By. Idrus Abidin.
Tauhid
adalah mengesakan Allah sebagai satu-satuNya zat yang mengatur kejadian
di alam semesta ini dengan segala perbuatanNya yang tersimpul dalam
istilah rububiyah. Rububiyah yang secara detil dijelaskan melalui
nama-namaNya yang sangat bagus (al-asmaul Husnna) dan sifat-sifatNya
yang sangat mulia (as-shifat al-Ulaa). Konsekwensi tauhid rububiyah dan
tauhid asma wa sifat ini adalah keimanan akan adanya qadha dan qadar
Allah; baik yang berkategori buruk maupun yang bernuansa baik. Rububiyah
dan asma wa sifat ini adalah kekayaan Allah dan karuniaNya yang
berwujud kasih sayang yang digelontorkan kepada makhlukNya tanpa batas.
Karena demikian adanya, manusia pun tulus ikhlas mencintaiNya, mengharap
rahmatNya dan takut terhadap azabNya. Itulah inti keikhlasan. Itu pula
hakikat Tauhid uluhiyah yang berarti mengesakan Allah sebagai
satu-satunya yang pantas disembah di dunia ini dengan beragam jenis
ibadah, baik hati, lidah dan semua anggota tubuh pada semua sektor
kehidupan manusia.
Hidup Ini Bukti Kecintaan dan Rahmat Allah (Rububiyah)
Maka
tak mengherankan jika kehidupan manusia ini tiada lain kecuali hamparan
cinta dan kasih sayangNya yang berwujud nikmat-nikmat yang tak mungkin
terhitung dalam bentuk angka-angka. Walaupun kehidupan dunia ini baru
manifestasi dari 1 persen rahmatNya. Di akhirat sana 99 persen lagi yang
distok khusus untuk kalangan beriman. 1 persen rahmatNya di dunia ini
masih disebar untuk semua; muslim, kafir, binatang, hewan, tumbuhan,
langit, bumi, dan seluruh makhlukNya. Dengan Rahmat ini, Allah mengutus
nabi dan rasul. Menurunkan kitab suci. Bahkan keimanan bisa dirasakan
dan amal shaleh diprioritaskan. Nilai ilmu dan hidayah serta iman dan
takwa bisa menjadi realitas duniawi. Kasih sayang antar suami istri,
anak dan orang tua, atasan dan bawahan; bisa terjadi. Kejujuran dalam
jual beli, integritas dalam dunia kerja dan amanah terhadap setiap
titipan; berjalan dengan penuh kecintaan dan keridhaan Allah. Inilah
yang disebut rahim dalam asma dan sifat Allah.
Manusia Beriman Sangat Merasakan Nuansa Kecintaan dan Kasih Sayang Allah.
Gelontoran
nikmat dan rahmat Allah ini begitu terasa dalam jiwa kaum beriman.
Mereka merasa sangat malu karena nikmat itu tidak mungkin terbalaskan
oleh sekedar iman dan amal shaleh mereka. Walaupun mereka kadang
tergilas oleh dosa-dosa kecil, karena memang manusia tidak ada yang
maksum kecuali para nabi dan rasul. Namun, dengan segera mereka tersadar
dan beristighfar serta memperbaiki kesalahanan itu, berkat izin dan
Taufik Allah. Mereka sadar sepenuhnya bahwa karunia dan rahmat Allah ini
tak akan terputus bahkan terhadap kaum munafik dan kafir sekalipun.
Karena dunia ini memang ujian, maka selama itu pula rahmat itu
senantiasa aktual. Walaupun rahmat di sini tidak lebih dari sekedar
pemenuhan nikmat fisik semata. Adapun nikmat jiwa hanya pantas diberikan
oleh Allah untuk hambaNya yang terpilih. Hamba yang menyadari
sepenuhnya bahwa pujian Allah dan rasa syukur kepadaNya bukan lagi
sekedar kewajiban; tapi kebutuhan utama dalam menu kebahagiaan mereka
supaya mereka tetap berada dalam siklus hidayah, indahnya istiqamah dan
naungan lebat pohon Takwa.
Mereka melihat segala
sesuatu di sekitarnya sebagai karunia tak terhingga dari Allah. Semuanya
dipikirkan keberadaannya dan manfaat serta fungsi-fungsinya dalam
kehidupan ini. Kesimpulan pengamatan tersebut menyatakan, sungguh tidak
ada apa pun yang diciptakan Allah sia-sia; semuanya penuh hikmah dan
fokus serta tujuannya jelas berupa nilai dan manfaat untuk kehidupan di
alam semesta (QS Ali Imran : 191)
Kekuasaan Allah Menggetarkan Jiwa Orang Beriman.
Selain
cinta, kasih sayang dan rahmat Allah, azabNya yang tidak bertepian
karena Dialah yang maha kuasa; juga menggetarkan jiwa kaum beriman
(isyfaq). Bahwa betul Allah sangat pemaaf, penuh kasih sayang dan
melimpahkan berjuta ampunan. Namun potensi kemarahan, lautan kehebatan
dan kekuatan kehendakNya pun luar biasa besarnya. Maka sekalipun
orang-orang ikhlas sangat mengerti dan merasakan cinta dan rahmat Allah,
tapi mereka juga terus hati-hati; penuh perhitungan dengan segala hal
yang bisa jadi dan berpotensi memancing murka dan kebencian Allah.
Kebencian yang telah menimpa kaum Yahudi akibat sikap mereka yang tak
sadar diri; walaupun gelontoran petunjuk dan kasih sayang telah
diguyurkan kepada mereka. Ketersesatan dari jalan lurus akibat dari
kemalasan menuntut ilmu yang diperankan oleh Nasrani di masa lalu. Maka
orang beriman mengokohkan takwa di jiwa, menggenjot ibadah pada setiap
kelipatan waktu yang ada dan berhias diri dengan indahnya akhlak mulia.
Semua itu mereka lakukan sebagai tameng yang diharapkan melindungi
mereka dari murka Allah; digerakkan oleh perasaan takut akan potensi
besar azab Allah. Jadilah mereka hamba yang berpetualang menuju
kepadaNya dengan kendaraan takwa; gasnya digerakkan oleh rasa penuh
harap (raja'), remnya ditekan oleh rasa takut (khauf) dari
ketergelinciran dan kesesatan. Sementara pengendara itu tak lain adalah
rasa cinta yang menentukan besarnya tarikan gas sesuai gelora kerinduan.
Tanpa terperdaya oleh potensi buruk yang bisa merintangi perjalanan
mereka kepada Allah; karena mereka punya rem rasa takut yang menjaga
keseimbangan laju dan kendaraan.
Cinta dan Kasih Sayang Allah Senantiasa Dirindukan.
Ketika
manusia makin mengerti makna kecintaan Allah padanya. Saat mereka
menyadari betapa sayangnya Allah begitu tulus. Sehingga mereka merasakan
gelora kerinduan begitu nikmat di rerelung jiwanya. Menanti setiap saat
asupan gizi rahmat yang memudahkan ibadahnya. Makin syahdu mereka dalam
do'a dan zikir serta pada umumnya ibadah yang mereka lakukan. Berasa
dinginnya hidayah mengusir sempitnya rasa putus asa dan tekanan jiwa
akibat polusi kehidupan duniawi. Iman serasa terus menunjukkan
keperkasaannya sehingga keraguan menjadi barang langka di hatinya. Maka
tidak heran, maksiat seolah masa lalu yang tak pantas lagi hadir pada
lembaran hari-hari berikutnya di kehidupan pribadi yang bersangkutan.
Kesabaran menjadi kekuatan yang menghibur saat cobaan dan duka datang
bertandang. Semua itu menyadarkan orang-orang Ikhlas, bahwa sedetik saja
kasih sayang Allah hilang darinya, pasti dosa dan maksit akan tiba-tiba
berkerumun pada dirinya yang lemah. Maka, resmilah lidahnya berharap
penuh ketulusan :
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai
Dzat yang Maha Hidup, serta Maha mandiri, dengan rahmatMu aku memohon
pertolongan. Perbaikilah seluruh tindak tanduk dan semua keadaanku. Dan
janganlah Engkau biarkan aku mengurus sendiri diriku walaupun hanya
sekejap mata sekali pun. (HR. Imam An-Nasai, Imam al-Bazzar dengan sanad
yang Shahih juga Imam al-Hakim).
Menyadari Kelemahan, Identitas Utama Kehambaan.
Doa
di atas adalah wujud pengakuan tulus akan kelemahan hamba-hamba yang
ikhlas. Sekaligus menunjukkan sikap berserah diri secara total kepa Zat
Allah yang maha sempurna dan maha kuasa. Sebuah pengakuan bahwa diri
kita hanyalah pengemis cinta, yang tanpaNya kita menjadi makhluk yang
hampa; tanpa makna dan tak jelas arah. Peminta-minta yang berkeliling
dengan semua jenis ibadah demi secuil rahmatNya. Bahwa kita adalah
makhluk lemah yang setiap saat bisa tergilas oleh murkaNya, seandainya
kita tidak berlindung kepada rahmatNya. Egoisme pribadi lebur oleh kasih
sayangNya. Sikap kepedean hancur oleh kekuasaanNya yang tanpa batas.
Kebutuhan Jiwa Lebih Prioritas dari pada Kebutuhan Fisik.
Maka
tak mengherankan, orang-orang ikhlas lebih memprioritaskan isi hatinya
dibanding isi tasnya. Mereka sangat mengerti, dunia akan ikut saat
akhirat menjadi visi. Mereka sangat yakin jika akhirat dibela-belain,
dunia akan dimudahkan. Tanaman jika disemai akan tumbuh disertai
rerumputan. Tapi rerumputan jika tumbuh belum tentu memberi kesempatan
untuk tumbuhan membersamainya apalagi menyainginya. Begitulah kejamnya
dunia. Tak akan seramah akhirat yang rela berbagi dengan rerumputan dan
benalu serta semua jenis hama dan wereng duniawi.
Galau Karena Akhirat, Bukan Melulu Karena Dunia.
Shalat
saja minimal lima kali mereka tunaikan. Belum lagi tambahan ruku' dan
sujud pada setiap shalat sunnah. Sedang perut dan fisik ini cukup dengan
tiga kali makan. Lebih dari itu pasti tubuh akan kehilangan
keseimbangan.
Tidak Ada daya dan Upaya Kecuali Milik Allah.
Ahli
tauhid dan ikhlas ini akhirnya menyatakan dengan tegas, tidak ada yang
mengalihkan mereka dari dosa dan maksiat kecuali Allah. Dan, tidak ada
pula yang kekuatan yang menggerakkan mereka menuju ketaatan kecuali
Allah. Itulah yang mereka pahami dari ucapan, la haula wala quwwata Illa
billah. Mereka mengakui sepenuhnya tidak ada yang pantas dicintai
secara total; di atas segala-galanya melainkan hanya Allah. Tidak ada
yang perlu diharapkan rahmatNya secara penuh selain Allah yang maha
rahman dan maha rahim. Tidak ada yang mungkin ditakuti sepenuh jiwa
kecuali Allah yang maha kuasa, maha hebat dan sang maha unggulan
(Muhaimin)
Iman, Ibadah dan Takwa Hanya Sebab dan Sarana.
Sebagai
mana obat sebagai sarana kesembuhan dan bukan penyembuh hakiki,
demikian pula iman, takwa dan ibadah. Semua itu bagi orang-orang ikhlas
hanyalah jalan dan sarana yang menyampaikan mereka kepada cinta dan
keridhaan Allah. Mereka tidak pernah membanggakan tingkat keimanannya.
Malu rasanya jika mereka mengumbar takwanya. Apalagi riya' dengan
shalat, puasa, zakat, tilawah, umrah, haji dan semua keshalehan pribadi
dan sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang penuh kesadaran bahwa
harta, tahta dan kekuatan hanyalah titipan yang jika tidak diberdayakan
dalam ketaatan dan dengan penuh amanah, maka potensial mengundang
kemurkaan Allah. Mereka ogah menjadikan identitas Islam, kartu ketakwaan
dan label haji sebagai kamuflase demi kepentingan duniawi yang sedikit.
Karena bagi mereka, itu adalah bentuk menukar hidayah yang sangat mahal
dengan dunia yang hina. Wujud kemunafikan yang menjadikan akhirat
sebagai umpan demi sesuap nasi dan seteguk air kehidupan. Iman dan
hidayah yang rela dikorbankan oleh orang-orang hina dan ditukar dengan
kesesatan dan murka Allah. Naudzubillah.
Cinta dan Ridha Allah Segala-Galanya.
Akhirnya,
bagi Ahlu tauhid dan orang-orang ikhlas, kecintaan dan keridhaan Allah
adalah cita-cita mereka yang tertinggi. Mereka tidak mau terperdaya oleh
iman, Islam, ihsan, shalat, puasa, zakat dan semua yang sifatnya hanya
fisik tanpa subtansi keikhlasan, tanpa hakikat ketakwaan. Apalagi
kemegahan dunia yang tak menuju kepada ridhaNya, prestasi duniawi dan
gengsi jiwa yang tidak berpotensi menjaring cinta ilahi. Ya Allah, kami
tentu sangat butuh kepada curahan kebaikanMu, sebagaimana yang dipinta
nabi Musa kepadaMu. Ya Allah, kami pasti rindu pada rahmat dan kucuran
hidayahMu, sebagai mana yang dilantunkan ashabul Kahfi padaMu. Wahai
Rabb yang maha segalanya, kami tidak mengerti betapa besar pujian dan
rasa syukur yang pantas untuk diriMu. Pujian dan keagunganMu hanyalah
sepadan dengan pujian dan pengagunganMu sendiri kepada diriMu. Itulah
titah nabiku, Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Jadikanlah aku
pengikut cerdas yang pantas menemaninya di dunia dengan beragam praktek
sunnah-sunnah yang beliau ajarkan. Dan, jadikan pula aku manusia yang
pantas mendapat syafaatnya dan menemaninya dalam pesona keindahan
surgaMu. Allahumma amiiiin.
Jakarta, 1 Juni 2019. (27 Ramadhan 1440 H)
0 komentar:
إرسال تعليق