Ketinggian Zat Allah dan KeberadaanNya di Atas Arasy.
By. Idrus Abidin.
Zaman
klasik yang mencakup era Nabi, sahabat dan tabiin adalah standar
pemahaman Islam yang perlu dijadikan cerminan spiritual dan fokus
pengembaraan intelektual. Karena masa itu dipastikan sebagai era
pembentukan konsep akidah, khususnya tauhid yang terkoneksi secara
langsung dengan kepentingan praktis kaum muslimin. Era itu terkenal
sebagai zaman lahirnya moderasi Islam karena pemahaman intelektual dan
praktek keseharian langsung mendapat bimbingan dari Allah dan rasulNya.
Maka, tak heran jika zaman nabi dan sahabat dikenal sebagai zaman
praktis; sama sekali bukan era pengembangan teoretis semata tanpa efek
praktis.
Salah satu
permasalahan tauhid yang sudah mapan di era itu adalah seputar
Ketinggian Zat Allah dan KeberadaanNya di Atas Arasy secara pribadi
(zat). Ketinggian Allah disebut uluwullah dg beragam istilah yang
digunakan al-Qur'an. Seperti :
1. Fauqiyah (atas)
2. Istiwa' (bersemayam)
3. Shu'ud (naik)
4. Uruj (keluar dari bumi menuju langit)
5. Raf'u (naik)
6. Nuzul (turun)
7. Man fi as-Sama' (Siapa di langit [Allah]).
Semua itu adalah istilah resmi syari'at dengan pemaknaan bahasa Arab murni tanpa intervensi peradaban lain.
Pernyataan Rasulullah pun pada banyak kesempatan menegaskan hal senada, seperti :
1.
Hadits budak wanita yang ditanya oleh Rasulullah, "Allah di mana?,"
Lalu dijawab, "Allah di langit." Hadits ini dirilis oleh Imam Muslim
dalam shahih-nya.
2. Hadits riwayat imam Tirmidzi yang berbunyi :
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء
“Orang-orang
yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka
sayangilah yang di atas muka bumi niscaya (Allah) Yang ada di atas
langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan
sahih oleh Tirmidzi dan disahihkan al-Albani)
3.
Dalam kitab Shahih Bukhari pada Bab Firman Allah : Wa kaana ‘Arsyuhu
‘alal-Maa’, Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu menceritakan :
فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Adalah
Zainab membanggakan dirinya terhadap istri-istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam yang lain, seraya berkata, “Yang menikahkan kalian
(dengan Nabi) adalah keluarga-keluarga kalian, sedangkan yang menikahkan
aku dengan beliau adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh
langit”.
Dalam riwayat lain : Zainab binti Jahsy berkata :
إن الله أنكحني في السماء
“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit” [HR. Bukhari 8/176].
4. Hadits riwayat imam Muslim, di mana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegaskan :
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا
فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا
عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
"Demi Allah yang
jiwaku ada dalam genggamanNya, tidak seorang pun suami yang mengajak
istrinya ke tempat tidur lalu istri tidak melayaninya; pasti Allah yang
ada di langit marah kepadanya hingga sang suami kembali ridha
kepadanya."
5. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda
"لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ : إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَب"
“Ketika
Allah telah selesai menciptakan makhlukNya Ia menuliskan (ketetapan)
dalam sebuah kitab. Yang mana, kitab tersebut berada padaNya di atas
arsy: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku”. [Shahih al-Bukhari,
Kitab Bad’ul Khalq. Shahih Muslim, Kitab at-Taubah, Bab Sa’atu
Rahmatillah]
Konsesus ulama sebelum era tabi' tabiin.
Konsensus ini in syaa Allah akan dibahas tersediri nantinya.
Petunjuk Fitrah suci.
Secara
fitrawi, manusia otomatis mengarah ke langit ketika sedang mengucapkan
senandung do'anya. Di situ, baik pemuda, remaja, orang tua, lelaki dan
perempuan ; sama semua keadaannya. Hanya orang-orang yang bermasalah
secara kejiwaan yang tidak merasakan kiblat hati mengarah ke langit saat
berdoa. Diinformasikan bahwa Syaikh Abu Ja'far al-Hamadani ikut hadir
dalam acara debat yang menghadirkan imam al-Haramain. Ketika itu, sang
imam berusaha menafikan atribut ketinggian Zat Allah dengan berargumen,
"Dulu Allah sudah ada ketika Arasy belum ada. Tentu kondisi Allah
sekarang seperti sedia kala itu (tak bertempat)". Lalu Syaikh Abu Ja'far
berkata, "Coba jelaskan wahai sang Ustadz tentang kondisi otomatis yang
kami rasakan di jiwa kami. Bahwa tak seorang pun ketika berdoa sambil
mengucapkan ya Allah, kecuali hatinya secara otomatis mengarah kepada
Allah yang maha tinggi, tanpa merasa butuh kanan kiri, depan belakang.
Lalu bagaimana caranya kami bisa menolak dan menjauhkan perasaan alami
tersebut dari jiwa kami ?! Maka, sang imam pun menepuk wajahnya lalu
turun dari podium sambil berkata, "al-Hamadani telah membuat pikiranku
serba kebingungan".
Dukungan Argumentasi Rasional.
Secara
rasional, bisa ditegaskan bahwa keberadaan Allah bersifat nyata dan
sama sekali bukan hanya ada dalam dunia khayal kita. Karenanya, bisa
jadi Allah berada dalam lingkup alam atau di luar cakupannya. Yang pasti
Allah tidak mungkin berada di dalam alam semesta ini karena mustahil
Allah bereinkarnasi dan menyatu dengan mereka (hulul). Jadinya, Allah
hanya mungkin berada di luar cakupan alam semesta. Jika betul Allah di
luar alam semesta maka pilihannya hanya ada 2. Pertama, Dia dilingkupi
oleh alam. Tentu hal ini mustahil. Karena hal itu berarti seolah Allah;
sebagianNya berada di atas dan bagian lain berada di bawah dengan
predikat rendahan. Atau (kedua) Allah berada pada salah satu arah.
Sementara, dari 6 kategori arah hanya bagian atas saja yang bernuansa
kemuliaan dan kesempurnaan secara total. Kita tentu meyakini bahwa Allah
menyandang atribut kesempurnaan, maka bisa dipastikan bahwa arah yang
paling sempurna adalah arah ketinggian. Karenanya, Allah seharusnya
diberikan karakteristik/atribut kemuliaan. Dengan penjelasan ini tampak
nyata kekompakan dan keselarasan antara Wahyu dan rasio dalam
permasalahan ini. Adapun opini yang menyatakan bahwa Allah tidak berada
dalam lingkup alam dan bukan pula di luarnya; tidak terkoneksi dan juga
tidak terpisah dari alam semesta, maka opini tersebut tidak perlu
dipertimbangkan. Toh, opini tersebut bukan termasuk ucapan orang waras
yang pantas diberi perhatian.
Catatan 1 :
Yang
jelas, kaum muslimin berkonsensus bahwa Allah menyandang atribut
kesempurnaan sehingga pantas dipuji dan bebas dari indikasi/unsur
kelemahan serta kekurangan. Makanya Allah harus disucikan. Hanya saja,
terjadi perbedaan perspektif terhadap beberapa atribut ketuhanan yang
secara tekstual tercantum dalam Al-Qur'an dan diucapkan apa adanya oleh
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Termasuk yang menjadi ajang
perdebatan adalah atribut Allah berupa ketinggian Zat dan keberadaanNya
di atas Arasy. Bagi kalangan Salaf, menegaskan (itsbat) makna tekstual
tersebut tidak berpretensi buruk dan tidak menabrak secara diametral
teks syari'at yang lain. Namun, grup studi teologis lainnya menafikan
makna tekstual tersebut dan menganggap adanya aroma kemiripan dengan
atribut makhluk (tasybih) dengan dukungan argumentasi rasional tertentu
seperti menganggap Allah berfisik (jism), bertempat (tahayyuz),
menyandang arah tertentu (jihah), berkonotasi pembatasan terhadap
keagunganNya (mahdud). Tentu Allah maha suci dari atribut demikian.
Karena kalau Dia berfisik berarti Allah terdiri dari beragam unsur dan
beberapa bagian (tarkib). Jika terbagi dan berunsur berarti saling
membutuhkan. Jika Allah bertempat berarti Allah terbatas. Bila Allah
bersemayam berarti Dia bertempat. Jika bertempat berarti Dia butuh
kepada tempat. Sejak dulu Allah ada tanpa tempat, maka pastinya Dia
kondisinya sekarang seperti dulu yang tak bertempat itu.
Jawaban untuk syubhat rasional beraroma filosofis dan dialektik ini in syaa Allah akan dianalisa di status berikutnya.
Catatan ke-2 :
Salah
satu dasar argumen menolak metode penegasan salaf seputar ketinggian
Allah secara Zat adalah prinsip dasar dalam teologi Islam yang berbunyi
bahwa Allah harus disucikan dari atribut makhluk yang serba lemah. Hanya
saja, prinsip ini digunakan secara ekstrim (serampangan) oleh kalangan
Muktazilah sehingga membabat habis semua atribut (sifat) Allah. Allah
diakui namaNya saja tanpa atribut (sifat). Karena meyakini sifat Allah,
jika dianggap qadim berarti timbul pluralitas pada diri Allah
(ta'addudul qudama'). Dan itu mengarah kepada kesyirikan yang merusak
otoritas tauhid. Karena itupun, Muktazilah disebut menyembah tuhan yang
tidak ada atau tidak jelas.
Di
lain pihak, Asy'ariyah dan Maturidiyah, terutama era belakangan hanya
mengakui 7 sifat Allah (yang sebelumnya sempat mengakui 20 atribut sifat).
Alasannya sama, berusaha menghilangkan indikasi kelemahan (tanzih) dari
Allah yang maha sempurna. Namun, tetap saja terjatuh pada sikap
mengeliminasi Wahyu (ta'thil) dengan mengklasifikasi ayat-ayat yang
berbicara secara tekstual seperti uluwullah ini sebagai ayat-ayat yang
berkategori mutasyabihat. Wallahu a'lam.
Stasiun Citayam, 14 Februari 2020.
0 komentar:
إرسال تعليق