By. Idrus Abidin.
Shalat
adalah rutinitas harian yang diharuskan sebanyak minimal 5x dalam
sehari. 17 rakaat semuanya. Tiap rakaat diharuskan membaca al-Fatihah
sebagai wujud relasi hamba dengan Allah. Tuhan dipuji sebagai penguasa
semesta alam. Memiliki stok kasih sayang dan menguasai seutuhnya
kejadian pada hari kiamat. Karena demikian realitasNya, Dialah yang
pantas disembah. Inilah titik puncak ibadah, yang menjadi kewajiban
hamba. Namun, tidak sekedar itu saja. Manusia pun punya hak sebagai
makhluk lemah; meminta bantuan (isti'anah) kepada Allah demi memuluskan
tugas kehambaan mereka. Meminta bantuan di sini, yang sangat
dinomorsatukan dan paling prioritas adalah mengemis hidayah; baik yang
sifatnya petunjuk (Irsyad) maupun yang bersifat praktis (Taufik). Itulah
kesatuan ilmu dan amal. Tujuannya agar manusia tidak dimurkai karena
bekal ilmu yang tak diamalkan. Atau tersesat karena amal tanpa petunjuk
dan cahaya ilmu. Maka, jalan lurus itu ternyata ada pada berilmu
Amaliah, beramal ilmiah.
Konsekwensi Shalat; Mendukung Tauhid, Kritis Terhadap Kesyirikan dan Kecurangan (Ketidakadilan).
Shalat
adalah tolak ukur keislaman dan keimanan. Fungsinya mencegah perbuatan
keji dan mungkar pada diri manusia dan lingkungan sekitar. Sebuah sikap
keberatan ditunjukkan oleh objek dakwah nabi Syuaib yang merasa gerah
dengan sikap rewel dan kritis nabi Syuaib atas sesembahan mereka
(berhala). Mereka juga keberatan, karena nabi Syuaib juga keritis
terhadap praktek riba dan kecurangan mereka dalam bidang ekonomi dan
bisnis. Memang ummat nabi Syuaib terkenal dalam sejarah dakwah sebagai
ummat yang gemar mengurangi timbangan dan takaran dalam hal jual beli
(QS Hud : 84) Nabi Syuaib pun mencegah mereka dari praktek syirik dan
sikap curang. Beliau tegas mengerahkan mereka kepada tauhid dan
kejujuran dalam hal timbangan dan standar Keadilan (QS Hud : 85) Maka
tidak heran, sikap keberatan mereka terhadap amar makruf dan nahi
mungkar nabi Syuaib ini direkam rapi oleh Allah dalam Al-Qur'an :
قَالُوا۟
يَٰشُعَيْبُ أَصَلَوٰتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ
ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِىٓ أَمْوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُا۟ ۖ
إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلْحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ
Mereka
berkata: "Hai Syu'aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal". (Hud : 87)
Maka,
pertanyaan penting yang perlu kita resapi adalah, sejauh mana shalat
kita mengarahkan kepada sikap kritis terhadap kesyirikan dan semua
bentuk kecurangan (ketidakadilan)?! Cukupkah shalat itu hanya sebatas
tameng pribadi dari neraka tanpa usaha untuk menarik energinya ke dalam
pusaran amar makruf dan nahi mungkar?! Kejujuranlah yang bisa
menggelitik jiwa kita untuk memahaminya. Semoga.
Depok, 2 Juni 2019 (malam 29 ramadhan 1440 H)
0 komentar:
إرسال تعليق