Kekuatan Wahyu (Al-Qur'an dan as-Sunnah) Terhadap Sains/Teknologi Modern.
By. Idrus Abidin.
Menurut Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi, Terdapat 3 sikap dan perspektif intelektual muslim terhadap hasil temuan ilmu pengetahuan modern :
1.
Pemisahan Total antara Islam dan Sains/Tekhnologi modern. Masing-masing
dianggap memiliki domain tertentu. Semuanya dianggap benar berdasarkan
metodologinya masing-masing.
Pendapat
ini yang diamini oleh banyak tokoh Kristen modern. Mereka tidak
mempermasalahkan temuan universitas yang kontradiksi dengan kitab suci
Bibel. Sikap ini pula yang diikuti oleh kalangan muslim yang
kebarat-baratan; yang sangat getol dengan filsafat Realisme
(Positivisme) atau Materialisme atau Marksisme. Akhirnya, mereka membuat
slogan; Agama dipisahkan dari sains dan teknologi.
Sikap
dan perspektif seperti ini tidak ada tempatnya dalam Islam. Bukan saja
bertentangan dengan nuansa keimanan sebagai mana penegasan teks-teks
keagamaan, tetapi karena setiap orang yang mempelajari Al-Qur'an dan
as-Sunnah dengan penuh sikap objektif pasti akan menemukan kesesuaian
total antara Islam dan penemuan terkini.
2.
Pandangan yang melihat adanya kesesuaian antara Islam dan temuan
Sains/teknologi. Namun, perspektifnya tetap mengunggulkan sains dan
teknologi. Artinya, jika tampak adanya kontradiksi; sains dan teknologi
lah yang menjadi referensi. Penafsiran ulang teks-teks keagamaan mutlak
dilakukan agar searah dengan temuan Sains dan teknologi modern. Itu
tentunya terjadi jika teks Wahyu tersebut mungkin ditafsirkan dengan
cara baru. Malahan terkadang teks Wahyu ditolak dengan alasan hanya
berkategori zhanni. Sehingga dianggap tidak relevan ketika berhadapan
dengan fakta-fakta ilmiah terkini.
Sikap
ini tidak bisa diterima. Islam adalah pionir; bukan pembeo. Tidak
mungkin teks syariat dikerdilkan atau dianggap ambigu hanya karena kesan
ilmiah. Istilah yang belum tentu sampai ke level meyakinkan sebagaimana
standar baku yang diterima di tengah komunitas ilmiah dunia. Karena
ilmu didasari oleh hipotesis dan asumsi yang diuji terus menerus agar
bisa menjadi fakta ilmiah tanpa batas. Ini adalah sisi kelemahan utama
sains dan teknologi; sekalipun itu juga yang menjadi rahasia
keberlangsungan dan eksistensinya.
3.
Perspektif yang meyakini Islam tetap menempati posisi tertinggi
sekaligus mengakui semua sarana ilmu yang otoritatif, sembari tetap
memanfaatkan temuan-temuan ilmiah demi terwujudnya tujuan utama sains
dan teknologi berupa kemudahan hidup manusia. Walaupun kebahagiaan tetap
saja domain Islam.
Sebenarnya,
semua temuan Sains dan teknologi pada seluruh peradaban yang pernah ada
menjadi pelayan ideologi. Makanya, akidah yang lurus dan nilai-nilai
mendasar tetap mengarahkan laju Ilmu Pengetahuan menuju kebaikan dan
kemaslahatan. Jika akidah dan ideologi bermasalah, ilmu hanya menjadi
sarana buruk bagi kekuatan yang akan menghancurkan masa depan
kemanusiaan. Hanya Islam yang mampu memberikan perspektif akidah yang
benar sehingga Ilmu Pengetahuan menemukan ekosistem yang baik untuk
terus berkembang; sehingga bisa diarahkan menuju puncak kemajuan dan
perbaikan.
---------------
Walau
bagaimanapun, jika diasumsikan adanya kontradiksi antara Wahyu dengan
ilmu pengetahuan modern, tetap saja teks Wahyu dinomorsatukan. Karena
teks syar'i merupakan Wahyu dari Allah yang maha mengetahui segala
sesuatu secara total. Sedang pengetahuan modern hanya sebatas
pengetahuan manusia yang berbentuk penemuan baru. Sedetil apapun
pengetahuan itu tetap saja sebatas pengetahuan manusia yang senantiasa
tunduk patuh pada rasio yang serba relatif, lemah, kurang dan pendek
jangkauannya.
Bukti empiris pernyataan ini termuat dalam salah hadits berikut :
عن
أبي سعيد : أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال أخي يشتكي بطنه
فقال ( اسقه عسلا ) . ثم أتاه الثانية فقال ( اسقه عسلا ) . ثم أتاه
الثالثة فقال ( اسقه عسلا ) . ثم أتاه فقال قد فعلت ؟ فقال ( صدق الله وكذب
بطن أخيك اسقه عسلا ) . فسقاه فبرأ
Dari
Abi Sa’id: “Ada seseorang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’ Nabi berkata:
‘Minumkan ia madu.’ Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi
berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Orang itu datang lagi pada kali yang
ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’Setelah itu, orang itu
datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh
juga malah bertambah mencret).’ Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan
perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminumkannya
lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim –redaksi
dari al-Bukhari-).
Ibnul
Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkomentar, "Penegasan Rasulullah
shalallahu alaihi wa salam bahwa Allah maha benar, perut temanmulah yang
berbohong," merupakan penguat akan manfaat madu (obat). Keberadaan
penyakit bukan karena lemahnya obat dg sendirinya, tetapi karena
kebohongan perut dan begitu menumpuknya penyakit dalam tubuh. Sehingga
beliau meminta agar diberikan obat (madu) berulang kali karena faktor
tumpukan penyakit tersebut. Sungguh pengobatan Nabi tidak akan serupa
dengan pengobatan ahli kesehatan mana pun. Pengobatan nabi bersifat
meyakinkan, pasti dan bernuansa ilahi; berasal dari Wahyu dan cahaya
kenabian serta kesempurnaan rasio. Sedang pengobatan lain hanya umumnya
sebatas intuisi (hadas), perkiraan dan observasi. Tidak dipungkiri
banyaknya orang sakit yang tidak mendapatkan kesembuhan dari pengobatan
Nabi. Karena pengobatan Nabi hanya bermanfaat bagi yang menerimanya,
yakin akan datangnya kesembuhan, disertai sikap iman dan ketundukan
dalam menerimanya. Inilah Al-Qur'an sebagai obat jiwa -Jika tidak
diterima sedemikian rupa- fungsinya mengobati penyakit jiwa tidak akan
tampak. Bahkan, kaum munafik malah tambah kenceng dan berlipat ganda
penyakit nifaqnya. Lalu bagaimana coba posisi pengobatan fisik dari
kehebatan pengobatan Al-Qur'an?! Jadinya, pengobatan nabi tidak cocok
kecuali dengan jiwa yang baik, sebagai mana halnya fungsi Al Qur'an
sebagai obat; tidak akan berefek kecuali terhadap jiwa-jiwa suci dan
hati yang hidup. Penolakan masyarakat terhadap pengobatan Nabi sama
halnya dengan penolakan terhadap pengobatan Al Qur'an - yang merupakan
obat yang bermanfaat- Masalahnya bukan pada lemahnya obat, tapi karena
buruknya tabiat manusia, jeleknya objek dan tidak adanya penerimaan
tubuh dan jiwa terhadapnya." Dikutip oleh Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi
dari kitab Zaad al-Ma'ad Fii Hadyi Khairi al-'Ibad.
Depok, 1 April 2020 (7 Sya'ban 1441 H)
Diadaptasi dari :
- Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al-Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.
0 komentar:
إرسال تعليق