Penegasan (Itsbat) dan Penafian (Nafy); Prinsip Utama dalam Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih dan Ilmu Akhlak (Tasawuf Sunni/Atsari). Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Islam
adalah perpaduan antara akidah, ibadah dan akhlak (tauhid, fiqih dan
adab). Akidah adalah kumpulan informasi seputar masalah ghaib yang
membutuhkan sikap penerimaan dari manusia dengan cara membenarkannya.
Sikap membenarkan informasi ghaib inilah yang disebut iman. Sedang
menolak dan tidak percaya kepada informasi ghaib ini disebut kufur.
Prinsip penerimaan dan penolakan ini ternyata mencakup semua bidang
studi dalam ranah intelektual Islam, terutama :
1. Tauhid; karena ia merupakan perpaduan Antara Kepercayaan (itsbat) dan Penolakan (nafy).
2. Melaksanakan Perintah dan Menjauhi Larangan; Wujud Utama Penegasan (itsbat) dan Penafian (nafy) dalam Ranah Fiqih Islam.
3.
Membuang Karakter Buruk (Takhliyah) dan Menghiasi Diri dengan Karakter
Terpuji (Tahliyah) ; Konsep Dasar Ilmu Akhlak (Tasawuf).
4. Loyalitas Terhadap Kebenaran (Wala') dan Sikap Disloyalitas Terhadap Keburukan (Bara') ; Intisari Kalimat Tauhid.
Tulisan
ini berusaha membahas hal-hal tersebut di atas dalam beberapa seri; in
syaa Allah. Semoga Allah mudahkan dengan Taufiq dan hidayahNya. Aamiin
Tauhid; Perpaduan Antara Kepercayaan dan Penolakan.
Salah
satu informasi ghaib (aqidah) yang sebenarnya wajib diimani adalah
masalah tauhid. Sehingga ada yang menyebutnya dengan istilah akidah
at-Tauhid. Artinya, tauhid adalah bagian akidah; bahkan tauhid ini
adalah inti sari akidah itu sendiri. Maka disebutlah tauhid sebagai
prioritas utama dalam tangga kewajiban makhluk (awjabul wajibat).
Karena
tauhid merupakan informasi tentang kesempurnaan Allah dan kesucianNya
dari berbagai kelemahan. Maka masalah tauhid harus dipadukan antara
penegasan atas segala kesempurnaanNya itu dengan tahmid; disertai
pengingkaran terhadap tuduhan kelemahan dariNya dengan tasbih (tanzih).
Sebagai contoh, surat Al-Ikhlas sebagai ayat yang berbicara tentang
kemurnian iman kepada Allah ta'alaa memuat tasbih dan tahmid secara
utuh. Pada firmanNya, qul huwallahu Ahad (katakanlah Allah itu esa)
Allahu ash-Shamad (Allah maha kaya; tempat bergantung semua mahluk).
Kedua ayat tersebut menegaskan kesempurnaan Allah dari sisi keunikan dan
kesaanNya (Tahmid). Sementara bunyi ayat setelahnya, lam yalid walan
yulad (tidak beranak dan tidak diperanakkan). Ayat ini menegaskan
perbedaan dan keunikan (keesaan) serta keistimewaan Allah dibanding
makhlukNya, termasuk kekayaanNya sehingga tidak butuh anak dan istri
layaknya makhluk. Jika makhluk berpasangan (zaujiyyah), maka Allah unik
dan esa; tidak mengenal dan tidak butuh pasangan. Keunikan, keesaan dan
kekayaanNya inilah yang ditegaskan kembali dengan firmanNya, walam yakun
lahu kufuwan Ahad (tidak ada siapapun yang setara dan mirip apalagi
selevel denganNya. Artinya, menegaskan (itsbat) kesaanNya dan
KekayaanNya merupakan keharusan. Demikian pula menafikan kebutuhanNya
kepada anak dan istri juga wajib (nafy). Penafian ini bukan penafian
mutlak, tetapi mengandung penegasan makna sebaliknya. Penegasan di sini
adalah sikap membenarkan informasi Allah tentang kesempurnaanNya. Sedang
Penafian merupakan bentuk pengingkaran terhadap kelemahan yang
dituduhkan makhluk kepadaNya. Itulah sikap yang tepat dan proporsional
dalam menyikapi berita; terutama berita langit (Wahyu). Karena berita
memang sejatinya adalah sesuatu yang mengandung kejujuran/kebenaran atau
kebohongan/hoaks. Dalam istilah agama disebut Khabar. Lawannya adalah
insya'; yaitu ucapan yang mengandung perintah atau larangan. Perintah
dan larangan ini akan dibahas nanti pada ranah fiqih atau tauhid
praktis.
Itulah prinsip
umum dalam berinteraksi dengan ayat-ayat tauhid. Agar makin tegas,
ketika Allah menegaskan Dia bertangan, bersemayam di atas Arasy,
berfirman (berbicara) sesuai dengan keagunganNya; lalu diingkari oleh
manusia, tentu sikap tersebut termasuk bentuk penyimpangan (ilhad).
Walaupun ditakwilkan dengan beragam penafsiran, bahkan diserahkan
pemaknaannya kepada Allah dengan metode tafwid. Takwil dipastikan
merusak keimanan terhadap informasi Allah dan rasulNya tentang diriNya.
Sedangkan tafwid makna (bukan tafwid kaifiyah) menganggap dan menuduh
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak memahami makna firman Allah.
Terutama mereka yang beranggapan bahwa ayat seputar sifat Allah itu
katanya masuk kategori ayat yang tidak jelas (mutasyabihat). Belum lagi
konsekwensi buruk berupa sikap mengeliminasi Wahyu dari pemaknaa dan
kandungannya yang disebut ta'thil. Ditambah dengan sikap demikian
termasuk mendahulukan rasio dan nalar yang serba terbatas melampaui
persfektif Wahyu yang tak berbatas. Sehingga akal sudah dianggap
referensi yang menentukan pemaknaan Wahyu melampaui otoritas Wahyu yang
tak mungkin salah. Padahal, pada perkara akidah tauhid, akal hanya
sebatas alat memahami (fungsional dan bukan referensi). Karena
demikianlah posisi akal ditempatkan Allah ketika berhadapan dengan
Wahyu.
Di sinilah
pentingnya pemahaman Salaf (Atsariyah) seputar tauhid dan akidah demi
menjaga orisinilitas tauhid; walaupun sering dibenturkan dengan imam
besar seperti imam Gazali, imam Ibnu Hajar al-Asqalani, imam Nawawi
rahimahumullah dan imam-imam lain dari kelompok Maturidiyah. Bagi kami,
mendahulukan ucapan Allah dan rasulNya lebih penting dibandingkan
kebesaran tokoh-tokoh ulama (Iytsar al-Haqq 'ala al-Khalq). Beradab
terhadap para alim ulama tidak berarti menerima segala ucapan mereka.
Atau, tidak menerima pendapat mereka pada bagian kecil masalah tauhid
tidak berarti tidak menghargai mereka. Tidak beradab kepada ulama
artinya merusak citra pribadi dan wibawa mereka; bukan tidak menerima
pendapat mereka. Maka pendapat ulama masa lalu tetap bisa dikritisi
seperti layaknya dalam bab fikih dan Ushul, tapi yang tidak boleh adalah
merusak citra pribadi dan kehormatan mereka sebagai ulama dan referensi
ummat. Keduanya harus dibedakan. Itulah makna ucapan, raf'u al-Malam
'an Aimmati al-'A'lam. Maka, jangan heran kadang ulama digunakan
karyanya dlm bidang akidah tauhid, tapi di bidang fikih tidak. Kadang
pula di bidang fikih, ada ulama dianggap ulama Syi'ah malahan; tapi
tetap dipelajari kitabnya. Seperti imam ash-Shan'ani misalnya, beliau
Syi'ah Zaidiyah, tapi bukunya; Subulussalam dianggap kitab terbaik dalam
bidang Syarah hadits Bulugul Maram dalam bidang perbandingan Mazhab.
Demikianlah keadilan dalam dunia intelektual harus ditegakkan.
Kesimpulan.
Ditinjau dari sisi ilmu tauhid, ternyata tauhid terbagi dua :
1.
Tauhid Ilmu dan Informasi (Tauhid Ilmi/Khabari). Seperti yang terdapat
pada surat Al ikhlas. Inilah yang sedang kita bahas pada status kali
ini.
2. Tauhid Praktis
(Thalabi/Irady). Seperti firmanNya, Qul ya ayyuhal kafirun (wahai
orang-orang kafir), la i'budu maa ta'budun (saya tidak akan menyembah
tuhan yang kalian sembah) wa laa antum 'abiduna maa a'bud (dan kalian
pun tidak perlu menyembah Tuhan yang kami sembah), lakum dinukum waliya
din (agamamu agamamu, agamaku agamaku) tidak ada kerjasama dalam bidang
ibadah dan akidah dengan non muslim secara mutlak selamanya. Masalah ini
akan dibahas pada status berikutnya in syaa Allah. Wallahu a'lam.
Jakarta, Selasa, 17 Maret 2020.
0 komentar:
إرسال تعليق