Metode Argumentasi Rasional (Masalik al-Istidlal al-'Aqli) Ahlu Sunnah Atsariyah.
By. Idrus Abidin.
Demi
menegaskan pemberdayaan rasionalitas Islam dalam ranah intelektual,
penalaran (istidlal) dan debat (jadal), Ahlu Sunnah Atsariyah
mengembangkan dan mengandalkan metode penalaran rasional yang diturunkan
langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah. Beberapa di antaranya seperti
berikut :
1. Analogi Keutamaan (Qiyas Aulawi).
Seperti
pengingkaran orang kafir terhadap adanya hari kiamat dengan alasan,
tulang-tulang mereka telah hancur lebur. Lalu dijawab oleh Allah dengan
menggunakan argumentasi analogi keutamaan (Qiyas Aulawi). Bahwa kalau
engkau tanpa tulang saja diciptakan dari tiada menjadi ada. Tentu lebih
utama (lebih mudah) kalian dihidupkan kembali sekali pun hanya dari
lapukan tulang. Ringkasnya, copy paste jauh lebih mudah (utama)
dibanding membuat sesuatu dari awal (mencipta). Lihat QS Yasin 78-79.
Jadinya,
analogi keutamaan (Qiyas Aulawi) adalah memberikan perbandingan argumen
yang lebih mendasar (lebih utama) dari argumen yang dipahami oleh lawan
diskusi. Analogi Keutamaan (Qiyas Aulawi) ini lebih banyak digunakan
oleh kalangan ulama Salaf dalam menegaskan sifat/karakteristik Allah
ta'alaa; baik sifat pribadi (sifat dzatiyah) maupun karakteristik
perbuatanNya (sifat fi'liyah). Seperti, tidak ada keutamaan yang pantas
dimiliki makhluk kecuali Allah jauh lebih pantas (utama) untuk
menyandangnya. Demikian pula segala kelemahan yang dihindari makhluk,
tentu Allah lebih pantas (utama) dijauhkan darinya. Karena Allah adalah
simbol tertinggi dan standar utama kesempurnaan (al-Matsal al-'A'laa).
Lihat QS an-Nahl : 60. Termasuk digunakan oleh Allah untuk menegaskan
adanya kiamat dan sisi-sisi keunikan, keesaan serta keistimewaanNya
sendiri.
2. Standar Timbangan Rasional Qur'ani (al-Mizan Al-Qur'ani)
Yaitu
standar yang menjadi ukuran rasional untuk mengetahui hal-hal yang
serupa sehingga disatukan dalam sebuah rumus/kaedah/prinsip/teori
kesamaan. Ini disebut analogi kesamaan (Qiyas at-Thard). Demikian pula
standar rasional yang digunakan untuk mengukur hal-hal yang berbeda
sehingga dibedakan secara total. Ini disebut analogi sebaliknya (Qiyas
al-'Aks). Contohnya seperti, umat-umat terdahulu yang dihancurkan oleh
Allah karena kesombongan mereka maka dipastikan ummat masa sekarang
atau ummatNya yang akan datang pun terancam dengan hal yang sama jika
mereka melakukan kesombongan serupa. Inilah contoh analogi kesamaan
(Qiyas at-Thard). Sebaliknya, ummat-ummat yang menghindari kesombongan
dengan bersifat tawadhu dan menerima perintah Allah dan rasulNya tentu
akan aman dari azab Allah. Inilah salah satu contoh analogi sebaliknya
(Qiyas al-'Aks).
Contoh
lain, ketika kita memahami alasan Allah mengharamkan minuman keras
karena menghalangi dari ketaatan kepadaNya dan menyebabkan pertengkaran
internal. Lalu kita menemukan alasan yang sama pada minuman Bir dan
sejenisnya di zaman modern, tentu kita hukumi dengan status keharaman
serupa. Di situ terdapat prinsip atau alasan umum yang disebut illat
atau titik kesamaan/titik temu (Had atau qadr musytarak). Inilah yang
disebut standar rasional yang digunakan untuk mengukur titik-titik
kesamaan atau batas-batas perbedaan segala sesuatu.
Contoh
lain. Seperti hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang
menyinggung masalah hubungan seksual dengan pasangan resmi. Beliau
menyatakan bahwa hal tersebut termasuk shadaqah dengan sabdanya, "Wa fii
budh'i ahadikum shadaqah." Ketika ditanya, "Koq hubungan suami istri
dianggap sedeqah ya Rasulullah?!". Maka Rasulullah mencoba membalik
keadaan dengan bertanya balik, "Kira-kira kalau dia melakukannya dengan
wanita lain yang bukan istrinya, apakah dia berdosa?!," Karena itulah,
kalau dia melakukannya dengan pasangan yang sah, tentu dia berpahala
(sedekah)." (HR Muslim).
3. Klasifikasi Semua Alasan yang memungkinkan (Taqsim), lalu menguji dan menyeleksi alasan yang lebih logis/rasional (Sabr).
Ini termasuk argumentasi rasional syar'i yang banyak digunakan Wahyu dan kalangan Salaf. Terdiri dari dua langkah :
A. Mengumpulkan semua hal yang mungkin termasuk sebagai alasan logis-rasional terhadap sesuatu objek. Ini disebut proses Taqsim.
B.
Menguji secara logis dan rasional semua hal yang sudah dilist, lalu
membuang semua yang tidak pantas. Maka, tinggallah alasan yang lebih
logis. Ini disebut proses Sabr.
Contohnya
dalam Al-Qur'an adalah firman Allah yang berbunyi, "Apakah mereka
tercipta sendiri (tanpa pencipta) atau mereka kah yang menciptakan diri
mereka sendiri?!". (QS ath-Thur : 35).
Di sini, ayat memasukkan tiga kemungkinan terhadap penciptaan manusia :
A. Mereka tercipta dengan sendirinya tanpa pencipta;
B. Mereka menciptakan diri mereka sendiri;
C. Mereka tercipta melalui peran pencipta (Allah).
Tentu
dengan analisa sederhana, A dan B mustahil dan salah dengan sendirinya.
Maka, C menjadi alasan yang paling benar (logis-rasional). Karena
alasan penciptaan inilah Allah mewajibkan diriNya pantas disembah.
Metode
rasional-logis syar'i inilah yang pernah dimanfaatkan oleh imam Abdul
Aziz al-Kinani ketika berdebat dengan tokoh Muktazilah, Bisyr al-Mirrisy
seputar kemahlukan Al Qur'an. Beliau menegaskan kepada Bisyr
al-Mirrisy, "Silahkan pilih satu dari tiga kemungkinan. Pertama, apakah
Allah menciptakan Al-Qur'an pada diriNya. Kedua, atau Dia menciptakan
Al-Qur'an di luar diriNya. Ketiga, atau Dia menciptakan Al-Qur'an yang
senantiasa eksis pada diriNya?. Silahkan tentukan pilihanmu !!!. Lalu
beliau menjelaskan kesalahan dari ketiga kategori itu untuk membuktikan
secara logis-rasional kesalahan pendapat seputar penciptaan Al-Qur'an.
Sehingga yang benar adalah bahwa Al Qur'an itu firman Allah, bukan
ciptaanNya.
Sebenarnya
masih banyak metode argumentasi rasional yang diberdayakan Ahlu Sunnah
Atsariyah, namun kali ini cukup beberapa sampel tersebut yang
disampaikan.
Kesimpulan :
Berdasarkan
paparan di atas, bisa ditegaskan bahwa dalil syar'i telah dibuktikan
oleh rasio urgensi pemberdayaannya berdasarkan dua sisi pertimbangan :
1.
Dalil syar'i mengandung dalil logis rasional secara langsung. Seperti
pembuktian rasional seputar keesaan Allah dalam hal hakNya untuk
disembah, "Inilah realitas ciptaan Allah. Maka, tunjukkan padaKu apa
saja yang telah diciptakan oleh pihak yang disembah selain diriKu?!."
(QS Luqman : 11). Ketika selain Allah tidak mempunyai kemampuan dan
bukti jelas telah mencipta, maka terbuktilah kepalsuan mereka sebagai
tuhan. Sedang Allah dengan makhlukNya yang bertebaran di seluruh penjuru
dan kolong semesta; membuktikan diri sebagai Tuhan asli yang wajib
disembah.
2. Jika dalil
syar'i tidak mengandung argumentasi rasional secara langsung maka tetap
dianggap Dalil Rasional syar'i dengan pertimbangan bahwa hal-hal yang
terdapat dalam Wahyu tidak keluar dari dua kemungkinan :
A.
Bisa dipahami oleh rasio logis manusia secara umum. Tentu dalam
kategori seperti ini rasio tetap dianggap sebagai argumentasi rasional
syar'i yang legal dan sah.
B.
Atau tidak dimengerti oleh rasio, maka otomatis rasio tidak mungkin
menciderai legalitas Dalil syar'i tersebut. Karena menciderai dalil
Wahyu saat rasio tidak mampu mencerap maknanya berarti merusak citra
rasio sendiri yang telah berperan serta mengokohkannya. Dalam kondisi
seperti ini, yang harus dilakukan adalah menerima kandungan dalil Wahyu
tersebut secara utuh (Taslim). Inilah yang selama ini sering
dipromosikan oleh pendukung Ahlu Sunnah Atsariyah, bahwa Wahyu membawa
jawaban terhadap hal-hal yang membingungkan rasio (muharat al-'Uqul);
sama sekali tidak mendatangkan hal-hal yang mustahil baginya.
Jika
realitas Ahlu Sunnah Atsariyah sangat rasional, lalu kenapa mereka
menolak ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, logika (manthiq), teologi
(Kalam) dan perdebatan (jadal)? Bahkan selama ini mereka dituduh
mereduksi rasio atas nama Wahyu. Jawaban untuk pertanyaan ini in syaa
Allah akan dianalisis pada status berikutnya.
Diadaptasi dari :
- A. Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al- Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, karya Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.
- B. al-Adillah al-Aqliyah an-Naqliyah'ala Ushul al-I'tiqad karya Dr. Suud al-Arifi.
- C. Ma'rakatu an-Nash, Dr. Fahd Shaleh al-'Ajlan.
- D. Ar-Ra'yu wa Atsaruhu fii Madrasah al-Madinah, Dr. Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa.
Depok, Rabu, 25 Maret 2020.
0 komentar:
إرسال تعليق