional sedang penentangnya
diposisikan tidak rasional seperti keterbelakangan yang menimpa dunia ke-3 dan
Palestina, perbedaan derajat, persenjataan dan kelaparan massal
[32] Lihat : Hal Hunaka Aql Arabiy, Karya : Hisyam Gasib, hal. 111
0 komentar:
إرسال تعليق