By. Idrus Abidin.
Hidup
adalah gerak. Dinamikanya berjalan sesuai arah ideologi yang melatari.
Bisa dipicu oleh iman (agama), mungkin juga digerakkan oleh ideologi.
Iman dan ideologi memang mirip. Tapi hakikatnya tidak sama. Iman lahir
dari kitab suci samawi. Sedang ideologi dipicu oleh filsafat. Iman
berbasis pada keghaiban. Ideologi dibangun oleh rasionalitas. Iman
akhirnya terbentuk oleh validitas informasi (Wahyu). Allah dan para
rasullah aktor utamanya. Sementara ideologi tidak lebih dari sekedar
intelektual. Maka, perubahan basisnya kalau bukan agama pasti filsafat.
Namun agamalah yang menyentuh langsung denyut nadi kehidupan
masyarakat.
Perubahan (Gerak) Tabiat Kehidupan.
Di
semua lini kehidupan, segala sesuatu bergerak dan berubah. Matahari
bergerak di porosnya sendiri. Bintang juga melaju di orbitnya. Bumi pun
demikian. Tanaman dan tumbuhan terus bergeliat. Apalagi jika curah hujan
cukup untuk mendukung laju dinamiknya. Bahkan, Alam semesta pun
bergerak dan mengembang secara konstan (QS adz-Dzariyat : 47) Jika
pergerakan itu mengalami stagnasi, alam semesta akan mengalami
kehancuran sehingga kematian bisa menjadi realitas tak terelakkan.
Itulah sunnatullah di dunia fisik. Di dunia kejiwaan pun gerak dan
perubahan itu berjalan. Jiwa butuh asupan yang menjamin gerak dan
pertumbuhannya. Karena di sana tercetus kemauan dan semangat hidup.
Turunnya Qur'an Titik Tolak Perubahan.
Perubahan
dalam Islam berawal di bulan Ramadhan. Sebelum Rasulullah menjadi nabi,
nalar kritisnya sudah meyakini bahwa hidup pasti ada maksud dan tujuan.
Sebagai bagian dari Quraisy, beliau ikut menjadi pebisnis internasional
yang menyambangi banyak pasar-pasar di semenanjung jazirah Arab. Dari
sejak umur 12 tahun hingga menikah di umur 25, bahkan puncaknya pada
umur 37. Beliau telah menjadi bisnisman kaya dan marketer ulung yang
menguasai lingkungan geografis; bahkan perkembangan politik tanah dan
dunia Arab. Maka, tak heran, pada rentang umur 37 hingga 40 beliau
kadang jeda dari dunia bisnis dan sesekali menyendiri di gua Hira dengan
bekal secukupnya. Beliau mencari fakta-fakta kehidupan secara
filosofis. Kesimpulan dari fakta-fakta itulah yang disebut istiqra'
(pencarian/pengamatan).
Ketika
al-Alaq turun, jelaslah bahwa memang perubahan itu berawal dari
pengamatan dan pencarian. Iqra' hanya menjelaskan sumber dan semangat
pencarian dan pengamatan itu ; Allah sang maha pencipta. Pencipta
segalanya, khususnya manusia sebagai pemain utama semua lini dan sektor
kehidupan. Yang mana, mereka dari tiada jadi ada. Demikian pula ilmu,
dengan mengamati dan mencari dia akan ada dari ketiadaannya. Penalah
sarana belajar itu. Walaupun bagi nabi, tidak melalui goresan pena. Tapi
melalui berita langit yang dibawa oleh Jibril alaihissalam. Sebagaimana
manusia memang umumnya ada lewat kelahiran. Tapi Adam ada via
penciptaan. Dengan Qur'an ini, manusia mengenal semangat ketuhanan
(ruh). Namun itu juga belum cukup. Perlu ada cahaya (nur) sehingga
semangat perubahan itu berjalan pada jalur yang benar (shiratal
Mustaqim). Di bulan Ramadhanlah konsep perubahan itu turun. Di sebuah
malam yang disebut Lailatul Qadar; malam penetapan takdir manusia.
Takdir berupa aturan dan ketetapan syari'at (agama Islam), disertai pula
dengan ketetapan alam dan segala isinya (takdir kauni)
Islam, iman dan Ihsan (Takwa) Gerak Perubahan.
Perubahan
dalam agama itu bernama Islam. Yaitu suatu proses dalam kehidupan
manusia yang menghendaki perkembangan dan kemajuan. Manusia yang Ingin
agar status quo yang hanya berdasarkan pada budaya mitos itu menjadi
budaya Tauhid yang berbasis pada keadilan. Sehingga ia menyerahkan
hidupnya diatur oleh Allah sehingga tampak lahiriahnya sebagai manusia
yang berislam dengan identitas seperti syahadat, shalat, puasa, zakat,
haji dll. Perubahan dalam sisi lahiriah ini dicetuskan oleh iman
terhadap rabbul a'lamiin. Dzat yang mengadakan segala sesuatu lalu
mengarahkan mereka semua ke tahap kesempurnaan; sedikit demi sedikit
sesuai siklus kehidupan itu sendiri. Selain dicetuskan oleh keyakinan
kepada Allah, perubahan juga lahir dari iman terhadap adanya hari
pengadilan yang bernama kiamat. Kedua hal ini menjadi semacam visi
perubahan yang melandasi setiap misi perubahan yang digulirkan. Misi
yang bergerak menyadarkan manusia tentang hakikat kehidupan yang tak
lain sebagai ujian. Misi yang menegaskan bahwa terhadap manusia dan
semua makhluk, kita harus adil dan Ihsan kepada mereka. Misi yang
mendukung upaya untuk mengeksplorasi alam semesta dengan ilmu
pengetahuan demi kemudahan hidup mereka dalam ketaatan kepada Allah
Ta'ala. Sedang Ihsan adalah kondisi manusia yang mencapai puncak
maksimal dalam hal iman sehingga Allah tampak dalam jiwanya. Keadaan ini
menunjukkan tingginya harapannya kepada Allah sehingga menjadi manusia
yang senantiasa berubah sesuai yang dicintai dan diridhai Allah. Atau
Ihsan berupa kesadaran jiwa yang membuat seseorang merasa selalu diawasi
Allah sehingga takut terhadap pelanggaran dan senantiasa komitmen dalam
perintahNya. Sebuah kondisi lain yang melahirkan perubahan maksimal
pada diri manusia. Baik Kondisi harapan atau pun kondisi takut;
keduanya melahirkan Ihsan pada diri manusia. Ihsan yang berarti manusia
profesional dalam berislam dan beriman; berdasarkan ilmu yang mapan dan
amal yang berkategori unggulan.
Taubat Proses Mendasar Perubahan.
Jika
dicermati perubahan manusia dari Islam ke iman hingga ke tahap Ihsan,
ditemukan sebuah rahasia perubahan; itulah taubat. Yaitu penyesalan
manusia akibat kelalaian dari kebaikan (Allah dan segala aturanNya).
Sehingga ia berusaha memperbaiki hatinya dengan tauhid (inti keimanan),
lisannya dengan istighfar dan fisiknya dengan shalat, puasa, zakat, haji
dan sejumlah akhlak mulia lainnya. Taubatlah yang mengantar manusia ke
pangkuan Islam. Taubat pula yang merubahnya menjadi manusia yang
benar-benar beriman. Bahkan taubat khusus melambungkan manusia ke
derajat Ihsan. Tiada perbaikan tanpa penyesalan, lalu diiringi perbaikan
terus menerus tanpa henti dan tak kenal stagnasi. Para nabi dan rasul
dikenal dengan karakter mereka sebagai awwab; yaitu sikap merasa
bersalah dan merasa belum maksimal mengagungkan Allah; sebagai mana
mestinya. Pantaslah, penghulu para Rasul, nabi kita Muhammad berucap,
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
"Aku
tidak mengerti berapa seharusnya pujian yang pantas untukMu. Yang
jelas, keterpujianMu hanya selevel dengan pujianMu sendiri terhadap
diriMu".
Taubat adalah
energi yang terus menjalar pada setiap sendi-sendi perubahan. Mengawal
manusia dan jin melewati jalur-jalur keislaman, menelusuri setiap lorong
yang ada pada ruas-ruas keimanan. Bahkan, taubat pula yang mengantar
manusia yang bernyali tinggi dan bersabar kokoh, menuju ruang-ruang
ihsan yang telah berhasil ditelusuri dengan sempurna oleh para rasul
Ulul Azmi.
Ilmu, Pemicu Kesadaran dan Pencetus Taubat.
Dari
mana taubat itu bermuara? Dari pengetahuan akan keagungan Allah Ta'ala.
Seiring dengan pemahaman manusia akan kehebatan, kesempurnaan dan
kekuasaan Allah, sejauh itu pula kesadaran akan lahir dan taubat
dipastikan akan hadir, biiznillah. Egoisme manusia yang selama ini
mencegahnya dari hidayah dan taubat tiba-tiba tersingkap menjadi
kekerdilan di hadapanNya. Demikianlah ilmu mengembalikan segala sesuatu
kepada porsi dan takarannya masing-masing (keadilan). Ketika ada orang
tidak tahu menahu siapa sebenarnya yang dia lewati di jalan atau di
tempat manapun tanpa sapaan dan teguran. Lalu diberi informasi kalau itu
sang idola atau orang yang telah berjasa padanya di masa lalu; dengan
segera ia merasa bersalah. Seperti itulah pengetahuan menggugah
penyesalan, kesadaran dan taubat. Sehingga membuahkan perubahan kepada
yang lebih tepat, proporsional dan profesional (Ihsan). Memang terkadang
pengetahuan tidak melahirkan kesadaran, layaknya obat yang tidak
menyembuhkan. Sebabnya, tembok ogoisme begitu kokoh, menghalangi
pengetahuan mencapai jantung kesadaran. Akhirnya, simbol perubahan itu
ternyata ada pada siapa pun yang berilmu Amaliah dan beramal ilmiah.
Statis, Lonceng Kematian.
Dinamika
seorang muslim demi lahirnya kebaruan dalam siklus perubahan begitu
jelas bagi yang mengerti nilai ilmu dan manfaat hidayah. Waktu bagi
mereka adalah lorong yang menyampaikan kepada kebaikan-kebaikan dan
menjauhkan mereka dari lembah keterpurukan dan kubangan keburukan. Hidup
dan semangat mereka melampaui kadar umur biologis. Sebaliknya, diam
tanpa progres, murung tanpa target, hidup tanpa semangat bukan tipenya
orang-orang beriman. Harapan akan indahnya negeri akhirat membuat
semangat mereka berderu seolah tak kenal capek dan jeda istirahat. Mati
bagi mereka bukanlah semata berpisahnya roh dari badan. Tapi hilangnya
semangat perbaikan dan gelora keimanan.
Muslim Tidak Mengenal Stagnasi; Hanya Jeda dan Istirahat.
Karena
itu, muslim sesungguhnya adalah yang terus bergerak dalam skala
perbaikan. Membangun jiwa via ilmu. Mengembangkan fitrah dengan
Tazkiyatunnafs. Mensucikan hati dengan tauhid. Mereka memahami diam itu
sebatas istirahat; karena memang tabiat manusia juga butuh jeda setelah
sekian lama berjibaku dengan gerak kebaikan dan semangat perbaikan.
Walau bagaimanapun, tubuh ini punya hak; dengan mengistirahatkan mata,
telinga, nalar dan jiwa, walau hanya sejenak. Keluarga pun punya hak;
dengan memenuhi kebutuhan mereka secara fisik dan kejiwaan.
Puasa, Langkah Perubahan.
Pada
kewajiban puasa jelas sekali nuansa perubahan itu begitu tampak. Di
sana ada ujian kejujuran untuk senantiasa menahan lapar, haus dan semua
hal yang membatalkan puasa. Mudah bagi siapa pun yang tidak jujur
mengelabui orang sekitar; seolah dia puasa. Padahal, dalam sepinya
ruangan malah kenyang oleh nikmatnya makan dan lezatnya minuman. Kalau
bukan karena ketulusan dan keikhlasan, puasa hanya sekedar hoaks, tanpa
ada realitas. Maka, di sinilah kita mengerti, kenapa puasa itu langsung
ditetapkan sendiri pahalanya oleh Allah Ta'ala. Karena kejujuranlah
basis utamanya. Tidak mudah kena riya' dan sum'ah, seperti shalat,
tilawah dll. Rasulullah bersabda :
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ
فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ )
"Semua
amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikannya sepuluh kali sampai
tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa,
maka ia murni untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan menetapkan kelipatan
pahalanya." (HR. Muslim, no. 1151)
Zakat, Tahapan Perubahan.
Dengan
puasa, beratnya rasa haus, susahnya kelaparan, walau hanya berbatas
waktu, sebulan penuh, setiap hari antar subuh hingga magrib; terasa
secara langsung bagaimana orang-orang yang tereliminasi dari
sumber-sumber kekayaan seperti orang miskin, merasakan semua itu tanpa
berbatas waktu. Bahkan tidak adanya kepastian kapan lapar itu berubah
jadi kenyang, haus menjadi hilang dengan tegukan air tawar; berlangsung
sepanjang waktu, di setiap tempat. Maka empati dipastikan akan hadir
menjadi kepedulian minimal. Itulah zakat fitrah dan harta, bahkan infaq
dan shadaqah. Shadaqah sendiri berarti bukti kejujuran iman (shidq)
selain bukti persaudaraan kemanusiaan (shadaqah). Atas nama Allah,
kepedulian itu menjadi semacam kebersamaan. Terutama di hari kebahagiaan
internasional kaum muslimin di seluruh belahan dunia; hari raya Iedul
Fitri. Tidak boleh ada sedih bagi siapapun pada hari itu karena makan
dan minum saja belum jelas ketersediannya.
I'tikaf Energi Perubahan.
Untuk
mengasah kesadaran, mempertajam target besar yang belum terlaksana,
mengukur diri dengan standar keislaman, keimanan dan keihsanan;
dibutuhkan jeda waktu dari hiruk pikuk dunia kerja dan keluarga. Semacam
fokus untuk menata diri dan menginstrospeksinya secara langsung dan
dengan sangat mendalam. Supaya ketenangan dalam khusyuknya ibadah,
kenikmatan dalam indahnya tilawah dan nikmatnya baca buku keislaman yang
diselingi oleh tausiyah dan Taujih dari ahli di bidangnya; memberikan
energi spiritual yang sangat dibutuhkan setelah ramadhan sudah tiada.
Kadang
jiwa ini tumpul akibat deru kesibukan duniawi. Seringkali jiwa ini
melemah karena terlalu fokus dengan target-target materi. Bahkan, bisa
jadi lemah spiritual karena terlalu mengandalkan rasionalitas dan
kemampuan diri. Berat untuk fokus dalam shalat. Susah untuk merasakan
indahnya nasehat. Semua itu karena jiwa lagi kurang asupan gizi
spiritual. Maka, nasehat seolah tak melahirkan gelombang dalam jiwa.
Untuk semua itu, i'tikaf hadir supaya jiwa mendapatkan kekuatannya
kembali. Iman berasa kokoh, takwa bersemi dan optimisme pun menatap
masa depan dengan penuh senyuman.
Idul Fitri, Perayaan Status Baru.
Di
saat takbiran berkumandang, jiwa merasakan bahwa Allah penuh keagungan.
Ketika puasa berakhir, fitrah seolah menemukan jati dirinya sebagai
makhluk baru. Beban-beban yang selama ini mengekang jiwa, seolah sirna
oleh kekuatan iman. Ketaatan membuahkan jalan baru menuju Ridha Allah
dengan potensi surgaNya yang sangat menawan. Keyakinan seolah tenang
oleh rindangnya pohon ketakwaan. Maka, iedul Fitri menjadi hari bahagia
karena diri kembali ke fitrahnya yang suci. Bahagia karena tanggung
jawab telah tertunaikan. Sebulan penuh disertai dedikasi untuk menahan
lapar dan haus, termasuk menjauhkan diri dari kebohongan dan kepalsuan.
Berusaha sekuat tenaga membangun kembali puing-puing kejujuran yang
telah lama berantakan oleh pencitraan berlebihan. Bahwa kini, iman itu
bukan sekedar hiasan bibir yang membuat orang lain takjub, sekali pun
jauh panggang dari api. Tapi yang lebih penting dari itu semua, bahwa
takwa berarti lahirnya manusia baru yang berbekal cinta Allah yang luar
biasa. Memahami bahwa rahmat Allah diharapkan sepenuhnya. Sekaligus azab
Allah sungguh sangat menakutkan di jiwa. Semoga demikian adanya.
Aamiin.
Depok, Tengah Malam, 18 Mei 2019.
Ikuti update status nasehat dari kami via :
1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
3. Blog :http://idrusabidin.blogspot. com/?m=1.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.
0 komentar:
إرسال تعليق