By. Idrus Abidin.
Seiring
dengan perjalanan hidup manusia, peradaban rasional makin menonjol
dibanding serial kehidupan yang pernah ada sebelumnya. Maka tidak heran,
peradaban manusia sebelum Islam setiap kali jauh dari Allah, pasti
dikirim seorang nabi atau Rasul untuk mengembalikan mereka ke ranah dan
otoritas tauhid. Kitab suci menjadi bekal setiap rasul untuk missi
tersebut. Tak lupa juga bekal mukjizat yang menunjukkan kebenaran dan
bukti bahwa mereka benar-benar utusan Allah.
Setiap
mereka dibekali mukjizat indrawi, seperti tongkat yang berubah jadi
ular besar bagi nabi Musa alaihissalam. Onta yang keluar dari celah batu
pegunungan untuk nabi shaleh alaihissalam. Kemampuan mengolah besi jadi
baju perang dengan kemampuan mengarahkan angin serta mengerti bahasa
binatang bagi nabi Daud, terutama anaknya; Nabi Sulaiman alaihimassalam.
Kemampuan mengobati pasien dan menghidupkan orang mati dengan izin
Allah bagi nabi Isa alaihissalam. Namun, setiap mukjizat tersebut tidak
terkoneksi secara langsung dengan kitab suci setiap nabi. Bahkan, ketika
mukjizat terjadi dan luput dari mereka yang tidak hadir, tentu yang
diterima hanya informasi oral (cerita) layaknya kita yang hidup di zaman
sekarang ini. Dan, ketika sang nabi meninggal, mukjizat tersebut ikut
terkubur bersama jasad sang nabi dan rasul.
Berbeda
dengan nabi kita, Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Beliau dibekali
dengan mukjizat maknawi dan inderawi sekaligus. Maka tak diragukan,
kematian beliau tetap meninggalkan mukjizat abadi, terjaga eksistensinya
hingga saatnya nanti. Beliau memang telah wafat. Namun, kebenaran
warisan kenabian beliau senantiasa aktual pada bidang sains dan
teknologi, serta pada bidang sosial kemasyarakatan; termasuk sejarah
sebagai pabrik peristiwa dan peradaban. Aktualisasi kebenaran Wahyu
terus terjadi sesuai hasil penelitian ilmiah terkini pada berbagai
sektor kehidupan. Puncaknya, ketika semua janji Allah tersingkap melalui
lorong akhirat bernama barzakh dan kiamat, sesuai namaNya sebagai
al-Mukmin. Inilah beberapa keistimewaan kota Madinah di Era Kenabian
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :
Terpelajar Tanpa Madrasah.
Karena
al-Qur'an menyasar langsung masalah pendidikan dengan membaca sebagai
kegiatan penting dalam ranah keislaman maka pena sebagai sarana dan alat
tulis yang akan mengangkat nilai literasi di tengah kalangan sahabat,
disebutkan secara khusus dan paling awal dalam surat al-Alaq. Terjadilah
proses transmisi keilmuan seiring dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur'an
demi mengawal kebudayaan Islam diiringi penjelasan nabi secara lisan
maupun perwujudan dari firman itu pada diri Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam. Mereka belum mengenal istilah madrasah dan lembaga resmi yang
menjadi payung khusus kegiatan intelektual. Yang mereka jadikan pusat
keunggulan adalah masjid; tempat semua jenis kebijakan diputuskan dengan
metode musyawarah. Maka lahirlah tradisi ilmiah yang tidak banyak
wacana, tapi umumnya bersifat praktis dan ideologis. Kehalusan Budi
sebagai ciri orang-orang terpelajar dan moderat mereka miliki. Walaupun
mereka sendiri tidak menonjolkan keberhasilan material sebagai standar
kemajuan melebihi keshalehan pribadi dan sosial yang ditandai oleh
ketaatan mutlak kepada Allah dan rasul-Nya, sikap persaudaraan yang
melampaui batas-batas suku, warna kulit dan dan status sosial. Semua itu
menciptakan nuansa egaliter, di mana mereka tidak merasa lebih
menonjol di banding sesama. Karena mereka memahami, keberhasilan adalah
hasil jalinan kerjasama sesuai keahlian dan fungsi dan peran-peran
masing-masing. Harga diri tidak lagi menghasilkan egoisme, tapi
ketulusan dan loyalitas kepada persaudaraan, kebersamaan dan sikap
mendahulukan orang lain (itsar) dibanding diri sendiri dalam hal-hal
yang bersifat duniawi.
Moderat Tanpa Dosa.
Moderenisasi
seringkali identik dengan kebebasan tanpa aturan syariat. Sehingga
mereka yang memiliki akses lebih kepada kekuasaan, pengetahuan dan
kekayaan aset merasa berada di atas rata-rata umumnya masyarakat. Di
sinilah egoisme sebagai berhala berawal. Sikap yang potensial membuat
manusia menjadi tuhan-tuhan yang merasa berhak diberikan penghargaan
khusus. Maka, hak-hak istimewa mulai berlaku dan masyarakat terbelah
oleh status sosial sesuai tingkat dan akses mereka kepada kekuasaan,
pengetahuan dan kekayaan. Demikianlah motif umum kezhaliman. Sehingga
keadilan susah hadir di tengah masyarakat kaum pagan. Madinah berhasil
menciptakan konsep moderenisasi yang jauh dari unsur kezhaliman. Bahwa
yang dimaksud moderat itu adalah sikap pertengahan antara vokus dunia
dan akhirat oriented. Sikap proporsional dalam hal spiritual dan
material. Termasuk keseimbangan dalam hal ilmu dan amal. Tidak ada satu
sektor yang lebih diutamakan sehingga sisi dan sektor lain terbengkalai.
Tetapi ketika akhirat menjadi visi, dunia tetaplah ruang di mana misi
dijalankan dengan baik. Betul bahwa para sahabat adalah manusia bumi,
tetapi jiwa mereka vokus melangit. Atau, setelah melalui serangkaian
pendidikan kenabian, mereka menjadi makhluk langit yang tak lupa pijakan
di bumi ini. Artinya, di saat Allah ditaati dengan baik, kemanusiaan
mereka pun membumbung tinggi. Sehingga negeri mereka menjadi persemaian
kesetiakawanan sosial yang tidak akan membiarkan satu warga pun
bersedih, terutama saat-saat bahagia di hari raya; idul Fitri maupun
idul qurban. Tidak seperti doktrin sekulerisme yang mengatakan, jika
Tuhan ditaati sebagai pusat otoritas maka manusia terzhalimi. Akhirnya,
mereka memecat dan membunuh tuhan -menurut keyakinan mereka- agar
manusia bisa memperoleh kemanusiaan mereka sendiri. Lahirlah humanisme
tanpa Tuhan. Spiritual tak berketuhanan dan etika tanpa agama.
Naudzubillah.
Maju Tanpa Riba.
Kemajuan
juga identik dengan praktek riba. Di Madinah, Rasulullah mulai
mengembangkan sayap-sayap perekonomian yang berbasis pada prinsip
kebersamaan. Untung rugi ditanggung bersama. Pinjaman murni akad sosial
yang tidak dimanfaatkan untuk menggandakan aset. Namun, jika peminjam
dengan ikhlas memberi tips tanpa ada syarat sebelumnya, maka itulah yang
diajarkan Islam. Suatu tradisi bisnis yang bernafaskan akhlak
kebersamaan, sikap saling memahami dan mengerti makna terimakasih dan
rasa syukur. Rasulullah juga membuka lapak-lapak di Madinah dengan upah
sesuai kemampuan dan perkembangan bisnis setiap pedagang. Maka,
lapak-lapak Yahudi yang biaya sewanya cenderung mencekik leher, lambat
laun ditinggalkan para pedagang. Mereka memilih lapak-lapak Rasulullah
yang lebih manusiawi. Akhirnya, kekuatan perekonomian riba yang
dikembangkan Yahudi di kota Madinah sedikit demi sedikit tumbang oleh
ekonomi keadilan yang disponsori Rasulullah. Beliau melarang penimbunan
barang-barang pokok yang potensial merusak stabilitas harga. Juga
mencegah praktek-praktek kecurangan di pasar-pasar. Timbangan, ukuran
dan kiloan tidak boleh dikurangi. Maka terjadilah eksplorasi
perekonomian yang tadinya didominasi oleh eksploitasi riba
besar-besaran. Madinah kemudian menjadi pusat bisnis dan perdagangan
yang ramah lingkungan dan meningkatkan tarap hidup warga dan sekitarnya
dalam bingkai persaudaraan dan nilai-nilai kebersamaan. Itulah ekonomi
syariah yang belakangan ini mulai berkecambah di negeri-negeri muslim.
Para sahabatlah pionir-pionir dalam bisnis berkeadilan ini. Dan
Madinahlah laboratorium resmi yang menjadi saksi keberhasilan Rasulullah
dalam pengembangan ekonomi kerakyatan.
Adil Tanpa Mahkamah.
Karena
berawal dari konsep kesamaan manusia di hadapan Allah (egalitarian),
kota Madinah menjadi pusat keadilan yang menenteramkan warganya. Segala
persoalan hukum yang terjadi diharapkan selesai melalui pendekatan
kekeluargaan. Jika telah sampai ke Rasulullah sebagai pusat otoritas
kehakiman, maka sistem peradilan berlaku dan delik aduan tidak bisa lagi
dicabut. Hukum-hukum paten diatur sedemikian rupa dengan istilah hudud,
seperti perzinahan, pembunuhan, pencurian dll. Ada istilah qisas atas
pembunuhan terhadap seseorang, tanpa adanya legalitas syari'at. Ada pula
istilah rajam bagi pezina, padahal sudah menikah. Bahkan ada hukum
cambuk (jilid) bagi pezina yang belum menikah. Semua hukum itu berjalan
sesuai petunjuk Allah, yang secara praktis diarahkan oleh Rasulullah
dengan nuansa ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Mahkamah itu sekali
lagi berpusat di masjid, tempat di mana keadilan Tuhan disebar dan
keadilan kepada Allah diwujudkan dengan istilah tauhid dan ikhlas.
Berkuasa Tanpa Istana.
Semua
kekuasaan hebat pasti dikelola dari balik istana megah. Tidak demikian
Rasulullah. Madinah tetap hanya memiliki masjid sederhana yang disebut
belakangan sebagai masjid Nabawi. Di situlah kebijakan negara lahir.
Soal keamanan, masalah peperangan, bahkan korespondensi antara penguasa
di sekitar jazirah Arab, seperti surat-surat dakwah Rasulullah ke
Meqauqis di Mesir, ke raja Jalalanda dan Abd di Bahrain, ke Heraklius
sebagai penguasa Romawi dll, juga diarahkan dari masjid ini pula. Maka,
sepeninggal Rasulullah, otoritas kekuasaan Madinah menjadi salah satu
wilayah kekuasaan yang menggetarkan Persia dan Romawi sebagai dua adi
daya di zaman itu. Dengan sejumlah keunggulan itu, tak heran jika
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah menegaskan,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Zaman terbaik adalah zamanku. Kemudian zaman selanjutnya, lalu zaman selanjutnya lagi. (HR. Bukhari, no. 3378)
Semoga
kita bisa ikut berkontribusi dalam menghadirkan konsep masyarakat
Madani di negeri kita di zaman modern ini. Karena, sebagai mana
informasi sang Rasul, kiamat tidak akan terjadi kecuali lahir suatu
zaman yang mirip dengan zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
dulu. Semoga.
Ahad, 9 Juni 2019.
Jalur Kota Nabi menuju Makkah Al-Mukarramah.
0 komentar:
إرسال تعليق